video20. di bawah jendela paling belakang, kau mengucapkan maaf padaku
Kegiatan klub videografi lainnya; memfoto suatu objek menggunakan ponsel, lalu mengirimnya bersama ke grup. Atau mengambil beberapa gambar acak jika tak tahu mau menentukan objek apa, lalu mengirimkan hasil terbaiknya ke grup juga. Atau bisa juga foto blur jika ingin menghasilkan foto yang mengandung estetika.
Para senpai dan Miguno-kun telah meninggalkan kursinya masing-masing, membiarkan pintu klub terbuka untukku dan Ryou-kun lewati beberapa saat lagi.
Objek apa yang akan kupilih untuk kufoto?
Aku memandangi seorang laki-laki teman sekelasku yang selalu duduk di kursi itu.
"Aku boleh memfotomu?"
Dari ponsel yang dia pegang dengan kedua tangan di atas meja, Ryou-kun mendongak perlahan. Aku tak menunjukkan raut gadis yang sedang jatuh cinta untuk membuatnya mengira aku jatuh cinta padanya.
Aku hanya ingin memfotonya saja. Tidak berarti perasaan benci ini sontak luntur.
"Kenapa?" Dia menahan keterkejutannya.
"Ingin saja."
"Kau kan membenciku."
Lama-lama kebencian itu jadi terasa seperti ledekan, ya. Membuatku agak tidak nyaman.
"Kau sepertinya bangga ya, mengetahui ada seorang gadis yang membencimu?" tuduhku, melakukan perlawanan.
"Tentu saja tidak."
"Lalu kenapa diungkit terus?"
"Karena kau terlalu menunjukkannya."
"Salah?"
"Tidak, itu hakmu." Punggungnya mundur ke sandaran kursi. Menunduk lagi ke arah ponsel.
Aku berdecak dalam hati, menyadari dia selalu meletakkan benda itu saat seseorang mengajaknya bicara. Tapi kenapa terhadapku tidak begitu? Mau mengakhiri obrolan, ya?
Tidak, aku akan terus mengajakmu mengobrol!
Ryou-kun tiba-tiba berdiri. Menatapku tiga detik, kemudian berbalik. Jika mataku tidak mendadak buram, aku sempat melihatnya tersenyum tadi.
"Kejar, kalau bisa."
Angin yang masuk melalui jendela yang terbuka menyertai langkah kakinya meninggalkanku yang terpaku di tempat, menghasilkan keheningan akhir musim semi di ruangan klub yang kosong.
Aku menaruh lengan kanan di permukaan meja, menempelkan telinga kanan ke sana, menatap langit sore di luar.
"Bulannya indah ya, Ryou-kun."
Tapi aku tidak akan mengejarmu.
Tidak akan.
Aku menutup pintu ruang klub, koridor lantai tiga gedung klub yang sepi langsung menyapaku. Seseorang membiarkan kaca jendela seberang ruang klub film terbuka. Membiarkan masuk teriakan-teriakan latihan klub olahraga bergema di sepanjang koridor.
Aku mengambil napas, melangkahkan kaki yang terbungkus uwabaki ke mana pun angin membawaku.
Berjalan-jalan sampai ke gedung kelasku dan tidak menemukan satu pun dari keempat anggota klub videografi, aku bertatap muka dengan Yamane-san tepat setelah aku berbelok dari arah tangga.
"Serizawa-san."
"Hai." Aku tersenyum, maju beberapa langkah hanya untuk menyadari teman di klub atletikku itu sedang bicara berdua dengan seorang laki-laki. Posisinya memunggungiku. "Kau melihat Nagare-kun lewat sini?"
Yamane-san dan Ryou-kun telah bertemu dan mungkin berkenalan saat tempo hari dia menjemput laki-laki itu dari kelasku ke lapangan untuk mengukur waktu kecepatan lari kami.
"Nagare Ryou?" Laki-laki yang berdiri di sisi pintu kelas lain menyahut. Wajahnya langsung menarik perhatianku.
"Iya," jawabku.
Laki-laki itu tersenyum sekaligus menunjukkan raut merasa aneh. Aku tak bisa tak langsung menilainya sebagai orang yang murah senyum. "Benarkah? Dia tidak terlihat seperti orang yang mudah dekat dengan perempuan."
"Tidak, tidak dekat." Aku berupaya tidak menimpali terlalu cepat. "Cuma satu kelas dan satu klub saja."
"Kau kenal dia, Hakkai-kun?"
Apa?????????
Orang ini yang namanya 'Hakkai-kun' itu? Yang menjadi artis idola kelasku?
Hakkai-kun yang menoleh ke Yamane-san membuatnya tak menyadari tatapan terkejutku ke arahnya, sekali lagi kuamati laki-laki itu dan memprosesnya dalam ingatanku.
Lebih ganteng dibanding Ryou-kun.
Pantas teman-teman sekelasku naksir.
Tapi aku masih lebih menyukai dia, yang sebentar lagi fotonya akan tersimpan di galeri ponselku.
"Iya, Nagare temanku di klub sepak bola."
Atas pernyataan yang dilontarkan idola kelasku tersebut, yang pasti baginya itu bukan apa-apa, aku seperti telah mendapat informasi langka yang hanya bagiku saja itu terasa berharga.
Ryou-kun beneran anggota klub sepak bola, ya?
"Aku melihatnya memasuki 1-6," Yamane-san bicara padaku lagi. "Apa kau harus mengejarnya?"
"Tidak kok." Hatiku berubah lega, tidak menyadari sesungguhnya senyum Yamane-san tercipta karena mengetahui arti senyum di bibirku. "Terima kasih. Nanti kita berlari bersama lagi ya, Yamane-san."
Ketika aku menuruni tangga untuk menjauhi ruang kelas 1-6, ponsel di saku seragamku bergetar.
Harusnya aku lebih terkejut lagi dari sekadar menatapi layar ponsel selama tiga menit penuh.
Ryou-kun mengirimiku LINE.
Nagare Ryou
Di kelas
Aku tidak akan mengejarnya.
Kulanjutkan langkah sepatu yang terhenti tepat di pertengahan tangga. Untung saja tak ada murid yang berlari lalu menabrak tubuhku.
Nagare Ryou
Kenapa dibaca saja
Serizawa Yuna
Kau ingin aku tangkap?
Nagare Ryou
Iya
Sinar matahari bulan Mei menyinari bagian depan pintu keluar masuk gedung. Aku tak sempat merasakan hangatnya. Hanya sanggup mendorong satu kali saja sebelum kakiku kembali membawaku menaiki tangga, menuju lantai yang sama dengan pertemuanku dan Yamane-san beberapa saat lalu.
Melewati dan berhenti di pintu kelas yang terbuka, tak ada siapa pun di sana. Cuma bangku-bangku kosong yang telah ditinggalkan penghuninya pulang atau berkeliaran di sekitar sekolah.
Serizawa Yuna
Kau di mana?
Nagare Ryou
Belakang
Putus asaku sirna ketika aku melihatnya di sana. Setelah aku maju ke ujung depan kelas. Punggungnya menempel ke tembok di bawah jendela paling belakang.
Untuk sesaat aku tak memercayai momen ini terjadi.
Langkahku tersihir ke dekatnya, berdiri diam di atasnya dan saling menatap, kemudian punggungku menempel di dinding sebelahnya, menekuk lutut ke perut.
Kami diam. Membiarkan ponsel menyala di samping dan memutar-mutarnya, sama sekali tak beranjak atau memulai sesuatu yang mungkin harus diobrolkan.
Jika aku mengubah posisi duduk, sudah pasti lutut kami akan bersentuhan dan aku tidak ingin itu terjadi.
Apa aku pernah membayangkan di tahun pertama SMA-ku, aku akan duduk berdua di ruang kelas yang kosong dengan anak laki-laki yang telah kucintai selama enam tahun?
"Maaf."
Bukan aku yang memulai.
"Hari itu aku menyakitimu."
Rasa sesak yang teramat perih mendadak menyakiti seluruh poriku.
"Aku tahu, Serizawa-san."
Kepalaku menoleh dengan sendirinya.
"Kau... menyukaiku."
Tidak, itu tidak benar!
"Jawaban atas pertanyaan Kai kemarin adalah aku, kan? Cinta pertamamu. Aku?" Senyum getir menghiasi wajahnya yang tidak ingin aku lihat.
Aku tak mampu mengeluarkan suara.
Lalu dengan cepat dia memutus pandang. "Tapi itu dulu."
Apa?
"Kau membenciku sekarang?"
"Iya."
Aku seperti mendengar suara senyumannya. "Tidak perlu dimaafkan deh."
Memangnya aku mau memaafkannya?
"Biarkan aku berusaha dulu."
"Kalau begitu kumaafkan."
"Tidak, itu tidak tulus."
"Tulus."
"Sama sekali tidak."
"Maka dari itu jangan berusaha." Aku berdiri. "Kau tidak akan pernah bisa mendapatkan apa yang berusaha kau raih."
Sebelum aku merelakan tugasku untuk memfotonya, Ryou-kun menarik pergelangan tanganku sampai aku terjatuh ke pelukannya.
Insiden ketiga!
"Aku akan berusaha, Serizawa-san."
Lima buah foto hasil jepretan ponsel telah terkirim secara serempak di grup LINE klub videografi. Semuanya mengambil objek gedung sekolah, lapangan, bunga, ruang kelas yang kosong, serta seorang murid laki-laki yang tampak belakangnya saja menghadap jendela.
Tanpa kukasih keterangan pun, ketiga orang itu pasti sudah tahu objek fotoku adalah laki-laki yang kusukai sampai saat ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro