CHAPTER #48
"With everything I have,
all the things I've been given,
all the success I've worked
for, she's the only one."
─Raphael
***
CHAPTER #48
***
USIA kandungan Ina sudah berjalan masuk bulan keempat. Nana pikir, dia akan isi bersamaan dengan kakaknya, well─ada pemikiran dimana dia pun akan hamil secepat itu, mengingat obrolan Nana dan Raphael pertama kali ketika mereka telah melakukannya.
Nana masih berada di studio, akhir-akhir ini dia merasa tubuhnya berat. Mungkin dia kurang asupan makanan, entahlah.. Tapi rasanya tidak enak, bahkan untuk mengangkat tangan sekali pun rasanya perlu effort yang kuat.
Tadi dia sudah revisi setiap vocal para trainee yang siap didebutkan. Dari sembilan gadis berusia rentang delapan belas hingga dua puluh satu, hanya satu orang yang berhasil menjadi solois. Suaranya begitu khas, dan raspy─terdengar serak seperti orang yang baru saja bangun tidur, seksi tapi merdu.
Dan bulan depan, dia sudah disiapkan untuk segala debutnya. Ah, Nana jadi merindukan masa-masa itu.
Pak Suami:
Aku di lobby, masih di
studio ya?
19.45 p.m
Nana Damarys:
Oke, aku siap-siap dulu.
19.50 p.m
Read.
Nana bangkit dari kursi, lagi-lagi pusing menderanya. Dia pikir anemia sudah menyerangnya lagi, akhir-akhir ini telinganya sering berdengung. Nana pikir dia terlalu lama memakai headphone di studio, atau mungkin earpods, tapi denging pada telinganya disertai nyeri akhir-akhir ini.
Dia belum menceritakan soal ini kepada Raphael. Terutama, ketika Raphael pulang suaminya akan menceritakan berbagai keluhan transisi perusahaan yang cukup crowded, Nana pikir besok dia harus ke rumah sakit.
Meskipun dia sudah melakukan search pada google akan rasa sakit yang menderanya. Google bilang, itu adalah tanda-tanda dari vertigo, tapi memang cukup sinkron karena Nana juga merasakan kepalanya berputar akhir-akhir ini.
Dia meneruskan jalan dengan cepat, niatnya ingin segera sampai menuju lobby karena Raphael pasti sudah menunggunya.
Tapi rasa sakit itu kembali datang lagi, telinganya cukup berdenging keras hingga Nana berhenti sejenak hanya untuk memastikan kesadaran akan orientasinya. Dia belum sampai menuju lobby, kalau pingsan dan membuat rusuh orang juga nggak lucu pikirnya.
Nana menarik napasnya, berusaha meredakan nyeri itu dengan segala teknik nonfarmakologis yang dia tahu. Melangkahkan kakinya kembali, Nana dihantam pusing yang luar biasa dan berputar hingga membuat Nana berusaha mencari sesuatu yang bisa menopang tubuhnya, sayangnya.. Dia tidak merasa kuat lagi dan dia terjatuh di depan pintu lobby.
...
...
"Dokter belum memberikan hasilnya, terakhir mereka bilang cuman anemia, Ma."
Samar-sama, Nana bisa mendengarkan suara Raphael yang tengah berbicara dengan seseorang. Entah itu Mamanya, Jane. Atau Mama mertuanya, Cassie.
"Masih belum sadar, dia sudah dipasang infus sekarang. Ya─kemungkinan aku bakal suruh dia rehat dari pekerjaannya."
What?! Nana berusaha menerima seluruh rangsangan cahaya kamar rawatnya yang cukup terang. Pusing masih terasa, tapi tidak separah apa yang tadi dia rasakan.
"Dokter bilang tunggu hasil lab untuk sementara─tekanan darahnya cukup rendah. Ya, delapan puluh per enam puluh."
"It's okay, aku minta Arie buat ke sini kok, Ma."
"Raf.." erang Nana.
Raphael langsung menoleh, dia mematikan sambungan teleponnya dan berjalan cepat menghampiri Nana. "Masih sakit? Masih pusing? Mau minum?"
Nana menggeleng lemah. "Mau pipis..."
"Kamu udah di pasang kateter," kata Raphael lagi. "Perawat bilang nggak memungkinkan buat kamu untuk turun, takutnya jadi resiko cedera, kamu bisa pipis sekarang."
Nana mengangkat kepalanya sedikit dan melihat pakaiannya yang sudah diganti dengan pakaian rumah sakit. Lalu merasakan miliknya sendiri yang terpasang oleh kateter, cukup tidak nyaman.
Raphael memastikan Nana mengeluarkan urinnya dengan nyaman. "Sakit nggak?"
"Nggak, cuman kayak kesedot aja." jawab Nana.
Raphael mengangguk, dia menaikkan sandaran ranjang Nana dan memberikan Nana air mineral. "Kamu sakit kok nggak kasih tahu aku, Na?"
Nana menggeleng, dia meraih tangan Raphael dan menempelkan punggung tangan Raphael pada pipi kanannya. "Aku kira nggak akan sampai pingsan, tapi telinga aku emang sakit banget berdenging gitu.."
"Ya kenapa nggak bilang sama aku, sih?" protes Raphael lagi. "Udah gini aja.. Aku takut kamu kenapa-napa, tekanan darah kamu rendah banget, Na."
"Bukannya dari dulu aku punya anemia ya?"
"Of course, kayaknya Hb kamu juga kurang kita tunggu hasil lab datang."
Tak lama dari itu, perawat datang bersama dokter. Tidak hanya satu dokter, melainkan dua dokter yang datang secara bersamaan.
"Selamat malam Pak Raphael," sapa Dokter Naina kepada Raphael.
Raphael mengangguk ramah. "Selamat malam, bagaimana hasil lab sudah keluar?"
Lalu perawat memberikannya kepada Raphael. Di sana Raphael melihat data hasil lab yang sebenarnya nggak dia mengerti sama sekali.
"Tadi Ibu Katarina menjalani dua tes. Ada tes urin dan darah, Bapak bisa lihat di lembar pertama, di sebelah saya ada rekan saya, Dokter Amira spesialis obgyn."
Kening Raphael dan Nana sontak berkerut. "Ada yang salah dengan saya?" tanya Nana spontan.
Dokter Amira lantas menggeleng dengan senyuman. "Tidak, di sini saya akan memberitahu─well selamat Pak Raphael dan Ibu Katarina, kalian berdua akan menjadi orang tua sebentar lagi."
Keheningan menyelimuti ruang rawat itu. Dari pasangan suami istri itu, tidak ada yang bereaksi selain hanya mengedipkan mata saja. Dokter Naina dan Dokter Amira menyangka kalau mereka cukup terkejut mendengarkan berita kehamilan Nana.
"Bagaimana, Dok?" tanya Raphael sekali lagi, dia mendadak jadi orang tuli, sulit menerima informasi.
"Ibu Katarina mengandung, usia kehamilan saya perkirakan baru jalan empat minggu. Setelah ini, besok kita bisa melakukan USG."
"Hah?!" Nana mengeluarkan suaranya. "Saya hamil?" tunjuknya pada dirinya sendiri.
Dokter Amira dan sang perawat terkekeh pelan. "Iya, Bu.." kata Dokter Amira berusaha menyadarkan Nana pada kenyataan yang dia terima. "Selamat ya,"
Raphael menggeleng tidak percaya, lalu dia menatap Nana dan turun ke arah perutnya. "Dia sekecil itu ya sampai nggak ketahuan sama kita?" tanyanya dengan suara pelan.
Nana ikut mengangguk. "Pantesan, aku telat haid."
"Tuh kan, Ibu nya nggak sadar." cetus Dokter Amira. "Wajar, untuk kehamilan pertama memang seperti itu, untuk selanjutnya saya serahkan kembali kepada Dokter Naina."
Kini Dokter Naina mengangguk. "... Jadi apa yang ada pada data lab, Ibu Katarina mempunyai anemia, dan pusing berputar yang Ibu rasakan dikarenakan vertigo itu sendiri. Hasil Hb dalam darah Ibu cukup rendah, tapi saya akan berkolaborasi dengan Dokter Amira agar memberikan suplemen penambah darah."
"Tapi itu nggak apa-apa kan, Dok?" tanya Raphael khawatir.
"Nggak apa-apa, untuk saat ini kita akan pantau terus-menerus. Jika Hb meningkat, maka nggak perlu ada yang dikhawatirkan, terkecuali ketika usia kandungan sudah mendekati due date atau trimester akhir, jika Ibu Katarina masih memiliki Hb yang kurang, saya akan sarankan untuk melakukan transfusi darah."
Raphael menghela napas, lalu dia melihat hasil lab yang menunjukkan nilai Hb Nana. "Rendah banget lho, Na.. Delapan ini, nilai rujukannya dua belas."
Dokter tersenyum mendengarkan itu semua, lalu ketika Dokter dan perawat sudah meninggalkan mereka, Raphael merasa kedua matanya ingin mengeluarkan air mata sekarang juga.
"Sekarang jam sebelas malam, Na." kata Raphael kepada Nana.
Nana mengangguk, dia meraih Raphael ke dalam pelukannya, menghirup feromon suaminya yang menjadi candu baginya dan parfum yang tidak pernah berubah.
"Mm, terus?"
"It's eleven eleven p.m, Na."
Merasa dejavu, Nana mengangkat wajahnya. Benar saja, wajah Raphael sudah basah akan air matanya dan dia tersenyum mengusap pipi Raphael yang basah. "Big boy.. Don't crying.. I'm fine, kan? Tadi dokter bilang─"
"No, I'm just..." Raphael menarik napasnya. "I'm so happy because I'm going to be father because of you, besok kita USG dan akan ketemu sama dia." telapak tangan Raphael mampir di atas perut bawah Nana dan mulai terisak lagi. "Oh God, Na.."
Nana terkekeh pelan, kabar baik itu diterima di hari yang baik batin Nana. Dia ingat, satu bulan yang lalu adalah ulang tahun Raphael yang ke dua puluh tujuh.
"Ini hadiah ulang tahun dari aku ya, Babe." kata Nana kepada Raphael. "Semoga dia sehat, jadi anak yang baik yang sayang sama Mima dan Pipanya."
"Mima? Pipa?" tanya Raphael.
Nana mengangguk. "Mm, lucu kan?" tanyanya dengan kedua mata berbinar.
Raphael tidak mampu mendeskripsikan rasa bahagianya. "Thanks, sumpah aku senang banget hari ini..." Raphael tak henti mencium puncak kepala Nana.
Nana terkekeh pelan, dia menarik wajah Raphael dan mencium suaminya dengan amat lambat. "Kangen.."
"Nggak usah mancing," protes Raphael.
"Why?" tanya Nana. "We in our room, aku yakin nggak akan ada suster yang datang lagi—"
Raphael dengan berang mencium pipi Nana begitu gemas. "Don't forget you used a catether, Na. Are you kidding me?!"
Tawa Nana langsung pecah begitu saja, tapi rasa nyeri kepalanya masih terasa hingga membuat dia meringis. "Aw─"
"Nah kan, sakit?!" todong Raphael. "Makanya jangan kualat sama suami dong.."
"Aku nggak kualat!"
"Ya kamu godain aku tadi? Tahu banget sekarang kita nggak bisa ngapa-ngapain."
"Ya udah yang ini aja.." Nana lagi-lagi mencium Raphael lebih dulu.
Raphael pikir, anak mereka sangat menyukai dirinya. Karena berita kehamilan, Nana sejak tadi nyosor duluan, it's just like not her..
Ciuman itu berlanjut hingga Nana menyadarkan dirinya di bawah Raphael, sementara itu, tangan kanan Raphael tidak lepas menyentuh perut Nana yang masih datar namun teraba kencang.
"GOFOOD!" teriak Arie yang baru saja datang.
Raphael dan Nana sontak menghentikan ciuman mereka dan menatap Arie dengan terengah-engah. Sementara itu, Arie yang datang bersama Dinda lantas berdecih bersama.
"Memang sialan, gue datang malah di kasih pemandangan black hole!" protesnya lagi.
Raphael dan Nana tersenyum, namun tak lama ketika Raphael memberitahu soal kehamilan istrinya. Arie menjadi pihak kedua yang menangis malam itu, karena dia akan menjadi Om secara resmi dari anak sahabat kecilnya.
***
Rencana USG pagi ini pukul sepuluh pagi harus di re-schedule karena manusia nomor satu yang ingin dilibatkan secara ekslusif a.k.a─Pravinda belum bisa hadir dikarenakan pemotretan brand ambassador pakaian olahraga yang tengah dilakukannya. Janjinya, jam sebelas siang ini Prav akan selesai, kalau tidak selesai dia sudah bilang akan kabur dari lokasi pemotretan.
Sayangnya, Nana memberikan pengertian yang lebih, dia bilang kepada Prav kalau Prav bisa santai dan jangan terburu-buru. Dokter spesialis obgyn, Dokter Amira mengatakan dia bisa menunggu Prav sampai pukul satu siang karena dia harus lanjut praktek di klinik orang tuanya.
Raphael absen tidak masuk kerja, pagi tadi Nana sudah diserang mual dan muntah selama dua kali. Tekanan darahnya masih rendah, untuk ukuran ibu hamil. Maka dari itu, seluruh keluarga sudah berkumpul. Hanya saja, Jane dan Naka tidak berada di Indonesia, rencananya Arie akan melakukan video call lewat Skype agar Jane dan Naka bisa ikut melihat proses USG pertama ini.
Mertuanya, Cassandra tentu saja sudah berada di ruang rawat inap. Dia memeluk Raphael dan Nana bergantian, mengucapkan kata selamat pada anak dan menantunya. Sementara Arie, bersama Mamanya Valen pun ikut menunggu, Ina pun tidak ketinggalan.
Ina tidak datang bersama Marcell, dikarenakan suaminya harus menghadiri salah satu seminar workshop dari fakultas musik kampus swasta.
"Prav lama banget deh," gerutu Arie. "Dokter siapa tadi, Na? Dokter kandungan lo keburu balik elah.." protesnya.
"Dia udah kabarin gue kok." kata Nana sembari mengecek ponselnya. "Dia bilang udah di jalan."
Raphael memakan buah apel bekas Nana yang tidak habis. "Sumpah ya, istri gue yang mau USG si Prav heboh betul."
Ina tertawa mendengarnya. "Gue hamil aja dia heboh, dibandingkan Marcell, Prav tuh paling cepat respon kalau gue minta ini-itu."
Kedua mata Nana membulat tak percaya. "Masa?"
"Iya, terakhir gue pengen ikan bakar kan.. Marcell disebelah gue bobo aja nyenyak kayak bayi kukang, ya gue telepon Prav aja─ternyata si manusia itu lagi di studio katanya. Gue suruh dia beliin ikan bakar."
Arie tertawa. "Pantesan, besoknya dia ngomel sama gue. Katanya dia cocok jadi suami siaga."
Valen menepuk lengan anaknya. "Kalau begitu, kapan kamu mau nikah?"
"Kok jadi aku yang di tagih sih, Ma?" tanya Arie pada Mamanya.
Raphael berdecih meledek Arie. "Te, Arie mau nikah aja mikir-mikir modal, belum lagi Dinda mau nikah kayak gini, kayak gitu."
"Ya wajar.." timpal Cassie. "Nikah itu ibarat hajatnya cewek, apa yang cewek mau ya turuti─kalau mampu."
"Iya modelan Arie sudah lebih dari mampu dong, Ma?" jawabnya pada Mamanya. "Cuman aja Arie hitungan."
Lalu ketukan pada pintu kamarnya terbuka begitu saja, terdengar suara Prav yang dirusuhi oleh perawat yang memintanya foto.
"Iya sebentar ya, Suster-Suster.. Sahabat saya mau USG, dokternya keburu balik katanya. Nanti ya, kalau sahabat saya udah USG kita foto."
Prav menenangkan para perawat yang ingin meminta foto bersama. Lalu dia masuk dan menutup pintu kamar rawat Nana dan mengusap dadanya. "Wah gila, nggak dimana-mana rusuh."
Ina melipat kedua tangannya di depan dada. "Lo nggak sama bodyguard lo?"
Prav menggeleng. "Bodyguard gue belum makan, kasian. Dia lagi makan di restoran Padang depan RS."
Nana tersenyum mendengarnya, meskipun sifatnya gila tentu saja Prav masih peduli pada orang-orang di sekitarnya.
"Jadi, gimana?"
"Kita nunggu lo bego..." maki Raphael kesal. "Ya sekarang lah."
"Oke!"
Di ruang USG, semua orang masuk. Menurut Dokter Amira, ada yang lebih heboh daripada ini. Kehamilan pertama pada keluarga konglomerat pernah menyewa ruangan besar untuk pasien VVIP hanya untuk USG agar dua keluarga bisa menyaksikannya.
Jadi, dia nggak heran dengan rombongan yang menemani Nana kali ini.
"Kita mulai ya.." Dokter Amira sudah menuangkan gel di atas permukaan perut Nana yang membuat Nana mengernyit kedinginan.
Di layar tersebut hanya terdapat hitam putih, masih belum terlihat dimana letak anaknya. Tapi Raphael menggenggam tangannya begitu erat, menularkan excited yang tidak bisa ditahan serta rasa penasaran.
Mama mertuanya dan Valen masih mengawasi dengan serius. Arie memegang ponselnya dan mengarahkan kamera belakang agar Mama dan Omanya bisa melihat.
"Nih dia.. Usianya jalan lima minggu, masih kecil segede kacang merah." kata Dokter Amira menunjukkan bulatan itu.
Tapi sayangnya, Dokter Amira mengernyitkan keningnya. "Sebentar.." katanya membuat semua orang penasaran.
"Kenapa, Dok?" tanya Raphael tak sabaran.
"Pak, ini saya nggak mungkin salah.. But both of you got a twins!"
Semua orang tercengang. Ina mendekati layar USG lebih dekat, memicingkan matanya dan membuat Dokter Amira terkekeh pelan.
"That's it," Dokter Amira memperbesar. "Di sana ada dua fetus. Kanan dan kiri, saya tandain ya.. Baby A and Baby B."
Tidak ada yang bereaksi, kedua Nana membulat dan mengerjap perlahan. Dia melihat dua bulatan hitam yang ada di sana, it's a real? Karena rasanya Nana nggak begitu percaya, dia malah diberikan dua?
"It's a twins?" itu adalah suara Prav yang kembali membuat kesadaran orang-orang muncul. "Oh my God, hebat bener lo." katanya kepada Raphael. "Sekali keluar jadi dua begitu." celetuknya.
Cassie berteriak kali ini. "A twins!" serunya dengan senang.
Jane dan Naka ikut bersorak senang, tentunya mereka akan mendapatkan tiga cucu sekaligus. Satu dari Ina, dan dua dari Nana.
Nana menoleh pada Raphael yang masih diam. "Raf?"
"Dua, Na.."
Arie tertawa meledek bagaimana cengonya Raphael. "Iya, dua."
"Sumpah gue kaget banget..." Ina mengelus dadanya. "Na.. Gue happy banget, anak gue bakal punya dua sepupu."
Nana mengusap ujung matanya yang basah, Raphael tersenyum kian lebar dan mencium tangannya. "Kenapa sih dari kemarin bikin aku senang terus, Na? Aku harus bayar rasa senang ini pakai apa?" rengeknya.
Cassie dan Valen tertawa mendengarnya. Setelah USG selesai, Nana mengelus pipi Raphael. "Jadi suami yang baik aja."
"Masa itu doang sih? Nggak worth it banget. Kamu udah kasih aku multiple times happiness.."
"Calon Bapak alay banget." cibir Arie.
Raphael mendelik acuh. "Gue doain lo buruan jadi Bapak."
Sementara itu Prav menepuk bahu Raphael. "Congrats Man.. Meskipun waktu kecil lo kalah lomba pipis, ternyata.. Kejantanan lo tak patut diragukan."
Nana menjewer telinga Prav, dia malu untungnya Cassie dan Valen sudah paham watak Prav bagaimana.
Hari itu, Raphael tidak pernah melepaskan genggaman tangannya kepada Nana. Selalu menanyakan apa keinginan Nana, dan bagaimana cara membalas rasa bahagia yang ia terima dari Nana.
Memang ya, nikah sama sahabat lo sendiri kebahagiaannya berlipat-lipat.
***
a/n:
Hamil dong. Sudah golllll!
Ceritanya Kokoh Arie masih berada dalam tahap proses wkwkwk. Kayaknya nggak akan di publish sekarang-sekarang, tapi ya doakan saja semoga aku nggak malas menulis wkwk.
Dua part ke depan bakal ada ending!
Terima kasih sudah memantau Raphael dan Nana sampai di sini!
"Sekali masuk langsung dua
kan jadinya."
─Raphael
"Gue nih udah dihamilin sama
dia ya, anehnya kenapa gue mau
dicabulin sama sahabat sendiri."
─Nana
"Kalah lomba pipis waktu kecil,
ternyata tokcer juga."
─Arie
Bandung, 12 Februari 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro