Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

EPISODE KEDELAPAN: PERASAAN

"Sudah kuduga, pasti kalian akan cocok," ucap Waskito.

"Cocok apa?"

"Kau ini, tidak mengerti juga? Kau dan Nisya."

"I...I...tu, te...terima kasih."

"Sudah jangan malu-malu." Dia menepuk punggungku cukup keras. "Dan jangan murung seperti itu," ucapnya karena melihatku hanya duduk dengan memasang wajah bingung.

"Iya."

(Di rumah Kiki)

"Apakah ini tidak apa-apa?"

"Hei, Iki!" tegas Kak Reza membangunkanku dari mode Nin.

"Ada apa?!"

"Dari tadi Kakak memanggilmu, tapi enggak nanggapin."

"Maaf."

"Kau kenapa?"

"Bukan apa-apa, hanya saja tadi aku mendapatkan bekal dari Nisya."

"Itu bagus! Itu adalah perkembangan yang baik!"

"Iya, kalau saja..."

"Jangan-jangan..."

"Begitulah."

"Masakannya tidak enak!"

"Bukan itu masalahnya."

"Lalu?"

"Kakak tahu sendiri, kan?"

"Oh... yang itu, ya?"

"Benar."

"Kenapa kau tidak mengatakannya saja?"

"Aku tidak mau menyakiti perasaannya."

(Keesokan, di sekolah)

"Tumben kau datang sepagi ini?" ucap Waskito.

"Begitulah, aku hanya ingin me..."

"Aku tahu, kau ingin bermesraan dengan Nisya, ya?"

"Kurang tepat. Tapi benar, aku ingin bertemu dengan Nisya." Aku menyimpan tasku, dan pergi ke luar.

"Selamat bersenang-senang," ucapnya dengan nada aneh.

"Bersenang-senang apanya?" Aku berjalan menuju kelas Nisya. Tapi, selama di perjalanan, aku merasakan ada kekuatan yang gelap sedang mengintaiku. Walau, yang kumaksud adalah tatapan dari para siswa-siswa kelas satu. "Apakah mereka menyimpan dendam kepadaku?" Sampailah aku di depan kelasnya.

"Ada perlu apa, Kak?" ucap seorang siswi saat aku hendak memasuki kelas ini.

"Ah, itu... Aku hanya ingin bertemu dengan Nisya."

"Nisya? Oh... Dia belum datang."

"Begitu, ya. Baiklah, maaf mengganggu." Lalu aku pergi mencari Nisya di berbagai tempat di sekolah. "Di mana dia, ya?" Aku sudah mencari di berbagai tempat, tapi ada satu tempat yang belum aku kunjungi. Yaitu perpustakaan.

Aku pun sampai di perpustakaan. "Ternyata kau ada di sini."

"Kak Iki, kenapa Kakak kemari?" Dia sedang duduk sambil membaca buku.

"Aku hanya ingin menemuimu."

"Begitu ya, ternyata ada juga yang menyadari kehadiranku."

"Apa maksudnya?"

"Bukan apa-apa. Lalu, ada perlu apa Kakak mencariku?"

"Aku hanya ingin mengatakan sesuatu. Ini soal makananmu yang kemarin."

"Apakah rasanya tidak enak?"

"Bukan, tapi...tapi... Bagaimana aku mengatakannya, ya?"

"Katakan saja, Kak."

"Aku...Aku... tidak suka dengan bawang."

"Eh?!"

"Aku sangat tidak suka dengan bawang, rasanya aku ingin muntah dengan rasa dan baunya. Apalagi bawang daun. Kau tidak marah, kan?"

"Kenapa harus marah?"

"Soalnya, menurut Waskito, wanita tidak suka diusik tentang umur, berat badan, tinggi badan, dan rasa masakan mereka."

"Memang benar, tapi kalau tentang masakan wanita tidak suka kalau laki-laki bilang tidak enak. Tapi, Kakak hanya bilang, tidak suka dengan bawang, kan?"

"Iya, baguslah kalau begitu."

"Tapi... Kakak harus memakan bawang untuk hari ini saja, karena aku membuatkan nasi goreng dengan bawang yang cukup banyak."

"Apa?!"

"Maukah Kakak memakannya?" Dia memasang wajah memohon, dan dia sangat lucu sekali, saking lucunya rasanya aku ingin mencubit pipinya sampai berdarah.

(Di perjalanan pulang)

"Kau tidak apa-apa, Kiki?" tanya Waskito.

"Iya, hanya sedikit mual." Aku memegang perutku dan memasang wajah muram.

"Mau tidak mau kau harus memakannya. Dan semua itu hanya demi cinta, kau sangat keren!" Dia menunjukkan jempolnya.

"Mungkin dia adik Kak Reza yang sebenarnya."

"Lalu, kenapa kau tidak pulang bersama dia?"

"Dia ada urusan dengan keluarganya, jadi dia pulang duluan."

"Begitu ya, kalian sungguh pasangan serasi!" Dia menunjukkan jempolnya lagi.

"Apakah jempolan itu sungguh berarti? Oh ya Waskito, aku tidak pernah melihat Nisya bersama dengan teman sekelasnya."

"Sejarah..."

"Apanya?"

"Kau memulai pembicaraan, dan itu tentang seseorang. Sungguh terharu..."

"Sepertinya ada yang salah dengan otaknya?"

"Dia itu seorang pemalu."

"Pemalu?"

"Iya, aku mendapatkan kabar ini dari Bu Julie. Menurut dia, Nisya bukan wanita yang mudah bicara dan menarik perhatian. Singkatnya, dia itu sama sepertimu, pemurung."

"Benarkah? Dia tidak terlihat seperti itu?"

"Benar, jangan melihat buku dari sampulnya."

"Begitu ya..."

(Di kamar Kiki)

Aku membalas pesan dari Nisya, tak kusangka dia sangat cerewet. Setiap kali dia selalu bertanya tentang, "Apakah Kakak sudah makan?" "Apakah Kakak sudah mandi?" "Kakak tidak boleh tidur malam-malam" atau "Jangan lupa mengerjakan PR". Tapi dibalik kecerewetannya, ternyata dia seorang pemurung sepertiku. Sungguh tidak disangka.

'Kakak sedang apa?' balas Nisya.

'Memikirkanmu.' "Ehhhh! Kenapa aku membalas seperti itu?" kagetku, karena sebetulnya memang aku sedang memikirkannya.

'Memikirkan apa?'

'Enggak enak kalau di sini, mungkin aku akan mengatakannya secara langsung.' "Ehhhh! Kenapa aku membalas dengan kalimat yang aneh lagi?" Setelah itu, dia tidak membalasnya lagi. "Gawat! Apakah dia sedang marah?"

'Ba...Baiklah, nanti pagi kita bertemu di perpustakaan.'

"Ternyata dia tidak marah." 'Baik, akan kutunggu. Jangan lupa untuk tidak memasukan bawang di bekalku, ya?'

(Keesokan harinya, di perpustakaan sekolah)

"Apa yang ma-mau Kakak bicarakan?" tanya Nisya gugup.

"Aku hanya ingin bertanya satu hal."

"I-Itu, tenang saja Kak, Kakek dan Nenek tidak menyadari kepura-puraan kita!"

"Bukan itu."

"La-Lalu a-a-apa?"

"Kenapa kau tidak berbicara dengan teman sekelasmu, dan memilih untuk membaca di sini?"

"Itu... aku hanya malu."

"Bagitu ya, biar aku bantu."

"Eng..."

"Tenang saja, aku hanya tidak ingin melihatmu kesepian."

(Jam istirahat, di sekitar kantin. Melakukan rencana mencari teman, yang pertama)

"Bu Julie sudah mengizinkan kita untuk tidak menjaga perpustakaan," ucapku.

"Te-Terima kasih, Kak."

"Baiklah, sekarang kau hanya tinggal menyapa mereka."

"Ba...Baiklah." Lalu dia pergi menuju gerombolan wanita teman sekelasnya yang sedang mengobrol, dengan langkah yang gugup. Lalu dia sudah sampai. "Anu... Ha...Ha...lo..."

"Oh Nisya, ada perlu apa?" ucap salah satu mereka.

"Ti...Tidak apa-apa, aku hanya ingin menyapa saja." Dengan cepat dia berjalan ke arahku.

"Eh? Kenapa kau langsung ke sini?"

"Aku bingung, apa yang harus aku katakan?"

"Aku lupa tentang itu."

(Rencana kedua, di lorong kelas saat jam pulang sekolah)

"Pertama-tama, lakukanlah pendekatan dengan cara membicarakan bagaimana kabarnya. Kedua, tanyakan apa yang dia suka. Ketiga, tanyakan bagaimana rasanya sekolah di sini. Dan perlu diingat, kalau dia nyaman denganmu, dia akan memberitahukan namanya," jelas Waskito.

"Baiklah, aku akan mencobanya!" Lalu Nisya mencari teman yang bisa diajak bicara.

"Terima kasih, Waskito."

"Tidak apa-apa, inilah gunanya teman."

(Beberapa menit kemudian)

"Hiks!" Nisya muncul dengan wajah sedih.

"Ka-Kau kenapa?" Aku menghampiri dia.

"Tadi aku melakukan seperti yang dikatakan Kak Waskito, tapi... aku gagal."

"Aneh? Kenapa bisa gagal? Coba ceritakan bagaimana kau mengatakannya?" ucap Waskito ragu.

"Begini..."

"Bagaimana kabarmu?" tanyaku.

"Tidak baik."

"Apa yang kau suka?"

"Tidak ada."

"Bagaimana rasanya..."

"Sakit! Sakit tahu! Jatuh dengan mendaratkan kaki terlebih dahulu!" bentak dia memegang luka di kakinya.

"Hahahah!" Tiba-tiba Wasikto tertawa. Karena sediki kesal, kupukul kepalanya. "Sakittt!"

"Jangan menertawakan dia! Lagipula, kenapa kau bicara dengan orang yang sedang terjatuh?"

"Habis... kalau orang lain sedang bicara dengan teman mereka... Jadi, aku bicara kepadanya, karena dia sedang sendiri."

"Pantas saja dia susah mendapatkan teman, dia tidak membaca situasi seperti itu. Tunggu, bukankah aku juga sama?"

"Sepertinya aku gagal, hiks!"

"Sudah jangan bersedih seperti itu... Ada apa?" tanyaku karena melihat Nisya sedang melihat sesuatu di luar jendela, dan memasang wajah bingung.

"Mereka dalam masalah!" Tiba-tiba dia berlari menuju ke luar.

Aku dan Waskito mengejar dia, ternyata dia berlari menuju lapangan Baseball. Di sana berdiri dua pria berseragam dengan gaya seperti preman, dan tiga pria, dan dua wanita berbaju olahraga.

"Tapi... Kami sudah meminjam lapangan ini terlebih dahulu," ucap salah satu pria berbaju olahraga.

"Kau berani dengan kami!" ucap pria berseragam. Dia mencengkram kerah pria itu.

"Hentikan!" teriak Nisya. "Mereka sudah meminjam lapangan ini terlebih dahulu!"

"Apa urusanmu?!" Pria itu melepaskan cengkramannya, dan mereka menghampiri Nisya.

"Hei-hei, kalian tidak boleh kasar kepada wanita," ucapku.

"Oh... ternyata pacarnya datang. Mau apa kau? Mau menghajar kami?"

"Boleh saja, tapi, lebih baik kita bertarung dengan tongkat itu." Aku menunjuk tongkat pemukul Baseball yang sedang dipegang salah satu pria berbaju olahraga. "Kalau aku menang, kalian pergilah dan jangan ganggu mereka. Tapi kalau kalah, silahkan kalian gunakan lapangan ini sepuas kalian."

"Baiklah, siapa takut?!"

(Lalu)

"STRIKE!" Sudah dua bola yang masuk.

"Gawat, tinggal satu kali lagi," ucap Waskito.

"Bagaimana ini? Dia pasti kalah," gumam wanita berbaju olahraga. Mereka berlima saling berbisik tentang kekecewaan mereka dengan keputusanku.

"Tenang saja, saya yakin, Kak Iki pasti bisa!" bantah Nisya. "Kakak! Jangan kalahhh!"

"Kelihatannya aku harus serius." Aku menyimpan tongkat itu di bahu kananku. "Maaf ya, aku tadi menahan diri," ucapku dengan nada mengejek.

"Jangan berlaga sok hebat!" Dia melemparkan bola itu dengan cukup keras dan cepat. 'TENG' berhasil dipukul, dan itu adalah home run.

Setelah itu, kedua pria itu lari terbirit-birit. Salah satu dari mereka berterima kasih, lalu yang lain pun ikutan, kemudian Nisya pun diajak bicara. Sungguh senang, melihat mereka mengobrol dengan Nisya, dan lebih senang lagi, Nisya bisa berkomunikasi dengan mereka tanpa malu.

"Ayo kita pergi, Waskito."

"Kau hebat juga, Kiki," ucapnya saat kami sudah ada di luar sekolah.

"Itu bukan apa-apa."

"Kakak!" Nisya berlari menghampirku. "Ini, air minum untuk Kakak."

"Terima kasih."

"Tidak, seharusnya aku yang berterima kasih, Kak."

"Hmm... Kalian memang sangat cocok, ya. Tapi, kenapa kau masih memanggilnya Kakak?"

"Itu... walau kami pacaran, tapi aku lebih nyaman kalau memanggilnya Kakak."

"Bagaimana kalau Kai?"

"Kai?"

"Iya, itu singkatan dari Kak Iki. Dan itu juga supaya membuktikan kalau kalian adalah pasangan yang sangat serasi."

"Oi, apakah tidak..."

"Baiklah, aku akan memanggilmu Kai."

"Tunggu dulu..."

"Boleh kan, Kai?" Dia memasang wajah memohonnya lagi.

"Baiklah, kau boleh memanggilku seperti itu."

"Horeee! Kai memang baik!"
Sungguh, perasaan itu tidak bisa ditipu. Walau nama itu memalukan, tapi kalau dia yang mengatakannya, rasanya ada sesuatu yang spesial. Perasaan yang hebat itulah yang mungkin dinamakan cinta.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro