video4. di lantai ruang kelas baru, aku tak sanggup berkata-kata lagi
"Kau. Bi-bisa ke sini sebentar?"
Kakiku berhenti bergerak di tengah lalu-lalang murid-murid yang baru tiba di lingkungan sekolah. Kedua sisi area setelah gerbang dipenuhi meja-meja pendaftaran klub dan bunga sakura yang masih berguguran.
Aku tidak yakin suara itu ditujukan untukku. Tapi aku tetap membalikkan punggung.
Dua kakak kelas (satu perempuan dan satu laki-laki) berdiri di salah satu meja yang berjejer itu, memang memandang menujuku. Aku tidak tahu itu klub apa, tapi aku pasti ditawari bergabung.
Aku mendekat, berhenti beberapa senti dari meja pendaftaran.
Wajah kedua orang itu tampak tegang, saling melirik dan belum juga bersuara. Aku menunggu.
"Senpai yang bicara."
"Eh?"
"Aku kan sudah memanggilnya tadi."
"Curang."
"Ehh."
Aku melipat tangan, terus memerhatikan ketegangan mereka. Kenapa seakan aku yang kakak kelasnya?
"Aku pergi, ya?"
"Tunggu sebentar." Si laki-laki berdiri. Tangannya dia ulurkan seolah mencegatku. "Kau tertarik menjadi model?"
"Hah?"
"Iya, Zuki-kun tadi bilang kau cantik."
"Senpai!" Oh, laki-laki itu kelas dua. Yang perempuan kelas tiga. "Kenapa dibocorkan, sih?"
"Biar dia berminat."
Klubnya saja aku tak tahu apa. Dan kuperkirakan sih bukan jenis klub yang peminatnya banyak seperti klub berbasis musik atau olahraga.
Berhenti berdebat, aku kembali diperhatikan oleh keduanya. "Bagaimana? Kau mau, ya?" ulang si perempuan.
Tapi omong-omong mereka berdua ini sangat tidak andal sekali mempromosikan klubnya. Bagaimana mungkin si calon anggotanya langsung ditawari mau masuk atau tidak sementara dia tidak diberitahu soal penjelasan klubnya. Dekorasi meja mereka pun benar-benar minimalis.
Kuakui memang lumayan estetis sih; satu buah handycam di sudut depan meja dengan layar terbuka, beberapa lembar polaroid yang sengaja dibuat berantakan di sebelah kirinya, satu buah tablet dan pensilnya, serta satu buah rubik 3×3 berwarna pastel yang seperti baru saja dimainkan oleh si kakak kelas laki-laki.
Memang terlihat kurang niat. Namun desainnya seperti memang seharusnya begitu.
Aku hendak melontarkan pertanyaan menyedihkan. 'Apa ada murid lain yang telah mendaftar?'. Tetapi karena ini hari pertama pendaftaran klub dibuka dan masih pagi sekali, aku pasti murid baru pertama yang mereka tawari dengan susah payah.
"Klub... apa?" Aku mencoba membuat mereka menjelaskan.
"Klub videografi."
Wah.
Tiba-tiba aku menjadi tertarik.
Bahuku yang semula mengarah ke gedung sekolah pun kukembalikan atensinya pada kedua kakak kelas ini.
"Apa aku akan menjadi anggota pertama yang mendaftar?" Aku tidak repot-repot menyembunyikan keberminatanku.
Mereka berdua tersenyum. Yang perempuan segera menyodorkan selembar kertas berisi tabel yang memang benar masih kosong.
"Tentu saja. Kau akan menjadi anggota yang spesial!" serunya.
Aku segera mengisi nama, kelas, dan akun LINE-ku di daftar sana. "Tapi bisa kalian jelaskan lagi mengenai apa maksudnya jadi model?"
"Seperti model video klip," jelas si laki-laki. "Yang mana setiap kita membuat projek, kau yang akan menjadi modelnya. Pemerannya, aktrisnya, tokohnya. Kau adalah pemeran utamanya."
Wah, peningkatan promosi yang lumayan. Walau kata-katanya terkesan dilebihkan dan cenderung omong kosong, tapi aku seperti menerima kejujuran di kedua bola matanya yang menatapku antusias. Penggunaan kata 'kita' pun seolah dia telah mengajakku yang belum mendaftar pun sebagai bagian dari klubnya.
Hal-hal kecil seperti itu, selalu membuat orang lain merasa dihargai.
"Baiklah. Biarkan aku bergabung, Senpai."
Kakak kelas laki-laki mengepalkan tangan. "Aku Kazuki Misaki. Dia Osuka-senpai. Ruang klubnya ada di lantai dua Gedung XYZ. Nomor dua dari ujung kanan tangga, sebelah klub sastra dan klub film. Kau bisa langsung ke sana saat jam pulang nanti."
Mendadak jadi banyak bicara ya, Senpai? Aku membalasnya dengan senyum tipis, sahutan 'siap', dan acungan jempol.
"Oh," Osuka-senpai seperti teringat sesuatu. "Apa kau melihat seorang laki-laki ganteng di angkatanmu?"
"Senpai...." Kazuki-senpai memperingati.
"Kenapa?" Dia menatap adik kelasnya. "Biar ada laki-lakinya jugalah. Kau jangan sirik dong."
"Siapa yang sirik."
Aduh, lucu sekali melihat mereka bertengkar begini. Terima kasih lho atas kesan pertama yang kuakui lumayan menyenangkan juga.
"Bagaimana?" Osuka-senpai kembali padaku. "Kau tahu siapa orangnya?"
Aku malah kepikiran satu nama itu.
Astaga, Yuna. Hentikan!
Menjijikkan.
"Tidak ada, Senpai."
"Bohong."
Aku mohon. Aku sudah muak sekali dikatai berbohong begitu!
Aku menghela napas saja. "Baiklah, Senpai cari saja di kelas 1-6."
Sebenarnya aku belum benar-benar memperhatikan dia. Bisa saja wajah yang dulunya kusuka itu berubah menjadi jelek. Ya, semoga saja.
"Serizawa-san, kau ikut klub apa?"
Saat jam istirahat hampir habis, Miguno-kun bertanya padaku di meja sebelah.
"Klub lari."
"Oh."
"Klub videografi juga."
"Boleh."
"Hah?"
"Aku akan ikut juga."
Aku menolehnya. "Maksudmu apa?"
"Kenapa? Memangnya harus ada alasannya?" Lagi-lagi dia mengatakannya dengan santai.
"Tidak boleh begitu dong," timpalku, tidak terima. "Kalau masuk klub itu jangan ikut-ikutan. Nanti niatmu setengah-setengah dan para kakak kelas pun akan kecewa."
"Tidak, niatku tidak setengah-setengah."
Aku merasa energiku telah berkurang cukup banyak jika berinteraksi dengannya. "Bilang saja kau ini kesepian."
Tapi laki-laki datar satu itu sudah pada dasarnya jarang sekali terlihat kesal. Lain waktu aku ingin mengerjainya.
"Omong-omong," aku membuka obrolan baru. "Benar, cuma kita berdua saja siswa sekolah ini yang tinggal di lingkungan kita?"
Aku sedikit khawatir mendengar jawabannya.
Miguno-kun menimpali tanpa menoleh ke sini, "Bertiga kok."
Suatu palu besar memukul jantungku keras-keras.
"Oi, Kai."
Kualihkan tatap ke samping, sejauh-jauhnya.
"Kau masih main Shooting Zombies?"
"Bukannya sudah tidak tren lagi?"
Tenang, Yuna. Tenang.
"Tanaka-senpai mengajak bertarung."
"Ehh. Merepotkan saja."
Hei, bisa geser sedikit tidak?
"Bagaimana dong?"
"Terserah kau saja, Ryou."
Berisik!
"Yuna."
Aku spontan berdiri ketika kutahu itu suara Ririsa yang memanggil dari pintu belakang kelas. Tapi yang tak kuperhitungkan adalah kondisi kepalaku yang sedang berpikir runyam.
Karena terlalu cepat bergerak, kaki kiriku menginjak kaki kananku, menyebabkanku oleng sebab membentur kaki meja, kemudian menubruk seorang murid laki-laki yang berdiri di antara mejaku dan meja Miguno-kun.
Kejadiannya berlangsung sangat cepat.
Kami berdua terjatuh ke lantai kelas. Dan sempat kudengar suara kepala yang membentur lantai.
Sunyi beberapa saat.
Masih sunyi beberapa saat.
Perlahan aku mencoba bangun. Dan yang langsung menyambutku adalah sesuatu yang sudah tidak aku perhatikan dalam tiga tahun ini.
Aku bertatapan dengan Nagare Ryou dalam jarak dekat.
Pernahkah kau membayangkan laki-laki pertama yang bukan keluargamu yang memelukmu adalah cinta pertamamu?
Aku tidak ingat kapan terakhir debar jantungku bereaksi secepat itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro