video14. di kereta, dia tak membiarkan seorang lelaki duduk di sampingku
"Maaf, ya. Sensei baru sempat mencarinya kemarin." Guru olahraga kelasku menyerahkan dua lembar brosur perlombaan lari 100 meter antar SMP dan SMA di daerah Asahi.
Aku dan Ryou-kun mengambil dan melihatnya bersamaan, berdiri berdampingan di meja guru itu. Aku berusaha tidak memutar memori enam tahun lalu.
"Brosur itu bisa kalian tukarkan dengan seporsi okonomiyaki. Jadi jangan sampai hilang, ya."
Sudah pasti aku akan berangkat sendiri meskipun pergi bersama laki-laki di sebelahku ini terdengar menarik. Tetapi aku tidak mungkin mengajaknya, kan?
"Kau pasti tidak ingin pergi bersamaku kan, Serizawa-san?" Ryou-kun bertanya saat dia membukakan pintu ruang guru untukku.
Kenapa dia seolah menyindirku, sih!
"Iya."
"Jahatnya."
Kau yang jahat!
"Kita kan belum terlalu kenal. Rasanya aneh jika pergi berduaan ke suatu tempat." Kami jalan bersama di lorong, melewati jendela-jendela kelas yang berisik.
"Berdua?"
Hal bodoh yang kulakukan tanpa sadar saat itu adalah menghentikan langkah.
"Bertiga. Sama Kai."
Aku meremas brosur warna-warni itu.
"Atau sebaiknya kita pergi berdua saja?"
Terlambat. Gulungan kertas itu telah kulemparkan telak ke wajah rupawannya. Sudah kubilang kan, aku selalu sensitif jika berhubungan dengan orang ini?
Kemudian hari Sabtu setelah sarapan, kakakku menemuiku lagi di kamar. "Ada yang mencarimu."
....
Dia sudah tahu rumahku?
Di balik halaman majalah mode yang sedang kubaca, aku menetralkan ekspresi wajah. "Siapa?"
"Laki-laki," katanya. "Kau ingin pergi kencan?"
"A-apa?" Aku bangun dari rebahan. "Tidak kok, Kak. Aku sudah menolaknya kemarin."
Kak Yuto menyipitkan mata. Sepertinya kalimatku terdengar ambigu. "Jadi dia menyukaimu?"
"Sudah, ah. Sana-sana." Aku mendorong tubuh kakakku sampai pintunya bisa kututup, bersandar di sana sebentar sembari berpikir ke mana-mana. "Kenapa Ryou-kun sampai menyusul ke sini, sih?"
Tanpa merapikan rambut yang sedikit berantakan, aku turun ke lantai bawah. Dan berhenti di pijakan terakhir tangga saat melihat Miguno-kun sendirian di sana, duduk di sofa.
Seketika aku melaknat otakku yang selalu berpikir tentang Ryou-kun dan Ryou-kun saja.
Miguno-kun menemukanku. Diam sebentar. "Kenapa kau kelihatan kecewa begitu yang datang adalah aku."
"Dari mana kau tahu alamat rumahku?"
"Ryou."
"Apa?" Apa?
"Dari Ryou."
"Iya aku dengar!"
"Kenapa kau jadi marah?" Sekarang suaranya juga terdengar marah. "Apa harusnya aku tidak datang ke sini?"
Kuhampiri dia di sofa. Saat itulah aku melihat dua buah brosur yang kukenal di tangannya. Apa?
"Kenapa itu ada padamu?"
Miguno-kun mendorong sedikit brosur itu dengan jarinya. Salah satunya lecek. Lalu dia menatapku lagi. "Kau ingin pergi menonton ini, kan?"
"KENAPA ADA PADAMU!"
"Astaga, sabar." Laki-laki itu gusar. "Dikasih Ryou. Dia memintaku menemanimu ke sana."
Bodoh.
Tidak, sih. Ryou-kun mana tahu jika sesungguhnya aku ingin pergi bersamanya.
Aku memalingkan muka.
"Kau ingin pergi bersama siapa, sih?"
Ayo, Yuna. Kesempatan ini tidak datang dua kali.
Sebab menunggu terlalu lama, tiba-tiba saja Miguno-kun sudah menelepon seseorang. "Dia ingin pergi bersamamu, Ryou."
"Aku tidak bilang begitu." Aku menengok dengan cepat sekali.
"Wajahmu yang bilang begitu."
"Tidak!"
"Ayo Ryou, cepat ke sini. Sebelum dia semakin mengamuk."
Tanpa pikir panjang aku merebut ponselnya. "Jangan pergi ke sini. Atau aku akan memusuhimu seumur hidupku!"
Aku tidak sempat mendengar suaranya, panggilannya langsung kumatikan sepihak.
Miguno-kun menerima ponselnya dengan alis mengkerut. "Tidak perlu berlebihan begitu. Ryou itu orangnya penurut."
"Maksudmu?"
"Kalau kau menyuruhnya jangan ke sini, dia tidak akan ke sini."
Dugaan Miguno-kun terbukti salah setelah kami baru saja keluar dari pintu rumahku, laki-laki yang kami bicarakan datang dengan terengah-engah seperti habis berlari.
"Aku tidak terlambat, kan?"
Dilihat-lihat, itu pertama kalinya aku melihat Ryou-kun lagi tanpa seragam. Dia terlihat luar biasa menawan di mataku.
"Aku kan sudah menyuruhmu jangan ke sini. Kau ingin aku benci seumur hidup?"
Bola matanya langsung terarah padaku. Mengangkat punggung. "Tidak, kau tidak mungkin membenciku seumur hidupmu."
"Kenapa?"
"Aku ingin membuatmu menyukaiku."
"K—"
Aku tersedak. Padahal tidak sedang memakan apa pun.
"Kau baik-baik saja?"
"Bodoh. Dia butuh air."
Ada sesuatu menyangkut di tenggorokanku!
"Oh iya. Dia kan alergi padamu, Ryou."
"Kau sebaiknya diam."
"Sudahlah. Ayo berangkat." Aku menyerah. Suaraku pun menjadi serak.
.
Di kereta bawah tanah yang penuh, aku mengalami kejadian klise cerita romansa. Aku berdiri berdempetan dengan Miguno-kun.
Kami sama-sama saling memandang dengan datar.
"Kenapa kau berdiri di dekatku, sih?"
"Kau ingin Ryou yang di sini?"
"Kenapa kau selalu berspekulasi begitu? Aku kan tidak bilang aku suka dia."
"Tapi aku merasa kau akan suka dia."
Aku tidak menjawab apa-apa.
"Oh, ternyata begini ya, saat pipi seorang perempuan memerah."
Aku kesulitan memandang apa pun selain wajah Miguno-kun.
"Kau tampak semakin cantik saja."
"H-hei!"
"Eh. Apa aku terlalu blakblakan?"
"Iya."
"Tapi aku tidak perlu meminta maaf, kan?"
Sial. Miguno-kun bisa manis juga, ya?
"Miguno-kun, kau jangan memuji perempuan sembarangan. Nanti dia bisa terbawa perasaan." Aku memperingatkannya sebelum ada lebih banyak perempuan menjadi korban.
"Begitu, ya." Matanya beralih ke atasku. "Tapi Serizawa-san tidak akan terbawa perasaan, kan?"
"Tidak."
Ketika penumpang kereta sudah mulai berkurang, aku duduk. Miguno-kun dan Ryou-kun berdiri walau ada banyak ruang kosong di sekitar mereka. Termasuk di kiri kananku.
Tetapi ketika ada seorang lelaki hendak duduk di sebelahku, salah satu dari mereka langsung menempati sisi itu.
"Pegal."
"Aku tidak bertanya."
"Kali saja kau keberatan."
"Memang keberatan."
"Astaga. Apa aku terlihat seperti kuman di matamu?" Ryou-kun menurunkan derajatnya sendiri.
Aku tersenyum lebar. "Tidak kok. Kau terlihat seperti teman sekelasku yang bodoh dan tidak pandai berolahraga."
Miguno-kun ketahuan menahan tawa. "Menyerah sajalah, Ryou. Kau harus menaiki Gunung Fuji dulu untuk membuat Serizawa-san suka padamu."
"Berisik, ah." Dia merajuk, mengalihkan tatap menjauhi kami.
"Kau rela melakukannya tidak?" Aku mencoba menggodanya.
"Apa?"
"Menaiki Gunung Fuji."
"Yang benar saja. Aku tidak segila itu."
Aku dan Miguno-kun tertawa. Aku bersyukur aku memenangkan tes berlari itu. Dan aku bersyukur Ryou-kun juga memenangkannya.
Siapa sangka, kami sama-sama berusaha mendapat perhatian satu sama lain? Walaupun Ryou-kun sedikit bodoh, sih.
Hei, aku sudah menyukaimu sejak sembilan tahun lalu, lho.
Kenapa kau tidak menyadarinya, Ryou-kun?
Jangan buat aku kerepotan juga.
Aku tidak mau terus memamerkan perasaan benci ini.
Karena aku ingin sekali, suatu saat, aku bilang padamu bahwa aku menyukaimu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro