11 • lo kenapa?
Nanda terbatuk di sela kegiatannya mengemasi barang. Sesekali ia berhenti menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sesuai ritme yang diajarkan. Kadang tangannya mengurut dada yang sedang merajuk. Udara yang ia hirup seakan-akan terjebak di kemacetan panjang, sukar berkutik dan lambat lajunya.
Dian menatap miris. Walau sudah mengantongi izin dari dr. Vivi, hatinya tetap tidak tenang. Terlebih, hanya sehari semalam adiknya mendapat asupan istirahat yang benar.
"Yakin, Nda?"
"Iya, Mas."
"Bener?" tanya Dian lagi.
Nanda terdiam. Toh, jawabannya juga sama saja.
"Kalau ada apa-apa hubungi Mas, ya. Jangan diem-diem."
"Iya."
Percakapan itu lantas dientrupsi bunyi ketukan pintu. Kamar yang memang setengah terbuka lekas menampakkan sesosok gadis manis berkuncir satu, lengkap dengan pita berwarna biru. Ia tersenyum ke arah kakak adik seraya melambaikan tangan.
"Selamat pagi!"
"Olin?"
Ada perihal apa gadis ini pagi-pagi kemari? batin Nanda.
"Mas harus buru-buru ke Bekasi sekarang. Jadi, tadi Mas nge-chat Dek Olin aja buat nebengin kamu."
Nanda mengerutkan kening saat Dian berujar demikian. Tampangnya linglung saat kakaknya meraih tas ransel yang tersimpan di bawah ranjang kasur. Lelaki itu mengusap rambut Nanda lembut, lalu mencium kening adiknya. Mata Caroline hampir melompat saat melihat hal tersebut.
"Mas berangkat dulu."
Kini mata Nanda tak lepas dari Dian yang berjalan mendekati telinga Caroline, lalu berbisik. Entah apa yang diucapkan kakaknya itu sampai Caroline senyam-senyum dengan pipi yang merona.
Tanpa pamit dan salam lagi, Dian melenggang keluar ruangan begitu saja. Nanda pun mendengkus. Kepalan tangannya memukul kasur empuk beberapa kali, sedangkan Caroline masih diam di tempat. Gadis itu menelan ludah kasar yang ia tahan sejak tadi. Hari masih pagi, tetapi aura Nanda sudah berkobar-kobar. Salah gerak sedikit, ia bisa kena damprat.
"Lo ngapain masih di sini?"
Caroline celingukan, menoleh ke kiri dan kanannya. "Gue?"
"Kucing."
"Oo …."
"Ya lo, lah!"
Caroline cukup tersentak sampai mundur beberapa langkah. "Sori, gu-gue cuma niat bantu Mas Dian doang."
"Dari mana?" tanya Nanda.
"Hah?"
"Dari mana Mas Dian dapet nomer lo?"
Caroline menggeleng. "Gue nggak tau."
"Nggak usah bohong, deh."
"Gue beneran nggak tau. Dia tiba-tiba nge-chat."
Kesal, Nanda meraih tasnya dan enyah dari kamar. Namun, tepat di ambang pintu, Caroline menahan dan memegang erat tangannya. Tidak main-main, Nanda melempar tatapan tajam, seakan-akan mengatakan agar gadis itu segera melepaskannya.
"Wuih," Caroline berkedip konstan, "lo marah aja ganteng, ya," gumamnya.
"Lepas, Lin."
"Daripada dilepas, mending digandeng. Ke parkiran, kan? Boleh?"
Nanda menepuk jidat. Binar mata Caroline saat meminta izin mengingatkannya pada diri sendiri di masa lalu. Ia pun mengambil alih genggaman gadis itu dan membiarkannya sedikit mencubit bagian pinggang kemeja.
"Nggak digandeng, gini aja."
"Oke."
Caroline melompat kegirangan saat ia berjalan lebih dulu menuju tempat parkir. Alih-alih ribet berdebat, Nanda mengikuti rencana Dian dan berangkat ke kampus bersama gadis itu.
Sesampainya di tempat OSPEK, ia dan Caroline pun berpisah. Mau bagaimana lagi? Ikut atau tidak ikut, masuk atau tidak masuk, izin atau tidak izin, Nanda sama sekali tak diperbolehkan mengikuti kegiatan apa pun. Ia hanya duduk cantik, berteduh di posko panitia dan mengawasi kawan-kawannya.
Kini tampak masing-masing kelompok tengah beradu yel-yel. Setelah empat jam mendapatkan materi di dalam ruangan, mereka dimanjakan dengan panasnya langit di atas kepala. Kerongkongan yang tidak basah sedikit pun dipaksa berteriak sekencang mungkin.
Siapa yang paling kreatif akan mendapat poin tambahannya. Entahlah, Nanda sendiri tidak paham atas fungsi itu semua. Seingatnya, para senior telah menjelaskan secara gamblang. Hanya saja, otak Nanda memilih untuk tak menyimpannya.
"Mau?"
Sontak lelaki itu terperanjat dari lamunan. Ia lekas mendongak, menatap salah satu seniornya yang menawarkan air mineral. Nanda pun mengangguk. Kapan lagi datang rezeki? Ia memang tengah haus dan bekalnya sudah habis.
"Makasih, Kak."
Lelaki berambut sedikit gondrong itu duduk di sebelah Nanda. Fokusnya lurus ke depan, menikmati pemandangan yang memanggil kenangan saat masa mahasiswa baru. Sesekali ia tersenyum melihat tingkah mereka yang mau saja menuruti perintah-perintah konyol.
"Kalau masih sakit, harusnya izin aja," ucapnya setelah menenggak minuman.
Nanda pun menoleh. Senior yang sejak beberapa hari lalu berteriak bak pendemo anarkis itu mengajaknya berbicara. Matanya berkedip bingung, apa laki-laki ini baru saja mendapat ilham? pikirnya.
"Udah nggak pa-pa kok, Kak. Kemarin Kak Fazran bilang di grup kalau hari ini ada pembekalan buat acara Chromium."
"Emang lo yakin mau ikut Chromium?"
Nanda mengangguk ragu.
"Kuat?"
Kemudian menelan ludah. "Insya Allah."
Kakak tingkat itu mengiakan tanpa berkata lagi. Nanda pun berubah canggung dan mengalihkan pandangan. Kedua pertanyaan tadi cukup meremehkan dirinya.
"Ngomong-ngomong, nama lo Nanda, kan? Gue Bas. Baskoro Winongo."
Nanda kembali berkedip berkali-kali. Tentu ia sudah tahu nama senior yang menjadi koordinator lapangan ini. Bahkan, ia telah memiliki tanda tangannya sejak selumbari. Namun, dari mana Bas tahu nama Nanda? Ia belum berkenalan dengan siapa pun sejak masuk posko, plus mahasiswa baru tidaklah sedikit.
"Kakak kenal saya?"
Bukannya menjawab, Bas malah tertawa. Ia menggeleng seolah-olah mengejek ketidaktahuan Nanda. Sepolos itukah dia?
"Maaf, Kak, lucunya di mana, ya?"
"Hm," Bas berdiri dan menepuk pundak Nanda, "kalau mau tau, coba tanya ke temen-temen kelompok lo. Lo cukup terkenal di sini. Hampir semua panitia kenal siapa itu 'Nanda'."
Kalimat yang menutup percakapan singkat itu tidak diakhiri dengan salam dan jawaban yang benar. Namun, Nanda yang semula deg-degan berubah santai saat memikirkan berbagai alasan. Mungkin, mereka penasaran setelah hari pertama ia masuk klinik. Memalukan memang, tetapi bisa jadi, bukan?
Nanda refleks mendengkus saat memikirkannya. Bodo amat, lebih baik kembali menatap sosok yang melambaikan tangan padanya dengan wajah semringah. Tanpa disadari, ia pun ikut tersenyum.
Dasar, Olin!
Setelah OSPEK hari ini ditutup, Caroline dan Nanda pulang ke indekos masing-masing. Tidak ada acara antar-jemput layaknya yang dibayangkan tadi pagi. Gadis yang hanya bisa menuruti permintaan Nanda itu pun pasrah.
Caroline memijat kakinya pelan. Tadi, ia terpaksa berjalan dari bengkel karena ban belakang motornya tiba-tiba bocor.
"Hah …."
Gadis itu melempar tubuhnya ke kasur, yang kerasnya tidak jauh beda dari hati Nanda. Sudah pasti ibu indekos lupa menjemur benda itu sebelum ia tempati. Ingin rasanya Caroline mengumpat, tetapi apa boleh buat. Meminta ini dan itu hanya akan menaikkan tarif sewa per bulan.
Sebenarnya, bisa saja Caroline melakukan hal itu sendiri. Namun, ia terlalu mencintai dirinya dengan tidak mau bergulat dengan besarnya kasur, menaiki tangga, hingga capai dan berkeringat. Cukup nikmati saja apa yang ada.
Enak-enak bersantai, bunyi notifikasi yang bertubi-tubi cukup mengusik Caroline. Gadis itu beralih tengkurap dan mengecek siapa gerangan pelakunya. Syukur-syukur kalau spam manja itu berasal dari laki-laki ganteng yang ia bonceng pagi ini. Sayangnya, bukan.
Dari Bena:
Olin!
Masih idup gak lo?
Yang abis ngebonceng masih napas, gak?
Heh!
Caroline berdecak malas. Sahabatnya itu memang tidak bisa absen dari dunia pergosipan, khususnya masalah hubungan asmara.
Alih-alih menjawab, Caroline hanya mengirim stiker yang ia buat sendiri setelah meng-screenshot Instastory Nanda beberapa waktu lalu.
Dari Bena:
Heh! Nemu di mana?
Nyolong ya lo?
Dasar psikopat tingkat Hades.
Bucin!
Dari Bena:
Sumpah, lo stalking sampek segininya?
Parah -_-
Caroline tak lagi menanggapi. Ia hanya tertawa melihat pesan berisi sumpah serapah itu. Lagi pula, ia sudah memasang tameng bodo amat sejak berabad-abad lamanya. Hal-hal yang menjatuhkannya tidak semudah itu termakan mentah-mentah.
Dari Bena:
Btw, gue tadi liat si Nanda di depan mart.
Kayaknya, dia lagi ada masalah, deh.
Setelah Bena mengirim pesan demikian, Caroline sontak duduk dan menatap ponsel lekat-lekat. Ia buru-buru membalas dan menanyakan ada apa, yang tentu saja sahabatnya itu tak tahu menahu.
Dari Bena:
Gue tadi sempet paparaziin.
Keren, ya, kamera gue?
Di-zoom sejauh itu kagak pecah 555
Kok, keknya sedih banget, ya.
Hati Caroline luruh. Matanya fokus pada foto yang sudah berhasil ia unduh. Bahkan, ia refleks membuka dan memperbesarnya sedekat mungkin sampai memperlihatkan raut Nanda yang sedang menangis saat berbincang melalui telepon. Ia dapat jelas melihat kepedihan laki-laki itu hanya melalui gambar.
Lo kenapa?
Olin's note:
Arai: apa
555: hahaha
🎬
Btw, ternyata cerita ini ditulis sebelum series ini tayang. Oh my God 😂
(Even di drama lu juga kerdus, Nda. Dasar si barekokok)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro