Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

EPISODE KEDUA: SIAL DAN BERUNTUNG

Sial dan beruntung, mereka dua hal yang saling bertolak belakang. Menurut buku yang pernah aku baca, mereka itu bagaikan air dan minyak, jadi tidak bisa bersatu. Sebuah bencana bagi kita yang terkena kesialan, dan sebuah berkah bagi kita mendapatkan keberuntungan.

"Kak Reza sedang apa?"

"Sebagai pria, olahraga dibutuhkan!"

"Iya aku tahu, tapi kenapa harus menggunakan TV?" Kak Reza sekarang sedang melakukan angkat beban dengan TV yang cukup besar.

"Ini adalah cara cepat untuk mengembangkan otot!" ucapnya dengan nada yang khas. "Mau coba?" lanjutnya menyodorkan TV itu kepadaku.

"Tidak, terima..." TV itu jatuh mengenai kaki Kak Reza. "Kakak tidak apa-apa?"

"Te-Te-Tetap se-se-se-ma-ma-ma-ngat!" Dia memberiku jempolnya walau sedang kesakitan.

"Siap."

(Di perjalanan menuju sekolah)

'DRUSS' cipratan genang air mengenai celanaku. "Ahhh... padahal baru dicuci," keluhku dalam hati.

"Kiki!" Aku melihat sumber suara itu, ternyata itu Waskito yang sedang berlari ke arahku. Dia berlari dengan cepat, saking cepatnya dia tidak bisa berhenti walau sudah dekat denganku. Tubuhnya menabrak tubuhku, dan itu membuatku terjatuh. "Kau tidak apa-apa, sobat?" tanyanya dengan wajah tanpa dosa.

"Kau pikir aku baik-baik saja?" kesalku walau dengan nada datar, dan masih dalam keadaan tergeletak.

"Maaf-maaf." Lalu dia membantukku berdiri. "Habis dari tadi aku panggil, kamu tidak melihatku sih."

"Benarkah?"

(Di perpustakaan sekolah, waktu istirahat)

"Bu July, Ibu di mana?" Aku mencari Ibu Julie untuk memberitahu bahwa aku sudah datang. Terdengar suara aneh, aku berlari ke arah suara itu. "Ibu tidak apa-apa?" Kulihat Bu Julie sedang duduk dengan beberapa buku di kepala dan badannya.

"Aduhhh! Sakit, kenapa aku harus mengalami kesialan ini sih!" teriak dia.

"Sudahlah Bu July, ini hanya kecelakaan saja." Aku membantu dia berdiri.

"Julie! Bukan July!"

"Ya, maaf Bu Julie."

"Baiklah, sisanya kuserahkan kepadamu," ucapnya ketus. Lalu meninggalkanku dengan wajah cemberut.

Kebanyakan orang selalu mengatakan sedang sial kalau mendapati kesakitan, tapi bila ada yang senang orang pasti mengatakan itu adalah keberuntungan. Aku tidak mengganggap mereka salah, hanya saja kasihan juga si "sial" itu.

"Selesai sudah, huuukkk!" Aku meregangkan tubuhku karena lelah menyusun kembali buku-buku yang menimpa Bu Julie.

"Kau ternyata ada di sini, Sobat?" ucap Waskito tiba-tiba sudah ada di depanku. "Lihat, Sobat!" Dia memperlihatkan sebuah uang kertas yang bernilai seratus ribu. "Hari ini adalah hari keberuntunganku."

"Oh," balasku dingin. Lalu meninggalkannya.

"Kok responya hanya segitu, sih?"

"Terus aku harus bagaimana?"

"Entahlah?"

(Jam pulang, di perpustakaan)

"Masih tetap sepi, ya?" keluhku. "Apa mungkin aku harus membuat keributan di sini, ya? Supaya banyak yang datang. Tapi, aku dan Waskito selama ini selalu membuat keributan, dan itu tetap tidak menghasilkan apapun."

"Ini!" ucap Bu Julie yang entah kapan sudah ada di depanku. Dia menyodorkan sebuah kotak makanan. "Kau pasti lapar, Nak Kiki?"

"Oh, terima kasih."

"Bagaimana keadaan di perpustakaan ini?"

"Seperti yang terlihat."

"Begitu ya. Oh ya, aku tidak pernah melihatmu memakan sesuatu selama kau berjaga? Apakah kau tidak membawa bekal?"

"Tidak, hanya ingin menghemat uangku saja."

"Hmm, tapi kalau sering begitu, nanti malah sakit."

"Baik."

"Lalu, di mana temanmu itu?"

"Dia sedang ada kegiatan di klub sepak bola."

"Bolehkan Ibu meminta bantuanmu?"

"Apa?"

"Begini, kau ini orangnya penyendiri, kan?"

"Ya."

"Terus bagaimana kau bisa mendapatkan teman yang seperti dia?"

"Entahlah, mungkin kesialan sekaligus keberuntunganku datang di saat yang bersamaan."

"Sebelas kata, itu adalah rekor bicaramu yang terpanjang."

"Kok malah jadi ngitung jumlah kataku?,"

"Maaf, tadi aku hanya bercanda," ucapnya dengan wajah malu.

"Lalu, bantuan apa yang Ibu minta?"

"Eh?! Aku lupa, jadi maukah kau membantu Ibu?"

"Ibu sudah mengatakan itu sebelumnya."

"Maaf, Ibu ragu-ragu meminta bantuanmu."

"Baik, aku pulang."

"Tunggu!" Dia menarik tanganku. "Bagaimana bicaranya, ya?"

"Aku pulang."

"Baik! Baik! Jadi begini, Ibu meminta cara untuk mendapatkan teman dengan mudah."

"Kenapa kepadaku?"

"Karena kau bisa mendapatkan teman yang baik, pengertian, dan pokoknya bagus."

"Kenapa tidak tanya Waskito saja?"

"Tadinya sih mau, tapi aku malu karena belum kenal dengannya."

"Terus kenapa harus aku?"

"Karena kau satu-satunya orang yang Ibu kenal di sini!"

"Hah?"

"Sejujurnya, Ibu ini kenal dengan beberapa guru di sini, tapi Ibu tidak merasakan seperti layaknya teman. Jadi, maukah kau membantuku?"

"Akan kuusahakan."

"Terima kasih."

"Jadi selama ini, Ibu selalu ke luar untuk apa?"

"Itu... Oh ya, bukankah kau harus pulang sebelum hari gelap?"

"Eh?"

"Sekarang kau boleh pulang." Dia mendorongku menuju pintu keluar. "Sampai jumpa besok!" Dengan cepat dia menutup pintu.

"Ibu July kenapa, ya?" gumamku.

"Yang benar Bu Julie!!!" teriak dia.

(Di perjalanan pulang)

"Hei, Kiki," ucap Waskito.

"Ya?"

"Maukah kau membantuku?"

"Apa?"

"Tadi aku mendapatkan sebuah permintaan dari guru pembimbing sepak bola."

"Terus?"

"Dia meminta kepadaku untuk memperkenalkan Bu Julie kepadanya."

"Hah?"

"Iya, namanya Pak Erik. Sebetulnya dari dulu dia selalu memperhatikan Bu Julie, tapi dia malu untuk berkenalan dengannya. Jadi, maukah kau membantuku?"

"Kebetulan sekali... (Aku menjelaskan pembicaraanku dengan Bu Julie kepadanya.) Begitulah ceritanya."

"Keren."

"Apanya?"

"Kau berbicara panjang lebar, itu adalah sejarah!"

"Aku juga terkejut kepada diriku sendiri."

"Bagaimana kalau kita membuat rencana?"

"Rencana seperti apa?"

"Kita pertemukan mereka berdua secara langsung!" ucapnya semangat sambil mengangkat tangannya ke langit.

(Di rumah Kiki)

"Kaki Kakak sudah baikkan?" tanyaku. Melihat Kak Reza sedang terbaring di sofa dengan beberapa kompres di kakinya.

"Tidak apa-apa, ini adalah bukti kekuatanku!" jawabnya dengan wajah semangat.

"Terserah, biar aku saja yang memasak hari ini."

"Tidak! Biar Ka..." Dia berusaha berdiri, tapi terlihat dari ekspresinya kalau dia kesakitan.

"Jangan paksakan diri, lagipula hanya untuk hari ini saja."

"Baiklah, semangat!"

(Keesokan di sekolah, saat jam istirahat)

"Apakah Ibu siap?" tanya Waskito semangat.

"Entahlah, sepertinya Ibu belum siap," ucapnya malu-malu.

"Sekarang!" Dia mendorong Ibu Julie keluar dari persembunyiannya, sedangkan kami ada di lorong tepatnya di tikungan menuju ruang olahraga.

"Apa kau yakin ini bisa berhasil?"

"Yakin! Mereka akan bertemu di satu lorong, Pak Erik akan keluar dari ruangan olahraga. Mau tidak mau dia harus melewati Bu Julie, bila ingin kembali ke ruangan guru." Kami kembali mengintip Bu Julie yang sedang berdiri malu di sana.

Tak lama kemudian keluarlah seorang pria berbaju olahraga putih biru, dan celana training biru, berbadan tegak, berkulit putih kecoklattan, tinggi kira-kira 180cm, berkumis sedang, berwajah muda tidak mirip bapak-bapak, dan rambut hitam pendek. Dia berjalan mendekati Bu Julie atau lebih tepatnya melewati Bu Julie begitu saja.

"Ibu kenapa tidak menyapanya?" Waskito menghampiri Bu Julie. "Ibu? Ibu Julie enggak apa-apa?" Dia mengguncang badan Bu Julie. Lalu Bu Julie pingsan.

(Di ruangan kesehatan sekolah)

"Ibu masih pusing?" tanya Waskito.

"Sedikit, maaf ya."

"Ibu tidak perlu minta maaf, tetap semangat!"

"Lama kelamaan dia mirip Kak Reza," ucapku dalam hati.

"Bel masuk sebentar lagi, kami izin ke kelas dulu ya, Bu."

"Ya, terima kasih untuk sebelumnya." Kamipun keluar.

"Bagaimana, ya?" gumam Waskito.

"Apanya?"

"Rencana selanjutanya."

"Mau dilanjutin rupanya?"

"Tentu saja."

"Terserah, deh."

"Terus, kamu ada ide?"

"Ada."

"Apa?"

"Biarkan waktu yang menjawab."

"Kalau begitu enggak ada usahanya dong?"

"Tentu ada, tapi itu rencana A. Kalau yang B..."

(Saat jam pelajaran olahraga, di lapangan)

"Baiklah, sekarang kita akan melakukan pemanasan dulu sebelum melakukan pelajaran ini. Siap! Mulai!" perintah Pak Erik, kebetulan dia juga guru olahraga kami.

"Kau yakin ini akan bekerja?" Waskito menahan kakiku.

"Entahlah." Aku mengangkat badan, aku sedang melakukan sit up.

"Memang meragukan, sih."

"Sudah, lihat saja hasilnya."

(Selesai pemanasan)

"Baik, sekarang kita akan melakukan tembakan. Waskito, beri contoh!" Lalu Waskito maju dan diam di depan bola sepak. "Nah, silahkan langsung ditembak!" Waskito menendang bola itu dengan cepat dan keras, bola itu melayang ke depan, terus maju dan mengenai Bu Julie. Pak Erik berlari ke arahnya.

(Sebelumnya)

"Tentu ada, tapi itu rencana A. Kalau yang B..."

"Apa?"

"Nanti saat pelajaran olahraga, kau harus menendang bolanya dengan keras dan tinggi, ya?"

"Hah? Buat apa?"

"Sudah lakukan saja."

(Kembali lagi ke lapangan)

"Aku sudah mengamati jalur Bu Julie yang akan selalu dilewatinya di saat hari ini, besok, dan seterusnya. Menurut perhitunganku, dia akan melewati lapangan ini hari ini di saat jam olahraga," penjelasanku kepada Waskito.

"Tapi kenapa dia ingin melewati lapangan ini? Padahal sudah tahu ada yang olahraga? Bagaimana kalau kecelakaan ini terjadi?"

"Dia melakukan ini karena itulah rencananya."

"Kau tahu dari mana?"

"Tentu dari Bu Julie sendiri."

"Begitu ya."

Karena kejadian itu, aku menyadari satu hal. Keberuntungan dan kesialan itu tidak ada. Kesialan itu ada karena kesialan dianggap adalah hal yang buruk, sedangkan keberuntungan adalah hal yang baik. Kalau menurutku, kesialan tidak selamanya buruk, dan keberuntungan tidak selamanya baik.

(Selesai pelajaran olahraga, di tempat ganti baju laki-laki)

"Akhirnya mereka bisa saling berbicara, ya?"

"Iya."

"Kau hebat, Kiki." Dia memberiku jempol.

"Benar-benar mirip Kak Reza."

"Oh ya, apakah mereka akan lebih dekat?"

"Maksudnya?"

"Tentu tentang cinta!" jawabnya semangat.

"Cinta?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro