Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER #46

"Family isn't defined only
by last names or by blood;
it's defined by commitment
and love."

─Nana

***

CHAPTER #46

***

RAPHAEL terbangun dari mimpinya yang aneh, dia merasa khawatir dan takut sekaligus karena di dalam mimpi dia malah membicarakan hal yang tidak pernah sinkron dengan hatinya. Berusaha mengurai dan mengumpulkan mimpi yang sudah terjadi padanya, Raphael ingat dia pernah melakukan perjanjian dengan Nana bahwa dia tidak akan menikahi gadis itu.

Perasaan takut karena ucapannya yang bisa saja menjadi kenyataan membuat Raphael lupa, tubuhnya masih merasa lelah karena semalam dia cukup mabuk dan tertidur dalam keadaan sepatu pantofel yang masih terpasang, lalu kemejanya yang sudah terlepas dan diikuti oleh ikat pinggangnya yang sudah lepas.

Dia menoleh ke sisi kiri, melihat Nana yang sedang tidur terlelap di sisinya, gadis itu lebih manusiawi daripada dirinya. Semalam Prav memang mencekoki dirinya dengan minuman, hingga dia tidak sadar semalam bagaimana bisa dia kembali ke kamar Villa?

Oh Tuhan...

Tapi melihat bagaimana Nana tidur dengan nyenyak, dan jari manis gadis itu yang berkilau karena cincin yang dia pasangkan kemarin di atas aisle.

Naik ke atas, Raphael melihat kelopak bunga mawar yang entah jatuh darimana. Raphael mengambilnya, dan mengusap sisi wajah Nana dan membuat gadis itu mengernyit geli.

Tidak ada yang terjadi semalam, Raphael merasa bersalah karena dia mabuk sehingga istrinya yang cantik ini dianggurkan? Yang benar saja..

Stupid, Raphael..

Kemarin mereka baru saja saling mengucapkan janji satu sama lain di hadapan Tuhan. Bagaimana Raphael menjelaskannya? Mimpi yang baru saja mampir kepadanya menceritakan momen yang pernah dia lewati bersama Nana. Gadis itu sahabatnya, yang tidak pernah Raphael pikirkan akan menjadi istrinya.

Dan sekarang, mereka disatukan dengan ikatan yang suci. Perasaan senang yang tidak pernah bisa digambarkan ini membuat Raphael bingung, apakah semua ini nyata?

Manusia itu diibaratkan bisa menjadi sebuah pohon, ranting dan daun. Daun akan jatuh jika terkena angin─mereka adalah orang-orang yang mampir dan lewat dalam kehidupan kita. Ada yang saling menyapa dan tidak, lalu pergi begitu saja. Sementara ranting, bisa saja patah ketika seekor burung singgah─sama seperti setiap orang yang pernah memiliki peran penting, namun tak bertahan lama karena berbagai alasan yang membuat seorang hanya bisa untuk menyapa dan singgah saja, memberikan jejak dan pengalaman. Sementara pohon akan berdiri dengan tegak, bersama akar yang sudah tinggal di dalam tanah dan tidak akan berpindah tempat.

Dan sekarang, Raphael rasa dia sudah tumbuh menjadi pohon yang besar dan kuat. Dia memiliki akar yang sudah mulai bertumbuh di dalam tanah, menjalar hingg bagian pohon lain yang ada disebelahnya, yaitu Nana.

Dia akan berdiri di sisinya, tidak berpindah, tidak berubah dan bertumbuh, berfotosintesis, dan dia janji dia akan melakukannya bersama Nana. Bagaimana cara sebuah pohon agar tumbuh dengan optimal, maka Raphael akan berusaha untuk dirinya.

Ya, dirinya yang didedikasikan untuk Nana saja.

Kedua kelopak mata Nana terbuka menerima rangsangan cahaya matahari. Masih pukul tujuh pagi, tapi rasanya waktu begitu lambat untuk keduanya.

Raphael bangun lebih dulu, mandi dan jelas mengganti seluruh pakaiannya. Nana merasa kehilangan untuk sesaat, semalam dengan konyolnya Arie dan Prav mengantarkan Raphael ke kamar.

"Raf?" panggil Nana.

"I'm here!" sahutnya dari arah kamar mandi.

Nana masuk ke dalam kamar mandi yang tidak terkunci, melihat Raphael yang baru saja selesai mandi. Handuk melingkar di seputar pinggangnya yang terlihat alot─well kedua matanya memang menilai dengan sangat baik. Tubuh Raphael terlihat toned daripada biasanya, rambutnya bahkan masih gondrong dan entah kenapa dan perintah darimana pria itu memanjangkan rambutnya.

Kemarin, dia melihat Kafka pun melakukan hal yang sama. Apa rambut gondrong pada lelaki menjadi trend di zaman sekarang?

"Kenapa? Mau mandi?" tanya Raphael.

Nana mengangguk. "Keluar dong," usirnya.

Raphael berdecak. "Masa suaminya di usir sih?"

"Ya aku mau mandi?!" balas Nana gemas. "Terus kamu mau lihat aku mandi?"

Raphael mengangkat bahunya dan menjawab. "Nggak masalah,"

Kedua mata Nana membulat, Raphael bilang tidak masalah, maka itu yang akan dia lakukan. Nana membuka seluruh pakaian tidurnya, lalu melepas satu persatu pakaian yang melekat di dalam tubuhnya. Raphael menontonnya dari pantulan cermin kamar mandi.

Nana masuk ke dalam shower room tanpa dosa, dengan tubuh telanjangnya dia mulai menyalakan air dan membiarkan tubuhnya dibasahi oleh air yang mengalir. Nana masih tidak memedulikan respon Raphael, karena dia berusaha mengacuhkannya.

Tapi ketukan pada kaca shower room membuat Nana menoleh dengan sebagian ruang shower yang sudah tertutupi embun.

"Buka," pinta Raphael kepada Nana.

Kini Nana mengernyitkan keningnya. "Ih, nanti basah lagi!"

"Memang," jawab Raphael dengan enteng. "Aku mau join."

NGGILANI.

Nana sontak menggeleng spontan dan mengambil sabun untuk tubuhnya. "Nggak usah, nggak ada kerjaan. Mending buruan sarapan, nggak mual? Semalam kamu mabuk parah."

"No, I'm fine." jawab Raphael dengan suara dalamnya. "Buka, Na." pintanya lagi.

Nana mengalah, dia membuka shower room terbuka dan melihat Raphael melepas handuk yang terpasang di pinggangnya tadi sudah teronggok begitu saja di atas lantai marmer putih.

"Raf?!" Nana shock tidak bisa─maksudnya belum pernah menyangka akan melihat milik Raphael yang kini terlihat...

Padahal rambut Raphael saja masih basah, melihat wajah suaminya yang kini ikut basah dan seluruh tubuhnya begitu dekat dengannya membuat Nana ternganga.

"Kita betulan telanjang, Raf." kata Nana dengan polosnya.

Raphael tertawa puas mendengarnya, dia meraih pinggang Nana mendekat dan merapikan anak rambut yang turun karena air. Raphael membalas tatapan Raphael tak kalah hangat lalu menyembunyikan wajahnya di dada Raphael.

"Why?"

"Malu..."

Raphael tertawa lagi, sumpah ya Nana merasa tidak ada yang lucu saat ini. "Raf, nanti kita telat sarapan."

"Nggak apa-apa, yang lain bakal ngerti."

Ngerti ndas-mu.

"Raf serius.."

"Mau cium deh, serius.." balas Raphael.

Nana tersenyum, dia lebih dulu memajukan wajahnya dan berjinjit. Raphael meraih bokong Nana dan mengangkatnya hingga memudahkan Nana meraih bibir Raphael, sementara itu bagian dari milik Raphael menusuk perutnya.

Nana terkekeh geli. "Aneh banget.."

"Apa?"

"It's too hard," tunjuknya.

Raphael tertawa lagi. "Ya gimana, dia mau kamu."

"Wah.. Gila.."

"Shut up, mau cium nih." protes Raphael.

Nana mengangguk, lalu ketika Raphael memulai ciumannya dia merasakan bagian lain dari tubuhnya yang bereaksi kian lebih dan menginginkan seluruh sentuhan Raphael. Di sana, Raphael mencium seluruh bagian wajahnya, turun hingga ke leher dan membuat beberapa jejak di sana yang Nana pikir dia membutuhkan consealer ekstra.

"Raf,"

"Wait," Raphael menunduk, meraih puncak payudara Nana dan membuat Nana mengerang kali ini.

Membiarkan suaminya menyentuh tubuhnya membuat Nana tersenyum, anehnya kenapa dia bisa ikut menikmati, bagaimana helaian rambut Raphael memenuhi ruas jarinya, membalas ciumannya tak kalah hangat dan saling menyalurkan cinta sama lain.

Raphael mendongak, semakin turun suaminya itu berlutut di hadapan Nana. Nana memerah karena malu, tapi Raphael menatap miliknya dengan cara yang tak biasa dan membuat Nana menunggu apa yang akan Raphael lakukan kepadanya.

"This is my breakfast." kata Raphael berbicara dengan apa yang ada di hadapannya.

Nana menyembunyikan senyumannya, lalu ketika Raphael memulai ciuman di bagian dirinya, Nana tak bisa tahan geli spontan menarik helaian rambut Raphael dan terengah cepat, rasanya dia baru lari marathon. Jantungnya berdegup kian kencang, lebih parah dari apa yang dia rasakan tadi.

Kedua tangan Raphael menjauhkan bagian kedua pahanya dan kian bergerak lebih dalam menuju bagian paling privasi miliknya. Lidah pria itu berhasil menyentuh dengan cara yang berhasil membuat Nana meneriakkan namanya.

"Raphael..."

Raphael tidak mendengarkan dirinya, perasaan asing muncul dan membuat Nana merasa kebas pada kedua kakinya. Rasa hebat itu berhasil menyerangnya dan membuat Nana mencari tumpuan pada kedua dinding kaca shower room.

Sesaat, rasa yang menyerangnya itu keluar Raphael menghentikan kegiatannya dan meraih Nana ke dalam pelukannya.

"Let's go to the bed." bisik Raphael. Pria itu mematikan air dan meraih bokong Nana ke dalam gendongannya.

It must be a long time for start a morning.

***

Semua keluarga meninggalkan Nana dan Raphael di Villa, mereka bilang akan memberikan waktu dan tempat untuk pengantin baru, yang sialnya begitu disemangati oleh Raphael.

Mereka berdua benar-benar tidak keluar kamar hingga siang, jika Nana tidak mengatakan berhenti Raphael tidak akan menghentikan kegiatannya. Tidak peduli perutnya sendiri lapar atau tidak, sementara mereka berdua saling sibuk satu sama lain dengan hal yang dinamakan─menjelajahi hal baru.

Nana sampai dibuat kesal, maksudnya ternyata.. Pertama kali itu memberikan efek yang besar, keluarga yang lain semuanya mengerti hanya saja mereka cukup diam dan tidak meledeki Nana. Terkecuali, Rebekah sepupunya yang terus menerus memperhatikan cara Nana berjalan.

"Beneran dibuat ngangkang." maki Nana setelah berhasil menghabiskan donat pertamanya.

Raphael menoleh dari layar iPad-nya. Papanya bilang kalau dia tidak perlu khawatir soal urusan kantor, tapi tetap saja Raphael memantaunya. Setidaknya, apa yang Candra laporkan hari ini, kantor cukup terkendali.

"Kenapa?"

"Masih tanya kenapa?!" Nana dengan sebal ngegas kepada Raphael. "Jalan aku aneh banget.. Terus Rebekah bisik-bisik, how great are our moves? Gila nggak sih?!"

Raphael tertawa dia menarik lengan Nana dan membuat Nana bersandar di sisi tubuhnya. "Ya memang kita hard banget kan tadi pagi."

"Memang edan," Nana mengangguk setuju.

"By the way, kita belum membicarakan soal anak, Na."

Nana mengernyitkan keningnya, lalu tersadar beberapa saat. "You pull me out without condom."

Raphael mengangguk. "Iya, lagi subur nggak sih?"

Nana menggeleng. "Nggak tahu, kalau langsung jadi gimana ya?"

Raphael ikut diam, berpikir keras apakah dia dan Nana sudah siap akan kehadiran seorang anak? Bukan maksud menolak, tapi jika terlalu cepat apa akan baik-baik saja kepada Nana?

"Na, I'm sorry.." kata Raphael merasa bersalah atas apa yang sudah dia lakukan. "... I mean, it's your body, harusnya kita membicarakan soal ini lebih dulu."

Nana mengangguk perlahan, lalu dia mengangkat wajahnya. "Aku takut, tapi kalau memang ada masa kita mau nolak kehadiran anak sih, Raf? Itu kan pemberian Tuhan."

"Tapi nggak secepat itu juga kan, Na. Kayak kita juga butuh waktu buat menikmati newlyweds."

"Kalau udah ada anak, nggak akan jadi berkurang bahagianya kok." Nana berusaha berpikir positif, lagian belum tentu juga yang tadi pagi dia lakukan jadi. "Kalau kamu rutin ngisi aku, ya kayaknya aku bisa cepat hamil lah, Raf."

Raphael terkekeh, mencium puncak kepala Nana. Suara angin malam dan kicau burung membuat udara dingin Bandung terkesan damai. "Sekarang aku tanya,"

"Apa?"

"Memang kalau punya anak kamu udah siap?"

"Mm," Nana terlihat berpikir. "Kalau yang aku tangkap sih ya, Raf. Aku sama kamu masih usia produktif."

"Mm, terus?" Raphael semakin mengeratkan pelukannya. "Kayak aku hamil, melahirkan terus menyusui, belum lagi ngerawat semuanya butuh tenaga, perasaan, emosional, finansial, iya kan? Perencanaan keluarga tuh penting banget, tapi kalau ada anak kebutuhan dan dorongan bakal jadi banyak banget, kadang kita jadi mengutamakan prioritas dalam bentuk rasa tanggung jawab."

"Lho? Kamu kan memang tanggung jawab aku, anak kita juga nanti tanggung jawab aku."

"Iya.." Nana menghela napas. "Bayangin deh Raf, anak itu bukan cuman perkara bayi yang nangis ingin susu, ganti popok lalu tidur. Kita harus bisa mencintai, peduli, dan ngemong sosok yang akan sangat dekat dengan kita selama 24 jam penuh. Ya khususnya sama ibu."

"..."

"Aku masih belum jelas, bakal lanjut apa nggak di Label─aku tahu, kamu pasti nggak suka aku kerja dan─"

Raphael menggelengkan kepalanya, meraih wajah Nana agar mau menatapnya. "Itu keputusan kamu, kata Marcell sampai kapan pun status kamu nggak akan lepas di sana."

"I know, tapi kamu nggak mau kan aku kerja?"

Berat memang, tapi kalau dia memikirkan egoisnya sebagai lelaki dia ingin Nana diam saja di rumah. "... Kamu sesuka itu sama musik kan, Na? Sebelum aku, musik udah ada lebih dulu di hati kamu."

"Itu bakal jadi perubahan besar kalau aku berhenti, Raf."

Raphael mencium pipi Nana. "Kalau begitu lakukan, jangan berhenti."

Kedua mata Nana membulat. "Are you serious?"

"Mm, selama kamu kerja di studio, dan tetap aktif di JSH aku nggak akan mempermasalahkan."

"Masa iya?" Nana menyipitkan mata dengan curiga. "Back to the topic, kalau aku hamil dan tetap kerja di studio nggak apa-apa, kan?"

Raphael terlihat menimbang-nimbang, apa itu akan baik-baik saja untuk Nana? "Soal itu.."

"... Ya?"

"Kayaknya aku harus bicara sama Marcell."

"Ah!" Nana melepaskan tubuhnya dari dekapan Raphael. "Jangan gitu dong, nggak asik banget!"

"Ya masa kamu mau kerja berat-berat?"

"Nyanyi, main cello tuh nggak berat, Raf."

"Gini Katarina, Sayang.." Raphael berusaha memberikan pengertian lagi. "Hamil itu bukan cuma perkara perut melendung doang, tapi keluhan selama mengandung bakal banyak dirasain sama kamu."

Nana lagi-lagi terdiam oleh kata-kata Raphael. Kenapa Raphael lebih paham soal kehamilan sih? Apa jangan-jangan dia berguru pada mantannya?

"Ketika kamu hamil nanti, aku mau kita bisa solid satu sama lain, Na."

"Sekarang udah solid belum?" tanya Nana, memang saat hamil saja yang harus diperhatikan.

"Kalau sekarang.." salah satu tangan Raphael naik dan masuk ke dalam blouse Nana. Tangan besar itu menyentuh perut rata Nana dan mengusapnya secara perlahan. "Kita solid banget."

"Oh ya?" Nana menahan napasnya. "Solid kayak gimana tuh?"

"Kayak gini.." Raphael membungkam bibir Nana dengan bibirnya, mengecap lebih dalam dan meraih helaian rambut perempuan itu ke dalam jarinya.

Merasakan setiap halusnya permukaan tubuh Nana yang dia rasakan, Raphael mencium kening Nana dan turun pada puncak hidungnya yang mungil.

"I want make you pregnant right now." bisik Raphael di bibir Nana.

Nana memejamkan matanya sembari tersenyum, dasar sahabat gila. "Lo yang hamil sana!"

"Na!" tegur Raphael tidak suka.

"Kenapa? Dulu kan gue─lo biasa aja, sekarang sensi banget kayaknya."

"Masa sama suaminya bicara kayak gitu?" protesnya lagi.

Nana tertawa geli, dia meraih leher Raphael dan menariknya. Mencium Raphael, it's just a french kiss, dan rasanya Nana senang. "Mau bulan madu.." rengeknya.

"Kemana?"

"Oregon, tempat Mama dan Papa kamu."

Raphael tersenyum miring, dia pernah menceritakan sejarah cinta kedua orang tuanya yang terjadi di Oregon. "Then, let's go there.." kemudian mereka kembali berciuman.

*

**

a/n:

Udah nikah guys!

Proses cerita pernikahan mereka bakal dibahas nanti di lain cerita, wkwkwk. Khusus buat cerita Prav, Raphael dan Arie.

Kira-kira ada yang penasaran sama cerita Kokoh Arie nggak? Kalau mau, kayaknya ekeu mau buat, kalau nggak ya sudah.. Kita lewatkan si Kokoh Cina itu hahaha.

Raphael mimpi keinget dia pernah bilang kalau dia nggak mungkin, dan nggak akan pernah mau menikahi Nana. Omongan itu doa wan-kawan, Raphael kan suka sembarangan kalau ngomong jadi Malaikat malah tulis omongan Raphael sesuai hati dia.

Udah sampai sini, akhirnya... Gimana? Nikah sama sahabat sendiri? Ribet banyak dramanya, kan? Kayaknya ini belum seberapa, masih banyak yang lebih drama daripada Nana dan Raphael.

Cuap-cuapnya di lain waktu lagi yaaa..

See you!

Mempelai pria.

Mempelai wanita.

Bandung, 10 Februari 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro