video12. di tembok sebelah pintu kelas, aku menyembunyikan wajahku
Setelah menjalani hari-hari yang melelahkan di setiap pertemuan klub, hari itu dimulai untuk pertama kalinya para anggota baru mengukur rekor kecepatannya. Lintasan lari sejauh 100 meter.
Kami tidak perlu lagi berlari mengelilingi keseluruhan lapangan sebanyak sepuluh putaran.
Anggota perempuan kelas satu klub atletik jumlahnya lebih banyak dibanding laki-laki, membuat semakin banyak saingan jika motivasimu bergabung adalah menjadi perwakilan sekolah di perlombaan.
Lapangan yang dijadikan tempat lintasan lari berada di tengah-tengah, antara lapangan sepak bola dan bisbol. Pemandangan dari sini pun menjadi lebih luas, sekaligus menjadi pemandangan bagi murid-murid yang hendak meninggalkan sekolah.
Sederetan bunyi peluit melayang di tengah-tengah debu dan udara. Berbagai ketukan pada tombol stopwatch ditekan lagi dan lagi. Sorakan, erangan, keluhan, mengisi berisiknya suasana arena sekolah sore itu.
Sempat kupandangi teman-teman sekelasku di jendela-jendela gedung, rapi dan hangat tanpa keringat dan terik sang surya yang menyilaukan mata.
"Serizawa-san."
"Ha'i."
Aku menuju lintasan berlariku.
"Rekor sebelumnya masih dipegang Yamane-san, ya. 14,75 detik." Kakak kelas yang sedari tadi menulis-nulis sesuatu di papan dada memberi tahu, seakan yakin tak ada satu pun dari kelompok berikutnya yang bisa mengalahkan rekor Yamane-san.
Bunyi peluit menggema lagi.
Tiba-tiba aku memikirkan menu makan malam apa yang akan ayah masak nanti. Apakah dia telah mengirim pesan ke nomor ponselku mengenai bahan-bahan yang harus kubeli di jalan pulang?
Aku mengerahkan sedikit lagi tenagaku, fokus pada garis akhir lintasan.
"14,85 detik. Wah, Serizawa-san. Perolehan waktumu nyaris menyamai Yamane-san."
Aku menumpu badan dengan memegangi lutut, berfokus mengatur kendali napas yang tak stabil akibat berlari tadi.
"Baiklah, kelompok selanjutnya."
Yamane-san yang lebih cepat kutangkap keberadaannya, tampak tidak fokus dengan tatapannya sendiri. Kemudian dia mengerjap sekali, melambai padaku.
Aku mengangkat badan, tersenyum. Kuhampiri orang pertama yang kuajak bicara di klub atletik itu.
Yamane-san menoleh padaku saat aku memposisikan diri di sampingnya. "Kau hebat sekali."
Senyumnya yang lebar seperti biasa membikinku sulit mengira itu cuma basa-basi. Aku jadi salah tingkah. "Tidak kok. Cuma beruntung saja."
"Selama masa SMP, tidak pernah ada yang rekornya sepertimu barusan di klubku. Kau yakin kau tidak mempunyai bakat di bidang atletik?" Gadis itu serius bertanya, sepenuhnya memusatkan perhatian ke arahku.
"Sudah kubilang bukan karena itu." Aku mengedarkan pandang ke sekelilingku. Dia di mana, ya. "Aku akan kasih tahu jika waktunya sudah tiba."
"Ehh." Suara Yamane-san terdengar kecewa.
Satu kelompok usai. Tak ada yang mencapai waktu di atas Yamane-san.
"Serizawa-san."
"Ng?"
"Setelah klub selesai, mau berlari sekali lagi melawanku?"
Kupandangi wajahnya yang masih tersenyum itu. Menularkannya juga padaku. "Tentu saja," balasku, memayungi wajah dari sinar matahari senja yang menyorot ke sini.
Kemudian, saat lapangan-lapangan sekolah semakin dibuat kesepian sebab murid-murid mulai melaju ke gerbang, aku dan Yamane-san tidak mengikuti rombongan ke ruang klub untuk berganti pakaian. Aku menghilangkan sisa dehidrasi dengan banyak-banyak meneguk air es di botol minuman.
"Kau siap?" Seperti sudah tidak sabar, Yamane-san berdiri, mengibas sedikit celana olahraganya.
Aku menjawabnya dengan ikut berdiri, mengikat lebih kencang ekor kudaku.
Tanpa perlu dikomando, kami melangkah menuju garis start, mengambil posisi awal. Yamane-san yang menyerukan aba-aba untuk mulai.
Ketika berlari, tenagaku terasa sedikit melemah dibanding saat pertama berlari tadi. Aku kurang memaksimalkan laju kecepatanku.
Tetapi yang mencapai garis akhir duluan adalah aku.
Alih-alih terengah, aku lebih merasa terkejut dan heran. Serius, Yamane-san mengerahkan seluruh tenaganya? Tidak mungkin, ah.
Gadis itu tampak lebih lelah dibandingkan aku. Keringatnya bercucuran dari kening sampai ke dagu.
Sepertinya tidak akan ada ronde ketiga, ya?
"Aku perlu memastikan berapa perolehan waktunya." Dia berkacak pinggang. "Temanmu ada yang belum pulang?"
Apa?
Entah mengapa orang pertama yang muncul di otakku adalah Miguno-kun. Mungkin karena kami sering pulang bersama.
Ah, tapi ponselku di ruang klub. Aku tidak bisa menyuruhnya ke sini.
"Aku cek dulu ke kelas, ya."
Tanpa mendengar balasannya dulu, aku berlari ke dalam gedung sekolah. Sama sekali tidak berpikir bahwa satu-satunya orang yang masih tinggal di sana adalah Ryou-kun.
Saat kubuka pintu depan kelas, aku langsung bertatapan dengan laki-laki rajin itu.
Sial, teman-temanku yang lain pada ke mana, sih?
Aku dibuatnya mematung, tidak juga beranjak mundur untuk mencari Miguno-kun ke tempat lain. Ryou-kun pun tidak menghentikan pandangnya terhadapku.
"Mencari Kai?"
"Apa yang membuatmu berpikir aku mencari dia?"
"Oh? Bukan, ya?"
Aku diam. Sebenarnya tidak perlu Miguno-kun, kan? Yamane-san cuma bertanya apa temanku masih ada yang belum pulang atau tidak. Tapi kan aku tidak menganggap Ryou-kun teman! Walau secara harfiah dia termasuk teman sekelasku.
Bagaimana, ya?
"Aku mengganggumu tidak?"
"Iya, mengganggu." Dia menjawabnya dalam dua detik.
Aku mengembangkan senyum, memajukan langkah memasuki ruang kelasku sendiri. Kemudian kuseret laki-laki itu keluar bangkunya.
"H-hei—"
Punggungku tiba-tiba terdorong ke depan hingga aku keburu berbalik sebelum menabrak tembok, dan langsung berhadapan dengan Ryou-kun yang menahan lengannya ke dinding agar kami tak semakin berdekatan lagi.
....
Kedua kalinya.
Pelaku yang berbeda.
"K-kau ngapain?"
Aku merasakan napasku lebih tak beraturan lagi dibanding ketika selesai berlari beberapa saat lalu. Tak ada apa pun yang kulihat selain dia yang juga sedang melihatku dengan terkejut.
"Kakiku terinjak."
"Bohong."
"Untuk apa aku bohong?"
"Nagare-kun."
Dari balik lengan Ryou-kun, kulihat seseorang masuk. Aku langsung berbalik, menyembunyikan wajahku dengan helai-helai rambut.
"Kau sedang ngapain?"
"Ti-tidak."
"Kau sudah punya pacar, ya?"
"Eh?"
Aku ikut berkata 'eh' dalam hati.
Kurasakan Ryou-kun menghalangi tubuhku dari murid perempuan itu. Sepertinya dia teman sekelas yang belum akrab denganku.
"Siapa dia?"
"Bukan siapa-siapa."
Bodoh! Dia bisa makin curiga!
"Bilang saja dia pacarmu, kan?"
"Aku tidak punya pacar."
"Bohong."
"Serius."
"Lalu kenapa kau menyembunyikan dia?"
"Sudahlah, pergi saja sana."
Hanya suara detik jarum jam kelas saja yang mengisi kekosongan.
Aku ikut terlonjak mendengar Ryou-kun berteriak. Apalagi ke perempuan?
"Maaf. Anggap kau tidak melihat ini, ya?"
Lalu, sehabis keadaan menjadi tenang, Miguno-kun muncul. Dia melihat kami berdua yang belum beranjak dari tembok sebelah pintu itu. "Kau apakan Serizawa-san, Ryou?"
Ah. Mukaku pasti terlihat tidak karuan ya, sampai mengundang kekhawatiran Miguno-kun? Aku tahu dia benar khawatir kok.
Ryou-kun menghela napas panjang, kembali ke bangkunya. "Kau akan pulang bersamanya kan, Kai?"
"Kenapa? Mau ikut?"
Hei, kau sendiri yang bilang dia punya trauma!
Aku tidak melihat Yamane-san di lapangan tengah, jadi aku langsung pergi ke ruang klub atletik, meminta Miguno-kun menunggu di halte saja. Dan benar aku bertemu dengan gadis itu di sana, memainkan ponsel dengan bosan.
"Maaf menunggu lama, Yamane-san. Tadi sempat terjadi sesuatu, jadi aku menyelesaikannya dulu sebelum kembali ke sini." Aku betulan merasa tidak enak padanya. Padahal dia terlihat sebersemangat itu tadi.
Yamane-san tersenyum sembari menggeleng. "Tidak apa. Aku juga sudah kelelahan untuk lanjut berlari lagi." Dia berdiri. "Mau ke gerbang bersama, Serizawa-san?"
"Ayo."
Hari yang melelahkan, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro