Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

video21. di meja makan, obrolan di antara dua piring spageti

Aku sedang memasak spageti untuk satu porsi saat kakakku muncul dari kamarnya lalu duduk di kursi meja makan yang kosong. Ketika dia duduk di situ, dia selalu mengemis makanan kepada siapa pun yang berada di dapur atau sofa.

"Tidak, tidak mau." Aku menolaknya sebelum dia berbicara. Aku curiga jangan-jangan dari pintu kamarnya yang tertutup itu, aroma spageti yang masih kurebus sudah dapat dia cium.

"Ibu belum tahu kau sudah punya pacar?" Terdengar suara dari arah sana.

Aku langsung bisa menebak bagaimana dia akan memerasku. "Belum punya," jawabku.

"Berarti akan?"

"Tidak tahu."

"Lalu yang kemarin."

"Teman sekelas." Yang dimaksudnya adalah Miguno-kun. Kenapa aku selalu merasa jijik jika dipasangkan dengan dia?

Agak lama tidak ada suara. Kemudian, "Setidaknya ada seorang lelaki yang mengajakmu kencan."

"Bukan kencan," aku hampir meninggikan suara. "Berhenti membuat asumsi bodoh hanya untuk mengancamku ke ibu. Apa tidak lebih baik Kakak berbaik hati padaku saja agar aku mau membuatkan spageti untuk Kakak?"

"Ohh." Dia seperti menemukan ide yang selama ini brilian tapi tak pernah dicobanya. "Kau ingin berkonsultasi tentang cinta?"

Saking terkagetnya, aku sampai menjatuhkan sumpit ke dalam panci rebusan. Aku melirik kanan kiri, mencari suatu benda untuk mengambilnya kembali.

"Yuna."

"Sebentar!"

Aku membuka-buka laci untuk menemukan alat penjepit makanan. Sementara riak-riak air dalam panci rebusan serta bunyi mendesis yang mengibaratkan spageti telah lembek bergema-gema di telingaku.

Terpikirkan cara lain, aku meraih alat saringan yang menggantung di dekatku, mematikan kompor, lalu membuang air rebusan beserta spagetinya dan sumpit ke alat saringan yang kupegang dengan tangan kiri di bak cuci piring.

Sumpit kayu yang terjebak di antara helaian spageti amat sangat tidak menggugah seleraku. Kemudian sebuah lampu muncul dari atas kepalaku. Aku melirik ke belakang, ke tempat seorang pemuda kelaparan yang selalu mengandalkan orang lain untuk membuatkannya makanan.

Tapi jika aku memberikannya begitu saja, dia akan curiga. Aku jarang sekali secara sukarela memasakkan makanan untuk Kakak.

Harus konsultasi tentang cinta, ya? Mau tidak mau deh.

Wajah Kak Yuto yang semula mengarah ke layar ponsel seketika berbinar menemukan sepiring spageti saus tomat dan keju parut parmesan yang masih mengepul di hadapannya. Aku duduk di situ, tahu tak akan fokus merebus spageti lainnya jika kepikiran Ryou-kun.

Sebenarnya ini adalah kesempatanku.

Sambil melihati Kakak yang mengaduk-aduk masakan gagalku dengan raut gembira khas anak kecil, aku memulai peruntunganku. "Terserah Kakak mau berpikir ini ceritaku atau bukan. Aku hanya penasaran apa seorang laki-laki akan segitu berjuangnya mendapat maaf dari gadis yang pernah disakitinya? Dalam konteks, mereka bukan sepasang kekasih." Pipiku memanas saat menyebut dua kata terakhir itu.

"Tergantung sifat dia bagaimana," jawab Kakak tanpa kesusahan. "Jika dia memang orang yang tulus dan ramah terhadap siapa pun, dia akan kepikiran jika belum mendapat maaf itu. Tetapi jika dia bukan orang yang seperti itu tapi tetap mendesakmu untuk memaafkannya, dia mungkin sedikit menaruh perhatian padamu."

Me-menaruh perhatian? Tiba-tiba aku teringat perkataan Ryou-kun di depan gerbang rumahku yang berkata dia ingin membuatku suka padanya. Apa itu salah satu cara untukku memaafkannya?

Tidak akan berhasil!

Dan Ryou-kun sendiri bukanlah orang yang ramah terhadap siapa pun dalam pemikiranku. Maksudku, dia tidak gampang akrab dengan siapa saja di kelas. Seringnya dia terlihat bergaul dengan anak-anak lelaki dari kelas lain.

"Apa lagi yang ingin ditanyakan?" Kak Yuto ber-cosplay menjadi kakak laki-laki yang baik.

Ada banyak sekali. "Apa biasanya laki-laki itu peka?"

"Biasanya tidak." Kakak berterus terang. "Bahkan terhadap gadis yang disukainya pun, terkadang dia sendiri tidak sadar perasaannya terbalas."

Tapi perasaanku tidak terbalas. I-iya, kan?

Iyalah. Yuna sungguh-sungguh terlampau percaya diri!

"Bagaimana cara paling mudah membuat mereka senang?" Sesaat pertanyaanku terdengar tidak ada harga dirinya. Tapi bukan berarti aku ingin membuat Ryou-kun senang. Tidak sudi sekali.

Kakakku tertawa enteng. Bahunya menunduk saat melahap spageti menggunakan garpu. "Apa saja. Asal oleh gadis yang dia suka."

Masalahnya aku bukan gadis yang dia suka.

"Kalau oleh gadis yang hanya berteman dengannya, kau harus perhatian padanya secara tersirat."

Aku mengernyit. Paham sekaligus tidak paham.

Kak Yuto menjelaskan setelah melihat ekspresiku selama sedetik. "Anggap saja ada seorang gadis teman sekelasku yang tidak berhubungan dekat denganku. Jika dia memberiku perhatian lebih seperti misalnya mengucapkan selamat pagi setiap hari, aku akan langsung mengiranya menyukaiku. Dan terkadang laki-laki tidak suka saat perempuan terlalu terang-terangan memberi perhatian seperti itu."

Entah memang faktanya begitu atau entah Kakak cuma mengarang saja. Tapi aku memutuskan untuk mendengar lebih jauh.

"Tapi jika perhatian itu dilakukan secara tersirat seperti menanyakan sudah mengerjakan PR atau belum dan dia membantuku menjawab pertanyaan sulit, aku akan lebih merasa dihargai."

Aku mulai memahami maksud pernyataan Kakak.

"Pada intinya sih, kami akan lebih terkesan oleh perlakuan yang membuat kami merasa diperhatikan dan terbantu. Daripada langsung menganggapnya mempunyai perasaan lebih untukku, aku lebih suka jika perasaanku yang timbul duluan di tengah perasaannya yang memang sudah dia punya sebelumnya."

Kepalaku terangguk-angguk tanpa kusadari. Aku pun mengingat-ingat perlakuan apa saja yang telah kulakukan untuk Ryou-kun, apa salah satunya telah menciptakan anggapan untuknya tentang perasaanku yang belum pudar?

Tapi tapi, Miguno-kun bilang Ryou-kun memercayai aktingku yang pura-pura membencinya....

Ryou-kun bodoh.

Lagi pula ini bukan pura-pura. Hanya perasaan benci dan suka yang tercampur-campur hingga membikinku kewalahan.

Piring spageti Kak Yuto telah tandas, menyisakan noda saus di permukaannya. Tapi dia tidak beranjak dari situ, bermain ponsel dengan lebih fokus.

"Kau tidak membuat spageti?"

Pertanyaan Kakak keluar berbarengan dengan perutku yang berbunyi. Aku tidak bisa berbohong jika mengaku sudah tidak lapar.

Maka dari itu sembari masih memikirkan kata-kata yang kudengar tadi dari Kakak, aku merebus spageti lagi untukku. Setelah jadi, aku memakannya di kursiku semula. Kakak pun masih duduk di sana.

"Tapi jika kau ingin melakukannya secara agresif, tidak apa-apa kok, Yuna." Dia sengaja sekali menungguku melahap makananku untuk mengatakannya agar aku tersedak. Dia kembali menjadi kakak laki-laki yang kurang ajar.

Aku meraih gelas berisi air putih yang telah kusiapkan sebelumnya dan meneguknya sampai habis. Lalu kubanting gelas itu ke meja sebagai peringatan kekesalanku.

"Aku tidak agresif."

"Bohong."

Menyukai Ryou-kun selama enam tahun di masa sekolah dasarku, hubungan kami tidak maju-maju tuh. Karena apa? Karena tidak sekali pun aku mengambil tindakan apa-apa!

Bagaimana mungkin itu dikatakan agresif?

Lalu setelah pertemuan kembali kami pun setelah tiga tahun aku memendam rasa benci untuknya, aku hanya menunjukkan perasaan itu secara hampir membabi-buta. Bagaimana mungkin itu dikatakan agresif!

"Kau dekat dengannya, kan? Maksudku kalian tinggal di suatu lingkup ruang yang kecil dan mau tidak mau sering ke mana-mana bersama?"

Kok dia tahu.

Kak Yuto memandangku dari sana dengan berdecak dan menggeleng-geleng seperti tidak habis pikir. "Payah sekali."

"Apanya yang payah?"

"Tidak membuat kemajuan."

Tadi katanya agresif!

"Buat dia merasa diperhatikan, Yuna," Kak Yuto kembali menekuri layar ponselnya. "Tanpa membuat harga dirimu terluka."

"Kakak bilang aku tidak boleh berpacaran saat SMA?" Aku menyerang dengan inkonsistensi sikapnya terkait masalah percintaanku.

Namun Kak Yuto tetap percaya diri menjawab. "Segimana pun aku memberimu petuah cinta, atau segimana pun aku menjauhkanmu dari seluruh lelaki di dunia, pada akhirnya keputusan terakhir tetap ada di tanganmu, Yuna. Ini hanya imbalan spageti."

Ha, sungguh kata-kata yang sangat bijaksana. Aku akan menjadikannya motto hidupku.

"Simpan saja piringnya di situ. Aku yang akan mencucinya nanti."

Aku berdiri dengan sorot bingung. Tapi aku tidak mempertanyakan lebih jauh sebab terkadang Kak Yuto memang bisa bersikap seperti seorang kakak.

"Tapi jangan terlalu terpatok pada ucapanku." Kakak bicara lagi. "Teori hanyalah teori. Dan ada banyak faktor lain yang bisa menjadi pembeda. Manusia itu sangatlah kompleks, Yuna."

Iya.

Salah satu contohnya adalah adikmu ini, Kak.

Bahkan dia tidak menyadari masakan yang baru saja dia buat adalah menu yang dipesan lelaki yang disukainya ketika mereka bertandang ke restoran keluarga akhir minggu lalu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro