Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER #45

"If a man cannot be a
father to his own child,
there is nothing
worse than that."

Raphael's Dad

***

CHAPTER #45

***

MALAM ini, Jakarta macet seperti biasanya. Raphael masih sibuk dengan urusan kantor meskipun hari pernikahannya sudah di depan mata, mewakili Papanya dia selalu berusaha tetap tenang untuk menghadapi para jajaran komisaris yang terlalu banyak menuntut ini dan itu. Kekuasaan kantor masih ada di tangan Papanya, itu sebabnya jika ingin Raphael akan melakukan akuisisi yang benar hingga memusatkan fokus pengembangan bisnis dengan cara yang lebih mature.

Ekspansi perusahaan di wilayah negara Eropa bukan hal mudah, itu yang menyebabkan Raphael sedikit menerima tekanan dari sana sini hingga dia meminta Papanya untuk membantunya kali ini, merger saham dengan Prav di perusahaan keluarga bukan lagi pembahasan yang paling penting, karena sepertinya kedua perusahaan akan digabungkan menjadi satu.

Pramono, ayah dari Prav mendiang pamannya sudah meninggal. Tentu saja, Pamannya itu bekerja lebih rapi dan teliti daripada dirinya, hal itu berhasil membantu Raphael mengembangkan apa yang sudah ada, dibantu oleh Papanya. Sementara adik bungsu Papanya, Hadi masih terdengar acuh dan enggan bergabung bersama keluarga.

Serangkaian meeting hari ini, berhasil membuat Raphael kelelahan. Melihat sikap anaknya yang apatis dan diam, Bramantyo tahu kalau Raphael membutuhkan space untuk dirinya sendiri. Terutama, anak lelakinya ini sudah tidak bisa lagi bertemu dengan calon istrinya dikarenakan tradisi-pingit.

Ya siapa sangka? Bramantyo bahkan tidak pernah ikut campur soal urusan percintaan anaknya-saat dia sendiri mengalami struggle bersama istrinya, Cassandra, Bramantyo terlalu yakin kalau Raphael tidak akan sama seperti dirinya.

"Raphael," Bramantyo memanggil anaknya yang masih memainkan ponsel.

"Apa, Pa? Pegel? Ya udah gantian aja, aku yang nyetir deh."

"Don't worry, Papa masih kuat kok. Kamu kira Papa sudah encok, Raphael?"

Raphael menoleh dan terkekeh pelan melihat ekspresi Papanya. "Dih, sensi amat. Kenapa sih? Udah ngerasa tua ya, Pa? I'm twenty six, mau dua puluh tujuh malah."

"Ya, terserah kamu. Papa jadi mau tanya, kepikiran aja soalnya."

Jalanan macet memang cocok ditemani dengan suatu percakapan, apa lagi kalau biar nggak ngantuk?

"Kenapa?"

"Kenapa harus Nana, Raf? I mean, bukan Papa menyalahkan atau judge, hanya saja.. Dari sekian perempuan yang pernah kamu kenal, dan datang ke hidup kamu-kayak Intan contohnya, kenapa bisa jadi Nana?"

Pertanyaan Papanya mengusik Raphael dari alam bawah sadar. Benar, kenapa harus Nana? Hubungannya dengan Intan berjalan bertahun-tahun lamanya, bahkan Raphael sempat berpikir kalau dia akan menjadikan selamanya dengan Intan.

Tapi lihat? Nana bahkan mengakui perasaannya yang membuat Raphael jatuh secara berulang-ulang. Perasaan penuh suka cita, karena merasa perasaan saat remaja ternyata terbalaskan membuat dia senang.

"Pa, nggak semua orang jatuh cinta karena paras atau kata-kata, kan?" Raphael kini malah berbalik tanya kepada Papanya. "Karena aku, mungkin bagian dari orang yang jatuh cinta karena aku dan Nana sudah biasa memberikan waktu dan perhatian untuk satu sama lain, since a long time a go."

Bramantyo mengangguk samar, dia masih fokus menginjak rem dan pedal gas secara bergantian, namun tidak menampik kalau obrolan serius antara pria bersama anak lelakinya yang sudah dewasa patut dia apresiasi dan menilai lebih baik—Raphael is a good man, indeed. Itu kenapa, istrinya selalu mengatakan bahwa Raphael berbeda akhir-akhir ini.

"To be honest, I have a secret as a man. Mungkin Papa juga punya." Raphael terkekeh pelan.

Bramantyo mengangguk paham. "I see that's a pride, tapi pride Papa nggak berlaku keras setelah menikah dengan Mama. For make sure, I should understanding her selama dua puluh delapan tahun. Meskipun sempat berpisah, I'm really glad about that, because your Mom give me a chance."

"Papa diberi waktu untuk mengerti Mama selama dua puluh delapan tahun. Dan aku, diberi waktu sejak kecil sampai sekarang untuk terus belajar mengerti seorang Katarina, Pa." Raphael menarik napasnya, kemudian bayangan wajah Nana tersenyum dalam benaknya. "─perasaan ingin diperhatikan, dan dimengerti terkadang bikin cewek lupa kalau pria pun butuh itu."

"..."

"I'm human, literally. Aku punya hati, Pa." jelas Raphael dia lagi-lagi terkekeh pelan saat mengingat dan berpikir bahwa Intan lebih mudah dia dapatkan daripada Nana. Karena memang faktanya seperti itu.

Dari segelintir perempuan yang ada dan pernah datang ke kehidupannya, perempuan itu selalu jujur mengatakan isi hatinya secara terang-terangan kepada Raphael. Dan mereka juga tidak merepotkan seperti Nana.

Dalam beberapa waktu, Raphael selalu marah kepada dirinya sendiri─entah itu karena mengetahui Nana sibuk dengan dunianya, atau perempuan itu sudah menemukan seseorang yang berarti untuknya. Dan intinya, dia selalu marah─perasaan itu lah yang tidak pernah tersampaikan hingga dia berpikir Nana lebih sulit dari apa yang dia bayangkan.

"Aku merasa Nana selalu menghargai keinginan aku, pendapat aku. Dengan Nana Papa nggak bisa berpikir kalau aku akan menerima pernikahan dengan cara biasa-biasa saja. Of course, orang lain berpikir aku dan Nana hanya sedang sibuk di fase romantis. Tapi ternyata, kenyataannya nggak seperti itu, Pa."

Bramantyo tersenyum, memang orang jatuh cinta akan selaku luar biasa jika sedang menjelaskan percintaannya.

"... Fase romantis bisa aja berlalu, tapi aku dan Nana kayak bisa dan mengerti kalau suatu hubungan juga harus dikelola." balas Raphael kini.

"Kelola?" tanya Bramantyo bingung.

"Ya mengelola hubungan, Pa. Jadi bukan hanya sekedar euforia jatuh cinta aja, aku kenal Nana sejak kecil─and it's same with her. Mungkin, pengalaman kita sejak kecil, sudah terbangun di alam bawah sadar, dari cara bagaimana kita menyampaikan komunikasi satu sama lain, atau mungkin cara kita menyampaikan perasaan itu punya cara berbeda, tapi aku tetap bisa pahami dia."

"..."

"Mungkin, aku pernah berlaku mengesalkan, bukan hanya aku aja, tapi Nana juga berlaku sama kepada aku." Raphael akan selalu mengingat bagaimana sikap annoying Nana kepadanya. "─karena dengan Nana, aku siap membangun kepercayaan─yang hampir pernah aku pikir nggak penting sama sekali, Pa. Contohnya, saat aku bersama Intan."

"Ya I heard multiple times you cheating on her and her cheating on you. Menurut Papa, kamu dan Intan sama-sama egois."

"That's why I said, hubungan aku dengan Intan memang nggak sesehat itu." Raphael mengakuinya. "Nana dan aku selalu berusaha buat proses, karena memang kita akan selalu butuh proses, mungkin seumur hidup?"

"Me too," ujar Papanya lagi. "Sampai saat ini Papa dan Mamamu tetap berproses untuk saling menjaga satu sama lain dan menghargai satu sama lain."

Raphael menjentikkan jarinya, lalu jalanan mulai cukup lengang hingga Papanya merasa tenang dan melaju cukup kencang namun tetap bersikap profesional mengatur kemudinya ketika masuk jalan tol.

"Dengan begitu, karena aku dan Nana saling berproses bersama, maka adanya kecocokan saling melengkapi, kan?"

"Okay, I got it. Papa senang mendengarnya, kamu sudah siap secara mental untuk menghadapi Nana secara pribadi. Papa rasa, nggak ada lagi yang harus Papa risaukan lagi."

"For real, Pa?" tawa Raphael meledak. "Papa cemas karena aku mau menikah?"

"Boy, apa Papa harus mengingatkan kamu berapa kali kamu selalu uring-uringan sendiri kalau hal itu menyangkut Nana?"

Pertanyaan Papanya memang berhasil menohok Raphael, tapi mengingatnya lagi dia merasa bodoh sendiri. Kenapa dia sesulit itu mengutarakan perasaan kepada Nana?

Bahkan kini dia masih belum percaya, bagaimana bisa sahabat kecilnya akan menjadi istrinya? Kalau tahu sejak kecil manusia introvert itu akan jadi istrinya, mungkin dia akan lebih menjaga Nana dengan ekstra.

"Ya, namanya juga ketidaktahuan, Pa." jawabnya dengan enteng.

Ya, tidak tahu apa yang hati inginkan.

***

Nana membuka foto album keluarga dan melihat foto tersebut satu persatu. Foto keluarga yang begitu apik, Mama dan Papanya memang senang mengabadikan momen-momen tertentu. Dari mulai kelahiran Ina, hingga kelahiran Nana.

Dalam satu album yang sama. Jika orang lain melihatnya, mereka akan sulit membedakan Nana dan Ina, karena perawakan wajah mereka yang cukup sama. Dan entah kenapa, mau wajah Ina dan Nana keduanya begitu mirip Mama.

Orang mengatakan, jika anak mirip dengan ibu biasanya jarang akur, tapi kasus itu berlaku halal jika bersama Ina. Ina mungkin anak pertama, dia punya pride lebih besar dan pernah diutamakan karena pernah menjadi satu-satunya dalam keluarga hingga akhirnya datang seorang Nana sebagai adiknya.

Saat mengandung Ina, Jane selalu menceritakan kalau dia begitu bahagia karena pertama kalinya hidup mandiri bersama sang suami di Rusia. Ada beberapa momen yang Jane rasa perlu dia ceritakan, dan salah satunya adalah momen-momen kehamilan kedua putrinya.

Itu juga berhasil mempengaruhi kepribadian Ina. Ina cukup ceria dan ekspresif dibandingkan Nana, saat Jane mengandung Nana dia banyak mengikuti sang suami yang selalu pindah dinas sana-sini, berbeda dengan kehamilan Ina yang begitu dia nikmati.

"Mama nggak pernah membandingkan kalian, bagi Mama kalian berdua itu sama. Anak Mama." ujar Jane kali ini, sembari menatap kedua putrinya.

Ina mungkin sudah menikah, bahkan banyak belajar menerima pandangan dari satu keluarga dan keluarga lainnya. Tapi Nana? Belum, maka Jane ingin memberikan wejangan dan perhatian karena tidak lama dari sekarang, Nana akan menjadi milik suaminya.

Nana dan Ina saling melemparkan senyuman satu sama lain, mereka tahu, mereka paham dan mereka merasakannya. Bagaimana kasih sayang Mamanya yang selalu tercurahkan dengan begitu besar.

"Dulu, kalau ada saudara lain datang. Nana lebih milih mengurung diri di kamar," katanya lagi mengingatkan momen-momen terpenting pada Nana. "Bahkan Nana nggak jarang marah kalau sama Mama dipinta untuk gabung bersama saudara yang lain."

Kedua mata Nana membulat. "Masa iya aku begitu, Ma?"

Ina berdecak. "Kagak sadar diri." cibirnya.

"Ya namanya juga anak labil," balas Jane meledek anak bungsunya. "Nana kan memang begitu, tertutup sama orang baru, kecuali sama orang yang sudah dia percaya betul-betul ya pasti keluar bobroknya."

"Dih Mama..." Nana merengut.

"Yah, bagaimana.. Sekarang kamu sudah mau menikah, Mama harap Nana kali ini nggak labil layak anak remaja. Apa lagi, keluarga Tante Cassie, belum lagi keluarga Om Bram, Mama mau kamu bisa membawa diri dimana pun berada."

"..."

Kedua mata Nana rasanya sudah panas dan berkaca-kaca, ini lah ulahnya kalau dia mendengarkan deep talk sesungguhnya.

Jane lalu tersenyum kembali. "Mama tuh selalu punya ikatan yang kuat sama kalian, kemarin kerasa nggak tenang─Mama ngerasa gelisah keinget Ina tiba-tiba, langsung video call Ina, eh tahunya Ina lagi sakit.."

Nana melirik ke arah Kakaknya yang kini sedang tersenyum. "Ya, namanya juga... Ah nanti deh, Mama lanjut dulu kasih wejangan sama Nana." katanya dengan ledekan.

"Nah apa lagi dengan kamu, Nana." kata Jane lagi-lagi membuat Nana merengut. "Mama selalu khawatir sama kamu, Ina pernah iri dan bilang kalau Mama cuman sayang sama kamu, waktu kecil. Tapi jujur, kalian berdua punya perbedaan yang buat Mama harus membedakan secara prioritas. Ina gini lho, Nak. Nana gitu lho, Nak. Dan Mama selalu berusaha untuk mengerti kalian."

Nana menahan tangisannya. Dia yakin, perjuangan Mamanya merawat dan membesarkan dia dan Ina memanglah tidak mudah.

"Mama percaya sama Nana, Mama percaya juga sama Raphael. Tapi Na, dalam pernikahan ujiannya nggak hanya sampai aisle, berjanji lalu resepsi. Masih banyak ujian hidup yang harus kalian lewati bersama, begitu pun dengan Ina."

Jane menyeka air matanya yang sudah turun. "Dimana pun kalian berada nantinya, berbaktilah kepada suami kalian. Nana, meskipun Raphael sahabat kamu, Mama harap kamu bisa menghormati dia. Karena Mama yakin, Raphael bisa menjaga dan membimbing kamu."

Kali ini, bukan hanya tangis Nana saja yang pecah, tapi Ina juga.

"... Selalu beritahu Mama, bahkan kalau Nana ingin bercerita dan mengeluh kepada Mama. Mama akan siap dan Mama akan ada selalu untuk Nana."

"Mama..."

Nana berlari dan berlutut memeluk Jane. Menangis di pelukan Mamanya dan membuat Ina terkekeh pelan, dengan jahil dia merekam semuanya di insta story dengan hastag #NANACRYING

"Sshhh, berhenti nangis.." Jane malah tertawa. "Janji sama Mama, ingat.. Berubah jadi Nana yang baik, dan nggak murung ya.. Selalu bisa bersikap dan membaur dengan orang lain."

"Nana bakal ingat itu, Ma.."

Lalu, dalam seketika Instagram Ina dipenuhi oleh banyaknya pesan DM yang masuk. Apa lagi, Raphael yang kelihatannya kalut.

raphaelarjanta: Kak, Nana kenapa?
klarinna_d: Kepo.
raphaelarjanta: Gue serius😑
klarinna_d: Ya emang Nana nggak boleh nangis?! Dia lagi pengen nangis aja.
raphaelarjanta: pasti ada sebabnya, kan?!
raphaelarjanta: Kak, kalau lo nggak kasih tahu gue ke rumah skrg.
klarinna_d: SEMBARANGAN! Suruh siapa lo bisa ke rumah, hah?! Lo lagi dipingit.
raphaelarjanta:

klarinna_d: Nana baru aja dikasih wejangan sama Mama, bekal untuk menikah dengan manusia kek lo🤪
raphaelarjanta: Dih, pasti terharu.
klarinna_d: Bukan lagi.
raphaelarjanta: Gue pengen ketemu Nana deh jadinya..
klarinna_d: TAHAN DONG ELAH..
raphaelarjanta: Lo nggak tau gmn rasanya rindu, Kak?
raphaelarjanta: Gue mau minta tolong sesuatu boleh nggak? Baru keingetan hahaha.
klarinna_d: Apaan tuh?
raphaerarjanta: typing...

Semoga saja Ina masih diberikan kekuatan untuk meladeni calon adik iparnya itu.

***

"Harus banget kita nongkrong di jembatan kayak gini?" tanya Nana dengan kesal, gadis itu sudah mengeluh bahwa perutnya penuh kali ini setelah makan dua porsi sate padang dengan tambahan kupatnya. "Kayak si manis jembatan ancol aja."

Raphael tidak mendengarkan keluhan Nana. Setelah kalah main UNO, mereka berdua keluar dari rumah, Prav dan Arie tidak ada bersama mereka karena ya, Prav selalu sibuk dengan dunianya sementara Arie pun tengah berada di Shanghai.

Sudah satu pekan, Nana dan Raphael tidak bertemu lebih tepatnya memang tidak saling bertemu. Apa yang Nana lakukan di rumah juga nggak jauh dari hal sepele, menunggu jadwal JSH dan hangout bersama temannya, Reggy.

"Anginnya enak banget di sini," jawab Raphael kepada Nana.

Nana memandangi kota Jakarta yang cukup menyebalkan bagi pemandangan matanya. Polusi cukup pekat hingga membuat pemandangan jadi sulit buat didapatkan dengan baik.

"Eh, Raf.. Ingat nggak, waktu kecil kita pernah ditanya satu persatu sama Bokap gue?"

"Oh ya? Yang mana?" kedua alis Raphael terangkat begitu saja.

"Ditanya, calon istri dan suami idaman yang kalian inginkan? Padahal waktu itu kita masih SMP nggak sih? Nggak kepikiran sama sekali soal suami dan istri."

Raphael tertawa, dia menyisir rambutnya yang terkena helaian angin malam. "Kenapa lo tanya gitu? Keinget soal Bokap lo?"

Nana mengangguk. "Iya, sebelum Bokap meninggal, kayaknya cita-cita Bokap tuh ingin melihat Kak Ina dan gue menikah. Tapi ya, namanya umur.. Kan nggak bisa ditawar." Nana mengangkat bahunya. "Terus, Bokap juga udah sakit lumayan lama, ketika dia kasih pesan terakhir di masa-masa kritisnya, apa yang Bokap bilang ke gue selalu menjadi hal yang gue ingat baik-baik."

"..."

Nana tertawa sendiri lagi, merindukan Papanya di saat seperti ini memang sulit, jalanan yang sepi cocok untuk mengeluarkan isi hatinya yang terasa penuh.

"Papa selalu bilang, kalau dia nggak khawatir sama Kak Ina karena Kak Ina—cukup gila buat disakiti sama cowok. Ibarat kata, sebelum lo menyakiti, Kak Ina bakal nyakitin lo duluan."

Raphael mengangguk paham, karakter Nana dan Kakaknya memang berbanding sangat jauh. "... Terus Papa bilang, kalau gue yang disakitin, pasti gue cuman bisa diam aja. And he is already right,"

"Lo masih keinget sama Alex?" tanya Raphael curiga.

"Siapa yang nggak ingat? He is a man I've ever had─kayak pertama banget gue paham soal cinta dan menyayangi itu ya sama dia."

Raphael berdecih mendengarnya. Lagi-lagi dia terdengar sangat tidak suka. Nana tuh tipikal cewek susah move on pikir Raphael, jadi apa yang Nana simpan di dalam kenangannya pasti nggak akan pernah dibuang, kalau perlu bisa diawetkan. Isi otak Nana itu layaknya museum.

"Lebay," cibir Raphael.

Kedua mata Nana membulat secara dramatis. "Lo kan udah biasa gunta-ganti pasangan, nggak perlu khawatir lagi lah lo mah, udah tunangan sama Intan apa lagi coba?"

"Mm, lo benar."

"Benar, kan? Sana gih, buruan nikah sama Intan."

"I'm 24 years old and I'm fine. Nggak lo, nggak Mama nyuruh gue nikah muda mulu ih."

"Kan cita-cita lo dari dulu ingin jadi Bapak muda, kan?"

"Kalau cuman bikin anak mah gampang,"

"Dih?"

"Ngurus anak tuh susah. Buktinya, Mama dan Papa gue aja cerai."

Nana mengulum bibirnya dan tersenyum. "Cie, anak Mama kangen sama Mama Papa ya?" ledek Nana.

"Najis, Na.."

"Udah sih, nikah aja sama Intan. Kapan nih rencananya?"

"Intan belum siap menikah, Na."

Kedua mata Nana membulat lagi. "Masa?"

Raphael mengangguk. "Iya, ada beberapa alasan yang buat dia jadi nggak yakin kalau soal pernikahan bisa bikin hidup dia baik-baik aja."

"Is she..."

"Ya, dia anak broken home, dan gue nggak pernah menuntut dia buat mengerti ini dan itu, toh nasib gue dan dia sama." jawab Raphael dengan senyumannya.

Nana mengusap bahu Raphael. "Jadi, Intan bilang kalau dengan seperti ini aja udah bikin bahagia, kenapa harus menikah?"

"Ya udah.. Jalani dulu aja," kata Nana berusaha mengerti bahwa setiap hubungan memang begitu unik. "Lo sayang sama Intan, dan Intan percaya sama lo, apa lagi saling sayang bukannya kalian udah saling bisa memberi satu sama lain?"

"Memberi apa?" tanya Raphael tak mengerti.

"Keuntungan emosional yang lo butuhkan dong, Raf. Kasih sayang, benar kan?"

"Mm, gue sayang sama dia."

Kedua mata Raphael terlihat sangat berbeda ketika menceritakan Intan, itu kenapa Nana mempunyai impian yang secara diam-diam dalam hatinya kalau dia ingin memiliki pasangan yang sama seperti Raphael. Memuja perempuannya, menyayangi perempuannya dan selalu mengerti perempuannya.

Apa Raphael akan menjadi tolak ukur Nana dalam mencari lelaki? Sepertinya iya.

"Gue mau nikah ah." celetuk Nana dengan gayanya yang aneh menurut Raphael.

Tidak ada angin, tidak ada hujan bilang mau menikah. "Lo mau menikah sama siapa? Cowok aja kagak ada."

Nana menjadi sangsi. "Ya gue mau cari dong!"

"Dih? Emang ada yang mau nikah sama lo? Tukang over-thinking!" ledek Raphael.

Nana memukul lengan Raphael cukup kencang. "Ya cowok kan banyak, yang bakal gue nikahi! Tenang aja, bukan lo kok!"

"Jangan sembarangan ngomong! Tahu-tahu, lo nikah sama gue lho..." Raphael menaik turunkan alisnya menggoda Nana.

Nana menggeleng, menatap Raphael dengan cara yang tidak biasa. "Nggak mungkin,"

"Kok nggak mungkin?"

"Gimana bisa gue nikah sama lo?"

"Bisa aja, kalau Tuhan bikin kita jadi pasangan lo bakal jadi istri gue."

"Nggak deh, thankyou next."

"Serius lo menolak gue?"

"Apaan elah?!"

"Masa nggak mau punya suami kayak gue? Eh─lagian gue juga nggak mau punya istri kayak lo."

"Deal ya, Raf?" Nana mengacungkan telunjuknya ke arah wajah Raphael.

Raphael tertawa puas hingga kedua matanya berair. "Iya deh, gue bakal jamin nggak akan nikah sama lo."

Lalu Nana mengajaknya berjabat tangan. "Oke, deal ya jangan suka sama gue, jangan mimpi bisa nikah sama gue."

Raphael mengangguk dengan percaya, menerima jabatan tangan Nana dengan erat. "Deal, gue nggak akan menikah dengan lo."

***

a/n:

Nggak mau menikah sama Nana katanya guys. Kira-kira bakal ada yang jilat ludahnya sendiri nggak ya? Wkwkwk.

Beautiful fingers:)

Otw menuju altar.

Bandung, 9 Februari 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro