Burnt Down
Event Valentine OC
Character:
- Stephen
- Sasha
- John
Cameo:
- Ohara
- Negura
- Flavio
- Host Enbu
Category / Genre: M / Angst
Burnt Down
.
.
.
First love is beautiful yet painful, but the last love is the best of all
Hah, bullshit sekali kalimat itu.
Antara dia yang menyangkalnya karena memang benar adanya, atau dia yang tengah putus asa dalam kehidupan percintaannya.
Ah, kenapa Tuhan menciptakan hati untuk jatuh cinta? Jika hanya dibuat untuk disakiti saja, dia sudah pasti takkan mau punya hati.
Sudah cukup dengan patah hatinya, dia tak ingin jatuh cinta untuk kedua kalinya kalau hanya mendapatkan kejadian yang sama lagi.
Lebih baik tidak punya hati. Itu sudah cukup baginya dalam menjalani kehidupan yang sulit ini.
"Stephen, kau mau kemana pagi-pagi begini?"
Pemuda yang disahuti oleh seseorang saat bersiap dengan jaket kulit biru denim-nya pun menoleh—melihat bahwa sepupunya; Ohara, tengah balik dari dapur setelah mencuci piring.
"Ah, Ohara. Aku ada urusan di luar sekalian jogging."
"Apa perlu aku antar?"
Stephen menggeleng, menyunggingkan senyuman. "Tidak perlu. Cuma sebentar kok."
Sebentar ya, artinya seharian penuh.
Ohara tahu itu jadi ia biarkan saja. Sudah kebiasaan pemuda Omega tersebut untuk berbohong. Bukannya ia selalu membiarkan, tapi sepupunya satu ini cukup liar di kehidupan luar.
Semoga hari ini dia tidak kenapa-kenapa.
"Ah iya—ini. Tolong sekalian antar."
Dia menyerahkan sebuah kotak berisi kue cheesecake matcha kepada Stephen.
"Buat siapa?" tanyanya sambil mengintip isi dari kotak.
Ohara berujar, "Untuk Sasha. Kemarin lusa dia bawa kue,'kan? Aku ingin minta tolong kirim padanya untuk yang kemarin. Aku tidak bisa kirim karena sebentar lagi mau berangkat kerja."
Dia berpikir singkat, sepertinya tidak ada salahnya untuk berkunjung. Sudah lama juga sih.
"Baiklah, aku pergi sekarang. Dah."
Dia bergegas pergi dari kediaman Ohara sebelum naik taksi.
"Hati-hati!"
Ohara memperingatkan dan geleng kepala singkat dari depan pintu yang terbuka.
Dari saat yang bersamaan, Negura, sepupu mereka yang lain, muncul tak jauh dari belakangnya. "Lho? Kok di depan?"
Sang sepupu tertua menoleh, "Stephen ada urusan dan aku sekalian suruh mengantar kue untuk Sasha."
Mendengar perkataannya, dia tertegun sejenak.
"Hei, kau tidak sadar ya?" ujarannya seperti mengingatkan kembali Ohara yang bingung.
"Hm? Memangnya kenapa??" tanyanya dengan keheranan, membuat sang pemuda Beta mentally facepalm.
"Kau tahu 'kan hubungan mereka berdua. Kalau nanti ada konflik, bagaimana? Dia 'kan juga bisa baper nanti." jelasnya.
Seketika Ohara menepuk keningnya dengan lelah. "Astaga, bagaimana aku bisa lupa... Sialan, harusnya aku antar sendiri."
Negura menggelengkan kepalanya, menatap sang pemuda Alpha yang kadang pikun.
"Ya sudah, kita biarkan saja. Kalau ada apa-apa, kita sms atau telpon dia saja. Kita harus berangkat kerja sebentar lagi. Ada rapat tentang pengadaan tekstil yang harus aku selesaikan."
Ohara mengangguk singkat, menyetujui saran sang Beta.
.
.
.
"Ah, kau datang juga ya. Mari masuk. Dia ada di dalam."
Dilihat dari manapun, Stephen mengetahui kalau orang ini memang kekasihnya Sasha.
Dia tahu itu dengan sangat. Sudah bisa dipastikan karena baunya. Baunya samar tapi seperti Sasha.
Ah, begitu ya.
Hanya satu yang ia tahu dari dirinya; namanya.
"Permisi..." Dia masuk ke dalam apartemen, sebelum melihat Sasha yang keluar dengan baluan selimut dan kaos tidur lengan panjang.
"Siapa yang datang..?"
Ah, walau sakit begitu juga dia tetap manis.
"Astaga, Sasha..."
Kue cheesecake terlupakan di taruh di meja ruang tamu yang pemegangnya langsung menghampiri dengan khawatir pada sang pemuda yang sakit.
Kenapa dia tak bilang kalau dia sakit—Oh iya, ya... Tak perlu ia katakan pada dirinya.
Dia 'kan bukan siapa-siapanya.
"Kau harusnya istirahat! Jangan memaksakan dirimu..." ujar Stephen khawatir.
Dia terbatuk pelan, "Aku tak mungkin—uhuk!.. tidak menyambut tamu..."
Pemuda besar tadi—John, mendekati Sasha untuk menuntunnya ke dalam, sementara Stephen beranjak untuk ambil kotak kue yang tertinggal untuk masuk juga ke kamarnya.
Tapi begitu ingin masuk, dia terhenti di sudut dinding luar, mendengarkan—bukan, menguping percakapan mereka.
Dan lagi, pemuda itu memanggilnya dengan nama Shannon.
Itukah nama lainnya atau aslinya?
Stephen tak tahu, tapi yang pasti adalah bahwa dia bahkan tak pernah dibilang unuk menyahut namanya itu.
Ya, dia juga tak berhak.
Ah, rasa itu datang kembali.
Kepalan tangannya menggenggam erat.
Tidak, jangan. Tidak boleh. Sudah tidak ada gunanya lagi.
Dia tak ingin lagi.
Sepertinya sudah cukup dia diperlukan disini.
Dia hanya mengantar kue dari Ohara saja sebagai balas budi kemarin lusa.
Ya, itu saja.
Ditaruh kotak kuenya kembali, dan beranjak menuju pintu keluar. Setelah menyampaikan salam pada teman Sasha yang memakai kostum, dia keluar dari apartemen tersebut sebelum pergi menjauh dengan kesenduan yang berkelebat dalam hati.
.
.
.
.
.
Bulan bersinar terang. Cahayanya alami ditemani oleh para sorot lampu-lampu dan penerangan kota—terutama di kawasan distrik merah.
Walau malam adalah waktunya untuk terlelap, tapi orang-orang yang datang ke tempat tersebut malah merasakan bahwa malam adalah dimana saatnya mereka hidup dan meramaikan suasana. Mau itu bersenang-senang sampai mabuk berat, bertemu dan berkumpul, dan sebagainya.
Bagi orang awam yang jarang datang kesana, mereka takkan tahu rahasia gelap dari keramaian dan keindahan distrik tersebut.
Jauh di dalam gang, para kriminal kecil yang bersembunyi dan menciptakan sarang untuk peredaran wilayah, maupun berkumpul untuk membeli dan mengedarkan barang illegal. Tak ayal gang sepi adalah tempat yang tepat dalam bertransaksi.
"Ughh!!!"
"ARGHH!!"
Tonjokan mengenai wajah untuk kesekian kalinya diberikan kepada sang pria berbadan besar. Orang tersebut sudah kacau dan penampilannya babak belur. Beberapa kawannya—sekitar 5 orang preman lain telah tumbang di aspal gang yang berdebu dan penuh bau yang sedikit lumayan tajam. Debu bakaran rokok, miras, dan cairan darah juga lainnya.
Di saat yang bersamaan, ketua dari para preman kelas teri itu tumbang ke tanah—sang lawan telah menang telak.
Sorot mata dari manik giok terang sang lawan menyala dengan garang, bagaikan tanpa ampun menatap mereka yang tak sadarkan diri dan tak bisa melawan lagi. Napasnya terengah pelan sembari menarik oksigen dengan rakusnya. Penampilannya sedikit berantakan karena perkelahian satu lawan enam. Bahkan, rambut hitamnya terkena cairan dan sedikit bau karena miras yang dipercikkan kepadanya—mungkin bau bir murahan yang harganya beberapa ratus yen.
"Ah, capeknya..." keluhnya sambil memutar leher ke kiri dan kanan, tanpa membuka topeng putih karnaval kitsune.
Salah sendiri, kenapa mereka memalak dan menantang Black Fox sang Penjaga Distrik Merah—julukan para penghuni distrik merah yang memberikannya. Walaupun dia tak ingin dipanggil begitu—apalagi bukannya ia ingin dianggap sebagai pahlawan, tapi jika ia membantu mengamankan orang-orang dari para kriminal yang berkeliaran (dan para penghuni tidak mengenal wajahnya) maka itu sudah cukup. Mungkin disini dia bisa berguna hanya di tempat kotor dan tercela ini saja.
Omega sepertinya hanya bisa berguna di tempat naungan tercela ini.
Tiga kantong barang sengenggaman tangan berisikan obatan terlarang berada di tangannya, sementara langkah kakinya menuju tempat sampah. Ia jatuhkan ketiga kantong di dalam tempat tersebut dan menyalakan korek yang ia dapat dari salah satu anak buah lawan—lalu dijatuhkan juga di dalam, menghasilkan kepulan asap yang berbau menyengat akan kimia.
"Kalau mau sukses, jangan main-main dengan bisnis beginian. Sana sedot susu, daripada sedot obat kimia. Bunuh diri saja sekalian." ujarnya pada mereka yang sudah sekarat ditonjok.
Lalu ia melangkah menjauh.
"Hari ini membosankan..." gumamnya pelan saat keluar dari gang yang gelap serta membuka topeng untuk disimpan di dalam jaket, dan berjalan di trotoar yang diterangi oleh banyak panel neon dan penerangan lampu jalan di kawasan tersebut.
Mumpung dia ada cukup uang, dia ingin melupakan sejenak problema hidup dan masuk ke salah satu bar yang lumayan ramai.
Lebih baik begitu, daripada menyendiri. Dia belum ada waktu untuk benar-benar sendiri.
Melirik ke kiri dan kanan, terlihat para pria dan wanita yang bercengkerama dengan ramai dan tertawa serta menangis dalam suara keras.
Ya, cukup ramai.
Stephen menaruh bokongnya yang terbungkus celana ripped jeans berwarna hitam di salah satu kursi yang berhadapan dengan bar bartending.
"Sir, satu gelas Jack's, medium."
Ya, setidaknya ia ingin sedikit mabuk dan meringankan pikiran.
Matanya melirik ke arah lain, memperhatikan penyanyi bar yang menghibur hati para pendengar tapi tak bisa menghibur dirinya sendiri, host dan hostess yang datang dan mendekati beberapa target pelanggannya sambil berbincang seru, gantungan dekorasi bunga serta suasana bar yang terlihat nyaman untuk berkumpul—dan lainnya.
Suara gelas diletakkan dihadapan sang pemuda, membuat perhatiannya teralihkan dan mengambil gelas tadi sebelum meneguk isinya.
Terasa sedikit ringan setelah ia helakan napas. Tangannya memutar gelas alkoholnya.
"Biasanya selalu ramai begini?" tanyanya pada sang bartender.
"Begitulah." balasnya singkat sambil mengelap gelas.
Pemuda berambut hitam tersebut memilih diam lalu menghabiskan lagi isi sampai habis.
Sang bartender memberikan segelas Last Word.
Stephen melirik dari posisinya yang tengah depresi dalam diam.
"...Aku tidak memesan itu."
"Pemberian dari pelanggan sebelah."
Matanya mengalihkan pandangan pada yang bersangkutan. Ternyata seorang host. Perawakannya cukup tinggi dan rupanya lumayan dinamis. Rambut rapi berwarna coklat dengan warna mata yang sama.
Pakaiannya memang rapi dan elegan, tapi auranya juga baunya, hm... Alpha ya.
"Aku pikir kau butuh sesuatu yang bisa menyegarkan pikiran. Kulihat kau sudah 3 jam disini." ucapnya, membuat Stephen hanya memandangnya dengan wajah datar.
Only looks, huh.
"Apa aku terlihat begitu?"
Dirinya hanya bisa menerima yang ada di hadapannya sekarang. Depresi dalam frustasi yang cukup membuatnya bersendu ria sepanjang waktu.
Mereka berdua berbincang santai, sesekali basa-basi.
Stephen tahu niat orang ini. Dari gerakan saja sudah kelihatan, tapi ia pura-pura bodoh saja.
Mau dia bujang atau pengalaman, dia sudah tak peduli lagi.
Malam telah di puncaknya, sang Alpha niat membayar minuman dan keluar bersamanya menuju hotel.
Love hotel, obviously.
Ketika pintu dikunci, telah dimulailah saatnya.
Bahasa tubuh memang sudah tak bisa diragukan lagi, selain pemiliknya juga menginginkan hal tersebut. Pagutan serta permainan lidah dilakukan setelah terbaring di kasur oleh sang lawan main, dengan melepas pakaian serta erangan dari tubuh, menandakan akan dimulainya interaksi dalam ranjang dan intimasi. Tiap kecupan dan erangan serta desahan meluncur mencoba menikmati sentuhan dan rabaan yang bersangkutan.
Pengaman telah dipakai dan langsung menghujam titik kenikmatan ke dalam sang penerima. Tangannya melilit di leher sang Alpha sambil menatapnya.
Dia mencoba untuk melampiaskan segalanya. Dirinya tahu ini memang cara yang gila, tapi normal di saat yang bersamaan.
Saat itu juga, dia menatap wajah orang tersebut—dan yang ia bayangkan serta lihat hanyalah orang yang ia kasihi tapi dianggap lain.
Mulutnya hanya bisa mengucapkan desahan yang ia keluarkan sambil menarik napas oksigen, menutup kedua mata sambil mengerang ketika ia membayangkan orang tersebut. Berkali-kali mencoba menikmati tapi malah makin sakit dalam erangan dan tangisan kenikmatan palsu.
Wajar kalau dalam intimasi dirinya menangis karena kenikmatan. Dia berpura-pura menyukainya—tapi ya, itu saja.
Hampa rasanya.
Engahan napas serta menyedot oksigen dangan rakus, Stephen hanya bisa berguna akan hal-hal seperti ini.
Dirinya yang seorang Omega, penindasan pada masa kecil, serta dirinya yang mengamankan distrik merah—menjadi faktor dari seseorang sepertinya untuk mengingat akan identitas dirinya sendiri.
Dia tidak boleh menyeret siapapun dalam kehidupannya yang suram.
Mau itu sepupunya sendiri atau Sasha, atau orang lain.
Sudah cukup ia peduli pada orang lain lebih dari suka.
Tangannya memeluk erat sang host yang menerjangnya, mulai cepat gerakannya dan mencapai kenikmatan yang dikeluarkan hingga beberapa ronde ke depan.
.
.
.
.
.
Asap nikotin dari mulutnya dikeluarkan ketika dia menatap langit pagi buta.
"Kau langsung pulang habis ini?"
Dia menoleh pada sang host—yang ternyata mengenal sang sepupu tertua.
"Begitulah. Aku harus kembali ke rumah. Tolong jangan kasih tahu apapun pada Ohara."
Enbu—nama panggung tapi ia tak tahu nama aslinya karena tidak mungkin orang itu diberitahu—tertawa kecil sambil baringan di kasur.
"Rahasia klien dijamin. Sampaikan salamku padanya."
Anggukan kecil diberikan, dan Stephen berdiri setelah menaruh handuk di kursi sofa yang menyamping pada pintu transparan balkon hotel.
"Aku pergi dulu. Aku sudah taruh uangnya di meja." ujarnya sebelum berdiri dan mengambil jaket, dan keluar dari hotel tersebut untuk check out.
Langit mulai sedikit terang, menandakan pagi buta akan beranjak menjadi fajar. Dalam perjalanannya, hanya ada angin berdesir mengelilingi dan menemani beserta rokok menyala di tepi mulut ranumnya.
"Dinginnya..."
Dingin, seperti hati yang porak poranda tanpa penghuni.
Dan ya...
Ya, akan ia lakukan penyiksaan pada diri sendiri ini sampai puas.
Sampai mati pun sepertinya takkan masalah.
Asalkan sang Omega tidak menderita, itu sudah lebih dari cukup.
.
.
.
fin
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro