video17. di bangku-bangku tempat menonton klub sepakbola, minuman rasa lemon
"Astaga, aku sudah muak!"
Kita memang tidak mempunyai hak mengatur-ngatur obrolan orang lain apalagi jika tidak begitu akrab. Tapi sah-sah saja kan jika aku dan Ririsa terus mengeluh mengenai 'Hakkai-kun' 'Hakkai-kun' yang tidak henti-hentinya mereka sebut?
Ini sudah satu minggu, omong-omong. Bahkan aku seperti mendengar namanya juga diucapkan oleh kasir minimarket dan ayahku.
Apa memang laki-laki itu yang terlalu sempurna hingga wajar diagung-agungkan, atau teman-teman sekelasku saja yang berlebihan dan kekurangan hiburan?
"Hari ini ada jadwal klub basket lagi, kan?"
"Ah, iya. Sekarang Selasa."
"Iya kalian harus melihatnya. Dia kelihatan berbeda ketika bermain basket."
"Mau menontonnya tidak, Yuna?"
Dari kertas kosong yang terus kupandangi sedari tadi, aku melototkan mata ke Ririsa yang duduk di depanku. Namun ekspresi wajahnya datar. Tidak seriang empat gadis yang berkumpul di dekat mejaku.
"Kau bersungguh-sungguh?"
"Aku penasaran." Tapi nada suaranya tidak terdengar penasaran. "Lagi pula aku tidak ada kerjaan."
Aku berpikir sesaat. "Boleh-boleh saja."
Tetapi aku maupun Ririsa sepertinya sama-sama melupakan rencana setengah hati itu. Dia sudah pulang duluan dan aku sibuk membaca buku catatanku.
Baru saat aku bosan, berjalan-jalan sendirian mengitari bangunan-bangunan sekolah, aku langsung teringat idola cewek kelasku itu saat melihat pintu aula olahraga yang terbuka. Iseng masuk, kedapatan suara bola basket yang memantul-mantul dan menabrak tiang, hanya satu orang teman sekelasku yang terlihat di area penonton, bermain ponsel dengan bosan.
Begitu melihatku, rautnya berubah senang. "Serizawa-san! Kau penasaran juga, ya." Bibirnya membentuk senyum 'sudah kuduga'.
"Yang lain ke mana?"
Dia menghela napasnya. "Salah informasi. Hakkai-kun ternyata anggota klub sepakbola."
Sekuat tenaga kutahan tawa mengejekku yang nyaris sekali keluar. Gadis itu sudah pasti akan tersinggung.
"Lalu mereka sekarang di lapangan sepak bola?"
Bahunya mengedik. "Aku malas ke sana." Perhatiannya tidak lepas dari layar ponselnya. "Temani aku di sini saja. Aku tidak mau sendirian."
"Maaf." Aku langsung mengacir pergi menuju tempat di mana mungkin gadis-gadis kelasku berada. Mungkin aku memang penasaran, dan tidak ada salahnya memenuhi rasa penasaranku ini.
Lapangan sepak bola sekolahku sangatlah luas. Satu-satunya titik yang bisa dijadikan tempat menyaksikan latihan tanpa khawatir terkena serangan bola mendadak adalah bangku-bangku dan meja di pinggiran.
Tiba di sana, keningku mulai dibasahi keringat. Area lapangan yang lebih banyak diserang terik matahari memang selalu membuat badan lebih cepat lelah meskipun hanya berdiam diri saja. Aku menghampiri teman-temanku yang kutemukan di bangku-bangku itu.
"Yang mana orangnya?"
Temanku yang kuajak bicara terkejut saat melihatku di depannya. Aku duduk di seberangnya, beralih tatap ke anggota klub sepak bola yang sedang berlatih di lapangan.
Alisnya naik sebelah. "Kau tertarik juga?"
"Memangnya kenapa?"
"Terlihat tidak seperti itu."
Apakah penasaran dan tertarik itu adalah hal yang berbeda?
"Yang mana orangnya?" Aku mengedarkan pandang lebih teliti melihati satu per satu para lelaki yang berlari-lari mengejar bola. Jarak yang cukup jauh menyebabkanku agak kesusahan mengenali wajah yang mungkin saja pernah kulihat di suatu tempat.
"Yang tubuhnya paling tinggi. Memakai semacam headband di tangannya."
Selagi dia mengucapkan kalimat itu, aku sudah menemukan satu laki-laki yang memiliki wajah ganteng.
Kok Ryou-kun ada di sana?
"Ketemu?"
"Ketemu."
"Bagaimana menurutmu?"
"Luar biasa."
Ryou-kun mengikuti klub sepak bola?
Gadis di seberangku tertawa. "Betul, kan? Bahkan Serizawa-san saja mengakui."
Salah satu gadis dari kelasku meneriakkan 'Semangat, Hakkai-kun' ke arah lapangan. Tetapi tak ada satu pun dari orang-orang itu yang menoleh. Mungkin teriakkannya kurang keras atau memang sengaja tidak membuatnya keras.
Saat terdengar suara peluit, para laki-laki itu berhenti mengejar bola. Menumpukan tangan ke lutut, memijat-mijat bahu, menjatuhkan diri ke lapangan, berlari untuk mengambil botol minum, serta berjalan ke pinggiran.
Gadis yang barusan bicara denganku segera beralih duduk ke meja yang lebih dekat dengan lapangan. Mungkin Hakkai-kun yang mereka bicarakan adalah salah satu dari yang duduk di pinggir lapangan itu.
Dan salah satu dari yang berlatih sepak bola itu ada yang menghampiri bangku-bangku kami. Lengkap dengan wajahnya yang diselimuti keringat, dan senyumnya yang dia tunjukkan untukku.
"Hai."
Untuk apa dia ke sini!
Aku mengalihkan pandang, tak mau melihatnya dari jarak dekat.
"Bisa belikan aku minum? Nanti uangnya aku ganti dengan traktiran."
"Tidak mau."
"Ayolah."
"Tidak."
"Aku sangat kehausan."
"Bukan urusanku."
"Urusanmu."
Aku menatapnya tak percaya. Sekaligus langsung menyesal karena tampangnya saat ini benar-benar hampir membutakanku.
Aku berpaling lagi. "Tu-tunggu sebentar."
Lemah sekali aku ini.
Ketika beranjak keluar bangku, seketika aku lupa di mana saja letak vending machine di seluruh sudut sekolah ini. Di mana, ya?
Aku berhasil menemukannya setelah seingatku aku telah melewati sisi itu sebanyak dua kali. Aku memilih rasa lemon, acak saja, tidak sempat berpikir apa-apa. Mana mungkin aku bisa berpikir jernih!
Tidak disertai perkataan apa pun, aku menyimpan kaleng dingin itu di antara kami. Ryou-kun duduk di sisi yang sebelumnya ditempati gadis yang mengobrol denganku.
Dia membuka pengait kaleng, meneguk banyak-banyak sampai bunyi tegukannya tertangkap telingaku, lalu meletakkannya lagi di meja. Seluruh tubuhku terasa kaku.
"Kau ikut klub sepak bola?" Aku tak sadar aku menanyakannya.
Oh, Yuna. Kau ini bodoh sekali!
"Ikut tidak, ya."
Ryou-kun malah menjawab bercanda. Aku merasa kesal.
"Gabung di klub videografi saja tidak jelas," serangku.
"Memang."
Astaga.
"Terus kenapa ikut?" Aku terus saja menyuarakan rasa penasaran yang seharusnya tidak boleh Ryou-kun tahu.
"Rahasia."
Dia ini titisannya Miguno-kun, ya? Mereka berdua tampaknya senang sekali membuatku ingin mengamuk.
Selanjutnya aku diam. Tak mau menunjukkam ketertarikan dengan dia yang berada di sini; menghampiri dan mengenaliku dari kejauhan.
Aku memendam debar di dada sementara Ryou-kun juga diam. Kutundukkan kepalaku memerhatikan kakiku yang bergerak gelisah.
"Sana kembali ke lapangan." Aku tidak tahan untuk terus menahannya di sini. Dia harus segera pergi dari dekatku.
Ini terasa berbeda karena dia yang berinisiatif duluan mendekatiku di kawasan sekolah, dan di hadapan teman-teman kelas.
Mereka masih di sana tidak, sih?
Ryou-kun berdiri. Aku melihat kakinya berhenti di depan lutut yang kurapatkan.
"Lain waktu bisa tidak, kalau aku sedang bersamamu, jangan menunduk atau berpaling ke arah lain? Coba sesekali lihat aku, Serizawa-san."
Ng, apa yang dia katakan?
"Maaf, tidak jadi."
Rambutnya berkibar seiring langkahnya menuju teman-temannya.
Aku menyaksikan punggungnya menjauh, berhenti, kemudian menurunkan posisi untuk duduk dan menyelonjorkan kaki.
'Coba sesekali lihat aku?'
Begini lho, Ryou-kun.
Sepanjang aku mengenalmu, aku tidak pernah sekali pun tidak melihatmu!
Aku selalu melihatmu, hingga rasanya aku ingin menangis.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro