Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

video7. di pinggir lintasan lari, saat dia berjalan melewati selasar

Aku sudah sangat gatal ingin menanyakan ini.

"Kalau Nagare-kun juga tinggal di daerah lingkungan kita, kenapa dia tidak menaiki bus ke sekolah?"

"Bukannya tadi kau memanggilnya 'Ryou-kun'?"

Sebab sedang malas memaki-maki atau pun melakukan kekerasan, kulayangkan tatapan tajam saja padanya. "Kau harus mengerti tidak setiap saat orang lain mampu meladeni omongan menyebalkanmu itu. Kau bisa dijauhi, lho."

"Tapi kupikir kau bisa."

"Bisa apa?"

"Meladeniku."

Aku menarik napas dan mengembuskannya. Begitulah caraku kini mengontrol emosi yang selalu datang karena orang yang sama.

"Laki-laki tanpa ekspresi sepertimu tidak akan mengerti dengan yang namanya suka terhadap lawan jenis," aku menyerang titik terlemahnya.

Terbukti Miguno-kun tidak membalas lagi.

Skornya sebelas dan satu. Aku masih kalah jauh.

"Pernah kecelakaan saat kelas 2 SMP."

Astaga, jantungku.

"Siapa yang kecelakaan?"

"Ryou."

Sistem kerja berpikirku terhenti.

Miguno-kun berdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Pergi bersama ibunya, dan ibunya meninggal di tempat. Ryou sendiri mengalami luka parah di mental dan traumanya."

Aku menggeser dudukku ke dekat jendela. Tiba-tiba udara di dalam bus terasa lebih dingin.

"Sejak itu aku jadi naik bus sendirian. Awal-awal masa itu pun dia sering terlambat masuk sekolah karena menaiki sepeda ke stasiun, berpindah dengan kereta, dan masih harus berjalan lagi sampai ke sekolah. Aku berhasil mengalahkannya dalam pelajaran. Tapi jika begitu keadaannya, aku harap aku tidak pernah menang dari Ryou. Aku tidak hebat hanya karena sainganku menurunkan sendiri kemampuannya karena suatu hal. Dan jika kecelakaan itu tidak terjadi, serta ibunya tidak meninggal, sudah pasti Ryou yang naik ke podium di upacara pembukaan kemarin."

"Cukup."

Dadaku akan semakin terasa sakit jika terus mendengarnya lebih jauh. Dan aku akan membenci diriku sendiri karena selama bertahun-tahun membenci laki-laki yang tidak kuketahui keseluruhan sisinya.

Aku merasa sangat kurang ajar.

Tapi bukankah kesalahan itu dia buat sebelum....

Aku harus menentukan bagaimana sikapku nanti padanya.

"Tolong rahasiakan."

Kepalaku yang terkulai ke sisi bus segera berputar ke arahnya. Sama seperti cerita yang baru saja dia ungkapkan, suara dan wajahnya pun menjadi dingin.

"Tidak ada seorang pun yang tahu soal ini. Aku memberitahumu sebab kupikir nanti kalian akan banyak menghabiskan waktu bersama. Jangan kasihani Ryou. Dia aslinya pemarah."

Tenggorokanku tersekat. Ingatanku langsung mundur pada kejadian tiga tahun lalu di mana untuk pertama kalinya aku melihat sisinya yang lain di depan seluruh murid. Sialnya sisi yang itu dia menargetkannya padaku. Menimbulkan rasa benci yang masih mengakar kuat di diri ini.

Kalau benci, kenapa kau senang duduk berhadapan dengan Ryou-kun di ruang klub tadi? Kenapa kau senang bisa melihat wajahnya lagi setelah tiga tahun?

Kenapa kau senang mengetahui Ryou-kun ternyata memang tinggal satu wilayah denganmu?

"Miguno-kun."

Tidak terdengar balasan.

"Kenapa wajahmu pucat dan berkeringat setelah upacara pembukaan beberapa hari lalu?"

Jika obrolan di lapangan basket itu mimpi, jawaban yang dia berikan akan berbeda.

"Apa kau tidak terbiasa—"

"Aku merasa tidak pantas berada di posisi itu. Itu meruntuhkan kepercayaan diriku, Serizawa-san."

Kutepuk pundaknya satu kali. "Yang aku dan semua murid baru di aula tahu, yang mendapat posisi itu kau, Miguno Kai-kun."

Miguno-kun menghindari pandangku. "Tidak perlu menyemangati."

Baiklah. Dugaanku benar, kan?

Itu memang mimpi.

.

Dua belas jam kemudian, di bus yang sama, di dua tempat duduk yang berbeda, aku dan Miguno-kun kembali bersikap saling asing. Ketika berangkat kami memang seringnya berpisah tempat duduk. Tetapi pulangnya hampir selalu bersama-sama.

Kukeluarkan headphone berwarna putih dari tas, memakainya, menyetel lagu, kemudian beralih tatap ke luar jendela.

Perjalanan bus pagi itu terasa lebih panjang dibanding biasanya.

Jumlah anggota klub atletik jauh lebih banyak dibanding klub videografi. Untuk kelas satunya, kuperkirakan ada sekitar dua puluh kepala laki-laki dan perempuan yang duduk menghadap pelatih klub. Sementara anak kelas dua dan tiganya sudah melakukan pemanasan.

"Saya tidak tahu apa motivasi kalian semua bergabung dengan klub ini. Yang ingin saya tegaskan adalah apa pun keinginan dalam hati kalian untuk berlari dan terus berlari, ingatlah kalian tidak berlari sendirian. Semua manusia di dunia ini berlari di lintasan dan tujuannya sendiri-sendiri. Tetapi dalam setiap perlombaan atletik digelar, lintasan dan tujuan kalian sama. Kau harus berlari lebih kencang dibanding lawan-lawanmu. Ada sesuatu yang harus kau kalahkan untuk mencapai tujuan yang kau inginkan."

Semua anggota baru mendengarkan dengan saksama.

"Tetapi untuk bisa mengalahkan lawan, ada satu hal lagi yang harus kau kalahkan terlebih dahulu."

Aku menahan napas.

"Dirimu sendiri."

Para anggota baru berbarengan mengeluarkan napas.

"Kau harus mengalahkan dirimu sendiri. Dirimu di hari kemarin. Rekormu hari kemarin. Setiap harinya kau harus berlari lebih kencang atau minimal mempertahankan laju larimu. Tetapi dalam olahraga atletik terkhusus perlombaan lari, nol koma satu detik yang tidak kau capai dengan lebih cepat, akan berpengaruh besar pada reputasimu sebagai pelari. Waktu adalah segalanya untuk para pelari memenangkan setiap perlombaan."

Belum dimulai saja aku sudah merasa capek duluan. Kuduga pelatih klub ini tidak akan memaafkan mereka yang malas-malasan berlatih.

Lalu aku sendiri, apa tujuanku bergabung dengan klub atletik?

Ketika SMP aku sama sekali tidak terpikir akan menjadi bagian dari mereka yang menggemari atau andal dalam olahraga. Aku bukan orang yang selalu malas bergerak. Tetapi aku pun tidak sesering itu sengaja menggerakkan tubuh untuk mendapat tujuan kesehatan atau bentuk badan yang diinginkan.

Biasa saja. Aku tidak punya ambisi dalam berolahraga.

"Silakan memilih pasangan untuk melakukan pemanasan."

Kami semua berdiri. Aku melihat sekelilingku penuh dengan obrolan sana-sini seakan mereka telah berteman sebelum hari pendaftaran klub. Kemudian aku menghampiri seorang gadis yang nampak sendirian, tinggi tubuhnya sama denganku.

"Mau berpasangan denganku?" Aku tersenyum padanya.

Dia yang sudah melakukan pemanasan mandiri menoleh. Juga tersenyum. "Ayo."

Aku pun turut melakukan pemanasan seperti yang dia lakukan. "Namamu siapa?"

"Yamane Mikari dari 1-1. Kau?"

"Serizawa Yuna dari 1-6."

"Wah. 1-6."

"Kenapa?" Aku melakukan pergerakan lain.

Yamane-san menatap wajahku. "Murid terbaik angkatan kita bukannya berasal dari sana?"

Ah.

"Kau tahu orangnya, kan?"

"Iya."

Obrolan terhenti.

"Yamane-san dulunya bergabung dengan klub atletik juga?" tanyaku.

Gadis itu mengangguk. Wajahnya selalu kelihatan tersenyum. "Tapi aku tidak terlalu pandai," jawabnya. "Serizawa-san sendiri?"

"Tidak. Baru kali ini saja."

"Kenapa? Apa ada alasan khusus mengapa Serizawa-san bergabung dengan atletik?"

Pertanyaannya serupa dengan yang terus kutanyakan di benakku sedari tadi.

Apa, ya?

Pada saat itu aku melihat Ryou-kun dari kejauhan. Dia berjalan bersama dua temannya melewati selasar lalu memasuki Gedung XYZ, gedung klub.

Mungkin ada hubungannya dengan laki-laki itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro