Intermezzo
INTERMEZZO
***
"Why do people hide love
and express hatred to openly?"
***
Raphael's POV
BOSTON STORY
DARI awal, gue nggak pernah setuju Nana pergi ke Boston sendirian. Anak itu selalu ingin terlihat kuat padahal nyatanya meleyot. Bukan gue ingin meragukan Nana, tapi gue tahu batas kemampuan cewek itu—alias dari fisik.
Sakitnya Nana tuh dari kecil nggak jauh dari demam, flu, batuk, pilek, paling parah DBD sampai dirawat sepuluh hari nggak balik-balik karena trombosit dia yang susah naik. Tante Jane sama Om Anto sampai pernah sepusing itu karena kondisi Nana yang nggak kunjung membaik.
Kalian tahu obat Nana apa? Donat!
Nana memang gila banget kalau soal donat, ya setiap orang juga pasti punya kesukaan yang bisa jadi coping mechanism seseorang untuk bangkit, kasusnya dalam Nana ya donat.
Bukan gue iri, Nana masuk ke Berklee oke.. Semua orang melirik dia dengan antusias, setelah jadi Putri Jakarta Symphony Hall yang sangat membanggakan telah menaklukan Sydney dan semacamnya, Nana semakin dilirik karena dia berhasil masuk ke Berklee tanpa sulit.
Latar belakang cewek itu jelas bagus, sahabat gue yang satu itu lancar banget kalau perkara musik. Terkecuali, matematika. Memang, seniman selalu memiliki otak yang unik. Banyak ide dan gagasan yang Nana punya sejak sekolah, yang nggak pernah gue bisa pikirkan sama sekali.
Ibarat kata, hidup dia penuh seni. Nggak hanya hidup, melainkan hal terkecil, napas yang Nana miliki kayaknya punya melodi tersendiri.
Jadi, ketika gue sampai di Boston, dengan udara dingin—well musim dingin sudah datang sampai gue berpikir kalau gue nggak akan bisa balik ke Cambridge.
Apartemen Nana nggak jauh dari kampusnya, Arie bilang Nana ada di apartemen dan nggak pergi latihan musik bersama teman satu geng dia yang selalu dipamerin di media sosial.
Cih.
Gue mengetuk pintu apartemen dia, hal yang paling gue sukai dari Nana adalah aroma dia. Kalian pernah nggak sih, nemuin orang yang punya aroma tersendiri sampai aroma itu bisa menempel dimana pun. Kayak kalian bisa tahu jejak dia ada dimana, habis darimana cuman karena aroma tubuh dia.
Awalnya gue nggak pernah sadar, tapi sejak SD gue bisa mengenali bau Nana itu tersendiri. Kayak gue bisa mengenali wangi tubuh Mama gue sendiri.
Aroma tubuh Nana itu kayak aroma bunga mawar yang baru aja dipetik, nyengat tapi nggak bikin sakit kepala. Wanginya lembut, ada paduan wangi jeruk shampoo bayi. Ada yang pernah cium?
Ya kayak gitu lah penjelasannya.
Makanya, ketika gue menunggu pintu apartemen Nana terbuka, gue serasa sudah siap menerima aroma itu semua yang bikin gue merasa pulang.
"Kok jadinya lo?" tanya Nana bingung ketika melihat gue berdiri di hadapan pintu unit dia.
Nana terlihat pucat, rambutnya masih basah karena gue tebak dia baru aja keluar dari apartemen dan kehujanan. Maksa banget, sulit buat dikasih tahu.
"Arie harus pergi ke dokter temani dosen dia mau ambil data manajemen rumah sakit." jawab gue asal sembari masuk nyelonong ke dalam unit dia.
Dan benar aja.. Aroma yang gue tunggu-tunggu itu ada dimana-mana. Aroma itu bisa menempel di tirai, bahu kursi, dan yang paling kuat pasti ada di ranjang dia.
Sumpah, kalau Nana nggak sakit gue sangat ingin merebahkan diri di atas kasur Nana.
"Lo udah makan?" tanya Nana kepada gue.
Gue baru saja melepaskan coat dan syal yang gue pakai. Gue melihat kompor yang menyala dan gue tebak lagi, Nana lagi memasak.
Masak..
Gue nggak tahu progres memasak Nana sekarang sehebat apa.
"Belum," jawab gue jujur.
Nana mengangguk, setelah itu dia mematikan kompor dan gue mengikuti dia, Nana baru saja buat triple garlic pasta, dan udah jadi begitu aja yang bikin perut gue keroncongan.
Padahal, niat gue ke sini untuk menyeret dia ke dokter dan minta antibiotik yang mampu menyembuhkan Nana!
"Mau nggak?" tawarnya dengan lesu, demam udah bikin dia kehilangan tenaga. "Tapi gue cuman punya pasta ini aja sama Cinnamon Rolls."
Seorang Nana membuat Cinnamon Rolls? Wah gue kemana aja? Apa Kak Ina sudah tahu kemampuan Nana yang satu ini? Kalau begitu kenapa dia nggak masuk Le Cordon Bleu aja?!
"Lo ini lagi sakit, kan?" tanya gue pada dia dengan gemas.
Dia malah mengangguk tanpa dosa. "... Kalau tahu sakit kenapa maksain masak?"
"Ya gimana.. Gue sudah beli ragi, terus terlanjut mecahin tiga telur ya.. Daripada sayang, ya gue buat aja meskipun gue nggak yakin sama rasanya sih.." kata dia sembari meringis.
Gue mengangguk, mencuci tangan dan membantu dia menuangkan pasta di atas piring. Suasana apartemen yang sepi membuat gue ingin berteriak kepada dia. Pertanyaan yang masih membuat gue bertanya-tanya sampai saat ini—kenapa dia memilih Berklee dibandingkan Harvard bersama gue?!
"Raf, nyalain tv-nya dong." suruhnya kepada gue.
Dia menyelimuti kakinya dengan kain sarung. Like what the hell, dia dapat sarung darimana?
"Itu sarung siapa anjirrrrr?!" tanya gue dengan sebal.
"Lo tahu nggak di Berklee ada anak beasiswa LPDP dari Indonesia, namanya Isaac, dia kasih sarung waktu gue kehujanan nggak ada payung!" katanya menceritakan dengan heboh, dan terang saja.. Pasti dia seorang muslim.
Gue percaya, Nana pintar mencari teman, tapi soal teman lelaki gue rasa Nana akan sangat picky? Atau mungkin dia berubah? Sialan, kampus yang berbeda jadi buat gue nggak tahu bagaimana tingkah laku Nana. I mean, itu hak Nana tapi gue penasaran bagaimana Nana bersosialisasi di kampusnya.
"Lo suka sama dia?" tanya gue tanpa basa basi.
Nana malah kelihatan heran dan mengerutkan hidungnya. "Masa cuman karena dia kasih sarung sama gue terus gue suka? Nggak lah.."
Gue menghela napas lega. "Ya kali, lo kan suka nggak bisa bedain mana cowok yang suka sama lo dan nggak." kata gue dengan jujur.
Nana malah tersenyum. "Tapi akhir-akhir ini, ada cowok yang lagi dekat sama gue."
"Oh, ya? Siapa?"
Kenapa gue jadi penasaran? Apa gue harus pindah kuliah di Berklee?
"Alex, Alexander." katanya menyebutkan nama cowok itu dengan jelas.
"Bule?"
"Bukan.. He's an Asian, from Singapore makanya gue sama dia masih bisa bicara satu sama lain, meskipun pembahasan kita tentang Indonesia agak boring sih."
Namanya aja familiar, gue tebak si Alex-Alex itu playboy.
"Jangan terlalu dekat," kata gue setelah berhasil memasukan satu gulungan pasta ke dalam mulut gue.
Rasanya.. Enak.
Kenapa tangan Nana punya magic sekuat ini ya?
"Dan kenapa gue nggak boleh dekat dengan Alex?" tanya Nana kepada gue.
Wajahnya begitu dingin, dia sedang menginterogasi gue dan bukan waktunya bagi gue untuk menanggapi dia dengan sebuah candaan.
"Nggak suka aja, gue punya feeling buruk soal si Alex itu."
Nana mendecih sebal. "Lo belum ketemu sama dia monyet! Mana lo bisa tahu dia buruk? Yang ada pikiran lo yang buruk! Semua lo katain buruk mau Jason, Andre sampai Tubagus!"
Sialan, kenapa Nana pintar menjawab gue? Harusnya dia pandai membalas perdebatan seperti ini sama orang-orang yang selalu mengganggu dia. Nana itu benar-benar definisi berani di kandang!
Gue tidak mau berkomentar lebih lanjut, setelah memastikan dia minum obat, lama-lama anak itu teler juga. Acara televisi jadi figuran doang, karena Nana sudah menjatuhkan kepalanya di atas bahu kursi.
Gue mengambil selimut dari kamar dia, sayangnya pigura plastik berisikan foto gue, Nana, Arie dan Prav terjatuh begitu aja dari sela lipatan selimut. Gue menyimpan kembali pigura itu di atas nakas, itu adalah foto gue, Nana, Arie dan Prav setelah berhasil panen apel Malang di kebun Opa gue.
Nana memakai pakaian yang cukup ribet pada hari itu, boho dress berenda pada bagian dada Nana harus terkena kotoran karena Nana maksa ingin ikut ke perkebunan. Rambut Nana selalu panjang, dia punya rambut hitam legam yang selalu membuat gue suka ketika melihat rambut dia terurai.
Sayang aja.. Hidung dia kecil, mungil dan irit.
Gue nggak expect akan lihat foto itu di sini. Di Boston!
Rasanya gue ingin pulang ke Indonesia. Setiap ulang tahun, Nana akan selalu memberikan gue hadiah, kadang hadiah yang dia kasih kagak jelas, tapi anehnya gue selalu menerima semua pemberian dia.
Dan hal yang nggak pernah gue lupakan adalah headband.
Headband yang dia kasih saat kita SMA. Dia bilang, gue harus pakai headband saat main basket.
"Dipake lho.. Rambut lo kan selalu turun acak-acakan kalau main basket."
Sore itu, tanggal 14 Februari dimana gue berulang tahun, dia memberikan hadiah selepas gue selesai tanding dengan tim basket SMANSA. Dan puji Tuhan.. Tim gue menang.
Di hari ulang tahun gue, selain mendapatkan kado dari Nana gue mendapatkan kemenangan. Gue ingat, saat itu gue sudah tidak lagi berpacaran dengan Natasha, tapi gue sudah berpacaran dengan Pelita.
Pelita itu teman satu bangku Nana, dia anaknya manis, asik dan ya.. Terlalu manis untuk ukuran cewek, jadi gue akan menilai Pelita itu manja.
Penasaran aja, gimana rasanya pacaran sama cewek manja.
Tapi lagi-lagi, gue nggak bisa tahan sama sikap manja Pelita. Gue memutuskan dia setelah berpacaran dua minggu, lalu lagi-lagi dan sialnya ada rasa dimana gue ingin berpacaran dengan Nana.
Rasa penasaran itu dibarengi dengan beberapa pertanyaan.
Apa Nana akan suka dengan gue?
Apa Nana akan jadi cewek yang baik kalau berpacaran dengan gue?
Apa Nana bakal asik kalau jadi pacar gue?
Tapi sayangnya.. Gue selalu mengubur tiga pertanyaan itu, sampai akhirnya.. Gue bertemu dengan Intan.
"Selamat ya," gue ingat apa kata Nana malam itu ketika dia mendengar berita jadian gue dengan Intan. Di telepon Nana mengucapkan selamat sembari tertawa.
"Ada apa neh?" tanya gue pada saat itu.
"Ya lo..." Nana lagi-lagi tertawa. "Lo sudah dapat cewek di kampus, gerak cepat banget memang!" katanya kepada gue.
Gue dengan senang hati tertawa mendengarnya. Gue selalu suka ketika kabar seperti ini sampai ke telinga dia. "Thanks ya.. Nanti gue kenalin sama lo, anaknya asik dan nggak resek. Dan yang penting.."
"Yang penting?"
"Dia cantik." kata gue kepadanya.
Lalu sekarang, gue ada di sini. Di Boston. Membatalkan janji gue bersama Intan hanya karena mendengar bahwa dia sakit, dia demam dan hal itu berhasil menyulut amarah gue.
Masalahnya, gue nggak ada di dekat dia, gue nggak bisa menjadi penolong pertama untuk dia.
Selimut sudah gue bentangkan pada tubuh Nana. Rambut Nana kali ini sudah diwarnai, dan ya.. satu lagi, Boston sudah merubah Nana.
Rambut cokelat itu sangat bersinar, gue menyentuhnya secara perlahan dan merasakan setiap permukaan helaian rambut yang gue pegang. Masih sama, hanya saja warnanya sudah berbeda, itu juga yang membuat Nana terlihat dewasa.
Dia memotongnya dan memberikan bentuk yang tegas buat wajah mungil dia, tidak ada poni dan hanya anak rambut yang menghiasi kening dia.
Gue selalu membayangkan Nana agar sedekat ini dengan gue. Hal yang selalu gue impikan meskipun kenyataan akan membawa Nana pergi menjauh dari gue.
Prav selalu bilang. "Kita semua bakal punya kehidupan masing-masing. Nana bisa aja dibawa pergi sama suaminya, gue bakal punya istri, lo juga.. Arie juga.. Jadi, ya setiap pertemuan bakal ada perpisahan. Kalau kata Dewi Kali, dalam ajaran agama Hindu ada awal dan akhir."
Gue selalu terpukau dengan apa yang dia katakan, maklum dia kan pujangga sejati.
Tapi gue nggak bisa membayangkan Nana pergi menjauh dari gue. Apa gue yang harus mencarikan lelaki untuk dia? Terus gue bakal bilang sama lelaki dia agar nggak membawa pergi Nana dari gue.
Ya maksudnya, gue masih ingin dan selalu menjadi sahabat dia.
Mungkin setelah gue menemukan pasangan gue dan Nana pun menemukan pasangan hidupnya?
Gue menghela napas.. Hal yang gue benci ketika gue tumbuh dewasa adalah jalan gue dan jalan Nana yang tidak lagi sejalan.
"Na, kenapa harus Berklee?" sebelum berangkat ke Boston jujur gue marah sama dia.
Tapi lagi-lagi, jawaban Nana buat gue tersadar kalau Nana punya kehidupan dan cita-cita yang membuat gue sadar—gue bukan apa-apa bagi dia.
"Gue pilih Berklee karena Berklee adalah keinginan gue. Gue punya kehidupan di sana, musik adalah kesukaan gue, sekarang kenapa lo jadi tanya kenapa gue pilih Berklee?"
"Tapi lo akan jauh dari gue!"
Nana menatap gue dengan diam, gue selalu benci wajah Nana yang tenang. Kalian tahu apa artinya? Gue terlalu bodoh untuk menebak perasaan dia. Apa yang Nana pikirkan tentang gue?! Dan bagaimana dia marah kepada gue?
Diamnya Nana selalu membuat gue takut. Seolah-olah, permukaan air danau yang tenang tanpa gue tahu bagaimana keadaan di dalam air hingga membuat gue ragu untuk turun ke dalam air.
Nana selalu berhasil membuat gue terlihat bodoh.
"Karena gue ingin menyesuaikan diri agar tidak terbiasa tanpa kehadiran lo." jawabnya dengan emosi yang gue jabarkan di angka nol.
Emosi Nana menghilang, mungkin dia marah atau gue sudah berbuat kesalahan yang besar kepada dia? Yang tanpa gue sadari.
"Gue ingin terbiasa tanpa lo, tanpa Prav dan tanpa Arie." dia tersenyum tipis, tapi kedua matanya membuat gue yakin kalau Nana bakal menemukan kebahagiaan tanpa gue. Tolong.. Gue harus berbuat apa? "... Gue ingin terbiasa tanpa lo, Raphael dan akan gue buktikan bahwa gue bisa mandiri tanpa kalian."
Mandiri.
Mandiri yang seperti apa hingga membuat lo sakit, Na?
Jari gue berhasil menyentuh kening dia yang terasa panas, gue buru-buru menjauh. Berlutut di hadapan Nana membuat gue merasa kecil, kenapa gue nggak bisa selalu ada buat dia? Yang gue mau, Nana agar selalu ada di dekat gue tapi kenapa dia..
"Stupid," satu kata itu berhasil gue katakan.
Gue menarik napas dan mendekatkan diri dari arah puncak kepalanya, gue mendekatkan wajah dan mencium semua aroma rambut lembab Nana yang membuat gue tenang.
Rasanya gue ingin mencium ubun-ubun itu, tapi gue mundur kembali dan menatap puncak kepala dia dengan gamang.
Apa yang baru saja gue rasakan kepada Nana?
Kenapa jadi seperti ini?
Gue sudah menjanjikan pertunangan dengan Intan, gue memantapkan hati dengan Intan. Ini hanya perasaan sayang kepada sahabat, kan?
Ya.. Gue rasa seperti itu.
Dan kali ini, gue memberanikan diri mencium puncak kepala dia, tiga puluh detik gue meminta agar Tuhan menjaga Nana dengan baik.
Ya hanya Tuhan yang gue percaya.
***
a/n:
Ciah.. Intermezzo, bukan ending wkwkwk.
Jujurly, ini bingung buat jelasinnya, ending Nana dan Raphael bakal panjang, tapi tenang.. Dalam satu chapter kok.
Dan ini, adalah salah satu bukti sikap bodoh Raphael yang masih tetap mempertahankan harga diri dan perasaannya. Dia denial, kalau dia sayang sebagai sahabat bukan sayang antara cowok sama cewek. Padahal, feel dia buat memiliki Nana memang sudah sebesar itu.
Heran nggak?
Sama.
By the way, happy birthday Jeong Jaehyun! Sudah tua si Anda, hanya beda dua tahun dengan aku wkwkwk. Tetap jadi manusia rendah hati, ganteng pol dan membuat umur fans-nya berkurang karena kegantengan lo! Pokoknya, happy birthday Ayang!
Eh, ayang gue kan dia? Wkwk.
Raphael di Boston datang
menjenguk Nana.
HBD AYANG
─AYANGNYA JAEHYUN
Bandung, 14 Februari 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro