Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

EPISODE PERTAMA: TEMAN

Masa SMA adalah dimana seorang remaja yang akan menuju kedewasaan, dimasa ini banyak remaja yang akan menemukan jati dirinya, salah satunya aku. Tahun ini aku memasuki masa SMA, mungkin untuk pertama kalinya aku berubah sifat, yang awalnya banyak bicara menjadi pendiam. Bisa dibilang masa SMA adalah dimana semua BUNGA-BUNGA akan berkembang dengan sendirinya.

Namaku Kiki Otaki, panggil saja Kiki atau Otaki. Seorang siswa kelas 1 SMA. Aku lebih suka kesunyian daripada keramaian, susah mengingat nama apapun, dan suka berbicara di dalam hati daripada di mulut. Buktinya saja, sekarang aku sedang membicarakan diriku sendiri sambil menompang dagu di tempat dudukku, di kelas. Menghadapi kelelahan yang cukup karena upacaranya, tapi semua itu terbayar oleh pemandangan di balik jendela yang sedang aku lihat sekarang.

"Langitnya indah juga, ya... 'KLIK' Eh?!" Aku terbangun dari lamunanku, karena suara kamera. Saat aku melihat sumber suaranya, ternyata ada seorang pria berambut hitam panjangnya sampai ke dagunya, bermata abu-abu, berkulit putih, tinggi mungkin 160cm, dan wajahnya mirip tokoh film yang pernah aku lihat.

"Maaf, aku hanya ingin memfoto semua teman-teman sekelas saja," jawab dia memegang HP.

"Oh, tidak apa-apa." Aku melanjutkan melihat pemandang langit.

"Namaku Waskito Stachan, salam kenal."

"Kiki Otaki," jawabku masih melihat langit.

"Otaki, bolehkah aku menjadi temanmu?" Kemudian aku melihat dia.

"Boleh."

"Wah, kalau begitu terima kasih. Kau tidak pergi ke kantin?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Sedang tidak ingin saja."

"Hmm, begitu ya. Baiklah, aku akan pergi dulu."

Teman, menurut buku yang pernah aku baca, mereka adalah orang yang serasi dengan sifatmu. Sejujurnya, di sini aku belum mendapatkan satupun teman. Mungkin karena aku adalah seorang pemurung yang tidak pintar berbicara dengan mulut, melainkan pintar berbicara di hati. Aku tidak mengerti, padahal dulu waktu SMP aku adalah orang yang periang dan memiliki semangat yang tinggi. Apakah yang sudah terjadi dengan diriku ini? Mungkinkah ini jati diriku yang sebenarnya? Pertanyaan itu selalu berputar di kepalaku.

"Otaki?" ucapnya yang tiba-tiba sudah ada di depanku, dan itu membuatku kaget.

"Oh, ada apa?"

"Maaf ya, tadi aku meninggalkanmu, tadi aku pergi memfoto sekitar sekolah." Kemudian dia duduk di bangku depanku, dengan posisi duduk ke arahku. "Kau tidak marah, kan?"

"Tidak."

"Oh ya, boleh aku memanggilmu Kiki?"

"Boleh."

"Coba tebak, gaya rambutku mirip dengan siapa?"

"Tidak tahu."

"Sasuke, kau tahu siapa dia?"

"Tidak."

"Dia adalah tokoh anime yang aku sukai, saking sukanya aku mengoleksi beberapa gambarnya, bajunya, dan sekarang aku mengikuti gaya rambutnya."

"Oh."

"Yah... kau tidak asik, masa cuma jawabnya 'oh' saja sih?"

"Terus aku harus gimana?"

"Ya, sebetulanya bukan masalah responmu, sih. Tapi, karena kau selalu menjawab dengan singkat-singkat."

"Maaf kalau aku begini, Wakito."

"Waskito. Padahal baru saja aku memberitahukan namaku."

"Maaf."

"Sudah tidak apa..." Suara bel pun berbunyi. "Oh, bel sudah berbunyi." Dia pergi ke bangkunya.

(Selesai sekolah)

"Jadi kau akan mengikuti eskul apa?" tanya Waskito.

"Entahlah."

"Kalau aku akan mengikuti klub sepak bola, klub sastra, dan klub musik."

"Banyak juga."

"Ya, kau tahu, kan? Kalau di sekolah ini kita wajib mengikuti eskul walau hanya satu."

"Kau benar."

"Mungkin aku bisa membantu?"

"Membantu apa?"

"Tentu mencari eskul untukmu. Kau mau yang seperti apa?"

"Tidak terlalu banyak aktivitas, tidak ramai, dan bisa membantu mengisi waktu kosongku."

"Hmm..." Dia berusaha berpikir dengan keras, terbukti dia terus memainkan rambutnya. "Oh! Aku tahu! Bagaimana kalau eskul pustakawan?"

"Pusarkawan?"

"Pustakawan. Kegiatannya dilakukan di saat jam istirahat, kau kan tidak suka ke kantin. Mungkin itu cocok?"

"Apa yang akan kulakukan di saat jam istirahat?"

"Hanya menjaga perpustakaan, tentu tidak terlalu banyak yang minat karena membosankan. Bagaimana?"

"Baiklah, kurasa itu bagus juga."

"Yoshh, ayo kita pergi ke tempat pendaftarannya." Dengan cepat dia menarik lenganku.

(Di perpustakaan)

"Namamu Kiki Otaki, benar, kan?" tanya wanita berambut hijau pendek, berkacamata, tinggi kira-kira 150cm, berbaju kuning, dan rok kuning selutut. Dia adalah guru pembimbing eskul pustakawan.

"Benar."

"Di klub pustakawan, kau akan menjaga perpustakaan di saat jam istirahat dan pulang sekolah. Apakah kau sanggup?"

"Sanggup."

"Bagus, mulai hari besok kau akan melakukan kegiatan pustakawan. Selamat!" ucap Bu Julie menjabat tanganku. "Aku senang, huhuhuh!" lanjutnya, dan menangis terharu.

"Selamat ya," ucap Waskito menepuk pundakku.

"Oh... iya."

"Baiklah." Bu Julie mengusap air matanya. "Sebaiknya kau cepat pulang, kau harus menyimpan energimu itu untuk besok."

"Baiklah, kami permisi."

(Di perjalanan pulang)

"Sampai jumpa, Kiki!" ucapnya melambaikan tangan ke arahku dan pergi.

"Ya," jawabku pelan, dan membalas lambaiannya.

Apakah kami benar-benar bisa berteman? Pertanyaan itu tiba setelah aku mengenal lebih dekat Waskito. Dia adalah pria periang yang ribut, sedangkan sifatku suka dengan hal yang tenang. Dia seorang yang selalu menarik perhatian, sedangkan aku sebaliknya. Dia adalah seorang yang selalu tersenyum, dan aku selalu meratapi langit dengan wajah datar. Kami memiliki sifat yang terbalik. Jadi apakah benar kita bisa berteman dengan baik?

(Di rumah Kiki, di ruang makan)

"Bagaimana dengan hari pertama di sekolah?" tanya Kakakku. Dia adalah seorang pria berbadan atlit angkat besi, berkulit coklat, berambut pendek, tinggi 180cm, bermata coklat, dan selalu berpakaian setelan kaos dan celana jeans. Namanya Reza.

"Ya, begitulah," jawabku datar.

"Hmm, ternyata kau benar-benar berubah, ya? Tapi itu adalah jati dirimu sendiri, bagus!" Dia memberiku sebuah jempolan semangat.

"Dan Kakak tidak berubah sedikitpun."

"Hahahah, kau benar. Jadilah dirimu sendiri, maka kekuatan dalam hatimu akan muncul!" lantangnya dengan semangat dan melakukan pose yang aneh.

Bisa dibilang, Kakakku ini mengidap penyakit Hyper Aktif. Entah sudah beberapa tahun dia seperti ini. Tapi walau seperti ini, dia adalah Kakak yang selalu memeperhatikan Adiknya, walau aku satu-satunya Adik yang dia punya. Kami memiliki satu Kakak dan satu Adik, dan mereka berdua sudah lama tiada. Semenjak saudara kami meninggal, Ayah dan Ibu selalu bertengkar, dan berujung kepada perceraian. Kak Reza tidak ikut Ayah maupun Ibu, dan aku ikut Ayah. Awalnya baik-baik saja, tapi lama kelamaan kondisi mental Ayah memburuk, dia selalu mabuk-mabuk dan berjudi. Di saat itu aku mengalami keputusasaan, tapi Kak Reza menyelamatkanku dari keputusasaan dengan mengajakku untuk hidup bersamanya. Sampai sekarang kami tidak tahu kabar mereka berdua.

"Terserah Kakak, deh."

"Jadi..."

"Jadi apa?"

"Apakah kau memiliki teman?"

"Ada."

"Berapa?"

"Satu."

"Hmm, itu adalah awal yang bagus. Terus cari teman yang memiliki semangat yang sama!" Sekali lagi dia melakukan pose anehnya itu.

"Baiklah."

"Lalu, seperti apa temanmu itu?"

"Bisa dibilang mirip Kakak."

"Bagus! Kau memang memiliki selera yang bagus."

"Kurasa aku salah selera deh," ucapku dalam hati.

"Apakah ada yang membuatmu bingung?" tanya dia dengan nada serius.

"Bukan apa-apa."

"Kau tidak bisa menyembunyikan masalahmu di depan Kakakmu ini." Sekali lagi dia mengatakan hal itu dengan serius.

"Kakak tidak kemasukan makhluk aneh kan?"

"Tentu tidak," jawabnya serius.

"Baiklah. Menurut Kakak, apa arti dari seorang teman?"

"Hmm..." Dia sedang berpikir panjang. "Menurutku sih, dia adalah orang yang bisa membuatmu tersenyum."

"Begitu, ya."

"Sepertinya kau harus mencari arti teman dari dirimu sendiri." Lalu dia pergi dan mengambil piring-piring, gelas-gelas, dan sendok-sendok bekas kami gunakan ke tempat pencucian.

Aku melupakan satu hal yang penting selama ini, walau Kakakku ini memiliki penyakit Hyper Aktif, tapi dia bisa membaca suasana dan membantu mencari solusi untuk orang yang ada di sekitarnya.

(Keesokan harinya, di perpustakaan sekolah saat jam istirahat)

"Tolong, ya, Nak Kiki," ucap Bu Julie menyerahkan posisi penjagaan perpustakaan kepadaku.

"Siap," jawabku datar dan memberi hormat.

"Baik, selamat bekerja." Hendak dia pergi. "Oh ya, kau boleh membawa makan siangmu ke perpustakaan. Tapi ingat, jangan membuang sampah sembarangan. Dadah!" Akhirnya diapun pergi.

Kemudian aku duduk di tempat yang sudah disediakan. Suasana di sini sangat sepi, mungkin murid-murid lebih memilih mengisi perut dibanding kepala. Karena bosan, aku mengambil salah satu buku pelajaran dan membaca di posku.

"Kiki!" panggil Waskito dengan keras.

"Sssttttt! Ini perpustakaan tahu," tegurku.

"Tidak apa, di sinikan sepi. Enggak apa-apakan, kalau aku...." ucapannya terhenti, karena aku memukul meja.

"Sudah kubilang ini perpustakaan," ucapku datar.

"Baik, maaf kalau saya mengganggu. Saya permisi." Dia pergi dengan wajah murung.

Jujur, aku tidak suka orang yang seenaknya melanggar peraturan hanya karena keegoisannya, tapi anehnya aku juga tidak bisa menegurnya. Tapi tadi aku bisa menegur, apakah karena aku selalu memikirkan dia? Padahal biasanya aku hanya memendam perasaan ingin menegur orang yang melanggar. Satu hal lagi, aku bukan orang yang mudah marah.

(Pulang sekolah, di perjalanan pulang)

"Sepertinya aku harus meminta maaf kepada Walkito," ucapku dalam hati.

"Hei, tuan! Jangan menyela!" tegur wanita muda berambut panjang coklat, berbaju kuning, dan rok panjang kepada kedua pria berotot. Satu orang menggunakan kaos hitam, dan celana jeans. Satu lagi menggunakan baju berbahan jeans, dan celana jeans dengan beberapa lubang, dan mereka sama-sama berambut hitam pendek dengan gaya yang berbeda. Mereka sedang mengantri membeli tiket bioskop.

"Apa masalahmu?! Kau tidak tahu sopan santun ya, nona kecil?" ucap pria berkaos hitam sambil meremas tangannya, tanda mengancam. Nona muda itu mundur karena takut, dan jatuh tersandung.

Seperti orang-orang di sekitarnya, aku hanya bisa diam melihat kejadiaan itu dengan perasaan kesal dan mengepal tangan. Tapi, ada seorang pria berlari ke arah mereka dan melindungi wanita itu dengan menghalangi langkah kedua pria itu.

"Kalian yang tidak tahu sopan santun!" Ternyata itu adalah Waskito.

"Hei nak, minggir! Kami punya urusan dengan wanita itu!" ancam pria berbaju jeans.

"Lewati dulu mayatku!"

"Baiklah!" Mereka secara serempak menghajar Waskito sampai dia tersungkur. Saat dia jatuh ke tanah, mereka tak henti-hentinya menginjak dia.

"SIALLLL!!" teriakku berlari ke arah mereka. Aku berhasil menghajar pria berbaju kaos. Karena melihat temannya tersungkur, pria berbaju jeans itu menyerangku, berhasil kuhindari, tinjuannya melewati telingaku, aku berputar, kuambil tangannya, menariknya kebawah, dan dengan bantuan punggungku aku berhasil membuat dia terjatuh. Kemudian mereka berdiri secara bersamaan, mereka menyerang dengan serempak. Tapi, karena mereka ada di depan dan belakangku, lalu aku jongkok, tinju mereka saling beradu satu sama lain, dan membuat mereka terjatuh lagi.

"Lariii!" perintah pria berbaju kaos, merekapun berlari terbirit-birit.

"Kau tidak apa-apa, Bu?" tanya Waskito menghampiri wanita itu.

"Tidak apa-apa, makasih banyak ya. Jangan panggil aku Ibu, aku masih murid kelas 2 SMA kok," jawab dia tersenyum kepadanya. "Makasih ya, sudah menolongku," ucapnya kepadaku.

"Oh, sama-sama, Kak," jawabku datar.

"Terima kasih ya, Sobat." Waskito menghampiriku.

"Kenapa kau belum pulang?"

"Tadi aku menunggumu, mau meminta maaf karena tadi aku kurang sopan saat di perpustakaan. Padahal niatnya aku hanya bercanda, heheheh." Dia garuk-garuk kepala dengan wajah senyum.

"Baiklah, aku maafkan," jawabku sambil melihat langit sore hari. "Ayo kita pulang, Waskito." Dia memasang wajah bingung. "Kau kenapa?"

"Barusan kau banyak bicara, dan menyebut namaku dengan benar. Aku terharu." Akhirnya dia memperlihatkan wajah senangnya.

"Itukan gara-gara kamu tahu!"

"Iya deh, ayo!" Kamipun pamit kepada Kakak itu, dan pulang.

Setelah kejadian itu, aku menyadari arti dari teman. Menurutku, dia adalah orang yang memiliki sifat yang bertolakan, tapi bisa menutupi kekurangan satu sama lain. Seperti tadi, kalau saja Waskito tidak melakukan hal itu, mungkin aku hanya bisa diam saja. Dan satu hal lagi, seorang teman pasti membagikan rasa suka, sedih, kesal dan apapun itu kepada temannya, dan mereka bisa mencari solusi bersama-sama, dan memecahkan masalah.

"Hei, Waskito," ucapku.

"Ya?"

"Apakah kita masih berteman?"

"Tentu, malah kita ini adalah sahabat."

Setelah mendengar itu, aku hanya bisa tersenyum. Akhirnya ada yang menyadari keberadaanku ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro