Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

video20,5. di pertengahan bulan mei, aku hampir menyatakan perasaanku

Mungkin hanya aku saja yang mengetahui ini, dan ini bukanlah suatu prestasi atau kebanggaan apa-apa. Tapi cuma aku saja murid sekolah kami yang tahu bahwa Osuka-senpai itu berasal dari keluarga kaya.

Sepanjang satu tahun lebih kami saling mengenal, baru di bulan Mei itu aku pergi ke rumahnya. Bukan karena inginku, atau inginnya, ini terjadi secara tidak sengaja.

Aku dan Osuka-senpai berada di ruang klub seperti biasa. Berdua saja sebab hari itu bukan jadwal klub. Ketiga adik kelas kami yang lucu tidak akan masuk ke ruangan ini.

Itu adalah satu-satunya saat-saat terfavoritku di sekolah, berada berdua bersama Osuka-senpai di ruang klub. Meskipun kami hanya berdiam diri saja sambil melakukan kegiatan masing-masing, selagi dirinya tertangkap pandanganku, aku selalu merasa tidak ingin pulang.

"Zuki-kun. Sepertinya akan menyenangkan deh jika kau pergi main ke rumahku."

Tidak ada bunyi kursi atau meja yang tergeser, suara embusan napas, atau posisi tubuh yang berubah. Aku yang duduk di sampingnya seperti mendengar suara yang jatuh dari surga.

Maksudku, itu adalah sebaris kalimat yang tidak mungkin dia layangkan padaku.

Tentu saja aku langsung menghentikan apa pun yang saat itu sedang kukerjakan. Mengalihkan tatap ke ajakan bodoh barusan.

"Hah?" Seingatku aku tidak pernah seterkejut ini sebelumnya.

Osuka-senpai yang melihatku seperti itu sampai ikut terkejut oleh kalimat yang mungkin tanpa sadar diucapkannya barusan. Malah dia yang sekarang berkeringat.

"Apa? Apa tadi aku berkata sesuatu?" Keningnya berkerut gelisah.

Pura-pura tidak mendengar saja gitu, ya? Agar dia tidak perlu menanggung malu.

Aku berdeham, kembali pada pekerjaanku. "Ti-tidak kok."

"Syukurlah," katanya, lega. "Sepertinya aku cuma berkata dalam hati saja."

Tapi kenapa kedengaran ya, Senpai?

Keadaan menjadi normal untuk beberapa lama. Sampai Osuka-senpai berkata begitu lagi.

"Zuki-kun, aku bosan sekali. Aku ingin kita berdua pergi ke suatu tempat selain sekolah. Misalnya rumahku."

"Ayo."

"Apa barusan aku mengatakan sesuatu?"

"Tidak."

"Lalu?"

"Senpai, ayo kita pergi ke suatu tempat berdua. Senpai ingin ke mana?"

"Rumahku."

Pada akhirnya, aku yang mengajaknya.

Sepertinya hanya aku yang bisa mengimbangi rasa gengsinya. Untuk yang satu ini aku merasa bangga.

Tetapi apa yang kusaksikan tiga puluh menit kemudian selanjutnya menjadi alasan baru dan terbesarku mengurungkan niat apa pun yang sempat terlayang di benakku tentang mendekati Osuka-senpai.

Rumah Osuka-senpai sangatlah luas dan bergaya seperti istana kecil yang sering diimajinasikan anak perempuan.

Jumlah pelayannya memang tidak banyak. Tetapi ada.

"Papaku sedang mencari restoran yang menghidangkan pasta alla norma terbaik di Catania, dan mama menghadiri undangan acara fashion show di Lyon. Mereka tidak akan pulang sampai besok. Rumah ini menjadi bertambah luas deh."

Osuka-senpai membicarakan semua itu seakan itu merupakan topik sehari-hari di meja makan keluarganya. Dan meja makan keluarganya memang sebesar yang kau bayangkan.

Jantungku berdebar-debar bukan untuk alasan yang kuharapkan.

Aku ingin segera pergi dari situ.

"Ayo masuk, Zuki-kun."

Tidak mau.

"Maaf mengganggu." Aku melangkahkan kaki di belakangnya tanpa menatap ke sana-sini.

Aku tidak pernah tahu bahwa kakak kelas penyendiri yang kudekati satu tahun lalu nyatanya seorang tuan putri.

Dia memang secantik tuan putri. Tapi maksudku, ah, perasaan ini sulit dijelaskan.

Kenapa Osuka-senpai menyembunyikan identitasnya dari murid-murid sekolah? Apa dia tidak ingin dipandang tinggi atau disegani? Padahal dia bisa saja diantar jemput menggunakan mobil atau memiliki pelayan sebaya.

Aku jadi semakin penasaran, sekaligus takut.

Aku tidak ingin Osuka-senpai terasa jauh dariku hingga sulit kugapai.

Aku sudah memberanikan diri bicara padanya satu tahun lalu, dan menemaninya selama satu tahun.

Apa... aku masih bisa menemaninya? Apa aku masih boleh menemaninya?

"Zuki-kun."

Mataku terkerjap-kerjap.

"Sini."

Osuka-senpai berdiri di dalam kamarnya. Aku berdiri di luar kamarnya.

"Masuk saja. Tidak perlu sungkan. Pintuku telah terbuka olehmu."

Aku tidak boleh berharap apa-apa. Aku tidak boleh berharap apa-apa.

Aku berjalan menujunya. Benar-benar menujunya. Tepat berhenti di depan dirinya.

Pipi Osuka-senpai merona. Sebentar melihatku sebentar menatap ke bawah.

Kakak kelasku ini sungguhan terlihat seperti adik kelas. Wajahnya imut dan tingginya cuma sedadaku saja. Bahkan lebih pendek dari Serizawa-san.

Aku....

"Bisa ambilkan minum, Senpai?"

Mata bulat Osuka-senpai mengembang lucu. "E-eh. Tu-tunggu sebentar."

Jejak langkahnya di lantai marmer lenyap, lambat aku mendudukkan diri di balik meja rendah, menunduk menutupi kepala.

Hampir saja. Hampir saja.

Hampir saja aku memeluknya.

Sial, aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya.

'Pintuku telah terbuka olehmu' itu apa maksudnya, Senpai?

Semoga yang aku pikirkan salah.

Aku masih ingin dibiarkan sendirian. Namun Osuka-senpai telah kembali dengan nampan berisi dua gelas teh dingin. Lagi-lagi pergerakannya tidak aku sadari.

"A-aku tidak biasa menghidangkan minuman untuk siapa pun sebelumnya. Biasanya pelayan yang melakukannya."

"Maafkan aku."

"Tidak, tidak. Untuk Zuki-kun pengecualian."

Lenganku menyingkir dari wajah.

"Sebenarnya aku memang ingin menghidangkannya sendiri, untuk Zuki-kun."

Begitu, ya.

"Walau tadi telah disiapkan pelayan."

Sekarang wajah kita sama-sama memerah kan, Senpai? Kau tidak malu sendirian.

Biarpun sebelumnya aku memintanya mengambilkan minum, tapi gelas berair itu belum juga kusentuh. Osuka-senpai juga, menunduk lagi seperti tidak siap aku berada di sini.

"Boleh aku ke toilet?"

Setelah di toilet, aku menghubungi temanku.

"Kau pernah ke rumah cewek?"

Laki-laki di ujung sana tertawa terbahak-bahak. "Kau diajak siapa, Kazuki?"

"Kakak kelas."

Lalu dia terkejut. "Jangan mengada-ngada. Kau tidak pernah ditaksir cewek."

"Pernah."

Satu kali saat SD, satu kali saat SMP.

"Kau mau petuah yang bijak atau sesat?"

"Sesat."

"Tutup pintunya dan—"

Tidak, yang kututup adalah panggilannya. Aku menghubungi orang yang salah.

Aku memasukkan ponsel kembali ke celana seragam, mengusap-ngusap wajah. Aku melihat pantulan diriku di cermin.

Pertahananku hampir saja goyah.

Lagi pula kenapa dia begitu terbuka padaku?

Senpai lupa ya, aku ini laki-laki?

"Kenapa lama sekali?" Bibirnya cemberut seperti anak kecil yang kesal menunggu ibunya di toilet umum.

"Aku pulang saja."

Lenganku dipegangnya. Matanya menyorot khawatir. "Zuki-kun."

Kalau sudah seperti itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku menghela napas, tersenyum padanya. "Kenapa Senpai merahasiakan semuanya?"

"Aku hanya ingin orang terdekatku saja yang tahu siapa aku sebenarnya."

Tangannya masih memegang pergelanganku.

Dia menahan senyum. "Tapi aku masih Osuka-senpai kok. Osuka-senpai yang Zuki-kun kenal."

"Tidak, ah." Aku bercanda. "Kau tampak sangat berbeda di sini."

"Terserah," jawabnya. "Yang penting hanya kau saja yang tahu."

Kami tersenyum bersama.

Dan aku hampir saja menyatakan perasaanku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro