Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

video15. di venue perlombaan lari, dia bertanya apa temannya menyukaiku?

Siapa sangka, bermula dari berusaha menarik perhatian gebetan, berlanjut mengikuti klub atletik mungkin karena alasan serupa, diriku berakhir menghadiri perlombaan lari antar remaja-remaja seusiaku. Bulan April belum usai, tapi aku sudah banyak berhubungan dekat dengan berlari.

Venue acara itu terletak di sebuah lintasan lari raksasa tanpa tribun yang mengelilinginya. Malah tenda-tenda putih, meja, dan alat pengeras suara yang menghalangi pengunjung baru melihat para peserta.

Atmosternya mendebarkan, penuh gelora anak muda, serta gemuruh teriakan semangat. Aku saja sampai ikut berdebar-debar meskipun tidak mungkin menjadi yang pertama memutuskan pita di garis finis.

"Pinjam sebentar."

"Hei!"

Miguno-kun mengambil topi di rambutku, kemudian langsung mengenakannya. Padahal warnanya merah muda.

"Kau tidak takut kulitmu terbakar? Mataharinya lumayan menyengat, lho." Walau sudah memakai benda penutup kepala, laki-laki itu tetap memayungi wajahnya dari sinar matahari. Jangan-jangan dia rajin melakukan perawatan wajah?

"Aku baru tahu kau jadi banyak tingkah begini di depan perempuan." Ryou-kun yang berdiri agak di belakang mengomentari. "Kau menyukai Serizawa-san?"

Setiap ada yang berkata jelek tentangku, aku selalu ingin langsung menghajarnya. Termasuk ketika aku berbalik dan memukul lengan Ryou-kun, kepalan tanganku terhenti sekejap di kulitnya, tak sengaja bertatapan.

Hatiku berdebar bukan lagi karena gelora semangat para peserta lari yang sempat menulariku.

Aku berbalik lagi, menyembunyikan yang tak seharusnya dia lihat. "J-jangan membicarakanku di depan mukaku sendiri!"

"Daripada di belakang."

"Setuju."

Mereka berdua ini mirip, ya? Pantas menjadi sahabat sejati.

Pertandingan lari 100 meter putri sebentar lagi dimulai. Panitia mengumumkan sepuluh peserta dari sepuluh SMP melalui pengeras suara. Aku menonton dari tempatku tadi berdiri, masih di sana.

Begitu pistol ditembakkan, gemuruh penonton kembali terdengar saling bersahutan lagi. Kebanyakan dari mereka adalah orangtua, pelatih, dan rekan sesama klub. Aku membayangkan aku menjadi salah satu penyemangat itu saat dipaksa menghadiri lomba lari nanti.

Pita telah terputus sebelum aku sempat mendongak kembali ke arah lintasan. Waktu tempuhnya lebih cepat dari yang kuperkirakan.

13,62 detik.

Anak SMP.

Kemarin hasilku berapa ya, ketika berlari bersama Yamane-san?

....

17 detik lebih.

Peserta terakhir melewati garis akhir. 14,97 detik. Bahkan lebih cepat dibanding Yamane-san. Anak SMP.

Ah, kenapa aku harus rendah diri segala.

Baru juga mulai berlari.

Perjalanan masih panjang.

Lagi pula tujuanku masuk klub atletik kan cuma sepele.

Aku memundurkan pandangan, menatap Ryou-kun yang anteng menonton perlombaan. Namun aku terlalu lama memandangnya. Dia keburu melirikku.

Reaksiku yang berupa membuang wajah pun menunjukkan aku seolah memendam perasaan padanya. Sialan.

Jangan geer ya, Ryou-kun!

Berikutnya kategori putra SMA 100 meter. Skor yang diraihnya lebih cepat lagi. 11,19 detik. Aku ikut bertepuk tangan bersama deretan para gadis yang berteriak heboh.

"Hee. Seleramu laki-laki yang seperti itu, ya?" Miguno-kun menceletuk di sampingku. "Kau sama saja seperti kebanyakan gadis lain."

"Jangan sembarangan menyimpulkan," kataku, sengaja membesarkan volume agar bisa didengarnya. "Aku...." Nyatanya aku menyukai seorang laki-laki karena fisik juga.

Dia berdiri di belakangku sekarang.

"Menyukai yang mempunyai wajah enak dipandang seperti Ryou?"

"Apa?" Yang dibicarakan terkejut.

"Serizawa-san-"

"Aku tidak menyukai Nagare-kun, berapa kali harus kubilang, sih!" Lama-lama jadi kesal juga.

Ryou-kun sendiri tak berekspresi apa-apa. "Belum."

"Apa?"

"Tidak."

Apa, sih?

Harusnya aku berangkat sendiri saja jika tahu akan terus digoda begini!

Aku memisahkan diri saat jeda pertandingan, berjalan di tengah hiruk-pikuk. Banyak stand makanan berdiri di pinggiran, menambah euforia perlombaan seperti halnya festival sekolah.

Ketika itulah aku bertemu dengan....

"Serizawa-san? Hei, aku hampir tak mengenalimu."

Tentu saja dia berada di sini; penggiat olahraga lari garis keras. Yamane Mikari-san.

Dia datang bersama dua teman yang sama cantiknya dengannya. "Kau datang bersama siapa?"

Ah. Aku tidak mau menjawab ini.

"Oh." Tetapi Yamane-san tampaknya sudah melihat seseorang jauh di belakang sana. Dia menaikkan alisnya saat menatapku lagi. "Ternyata kalian sudah sedekat itu, ya."

"Dia juga dapat tiketnya," jawabku, ringkas. "Aku pergi sendiri kok."

"Jangan malu-malu begitu, Serizawa-san. Nanti dia bisa marah, lho."

Iya, kebetulan sekali terkadang dia suka tiba-tiba marah tidak jelas!

Yamane-san menyuruh kedua temannya untuk duluan, dia akan menyusul.

Gadis itu mendekatiku. "Kau tampak tidak berada dalam suasana hati yang baik ya, Serizawa-san? Apa kau tidak menikmati pertandingannya?"

Aku tersekat, segera mengubah raut datar di wajahku. "Ah, maafkan aku. Orang-orang di sana membuatku kesal. Aku menikmati pertandingannya kok, Yamane-san. Malah tadi aku terkagum dengan peserta-pesertanya."

"Betul, kan? Mereka hebat sekali?" Gadis ini hampir selalu terlihat antusias akan apa pun yang berhubungan dengan lari. "Tapi, kau tahu. Aku tidak pernah berdiri di sana."

Yamane-san mengaitkan jari-jari tangannya di belakang tubuh, menerawang ke depan sana, yang membuatku kesulitan percaya. Masa pelari sehebat Yamane-san tidak pernah mewakili sekolahnya dalam perlombaan?

"Beruntung aku bertemu Serizawa-san."

Eh?

"Serizawa-san juga hebat dalam urusan berlari."

"Kau berlebihan." Aku merespons jujur. "Aku baru memulainya tahun ini. Masih tidak ada apa-apanya dibanding Yamane-san."

"Kalau begitu ayo kita berjuang bersama."

Kepalaku tertoleh ke samping.

"Yaa walaupun nanti hanya akan ada satu orang yang berdiri di sana di antara kita berdua atau teman-teman lain, kita harus tetap berjuang bersama, ya!"

Astaga, gadis ini.

Dia selalu memberiku energi positif bahkan di saat aku tak membutuhkannya.

Akhirnya hari itu di tempat perlombaan lari, aku melebarkan senyum.

"Nah, begitu dong. Aku lebih suka melihatmu tersenyum begitu."

Aku jadi merasa tidak enak. Apa orang-orang yang melihatku cemberut adalah pemandangan yang kurang enak dilihat? Tapi kan aku sudah begini dari sejak dulu sekali. Agak sulit menghilangkan kebiasaan.

Di tengah keramaian ketika aku berjalan sendirian lagi, langkahku berhenti saat tiba-tiba ada yang menarik lenganku.

"Kenapa berkeliaran sendirian terus." Ryou-kun melepas lagi pegangannya yang cuma tiga detik. "Ada aku dan Kai, kan?"

Aku menatapnya malas. "Aku lebih suka pergi sendirian, asal kau tahu saja." Setengah jujur setengah bohong jika opsi teman yang bisa kuajak adalah dia. "Miguno-kun di mana?"

"Masih di sana."

"Dia tidak bosan, ya?"

"Kai memang seperti itu."

Aku tidak mengerti 'seperti itu' apa yang dia maksud.

"Masih perlu topi?"

"Hah?"

"Warnanya hitam tidak apa-apa, ya?" Dia mengeluarkan sebuah benda dari dalam paperbag abu-abu yang baru kusadari dibawanya. "Aku malah memilih warna kesukaanku."

Ryou-kun menyodorkan topi hitam yang label harganya belum dilepas ke arahku.

Biasanya aku akan bersikap kasar mau bagaimana pun Ryou-kun berbuat baik kepadaku. Tetapi kali itu, aku mendadak melupakan seluruh rasa benciku untuknya, menyisakan perasaan suka masa kecilku yang naik kembali ke permukaan hatiku.

Jika pun aku masih menyukai Ryou-kun sampai usiaku lima belas, hari itu aku menyukainya lagi.

Tanpa membuka label harga yang terlihat memalukan itu, aku mengenakan hadiah itu di kepalaku, memberinya senyum terbaik yang kupunya.

"Makasih."

Ryou-kun pun tersenyum. "Aku masih punya kesempatan, kan?"

Bibirku tak menjawab.

"Menghilangkan perasaan benci itu?"

Astaga, laki-laki ini bodoh sekali.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro