12 • mau kalau boleh
Dari sekian banyak mahasiswa baru yang mengeluhkan cuaca pagi ini, hanya satu orang yang sejak tadi terlihat bodo amat. Pandangannya kosong. Tubuhnya juga ringan, terhuyung ke kanan dan kiri.
Besar hasrat Caroline untuk mendekat, menyentuh, lalu mengusap punggung sosok itu. Benaknya masih bertanya-tanya atas apa yang Bena kirimkan kemarin. Melihat betapa buruk wajah Nanda saat ini, sepertinya bukan sesuatu yang mudah. Namun, Caroline bingung bagaimana cara menanyakan hal itu.
"Untuk peserta diklat, silakan ikuti arahan pendamping untuk masuk ke bus masing-masing. Ingat, jangan terpisah dari rombongan."
Ratusan mahasiswa sontak berdesak-desakan. Caroline tergesa-gesa memasuki bus dan menerobos peserta lain agar bisa mengikuti langkah Nanda. Dengan gerakan secepat kilat, ia mengambil tempat tepat di samping lelaki itu.
"Ah ..., akhirnya."
Nanda menoleh sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke arah jendela. 'Hanya' Caroline, pikirnya. Ia kemudian memasang headset dan memutar sebuah lagu.
Perlahan, matanya terpejam. Mungkin alunan melodi yang masuk ke relung memutar memori yang tersimpan rapat. Sekejap ia tersenyum saat mengingat hal-hal manis di masa dulu.
Bus pun mulai berjalan. Kendaraan itu mulai meninggalkan area universitas dan bergabung di jalan raya. Belum terlalu siang, jadi lalu lintas hari ini belum bisa dikatakan padat.
Pergerakan itu seketika mengusik Nanda. Ia membuka mata, lalu menikmati suguhan gedung-gedung tinggi. Hal yang belum lama ini menjadi makanannya sehari-hari.
Caroline mengembuskan napas panjang. Ia membenci keheningan ini. Kasar, ia melepas headset yang ada di telinga kanan Nanda dan memakainya di telinga kirinya.
"Hei!"
Caroline belagak bego. Ia diam, menutup mulut dan menghadap depan. Keningnya langsung berkerut saat suara perempuan mulai bernyanyi. Bahasa apa ini? batinnya.
"Ini lagu dari mana?"
"Thailand."
"Ooh, bagus, ya."
Nanda membiarkan Caroline menikmati lagu itu dan memilih tak acuh. Ia sedang tidak ingin berdebat. Melihat perubahan raut yang lebih kelam dari semula, Caroline pun merasa bersalah.
"Sori, gue nggak izin dulu."
"Iya, nggak apa-apa," jawab Nanda sebelum menutup mata.
Caroline lantas melambaikan tangannya di depan wajah Nanda. Tidak ada reaksi. Ia pun merunduk dan menatap wajah yang sebagiannya dipenuhi ruam itu dari bawah. Nanda sudah terlelap. Senyum Caroline spontan mengembang tanpa permisi.
"Mau seneng, marah, sampai tidur sekalipun, lo tetep ganteng, ya, Nda. Kok bisa, sih? Lo dibuat dari apa? Tanah kualitas super?"
Caroline menggeleng. Gejolak yang ditimbulkan bus cukup membuatnya pusing. Ia memutuskan untuk ikut tidur bersama Nanda.
Perlahan, Caroline menikmati apa yang Nanda dengarkan. Sekian detik berlalu, kepalanya mulai bersandar pada pundak lelaki itu tanpa beban. Aspal yang seolah-olah berjalan menjadi saksi momen mereka.
Selang beberapa waktu, suara keras dari megafon kembali merusak ketenangan. Nanda perlahan membuka mata dan menemukan satu per satu kawannya turun dari bus. Ia lekas merintih saat pundak kanannya terasa berat.
"Bagi yang ingin ke kamar mandi, kami persilakan. Waktu kalian dua puluh menit!"
Nanda sepenuhnya sadar, tetapi tidak dengan Caroline yang tak mau memberi jarak satu senti pun dengannya. Ia tertawa pelan saat menyadari bibir gadis itu sedikit terbuka. Pelan, ia mencoba menutupnya sebelum hal-hal memalukan terjadi.
"Gini, ya, rasanya dikejar? Pantes."
Tanpa disadari, Nanda tersenyum tipis. Ia juga mengusap rambut Caroline yang menutupi wajahnya, kemudian melepas headset dari telinga gadis itu.
Namun, tiba-tiba aksi kecil tersebut terusik oleh debaran aneh yang entah muncul dari mana. Nanda terbatuk pelan dan lekas memukul dadanya sendiri. Susah payah ia ingin mengambil air minum di dalam ransel. Sial, tangan kanannya keram dan tak berbuat apa pun.
"Gue bantu."
Seorang lelaki mengangkat tas Nanda dan mengeluarkan air minum yang tengah dicari. Nanda segera mengambil alih botol itu dan meminumnya hingga separuh. Ia bernapas lega saat organ-organnya mulai tenang.
"Lo nggak pa-pa?"
Nanda mendongak. Ia lupa bahwa ada orang lain yang menatapnya sekarang.
"Nggak pa-pa, kok, Kak. Makasih, ya."
Senior bernama Bas itu mengangguk. Ia memberikan tas yang ia pegang ke pemiliknya. "Kalau ada apa-apa, bilang aja ke temen-temen KSR-PMI."
"Iya, Kak."
Kakak tingkatnya itu melanjutkan langkah. Derap yang seharusnya tak mengganggu itu berhasil membangunkan Caroline. Maklum, bus saat ini tengah hening.
Gadis yang hari ini menggerai rambutnya itu lekas menggeliat. Tangannya spontan mengusap wajah dan bagian bibir. Ia mendengkus dengan mata yang masih tertutup.
"Siapa, sih, berisik amat? Kan Putri masih tidur. Pangeran aja belum nyium," ucapnya seperti mengingau.
Nanda menggeleng berkali-kali atas kelakuan gadis di sampingnya ini. Tangannya lekas mendorong kepala Caroline, berusaha menyadarkan. Sentuhan pelan itu lantas didramatisasi dengan terhuyung-huyung dan hendak jatuh.
"Ih, bangke!" Caroline lekas membuka mata dan menoleh ke samping. "Eh, Nanda?"
Sang empunya nama itu bersedekap. Matanya masih menatap Caroline tanpa jeda. Gadis itu pun tersipu. Ia menaikkan ritsleting jaketnya sampai menutupi wajah.
Nanda sontak tertawa. Ia menurunkan ritsleting itu dan mendapati Caroline masih setia menutup mata. Pipinya juga mulai memerah. Ada yang benar-benar ingin bersembunyi darinya.
"Lo kenapa, sih? Kesambet?"
"Bodo! Ya malu, lah."
Caroline merutuki dirinya sendiri. Ia membenci kebiasaan buruknya, yaitu tidak mengingat kejadian sebelum jatuh tertidur. Ia juga membenci kenyataan saat terbangun linglung dan tidak tahu apa-apa. Terlebih kalau bangunnya terusik, pasti sumpah serapahlah yang keluar. Hah, bodoh sekali.
"Udah, nggak usah lebay. Lo mau turun atau mau tidur lagi?"
"Turun?" Caroline refleks membuka matanya. "Emang udah nyampek?"
Nanda menggeleng. "Belum. Ini masih di rest area."
"Oo, nggak turun, tapi juga nggak tidur lagi, deh. Capek."
"Kirain."
Caroline mengerutkan kening. "Kirain apa?"
"Ya, kirain mau tidur lagi. Kan tadi lo bilang, belum dicium sama pangeran jadi nggak mau bangun."
Caroline menepuk jidatnya. Ia tersenyum dan memamerkan giginya yang rapi. Sudah malu, tertimpa malu lagi. Bagaimana ini?
Ia pun memutar otak, menatap Nanda dan mendekatkan wajahnya. Sontak lelaki itu bergerak mundur sampai membentur jendela. Mata Nanda konstan berkedip dan ia menelan ludah kasar.
"Lo mau ngapain?"
"Kalau gitu, Putri mau tidur lagi, deh. Kan pangerannya udah peka."
"Maksud lo apa? Agak mundur dikit bisa, nggak? Jangan deket-deket."
Caroline menolak. "Nggak bisa. Kalau gitu, gue izin, ya. Boleh, kan, deketin lo?"
Gadis itu belum bergerak mundur sedikit pun. Nanda berdecak dan berpikiran mengambil cara lain. Ia lekas membenturkan dahinya ke dahi Caroline.
"Aduh!"
Nanda mengusap dahinya sendiri, begitu pula lawan bicaranya. Gadis itu masih mengernyit dan mengumpat sakit. Mata mereka beradu dengan ekspresi yang bertolak belakang. Nanda dengan tawa kecilnya dan Caroline dengan wajah yang bersungut-sungut.
"Eh, mau ke mana?" seru Caroline saat Nanda tiba-tiba berdiri dan berjalan melewatinya.
"Mau ke toilet. Kenapa? Ikut juga?"
Caroline mengangguk. "Mau kalau boleh."
Nanda memutar bola matanya kesal. "Dasar gendeng!"
Caroline hanya tertawa saat dimaki-maki demikian. Ia tidak benar-benar serius. Hanya saja, mengerjai Nanda menjadi hobi barunya.
Setelah istirahat selesai dan melewati banyak tempat, rombongan mahasiswa itu sampai di tujuan. Para pendamping tampak kesulitan menggiring puluhan kelompok. Satu per satu dari mereka mengangkat barang menuju lokasi kemah.
Nanda turun dengan kakinya yang terasa berat. Duduk terlalu lama ditambah satu makhluk astral yang tak melepaskan tangannya cukup menyusahkan. Kram dan linu yang bisa dianggap enteng kini merambat hingga pangkal leher. Perutnya juga bergejolak seolah-olah ingin mendorong sesuatu untuk keluar. Sekuat tenaga ia menahan itu semua.
Sementara itu, Caroline masih sibuk dengan barang-barangnya. Terhitung ada satu ransel dan dua tas jinjing yang ia bawa. Beruntunglah ada lelaki baik hati--berselimut modus--yang menawarkan bantuan. Hal yang membuat Caroline harus rela berpisah dari Nanda.
Gadis itu tertinggal di belakang saat Nanda sudah jauh di depan. Caroline tak mau ambil pusing karena ia sendiri sudah kesulitan dengan bawaannya. Andai saja Nanda sepeka ini, tentu ia tak perlu repot-repot mengizinkan lelaki lain.
"Barang sebanyak ini isinya apa, sih, Lin?" tanya senior yang membantunya.
"Ada selimut dan kawan-kawannya, Kak."
"Hm, kenapa dibawa sendiri? Pacar lo mana?"
"Pacar?"
"Nanda, kan?"
Caroline buru-buru menggeleng, walau dalam hati ingin mengiakan. "Bukan, kok, Kak. Temen sekelompok."
"Oo gitu, baguslah."
Bagus? Caroline kesusahan mencerna kata itu, tetapi otaknya tak mau berpikir lagi. Ia memilih mencari keberadaan Nanda yang hilang entah ditelan siapa. Lelaki itu sungguh tidak terdeteksi lagi.
Lagu di mulmed dah nemenin aku dari jaman nulis Housepital dan cerita ini. Gak kerasa 🤧
Ketika Olin notis Nanda 😍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro