Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 • kok lo gemetaran?

Setiap peserta diklat memisahkan barang pribadi dengan kelompok lain. Mereka berkumpul, berbondong-bondong mendirikan tenda, dan membagi tugas. Ada yang berdiri ogah-ogahan, ada yang berlagak layaknya bos dan mengatur segalanya, ada juga tipe santuy seperti Caroline.

Gadis itu duduk diam sambil menopang dagu, memperhatikan sosok yang terus menari di dalam lamunan. Matanya tak lekas berpindah berkat euforianya. Rona merah di pipi turut menjelaskan bahwa memandang dari jauh pun dapat memuaskan hasrat yang terpendam.

Caroline terus tersenyum, padahal tidak ada tontonan lucu yang disuguhkan. Hanya manusia yang berlalu-lalang kerepotan mendirikan tenda kelompok, sedangkan ia tetap duduk manis.

Tidak ada sosok lain yang sedang ia perhatikan. Sejak awal OSPEK sampai sekarang, hanya Nanda yang menarik. Lihat saja sekarang, tangan lelaki itu tak berhenti mengurut dada. Pemandangan yang membuat kupu-kupu di perut Caroline berkontraksi.

Ingin rasanya kaki lekas berlari, mendekat, lalu menanyakan berbagai macam hal dan keadaan. Namun, Caroline belum memiliki waktu yang tepat. Seperti ini saja ia sudah puas.

"Lin, kerjaan lo udah beres?"

Lamunan gadis itu pecah. Ia mendongak dan mendapati kawan sekelompoknya datang mendekat. "Udah. Ada yang lain?"

"Ikut gue, yuk!"

Mereka lekas beranjak menjauhi kelompok. Caroline hanya menoleh ke kanan dan kiri dengan bingung. Apa-apaan ini? pikirnya.

Berbeda dengan Nanda. Ia lelah berdiri karena sejak tadi menjaga tenda agar tetap tegap. Tubuhnya saja hendak ambruk, mengapa ia harus memedulikan hal lain? Dadanya seperti terimpit bebatuan besar yang sepi celah. Ia meraup napas sedalam mungkin, tetapi malah terbatuk setelahnya. Sial, sungguh nyeri tak karuan.

Perut kosongnya pun berbunyi. Sedikit melilit dan ikut mengganggu fokus. Beginilah akibatnya kalau ia mengeluarkan isi perut secara serentak. Sudah mual, muntah, pusing, sesak lagi. Demi jenggot Merlin, siapa yang menyumpahi dia kali ini sampai tersiksa bertubi-tubi?

"Hah ...."

Nanda lekas merapatkan bibir dan menunduk. Ia lekas berpura-pura membenahi letak patokan dan mengalihkan pandangan.

Tak lupa ia juga tersenyum dan mengangguk saat pendamping di bawahnya mendongak dan menatap sinis. Jarak mereka ternyata cukup untuk mendengar helaan napasnya. Lelaki itu langsung meletakkan palu yang sejak tadi dipegang dan berdiri menghampiri Nanda.

"Kenapa? Capek?" tanya Fazran dengan nada datar.

Nanda menggeleng cepat. "Enggak, Kak."

"Sakit?"

"Eng-enggak, kok, Kak."

"Kalau sakit, duduk aja di pinggir. Daripada lo pingsan, terus nyusahin temen-temen yang lain."

Nanda tak menjawab lagi. Ia hanya membungkuk dan menatap tanah. Matanya enggan beradu dengan pendampingnya. Senior itu kembali meraih palu dan membantu pemasangan tenda.

Salah seorang anggota kelompok lekas berdiri menghampiri. Ia merasakan hawa intens yang yang terjadi. Entah perasaannya saja atau bukan, Fazran seakan-akan tidak menyukai keberadaan Nanda.

"Lo nggak pa-pa?"

"Gue oke."

"Lo duduk aja. Kerjaan gue udah beres, kok."

Nanda tersenyum dan mengangguk. "Makasih, ya."

Setelah selesai memperhatikan kelompok Buya Hamka, Fazran meninggalkan mahasiswa baru itu dan kembali ke kawanannya. Kaki yang dengan konstan menginjak ranting-ranting pohon kian dipercepat saat menemukan lelaki yang dicari. Ia lekas merangkul sahabatnya dari belakang sampai hampir terjungkal.

Bas sontak memukul kepala lelaki itu. Ia cukup kesal sampai ingin menghempas tubuh Fazran kuat-kuat.

"Sat! Biasa aja, dong!"

"Harusnya gue dong yang protes. Sakit, njir!" Fazran tidak mau kalah. Ia melepas rangkulannya dan tak berhenti mengusap kepala.

"Salah siapa langsung nyamber? Dikira homo kita entar."

"Iya, iya, sori."

Bas menatap Fazran serius. "Ada apa?"

"Tadi gue udah nanya ke Olin."

"Terus?" Mendengar kalimat itu, Bas berubah antusias.

"Dia bilang, sih, bukan."

"Terus?"

"Ya, gue laporan aja apa adanya."

"Terus?"

"Terus-terus mulu, nggak ada kata lain?"

Bas menghela napas panjang. Ia paling tidak suka manusia yang berbelit-belit seperti ini. Mengapa Fazran tak langsung merangkum seluruh kalimatnya dalam satu kali ucap? Bas sungguh malas bertanya dan menunggu poin pentingnya.

"Intinya lo mau ngomong apa, sih?"

"Ya udah, gitu doang."

"Kampret!"

Lelaki itu tak kuasa lagi. Ia spontan menendang betis Fazran. Sontak sahabatnya luruh sambil memegangi kaki kirinya.

Tak sedikit dari junior dan panitia lain yang menoleh ke arah mereka. Bas yang berdiri dan berkacak pinggang lekas menurunkan tangan dan tersenyum. Ia berjalan menutupi Fazran agar tidak terlihat banyak orang.

"Sumpah yang ini beneran sakit, Bas. Gile lu, ya."

Bas menarik tangan Fazran dan membantunya berdiri. "Lagian siapa dulu yang mulai? Lo, sih, ngeselin banget."

"Cih, kayak lo baru kenal gue aja."

Fazran membersihkan celananya yang dipenuhi daun-daun kering. Sesekali ia memijat kakinya yang masih berdenyut nyeri. Alisnya bertaut saat mendapati Bas masih berpikir keras dengan tangan terlipat di depan dada.

"Lo mikir apa lagi?"

"Gue nggak percaya."

"Sama."

Bas menoleh. "Lo juga?"

"Agak mustahil kalau emang nggak ada apa-apa. Minimal mungkin PDKT," timpal Fazran dengan anggukan.

"Ya udah, kerjain aja lagi, sesuai yang dibicarain kemarin."

"Gampang."

Sementara itu, di tengah area kemah, Caroline tak lagi mengerutkan kening. Segala macam pegal linu yang menghampiri telah sembuh dengan mudah. Ia rela membungkuk, berjalan ke sana kemari, dan menata kayu-kayu. Senyumnya nangkring dengan indah sebab kali ini ia tidaklah sendiri.

Nanda dengan tatapan datarnya baru saja bergabung. Umpatan yang keluar saat anak kelompok tiba-tiba pamit menjauh kini berubah menjadi rasa syukur. Caroline lekas merapikan diri dan membakar semangat. Kerjanya gesit, ia tidak mau terlihat asal-asalan.

Nanda hanya berlalu, mengerjakan tugasnya dalam diam. Matanya terfokus pada kayu, hanya pada kayu. Batinnya menyadari binar mata gadis di depannya, tetapi ia tak mau ambil pusing.

Caroline mengambil napas dalam-dalam, kemudian menelan ludah saat aksinya berbuah cuek. Sontak ia kembali mengingat pesan Bena sebelum menginjakkan kaki ke sini.

Ia pun celingukan. Matanya liar dan menatap ke sekeliling. Pas, semua orang tengah sibuk dengan dunianya masing-masing. Gadis itu buru-buru berlari menghampiri Nanda.

"Hai?"

Nanda refleks menatap sekitarnya. "Lo ngapain ke sini? Tata aja sebelah sana."

"Gue pengen di sini."

"Oke, kalau gitu."

Sosok pemakai masker itu beranjak. Ia melangkah menuju tempat asal Caroline. Kesal karena tak paham akan maksud yang terucap, Caroline kembali berlari mengikuti Nanda.

"Lah, ngapain ke sini lagi? Katanya pengen di sana."

"Gue pengen ke sana karena ada lo. Kok nggak peka banget, sih, jadi cowok."

Nanda memutar bola matanya malas. "Kalau kita satu tempat, nggak kelar-kelar urusannya."

"Malah kalau gini cepet selesai, Nda. Gotong royong. Kan, kan?"

"Serah, deh."

Lelaki itu menyerah. Ia tak mau repot-repot menghabiskan tenaganya untuk berdebat. Tangannya kembali melanjutkan kegiatan sebelum senja datang.

Caroline tersenyum saat Nanda berhenti mengomel. Namun, itu tidaklah lama. Matanya berubah panik saat melihat tangan Nanda gemetaran. Ia baru sadar kalau raut muka lelaki itu tak memiliki warna lagi. Benar-benar pucat. Refleks, ia menjatuhkan kayu yang telah dipungut.

"Boleh minjem tangan lo bentar?"

Ia lekas menarik tangan Nanda, lalu menggenggamnya lembut. Dapat terasa jelas bahwa telapak yang lembap dan dingin itu terus bergetar.

"Lin?" Nanda terkesiap. Namun, dayanya yang tinggal seperempat tak kuat untuk melepas genggaman itu.

"Kok lo gemetaran begini? Sakit? Kalau iya, kenapa malah bantu-bantu ke sini?"

Caroline terus berceloteh. Kekhawatirannya mulai muncul. Sampai detik ini, ia tak berhenti mengusap punggung tangan Nanda. Ia bahkan menggenggamnya erat-erat.

Nanda justru memilih diam. Ia tak mau memperpanjang masalah dengan mengatakan 'ada senior yang menyuruhnya kemari' saat sedang istirahat. Lagi pula, ia tidak keberatan kalau hanya membantu menata kayu.

Namun, tubuhnyalah yang tidak sanggup.

"Lo istirahat aja, deh. Gue anter, ya? Biar kakak-kakaknya nggak mikir kalau sakit lo bohongan," bujuk Caroline.

Nanda tersenyum. "Makasih, tapi gue masih bisa, kok. Setelah ini, kita istirahat bareng-bareng, oke?"

Jantung Caroline rasanya seperti berhenti sesaat. Apa tadi telinganya tidak salah dengar?

Kita? Bareng?

"O-oke."

Caroline melepas genggamannya. Ia kembali melanjutkan pergulatan dengan kayu-kayu, begitu pula dengan Nanda. Meskipun debu-debu memperparah batuknya, lelaki itu tetap tak menyingkir. Kalau boleh percaya diri, Caroline senang mendapati Nanda tetap bertahan membantunya. Walaupun pada intinya, ia sendiri tak tahu alasan keteguhan lelaki tersebut.

Nanda sesekali melirik Caroline. Syukurlah, gadis itu tak lagi menatapnya dan kian giat mengambil kayu. Ia kembali membungkuk dan berusaha mengangkat kayu yang lumayan besar. Namun, belum sampai menjangkau, tangannya beralih menekan hal lain.

"Argh."

Tiba-tiba napasnya tercekat seolah-olah tak ada udara masuk yang memenuhi paru-parunya. Nanda spontan memukul-mukul dadanya sendiri, berharap keadaan cepat longgar dan tak lagi menyiksa.

Namun, tubuhnya luruh bertumpu lutut. Matanya mulai berarir dan dahinya mengernyit. Sesak, tak ada udara bahkan sepatah kata yang berhasil keluar. Pandangannya buram dan ia pun tersungkur.

"Nanda!"

Masih ada yang nangkring?
Luv you all 😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro