CHAPTER #49
"Hello first trimester.
I'm a fighter."
─Nana
***
CHAPTER #49
***
NAMANYA juga hamil.
Awalnya Nana pikir seperti itu, dua minggu dia baru saja masuk rumah sakit, dan kini sudah kembali masuk ke rumah sakit lagi. Entah kenapa, kehamilan membuat tubuhnya semakin lemah. Nana muntah terus menerus, apa pun yang dia makan dan minum tidak ada yang bisa masuk ke dalam perutnya.
Dia lapar, dia haus. Tapi ketika rasa itu datang dan memakan apa yang ada di hadapannya, maka Nana akan memuntahkannya kembali. Hal itu berhasil membuat Raphael stress.
Bibi Yum dan Cassie setiap hari ada di rumah, berusaha membantu Nana dan meringankan rasa sakit yang Nana rasakan karena morning sickness. Anehnya, morning sickness itu berjalan lama, tidak hanya pagi saja, tapi siang, sore hingga malam. Tidak ada lagi malam yang nyenyak, Nana nggak bisa tertidur dengan tenang itu juga yang membuat dia merasa kasihan pada Raphael.
Dua minggu lebih mual muntah, berat badan Nana turun drastis dalam jangka pendek, turgor kulitnya begitu jelek, ada cekungan hitam yang Nana sadari setiap dia bercermin. Kerongkongannya terasa perih karena dia selalu memuntahkan cairan dan makanan yang dipaksa masuk.
Karena rasa mualnya yang tidak berhenti, Nana berhasil di siksa akan hal itu.
Akhirnya, Nana mengalami penurunan kesadaran─pingsan kali ini benar-benar membuat seisi rumah limbung. Raphael nggak pernah absen dari sisi Nana, tapi itu juga yang membuat lelaki itu mengeluh terus menerus pada Mamanya.
Nana terkena dehidrasi yang cukup berat, dia membutuhkan cairan elektrolit yang hilang dari tubuhnya.
"Hiperemesis Gravidarum," kata Dokter Amira kepada Raphael ketika mendiagnosis Nana. "... Pada kasus Ibu Katarina memang tergolong parah, hiperemesis punya beberapa tingkatan, kali ini saya benar-benar menyarankan Ibu Katarina untuk bedrest."
Raphael masih mendengarkan penjelasan dokter kepadanya sembari memandang wajah Nana yang pucat. Lingkaran hitam dan cekungan pada mata istrinya menunjukkan bahwa perempuan itu tidak baik-baik saja.
"Pada ibu hamil dengan bayi kembar memang beresiko mengalami hiperemesis, Pak Raphael." jelas Dokter Amira lagi. "Karena tidak adanya asupan nutrisi dan cairan yang masuk, Ibu Katarina mengalami dehidrasi yang cukup parah."
"Dia pingsan pagi ini," kata Raphael lagi.
"Dehidrasi memang membuat oksigen yang ada dalam tubuh menurun. Untuk saat ini, saya akan fokus menurunkan frekuensi mual dan muntah Ibu Katarina. Jadwal USG akan saya beri nanti setelah Ibu Katarina lebih baik dari sekarang."
Raphael mengangguk. "Terima kasih Dokter."
Setelah Dokter Amira keluar, Raphael mengusap kening Nana. Memerhatikan wajah Nana yang terlihat sangat tirus, tulang pipinya menonjol dan dia belum pernah melihat Nana sekurus ini sebelumnya.
Lalu dia memandangi perut Nana dan mengajak berbicara kedua anaknya. "Please boy or girl, I don't know your gender by the way." Raphael terkekeh pelan dengan sarat kesedihan. "... Help your Mom please? Kasian Mima, belum makan.. Dia pasti lapar, haus juga but as you know─dengar nggak Dokter tadi ngomong apa?"
"..."
"Dokter bilang Mima kurang asupan nutrisi. Kasihan Mima, guys." bisik Raphael. Dia mencium perut Nana dan mengusapnya secara perlahan. "... Kalau kalian udah berubah pikiran, kasih tahu mau makan apa pun okay. Mau steak? Okay, atau mau sate padang? Mima suka banget sama sate padang.." lalu Raphael terlihat berpikir. "Donat deh, mau nggak?"
"..."
Raphael menghela napasnya. "Belum satu bulan lho, Mima udah masuk RS lagi. Lihat, tangannya di infus kasihan.."
Lalu tangan Nana bergerak begitu saja membuat Raphael menoleh secara tiba-tiba. "Raf," panggilnya lagi.
"Mm? Pusing nggak? Aku panggil dokter ya?"
Nana menggeleng. "Nggak mau.."
"Terus mau apa?" Raphael mencium kening Nana. "Kita bakal bermalam lagi di sini, berdua aja. Dokter Amira nggak menyarankan ada yang jenguk kamu, jadi.. Di sini cuman ada aku aja."
"Kamu besok kerja, kan?"
"Iya, udah digantiin sama Papa buat sementara. Please, Na.. Aku mikirin kamu, nggak makan karena apa yang kamu makan selalu muntah lagi."
"Ya gimana.." rengek Nana. "Bukan keinginan aku juga.."
"I know," Raphael menenangkan. "Seenggaknya, udah ada cairan infus yang masuk, meskipun itu bukan makanan. Tapi emang kamu kekurangan cairan banget."
Nana mengangguk, dia merasakan lidahnya yang begitu pahit. "Gila ya, aku kayak gini sampai kapan?" tanyanya dengan sedih. "I'm a fighter, tapi nggak gini juga kali.. Aku lapar, Raf.."
"Mau makan apa?"
"Ngga mau.. Nanti muntah."
"It's okay, seenggaknya biar lidah kamu nggak kerasa pahit, Na."
Nana memejamkan matanya, apa yang ada di pikirannya kali ini cuman satu. Tapi tidak memungkinkan pikirnya. "Sekarang jam berapa?"
"Jam lima sore,"
"Oh masih siang ternyata.." Nana terdengar lega."
"Kenapa memang?"
"Minta tolong sama Bibi Yum dong, Raf." pinta Nana kali ini.
"Mau makan apa?" mendengar permintaan Nana bagi Raphael seperti sebuah mukjizat. Bayangkan, melihat istrinya sendiri bisa makan saja membuat paru-paru Raphael terasa mengembang bahagia.
"Aku.." Nana terlihat malu-malu, tapi di saat bersamaan Raphael lega karena istrinya jauh terlihat manusiawi. "Aku mau buah ceri."
"Ceri?"
Nana mengangguk lemah. "Kayaknya ceri enak.. Manis gitu."
Raphael menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Dimana aku bisa beli ceri?"
"Bibi Yum pasti tahu kok, Raf."
Raphael mendesah lega, lalu dia mengangguk. "Ceri ya? Yakin?"
"Ya.."
"Okay, ceri."
...
...
Buah ceri yang Bibi Yum dapatkan adalah ceri import yang harganya bahkan nggak lagi Raphael pikirkan. Bibi Yum membelinya satu kilogram, di cuci bersih dan memberikannya kepada Nana.
Nana yang melihat buah kecil merah itu lantas semangat begitu saja, Raphael awalnya khawatir di sudah berjaga-jaga kemungkinan Nana akan memuntahkan kembali makanan yang dia makan.
Tapi kali ini..
Bahkan ketika dia mencoba rasanya, ceri memiliki rasa yang sama seperti anggur hanya saja lebih juicy. Dia memakannya biasa saja, berbeda dengan Nana─yang menikmatinya dengan cara yang tidak biasa.
Baru kali ini, setelah donat dan sate padang Nana terlihat jelas menikmati makanan dengan begitu nikmatnya. Raphael tersenyum sendiri melihatnya, apa ini permintaan anak-anaknya?
Jika dia sudah tahu gender anaknya dia bisa mengerti, apa lagi kalau urusannya cewek nggak heran kalau bakal penuh drama.
"Nggak mual?" tanya Raphael memastikan.
Nana menggeleng. "Nggak, ini enak banget Raf..."
Raphael bersyukur dalam hati. "Jangan kebanyakan tapi ya.."
"Tapi ini enak banget.. Udah pokoknya aku suka banget sama ceri!"
Lagi-lagi Raphael terkekeh pelan. "Ngapain kamu ketawa?" tanya Nana sebal.
"Nggak, because you're too cute, I love pregnant you."
"Anak lo nih.." balas Nana sebal.
Raphael tertawa lagi. "Iya anak gue!"
"Jangan-jangan, mereka rese karena dia anak kamu?" tuding Nana.
Raphael mencubit pipi Nana. "Sembarangan.. Oh ya, tadi ada kabar dari Crystal kalau dia baru balik SG."
"Mm, terus?"
"Dia bilang, kalau kamu udah baikan dia mau jenguk kamu sama Kafka."
"Mas Kafka? Ih kangen banget aku..."
Raphael mengangkat alisnya. "Sadar oi!"
"Ya apa? Aku sadar kok!" balas Nana menggerutu. "Apa salahnya dari kata kangen? Lagian aku memang udah lama nggak ketemu Mas Kafka."
"Kafka udah mau nikah sama Crystal lho, Na. Itu calon suami orang."
Nana tahu Raphael sudah salty duluan. "Nggak apa-apa, begitu-begitu Mas Kafka mantan PDKT aku. Nanti, aku bakal kasih tahu ke anak-anak aku soal semua mantan aku."
"Dih?" Raphael menatapnya dengan sangsi. "Nggak penting banget, Na."
"Ya namanya juga sejarah!"
"Bangga banget kesannya."
Nana menggigit buah ceri terakhirnya dan melepaskan tangkainya dengan semangat. "Tenang aja, aku nggak bakal ceritain soal aku aja."
"Terus?" Raphael mengusap bibir Nana yang merah kali ini dan menjilatnya, ya rasa ceri lagi yang membuatnya tersenyum.
"Aku mau cerita, gini lho Nak.. Papamu dulu itu fuckboy kelas kakap."
Raphael tertawa puas mendengarnya. "Itu hinaan banget."
Nana meminta Raphael mendekat dan memeluk suaminya. Lantas Raphael tentu saja menuruti semua keinginan istrinya itu.
"Ada apa nih?" tanya Raphael dengan senyumannya.
"Nggak tahu, kayaknya mereka senang banget dekat kamu."
"Of course," jelas Raphael dengan bangga. "Anak gue.."
"Ck, nggak nyangka." Nana memejamkan matanya bersandar di pelukan Raphael.
"Kenapa?"
"Aku beneran hamil sama kamu, Raf. Gelo..."
Raphael tertawa dia mencium pipi Nana. "Mau taruhan nggak?"
"Taruhan apa?"
"Gender mereka."
"Terus?"
"Kalau mereka cewek dua-duanya, kita kasih adik cowok satu aja buat mereka lima tahun mendatang." kata Raphael dengan entengnya.
Nana menggeleng heran. "Mual muntah aku ini belum kelar episodenya kamu udah bayangin anak ketiga?!"
"Ya biar ada cewek dan cowok, Na.."
Nana hanya bisa menghela napasnya. "Terus kalau cowok dua-duanya?"
"Kita kasih adik cewek buat mereka."
"Geez..." Nana terkekeh pelan. "Kayaknya sih sepasang."
"Masa?!" Raphael membulatkan matanya tak percaya.
Lalu Nana memainkan kedua alisnya. "I don't know, kalau mereka betulan sepasang, I mean─cewek cowok. Udah ya, Raf.. Dua aja."
Raphael mengangguk meskipun keinginannya dia ingin memiliki banyak anak bersama Nana. "Okay."
"Dua anak lebih baik, Raf."
"Okay.. It's your body, aku nggak akan maksa. Soalnya, memang kasihan di kamu sih."
Nana mencium kilat sudut bibir Raphael. "Nah gitu dong, harus pengertian."
***
Agenda menjenguk Nana baru bisa direalisasikan tiga hari berikutnya. Kafka dan Crystal betulan datang, untungnya frekuensi mual dan muntah Nana sudah membaik. Untuk makan, porsi kecil sudah bisa masuk, meskipun mual yang dirasakan sekarang jarak waktunya tidak terlalu dekat pasca diberi makanan.
Buah ceri masih tetap menjadi favoritnya. Itu kenapa Crystal dan Kafka membawakan buah yang memang di request langsung oleh si Bumil.
Saat pertama kali melihat, Nana tidak menyangka kalau Kafka akan dekat dengan Crystal. Maksudnya, bagaimana hubungan Kafka dengan tunangannya Sora? Apakah sudah benar-benar selesai?
Menurut Nana, Kafka adalah pria paling gentle dia selalu mengungkapkan keseriusannya, dan termasuk kepada tunangannya, Sora yang dia ajak menikah. Tapi sayangnya, Sora memang belum siap menerima Kafka seutuhnya.
Setahu Nana.. Kafka dan Crystal berbeda agama, apa keluarga Raphael tidak keberatan soal ini? Dan melihat bagaimana Crystal begitu nempel dan bersikap manis dengan Kafka membuat Nana tersadar─jatuh cinta dengan orang yang tepat itu memang sangat penting, contohnya ya dia sendiri.
"Gimana, Na? Masih mual?" tanya Crystal.
"Hari ini nggak sih, tadi pagi iya. Tapi setelah makan buah ceri jadi ngerasa seger aja gitu.."
"Wah ini sih beneran ketebak, dedeknya yang suka buah ceri." celetuknya sembari tertawa.
Nana mengangguk setuju. "Iya, nggak tahu kakaknya atau adiknya."
Kening Crystal dan Kafka lantas berkerut tak memahami apa maksud kata-kata Nana. "Maksudnya, Na?" tanya Kafka kali ini. .
Raphael yang berdiri di sisi ranjang Nana sembari menyisir rambut istrinya itu tersenyum. "Well, we got two babies, the twins."
Kedua mata Crystal membulat tak percaya. "Really? Gila.. Keren banget, ada turunan kembar memangnya?"
Nana menggeleng. "Nggak tahu sih, kayaknya memang rezeki dari Tuhan aja gue di kasih dua baby."
"Ya ampun.." Crystal menutup kedua mulutnya dengan tangannya, masih speechless dengan apa yang dia dengar barusan. "Kayaknya kita kalau mau punya anak kembar harus program nggak sih, Kaf?"
Kafka tercengang. "Hah?"
Nana tertawa melihat respon Kafka. "Duh, Mas Kafka cengo nih,"
"Ya gimana nggak─maksudku, well─urusan pernikahan kita aja belum kelar, gimana bisa kamu kepikiran program?" tanya Kafka kali ini pada Crystal.
Crystal malah tertawa, sementara Raphael kini ikut penasaran. "Lo berdua aman dari segala perizinan kan? Termasuk orang tua?"
Crystal mengangguk yakin. "Mami Papi bilang, gue bebas menentukan apa pun yang menurut gue benar─meskipun setelahnya Mami bilang, resiko tanggung masing-masing. Karena keluarga Kafka juga ya nggak terlalu agamis banget."
"Jadi nikah dimana?"
"Singapore," jawab Kafka. "Gue kan pindah kewarganegaraan tiga tahun yang lalu, jadi gue sama Crystal akan menikah di sana."
"Duh.." Nana langsung mengelus perutnya sendiri. "Berapa bulan lagi?"
"Lima bulan lagi."
"Yah, gue lagi hamil besar, Tal.."
"Ya bagaimana lagi dong?" Kafka tersenyum. "Kalau memang kehamilan kamu nggak memungkinkan buat perjalanan udara, kayaknya nanti kita adain virtual wedding deh."
Nana langsung mendengus. "Kagak asik."
"Asikin aja, lo sama Raphael aja bisa sampai nikah begini, padahal dari kecil kalian bareng-bareng." cetus Crystal.
Nana mengangguk. "Dan sekarang gue dihamilin sama dia."
Nana melirik Raphael yang ikut membalas tatapannya. "Kamu kesenengan waktu aku bikin hamil, so impas."
Kurang ajar, Raphael dan mulutnya. "Ya yang ngajarin gue soal enak-enak kan lo!" todongnya tak mau kalah.
"Ya gue perlu ngajarin istri gue dong?!"
"Secara nggak langsung lo ngajarin nggak benar!"
"Halah! Udah nikah juga, segalanya yang ada di dalam kamar dan di atas ranjang, apa lagi istri kayak lo yang polos begitu memang harus dikasih edukasi mendalam!"
Crystal dan Kafka hanya bisa menyimak perdebatan diantara keduanya yang sangat absurd. "Kalian..." desah Kafka.
Crystal menggelengkan kepalanya. "Nggak heran gue soal kalian berdua."
"Apaan?!" todong Nana dan Raphael bersama.
Crystal berdecak kesal. "Giliran tadi aja, aku-kamu lembut banget, sekarang malah kesurupan reog lo berdua!"
Lalu setelahnya Nana menoleh pada Raphael. "Kasihan, dia harus puasa. Kalau gue nggak sakit, kayaknya dia betulan jadi reog di kasur."
Raphael tak kuasa menahan gemas mencapit kedua belah bibir Nana dengan jarinya. "BERHENTI LEDEKIN SUAMI LO MULU!"
***
Second Semester..
Ada yang bilang, ibu hamil menjelang usia kandungan empat bulan hingga sembilan bulan ke depan akan terlihat sangat cantik. Raphael kini tidak bisa lepas memandang wajah Nana yang selalu bersinar menurutnya. Atau mungkin, memang hanya dia yang sedang dalam masa jatuh cinta?
First trimester, berhasil Nana lewati. Sekian drama Hiperemesis Gravidarum, hingga kekurangan asupan nutrisi sudah Nana lewati. Tapi sejak kandungannya menginjak tiga bulan, nafsu makan Nana meningkat. Tidak kenal waktu, tidak kenal pantangan. Semua makanan hampir dia makan dengan berani.
Bagusnya, dalam selang beberapa bulan pun berat badan Nana sudah naik dua kilo.
Dan kini, istrinya yang tengah mengeluh kesulitan memilih celana dikarenakan ingin minuman Boba dan kebab, tengah merengek kepadanya dan menjewer telinga Raphael untuk kali ini yang bisa-bisanya malah diam mendengarkan rengekannya.
"Dengar nggak sih?! Aku pinjam celana kamu!"
"Hah? Gimana?"
"Tuh kan!" Nana dengan kesal mencak-mencak di atas lantai. "Kamu nggak dengar dari tadi aku ngomong apa? Celana aku udah nggak muat, the babies is getting bigger everyday!" omelnya lagi.
Tapi kedua mata Raphael masih belum bisa lepas menatap kecantikan Nana malam ini.
"Ya udah pakai celana aku," putus Raphael, dia mengambil sweatpants abu miliknya dan memberikannya kepada Nana. "Pakai ini ya, Sayang..."
"Serius?" tanya Nana tak percaya dan meragukan sweatpants itu. "... Nanti kamu malu bawa aku nggak?"
"Nggak." Raphael mencium Nana, memilih untuk memperkerjakan keinginannya sejak tadi, bibirnya semakin dalam mencium Nana.
Nana terengah, dia mendesah dan mendorong tubuh Raphael. "AKU MAU BOBA!"
"Bobanya besok aja gimana?" tawar Raphael.
Nana tahu Raphael menginginkan hal lain, terlihat begitu jelas bagaimana Raphael menatapnya saat ini. "Mau apa?" todong Nana.
"Mau ini," Raphael menurunkan tali blouse Nana dan mencium selangka perempuan itu. "You're so sexy.."
"Aku..." Nana tidak bisa berkonsentrasi dengan apa yang Raphael lakukan padanya, tangan suaminya itu mengelus perutnya yang mulai membesar, dan turun meraih pinggiran celana dalam Nana dengan jari-jarinya. "... Aku... Aku.. Mau boba."
"Besok," Raphael berbisik di sisi wajah Nana, mencium tulang pelipis terus turun hingga rahang dan menggigitnya dengan gemas.
Nana bersandar pada pintu lemari, mereka masih berada di walk in closet room. Cermin di hadapannya membuat Nana bisa melihat pergerakan yang Raphael lakukan kepadanya.
"Raf," panggil Nana.
"Apa sayang?"
"Aku pegel.."
Raphael tersenyum, Nana dan keluhannya. Dia bangkit dan meraih kedua mata Nana dengan ciumannya. "Let's get some sofa for us."
Kedua mata Nana membelalak. "Sofa?"
Raphael mengangguk. "Mm, sofa."
"I'm on the top?"
"No," bisik Raphael, dia memeluk Nana dari belakang dan menggiring Nana berjalan menuju sofa yang ada di kamar mereka.
Sofa itu memang besar, tapi sikap canggung Nana membuat Raphael gemas hingga dia mencium tengkuk Nana dan membuat perempuan itu mendesah lebih keras dari sebelumnya.
"Kalau selesai cepat, kita pesan Boba di gofood aja."
Bangke... Maki Nana dalam hati, keinginannya saja sudah disabotase. Lain kali, dia akan mengadu pada kedua anaknya dan berkata kalau Pipanya memang sedikit edan kalau urusan kesenangannya.
Seluruh pakaiannya sudah terlepas, Nana membalas ciuman Raphael untuk kesekian kalinya. Kali ini, Raphael agak berbeda, Nana tahu karena ukuran perutnya berbeda dengan kehamilan normal, hamil dengan bayi kembar membuat perut Nana lebih besar dua kali lipat.
Mereka sudah agak sulit menemukan posisi yang tepat, tapi karena soal itu Raphael pintar maka kini, Nana naik di atas sofa—tentu saja dibantu oleh Raphael yang membuat dirinya terduduk di atas sofa namun membelakanginya.
Raphael menciumi puncak kepalanya, kedua tangan suaminya itu mengelus pundak Nana hingga area payudara depannya yang membuat Nana semakin bertingkah.
"It's okay, I want hear you." bisik Raphael.
Tangan pria itu memainkan puncaknya dan membuat Nana menunduk pada punggung sofa, rasanya ingin menangis karena apa yang Raphael lakukan berhasil memancing hasratnya kali ini.
Nana sadar, gairahnya memang cukup meningkat akhir-akhir ini. Karena hormon kehamilannya, segalanya yang ada pada tubuhnya kian berubah satu persatu.
Tangan Raphael turun menginvasi daerah intim miliknya yang kini sudah terasa basah, bukti gairah Nana yang dalam sekali sentuhan bisa Raphael rasakan.
"You already wet." katanya lagi.
"Aku mikirin Boba." balas Nana dengan susah payah.
Jari Raphael masih berputar di sana, memainkannya dengan lembut dan membuat Nana mendesah kembali. "Oh ya? Mikirin Boba, atau... Ini?"
Dengan jahilnya, Raphael miliknya agar bisa Nana rasakan dari belakang.
"Raf.."
"Apa?"
"Jangan kayak gitu.." rengek Nana.
"Aku mau rasain kamu secara perlahan malam ini."
"NANTI BOBANYA KEBURU TUTUP!" jerit Nana ketika dia berhasil mencapai puncak.
Raphael betah menggigiti bahunya, lalu ketika dia merasakan Raphael sudah siap untuk memasuki dirinya, kedua tangan Nana meraih lengan Raphael dan kepalanya mendongak mencari kedua mata Raphael yang kini tengah berkonsentrasi memasuki dirinya.
"I'm in," Raphael mencium pelipis Nana dan meraih payudara Nana dari belakang. "Ready?"
Nana mengangguk, ketika dia memberikan persetujuan, Raphael mulai bergerak dengan teratur. Awalnya begitu lambat dan penuh kelembutan, hingga rasa sensasi itu mulai menyerang mereka berdua, Nana meminta Raphael agar memberikannya gerakan lebih kepadanya.
Meskipun Boba masih ada dalam pikirannya, tapi Nana tetap tidak bisa melewatkan yang satu ini.
"Raf.." erangnya lagi.
"Wait, just a sec─"
Raphael masih terus bergerak, menggigit bahunya dan Nana mencium sisi wajah Raphael. "I can't─"
"Katarina.."
"Raf, just do it!"
Setelah menerima perintah itu Raphael menuntaskan perjalanan panjangnya dan memeluk Nana dari belakang.
"Welcome to my playground, Pretty."
Nana masih mengatur napasnya, kemudian dia merasakan Raphael duduk di sisinya dan menciumi bagian tubuhnya. "Mau Boba..." rengek Nana.
"Besok," suaminya melakukan kegiatannya kembali dan membuat Nana kesal sekaligus tersiksa karena menikmati semua perlakuan Raphael.
Sialan.. Anak lo nanti ngences Raphael!
***
a/n:
Pregnancy moments bakal banyak diceritakan di cerita lain ya..
Setelah sabotase keinginan anaknya.
Bapak laknat satu ini memang
benar-benar..
Bandung, 12 Februari 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro