Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1 • udah ganteng, sakit lagi

Bubur ayam yang tak berdosa harus menjadi pelampiasan kebingungan Bena. Gadis itu terus mengaduk dan menghancurkan tatanan super-estetik yang diracik mamang gerobak, sebab tidak tahan dengan raut wajah Caroline, sahabatnya. Ia lantas menggeleng dan mendengkus saat muka masam yang menekuk itu makin menjadi-jadi. Rambut acak-acakan plus baju kusut layaknya tak tersentuh setrika panas membuatnya mengerutkan kening. Embusan napas panjang pun lolos begitu saja dari mulutnya.

"Lo kenapa lagi, Lin?"

Sang empunya nama itu menggebrak meja dan menatap sinis. "Nggak usah nanya!"

"Elah, si Bambang malah nyolot. Begadang lagi? Bukannya tugas udah kelar? Kenapa? Nonton?"

Caroline lekas mengangguk. Matanya masih panas dan meraung-raung meminta ditidurkan. Kalau saja bunyi alarm tidak datang dari ponselnya, ia sudah membanting benda itu karena seenaknya mengusik lelap yang baru beberapa jam dinikmati. Tubuhnya lelah akibat seharian berbaring di depan laptop.

"Siapa lagi mangsa lo? Sakit apa? Kanker? Jantung? Tumor? Gagal ginjal? Asma?" absen Bena satu per satu. "Mati, nggak?"

Caroline mendengkus. Kepalanya menggeleng lemah dan matanya mulai berkaca-kaca. Kedua pertanyaan itu cukup memanggil rasa kecewa yang sudah berhasil ia lupakan barang sejenak.

"Gue nunggu setahun lebih. Harusnya film ini tayang tahun lalu, tapi ditunda sampai tahun ini. Giliran tayang, nggak memuaskan! Huhu! Sia-sia penantian gue!"

Caroline berteriak dan menenggelamkan wajahnya pada tote bag yang bertuliskan 'glory-glory communication'. Sungguh, Bena ingin tertawa sekencang-kencangnya. Namun, ia berusaha menahan sekuat tenaga karena temperamen gadis mungil di depannya itu selalu di atas rata-rata kalau sudah seperti ini.

"Masak kesiksanya cuma gemetar doang. Mana cuma sepuluh detik lagi. Apa-apaan! Padahal, Abang Jae udah ganteng banget. Mukanya juga siksa-able. Ampun banget, lah, script-nya. Mending gue yang bikin." Caroline tidak berhenti mengumpat. Aksi begadangnya tak lain dan tak bukan hanya untuk menonton film.

"Dasar psikopat! Kayak nggak ada tontonan lain aja. Heran gue," ujar Bena.

Caroline mengerucutkan bibir saat sebutan itu kembali terucap. Entah sudah berapa kali ia mendapat olokan tersebut dari orang lain.

"Ih! Lo, tuh, nggak tau sensasinya, Na. Lihat cowok kesiksa gini, tuh, asyik. Kayak ada kupu-kupu beterbangan gitu di perut. Rame, lah, pokoknya."

Bena terlampau bosan untuk menanggapi Caroline. Ia sudah terbiasa mendengar alasan tentang keanehan seleranya itu. Ia hanya memutar bola mata malasnya dan mengangkat bahu sebagai respons. 'Amit-amit, semoga tidak tertular' terus bermunculan dalam lantunan doanya.

Caroline bukan gadis yang aneh. Wajah Asia-nya tidak membosankan, meski tingginya sungguh minimalis. Proporsi tubuhnya mungil dengan kulit lumayan putih--cenderung kuning. Rambut panjangnya halus dan lurus. Mata sipitnya pun menarik. Walau masih berstatus mahasiswa baru, banyak senior di kepanitiaan OSPEK yang mulai mendekatinya. Semua terlihat normal, selain seleranya dalam memilih tontonan.

Entah sejak kapan Caroline kecanduan tokoh fiksi, tepatnya pemeran utama laki-laki yang memiliki suatu penyakit. Terlebih saat keadaannya sudah sekarat, gadis 18 tahun itu akan sangat bahagia. Tidak ada yang bisa menahannya melakukan maraton saat cerita terkait menyiksa tokoh di sepanjang scene.

Tentu saja, cita-cita Caroline adalah membuat film tentang laki-laki penyakitan sebanyak mungkin. Ia bahkan mulai menulis skenario dengan tokoh utama sesuai yang ia inginkan. Ia kerap memakai seluk-beluk medis nan rumit dalam tulisannya. Perpaduan antara laki-laki, penyakit dan kematian? Lengkap sudah hidup Caroline.

Lamunan gadis itu berhenti saat ponsel di dalam tas terus bergetar. Ia buru-buru mengambilnya, sebab nada dering yang terdengar sangatlah spesial. Bena yang masih mengunyah bubur lekas menatap sahabatnya yang tampak kelimpungan.

"Apa lagi sekarang?"

"Biasa, si Pak Bos."

Caroline menyisir rambut sebelum mengucirnya tinggi-tinggi. Bedak dan pewarna bibir yang semula tak tersentuh pun lekas diraihnya. Ia memantaskan diri sebelum berswafoto dan mengirim hasilnya pada Ramsi, pacar sekaligus tokoh utama pertama yang ia miliki.

"Pap ke pacar, cek!" seru Diah dengan nada mengejek.

"Apaan, sih, Na."

Bena mengangkat alis lalu menopang dagu. "Nggak ada."

Caroline berdecak, kembali fokus pada rentetan pesan yang membuatnya kembali meraih sisir dan kaca lipat. Ia lantas melepaskan ikat rambut merah muda dan menyimpannya ke dalam pouch make up.

"Kurang apa?" Bena penasaran.

"Nggak cocok, diurai aja katanya."

"Dasar budak cinta!"

Caroline tak mau ambil pusing. Ia hanya menjulurkan lidah pada sahabat karibnya dan menuruti apa yang Ramsi mau. Ia sudah terbiasa dengan tatanan yang menemaninya sedari SMA. Lelaki itu sudah sering menyarankan segala hal--atau lebih tepatnya mengatur--dirinya, seperti busana, riasan, makanan, tempat kencan, apa pun.

Setelah selesai meralat penampilannya dan menunjukkan (lagi) pada Ramsi, Caroline membuka salah satu OTT dan menonton series sicklit terbaru dari Taiwan. Ia sudah menyimpannya dari minggu lalu, sebelum diresmikan tayang hari ini. Ia tak berhenti cengar-cengir melihat opening yang memanjakan mata hingga pipi ikut-ikutan merona. Kupu-kupu di dalam perut Caroline juga turut berulah. Indah sekali.

"Cepat baris!"

Kenikmatan itu terusik ketika suara lantang megafon muncul dari lapangan. Kedua gadis itu terperanjat dan segera berlari, membaur ke pleton masing-masing. Caroline dan Bena lantas berpisah karena mengambil jurusan yang berbeda--masih di fakultas yang sama. Caroline di ilmu komunikasi, sedangkan Bena di hubungan internasional.

"Duluan, Beb!"

Caroline mengangguk. Posisi jurusannya jauh dari kantin. Ia terus berlari tunggang langgang dan berakhir berdiri di barisan paling belakang. Hampir saja ia dihukum.

Sekitar lima belas orang berbanjar menghadap matahari. Tidak sedikit dari mereka yang mengangkat tangan dan menutupi wajahnya dari sengatan siang hari. Beruntunglah Caroline terlahir dengan tinggi di bawah standar. Terlebih lagi, kini orang di depannya memiliki kaki yang sangat jenjang.

Adem, batin Caroline dengan senang.

Cuaca Jakarta tidak pernah bersahabat. Bau lapangan yang beradu dengan debu matahari membuat siapa pun merasa tidak nyaman. Sikap patuh yang ditunjukkan para mahasiswa pada menit-menit awal berubah dengan aksi mengipasi diri sendiri, menekuk lutut, dan menggerutu tanpa henti. Sungguh panas!

"Eh, eh!"

Tiada angin, tiada hujan, tiba-tiba 'tiang' pelindungnya hendak limbung ke samping. Tangan Caroline dengan cepat langsung menahannya. Ia lekas menepuk pundak lelaki tersebut dan menanyakan keadaannya. Rekan kelompoknya itu hanya mengangguk dan memalingkan wajah.

"Lo beneran nggak apa-apa? Mundur aja kalau nggak kuat. Ada anak KSR-PMI di belakang."

Laki-laki itu tetap menggeleng beberapa kali. Cukup keras kepala juga rupanya, pikir Caroline. Ia pun mengangkat bahu, lalu kembali memperhatikan pidato gubernur mahasiswa yang entah sedang membahas apa.

"Eh, eehh!"

Sosok di depannya kembali limbung. Kali ini ia benar-benar menubruk tubuh Caroline hingga ikut jatuh terduduk. Tangan ramping yang berjaga pada punggung lelaki itu tak cukup kuat dan mereka berakhir membentur lapangan.

"Ish! Woy! Kampret, lo berat!" Caroline merintih, sedangkan lelaki yang menimpanya sudah tak sadarkan diri.

Sontak mahasiswa di kiri-kanannya berkerumun. Ada juga yang buru-buru memanggil petugas medis di belakang barisan. Caroline hanya mengaduh dan mengumpat dalam hati karena kaki dan telapak tangannya terasa nyeri tak karuan. Namun, fokusnya teralih saat pahanya mulai bergetar. Rupanya kepala yang bersandar di sana sedikit bergerak.

"Udah sadar? Lo nggak apa-apa?"

Penasaran, Caroline terus menatap lelaki yang masih memejamkan mata di pangkuannya itu. Ia tertarik dengan ruam kemerahan yang melintang di daerah pipi dan bawah mata. Agak mengerikan. Bibirnya tampak kering dan pucat. Keringat dingin juga ada di mana-mana. Tanpa sadar, Caroline tersenyum manis dan hatinya menghangat.

Udah ganteng, sakit lagi. Beuh, paket lengkap.

Olin's note:
OTT (over the top): layanan dengan konten berupa data, informasi atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet; istilah yang dipakai untuk aplikasi streaming
Sicklit (sick literature): subgenre yang berfokus pada kisah tokoh yang menderita penyakit tertentu

🎬

Aaa, ketemu lagi. Kangen banget! 😚

Kalian apa kabar?
Lagi nonton apa, nih?

Kalau emaknya Olin baru selesai maraton Drama China The Girl Who Sees Smells (beda sm yg Korea). Ceritanya si cowok punya kelainan genetik jadi lebih muda gitu, dan jantungnya bermasalah. Udah ada yg nonton juga? Share, yuk!

Oiya, jangan lupa follow akun Instagram @pena.rien ya, soalnya setiap Kamis dan Sabtu bakal ada sesuatu yg ulala. See you 😚

(New Caroline, here)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro