CHAPTER #41
"Sister, is the person who
will be there for you."
─Ina
***
CHAPTER #41
***
FITTING kebaya, berakhir digandrungi oleh tiga lelaki, dua perempuan. Siapa lagi yang akan jadi bodyguard Ina? Jelas para bocah-bocah yang kini tengah menunggunya. Sementara Ina, sudah berada di fitting room mencoba kebaya yang sudah ia pesan dan minta di desain oleh Prapta Padmana Djayakarta, perancang kebaya terkenal di Indonesia yang membantunya kali ini.
Prav, dengan sengaja mengosongkan jadwal manggungnya. Arie, dengan sengaja absen dari kantor dengan alasan menemani kakak fitting kebaya─it was like Kakak ndasmu. Lalu Raphael? Membatalkan rapat komisi kantor yang dia minta secara dadakan kepada Candra agar di undur jadi besok. Sementara Nana? Dengan sengaja dia meminta kompensasi kepada Marcell dengan alasan, membantu pernikahan kakak.
Semuanya konyol! Tapi Ina cukup bersabar diri karena ya what do you expect kalau harus melawan manusia-manusia keras kepala seperti Nana? Menghadapi satu Nana saja Ina sudah merasa kewalahan, apa lagi harus menghadapi ketiga teman Nana.
"Karena pada akhirnya, Kak Ina meskipun lahir di Atlanta tetap aja nikah pakai adat jawa." komentar Arie sembari mengangkat kakinya ketika duduk di sofa, fitting room.
Prav mengangguk setuju. "Dimana pun lo lahir, tetap aja lo nggak bisa hidup tanpa nasi."
Itu adalah sindiran untuk Nana. Nana yang duduk diantara mereka hanya bisa melipat tangan di depan dada. Dia sudah biasa dihimpit seperti ini, kan? Arie, Prav, Nana dan satu lagi Raphael.
"Saint Catarina, Brazil. I remember that name of city who's writing a sign in my love letter." ujar Raphael kini.
Oh, sialan. Nana hampir saja mengamuk, tapi dia sadar itu adalah kebodohan dia yang menuliskan─who was born in Saint Catarina. Ah, mengingatnya saja Nana sudah malu. Lantas Nana mengusap kedua lengannya secara cepat.
"Ih, kenapa gue gila banget?"
"Apanya?" timpal Arie dan Prav bersamaan.
"Itu, waktu nulis surat buat dia." jawab Nana sembari menunjuk Raphael di sisinya.
Arie dan Prav menahan tawa ledekan itu. "Ya itu sih, derita lo. Baru sadar, kan, sekarang? Ilfeel, nggak?" tanya Prav.
Nana mengangguk jujur. "Ilfeel."
Raphael dengan gemas karena tidak terima jawaban Nana langsung menggelitik perut Nana. "Lo tuh memang sudah bucin sama gue sejak dulu, Katarina."
"Ya tapi gue baru sadar, benar juga apa kata Prav, kok bisa gue suka sama lo?" tanya Nana kini beralih pada Raphael. "Terus ya, Raf, Prav bilang kita udah tahu semuanya dari kecil, even kontol lo aja gue tahu."
"NANA MULUTNYA!" Raphael langsung menjewer bibir Nana.
Arie dan Prav dengan kurang ajarnya tertawa. "Beneran, gue baru nyadar.. Ingat nggak sih, kita pernah lomba pipis?" tanya Nana.
"Ingat!" teriak Arie. "Anjing ya, gue paling jauh waktu lomba pipis. Gue menang!"
"Halah modal majuin pinggang doang!" balas Raphael sewot. "Kalau gitu juga gue bisa, cuman ya gue nggak main licik kayak lo!"
"Ya gila anjing, gue ingat banget, kita bertiga ajak Nana buat ikut lomba pipis." timpal Prav.
Nana manyun, Raphael tertawa puas. "Terus pipisnya dia tuh ngalir ke bawah... Bukan kayak kita, nyadar banget gue dia nggak punya barang kayak kita."
Nana spontan menjewer Raphael. "Ya lubang gue di bawah, bukan di atas!"
"Ya maka dari itu, Sayang... Gue ngakak tiap ingat momen waktu kecil. Ternyata, kita berempat lumayan gila juga. Pantesan, setelah itu gue dimarahin sama Mama dan nggak boleh berlaku seenaknya sama Nana. Karena dia beda sama kita."
"BEDA APA?!" tanya Nana penuh emosi.
"YA BEDA JENIS KELAMIN DONG, NA! KALAU LO PUNYA BARANG KAYAK GUE YA GUE NGGAK BAKALAN JADIKAN LO PACAR!"
Arie dan Prav tertawa lagi. Masa kecil mereka memang cukup gila. Pernah, mereka berempat datang menyambangi kediaman Haji Mulki. Di rumahnya, terdapat beberapa snack khusus yang dikirim dari Arab.
"Ingat juga nggak? Kita pernah bikin Pak Haji Mulki panik?!" tanya Arie.
Raphael menjentikkan jarinya. "ANJINGGG! Gara-gara si Nana itu!"
"Kok gara-gara gue?!" tanya Nana yang tak ingat sama sekali.
"Lo ke rumah Pak Haji Mulki cuman buat minta kacang mete, sama kismis, terus kacang arab!"
Nana mengerutkan keningnya, berusaha mengidentifikasi memori semasa kecil. "AH! IYA!" Nana berseru heboh setelah dia ingat. "Lagian ya, anak bungsu Pak Haji Mulki tuh ganteng banget dulu.."
"Ganteng pantat lo!" seru Arie. "Dia cemen, kebanyakan nangis kalau diajak main bareng, terus maunya menang terus meskipun dia kalah. Kagak waras anjir."
"Ya namanya anak satu-satunya. Gila ya, dia pewaris satu-satunya Pak Haji Mulki." decak Nana menghitung kekayaan anak Pak Haji Mulki.
Raphael langsung memutarkan bola matanya dengan malas. "Anda lupa saya siapa?"
"Memang Anda kenapa?" tanya Nana tak mengerti.
Prav tertawa dengan keras. "Percaya lah, Raphael.. Kekayaan lo, nggak berharga di mata Nana."
"Sialan," maki Raphael.
Nana langsung tertawa mengerti. "Oh... Soal itu, tapi kan kaya-nya dia ini beda, maksudnya Pak Haji Mulki tuh kaya-nya unik banget. Bandar daging, lele, belum lagi emas."
"Tolong, gue bisa memberikan emas batangan bahkan sebanyak yang lo minta." kata Raphael dengan santai.
Nana menghembuskan napas ketika menyadari apa maksud Raphael. "Gue nggak lagi membicarakan siapa yang paling mampu, gue cuman bayangin enak banget anak Pak Haji Mulki!"
"Hadeuh..."
"Terus, ingat nggak Raf waktu SMP kan lo pernah mau tembak Nana." celetuk Arie tanpa dosanya.
Nana, Prav sontak menoleh bersamaan kepada Raphael. "SERIUS?!" tanya Nana dan Prav.
Raphael memejamkan matanya untuk sesaat dan membuang wajahnya ke arah lain. Pintu fitting room terbuka begitu saja dan menampilkan Ina yang datang dengan balutan kebaya putih menjuntai ke lantai. Kain batik dengan sentuhan kuno membalut kaki Ina dengan sempurna.
Untuk sesaat, para keempat manusia terpukau dengan penampilan Ina.
"Woah..." puji keempatnya.
"Tenang, Na." kata Ina sembari berjalan mendekati mereka. "Gue saksi dimana Raphael mau nembak lo tapi nggak jadi."
"Kak!" cegah Raphael.
Nana menggelengkan kepalanya tak percaya. "Waktu SMP Raphael banyak yang ngeceng, nggak mungkin dia suka dan mau nembak gue."
"Dih? Nggak percaya?" sahut Arie mulai berdiri. "Lo kan mulai jadi Princess di SMP setelah masuk Jakarta Symphony Hall, terus-"
"Berhenti," ujar Raphael mulai berdiri dengan wajah merahnya. "Kenapa jadi bahas gue?"
"Membahas lo soalnya menyenangkan, sih." balas Ina dengan seringai jahil. "Gimana ini? Gue cantik, kan? Sudah dipastikan untuk kalian para boys pakai beskap."
"Duh Kak Ina.." keluh Prav. "Gimana ceritanya gue pakai beskap?"
"Badan lo oke, Prav.. Tenang aja, beskap nggak bikin lo jadi cupu!"
Nana masih tersenyum jahil memandang Raphael yang malu-malu kucing karena baru saja dibongkar aibnya. Ya, begitu.. Tuhan menyimpan aib lo dengan baik, tapi ketika lo punya sahabat kayak Arie.. Jangan diharapkan.
"Berhenti menatap gue seperti itu, Na!" ujar Raphael keras kepala dengan sikap malunya.
Nana meraih pinggang Raphael dan memeluk lelaki itu. "Nggak mau cerita lebih lanjut?!"
"NGGAK!"
"Ngegas amat elah." cibir Arie. "Nggak usah malu-malu lagi lo!"
Ina, Prav dan Arie tertawa sementara Nana masih memeluk Raphael dengan wajah kurang ajarnya yang membuat Raphael rasanya ingin mengkarungi Nana.
"Kak, malam ini gue mau pulang sama Raphael ya." kata Nana meminta izin.
Entah karena apa, untuk saat ini Raphael malah menginginkan Nana jauh darinya.
***
H-2 pernikahan Ina, menghabiskan waktu-waktu terakhir di rumah. Ada Jane, Naka, serta saudara-saudara perwakilan dari Rusia, dan Atlanta. Rumah begitu ramai, saking ramainya kamar yang ada di rumah tidak cukup memadai untuk menerima tamu keluarga besar mendiang Papanya. Alhasil, rumah Raphael yang ada di seberang dijadikan pengungsian pertama.
Seluruh keluarga bersikeras tidak mau pergi ke hotel, jelas karena Naka juga menginginkan suasana rumah yang ramai dan hangat agar menambahkan kesan momen untuk Ina yang akan menikah.
Keluarga adalah tempat untuk berpulang, dan sebentar lagi, Ina akan dijemput. Bukan pergi. Ia akan mengabdikan dirinya sebagai istri untuk suaminya, dan keluarga sepakat memberikan banyak ilmu pernikahan-khususnya para wanita di keluarga besar yang selalu memberikan arahan kepada Ina. Termasuk, urusan ranjang.
Nana hanya bisa tertawa mendengarkan ilmu-ilmu kamasutra dari para Bibi-Bibinya yang nakal. Nana yakin, Ina akan sangat memerlukannya di malam pertama.
"Jangan ketawa, Na.." seru Rebekah, sepupunya yang berasal dari Atlanta. "Kamu juga akan mencobanya nanti, hitung-hitung nakal sama suami."
"Dih?" Nana bergidik ngeri. "Masih jauh kali ah, aku lebih cukup dengar pengalaman kalian aja."
"Lalu kamu hanya mau menggigit bibir dan menuruti perintah suamimu? Nggak asik!" kilah Grace.
Nana hanya bisa tersenyum jenaka.
"Ini yang mau nikah anakku, kenapa diracuni yang macam-macam?" protes Jane pada saudara-saudaranya.
Naka hanya terkekeh pelan melihat tingkah malu-malu dari Ina. Dibalik sikapnya yang selalu serius, cucunya yang satu itu selalu bersikap apatis dan terkadang tidak pernah tertarik pada sesuatu hal yang umum. Beda lagi kalau urusannya Nana si gadis nyeleneh.
"Biar nggak polos-polos amat lah, Jane." balas Abbie pada Jane. "Kau seperti tidak pernah mengalami masa-masa pengantin. Malam pertama sampai minggu berikutnya hajar terus!"
"Apa nggak sakit ya, Aunty?" celetuk Nana tanpa dosa mengundang tawa semua orang. "Aku nggak habis pikir, kalian bicarakan soal seks seperti seks adalah sesuatu hal yang mudah."
"Kau belum merasakannya?" tanya Abbie dengan wajah penuh penasaran.
Ina berdeham keras. "Sebelumnya, mohon maaf.. We're Indonesian, aneh kalau bagi kita melepas keperawanan sebelum menikah."
"Zaman sekarang siapa yang peduli perawan atau tidak?" balas Grace. "Terpenting, kamu punya vagina, dan kamu pun punya rahim!"
Abbie tertawa lebih keras. "Ternyata dua putri Jane sangat ketimur-timuran. Well, kalian memang benar-benar Indonesia."
Rebekah berbisik mendekati Nana. "Kamu pernah melihatnya?"
"Melihat?" balas Nana dengan bingung. "Apa yang harus aku lihat?"
"Pedang sakti para pria."
Nana menggelengkan kepalanya. "Jelas belum, tapi aku pernah melihat punya Raphael."
"Nana!" ujar Ina mengingatkan.
"Lho?! Gue benar lho, ya.." balas Nana dengan kurang ajarnya. "Waktu kecil gue sama Raphael pernah lomba pipis, ya... That's a dick I've ever see."
Naka tertawa puas di atas kursi rodanya. Menertawakan cucunya yang lugu polos sekaligus mengkhawatirkan. Sementara Jane hanya bisa menghela napasnya pasrah, mengetahui hubungan Nana dan Raphael saja sudah membuatnya agak sakit kepala. Tapi, tidak apa-apa, setidaknya dia mempercayai Raphael daripada pria-pria di luar sana.
"Aku mau ketemu sama pacarmu dong!" seru Rebekah.
Grace mengangguk setuju. "Jadi, kapan pacarmu akan datang, Na?"
Sesuai permintaan para sepupu dan Bibi-Bibinya, Raphael datang pukul lima sore sesuai janjinya-yang sangat percaya diri karena sudah mendengar permintaan para keluarga besar Nana yang ingin bertemu dengannya.
Lelaki itu turun setelah memarkirkan mobil di carport dengan setelan necisnya Raphael tersenyum pada Nana yang sudah menyambutnya di anak tangga teras. Melihat Raphael yang seperti ini memang selalu melemahkan Nana, dia selalu membayangkan seperti apa rasanya memasangkan dasi kelak untuk Raphael bekerja.
"Hai," sapa Raphael malu-malu.
"Macet?" tanya Nana basa basi.
Raphael menggeleng. "Nggak begitu, rame banget di dalam?"
"Banget."
"Terus?"
"Nggak apa-apa, malu nggak lo?" tanya Nana sembari menantang lelaki itu.
Raphael menggeleng. "Nggak, sengaja mau memperkenalkan diri."
"Pantas," cibir Nana meneliti gaya Raphael dari atas hingga bawah.
Raphael mengangkat alisnya. "Kenapa? Ada yang salah?"
"Nggak,"
"Ya udah sini," Raphael menggerakkan tangannya meminta Nana untuk menunduk.
"Mau apa sih, bisik-bisik?"
"Sini dulu!"
Nana mengalah menuruti permintaan lelaki itu dan ketika Raphael mencium pipinya, rasa syok menyerang Nana yang segera melihat keadaan sekitar.
"Lo gila, ya?!"
"Gatel.. Mau cium." jawabnya tanpa dosa.
Nana menghela napasnya, dia meraih tangan Raphael dan menggenggamnya. "Jangan malu-maluin, cukup iya aja kalau ditanya."
"Kenapa sih, Na? Gue kan bukan anak kecil yang harus di kasih tahu-"
"ASTAGA INI PACAR NANA?!" sembur Rebekah dengan hebohnya.
Raphael tersenyum jumawa dan mengangguk memperkenalkan diri. "Saya Raphael-"
"TAHU KOK TAHU!" sembur Grace yang baru datang dari ruang tengah, tersenyum centil menatap Raphael. "Kamu sahabat Nana dari kecil iya, kan? Astaga.. Sudah besar dan tampan."
"Aunty!" protes Nana tak suka.
"Dan punya pacar posesif, pasti sulit ya punya pacar kayak Nana?" tanya Rebekah, sepupunya dengan kurang ajar.
Raphael tertawa berat. "Tidak, sama sekali tidak. Nana adalah keberuntungan saya."
Bicara apa manusia itu?! Cibir Nana dalam hati. Dia mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Raphael.
"So sweet, you're a lucky girl, Sayang." puji Grace atas sikap manis Raphael pada Nana.
Naka datang dari dapur bersama asisten perawat. "Jadi, sekarang kalian sudah berpacaran?"
Raphael langsung mencium tangan Naka dan mengangguk. "Sudah dong, Oma.. Sudah jalan setengah tahun."
"Syukurlah.." cetus Naka dengan lega. "Jadi, kapan kamu akan menikahi cucu Oma, Raf?"
Ditanya seperti itu, yang kelabakan Nana. Tapi Raphael dengan lugasnya menjawab. "Akhir tahun ini bagaimana? Apa Oma setuju kalau Raphael menikahi Nana?"
"Astaga, Raf!" desis Nana.
Naka tersenyum puas dan mengangguk. "Setuju."
Rebekah dan Grace berteriak dengan heboh. Nana memejamkan matanya malu melihat sikap para sepupunya, Jane yang menyaksikan di sana hanya bisa tersenyum lalu bergerak mendekati Raphael menepuk bahu lelaki itu.
"Kamu yakin mau menikah dengan Nana?"
"Mama!" protes Nana. Apa maksud Mamanya itu? Memang Nana terlihat tidak meyakinkan? Yang harusnya tidak meyakinkan itu ya Raphael!
"Dengan ketulusan hati, Raphael bersedia menikahi Nana." balas Raphael.
Nana mengambil duduk karena lututnya merasa lemas seketika. Ina baru saja datang mengerti apa yang adiknya rasakan segera memberikan Starbucks creamy vanilla latte kepada adiknya. "Santai, Na.. Chill."
Nana menerimanya dan meminumnya secara perlahan. "Perasaan yang mau nikah itu lo!"
Kini Raphael sudah dikerubungi oleh para saudara-saudaranya, bahkan Paman-Pamannya kini mulai memonopoli Raphael. Nana memandanginya penuh khawatir, bahkan Raphael terlihat easy going ya Nana cukup bersyukur setidaknya Raphael mudah diajak berbincang bahkan dengan Bahasa Rusia sekali pun.
"Ya Raphael juga mau nikah sama lo, Dek." balas Ina.
Nana menggelengkan kepalanya. "Aneh nggak sih, Kak?"
"Apanya yang aneh?"
"Gue sama Raphael."
"Entahlah, tapi gue ngerasa lo sama Raphael cocok. Dan kalian, gue penasaran sama anak-anak kalian nanti."
"Kok tiba-tiba anak aja, sih?"
"Ya nggak mungkin juga lo nggak kasih anak buat Raphael nanti."
"Ya gue hamil atas kehendak gue dong, masa kehendak Raphael?"
Ina tertawa lagi. "Ya lo cuman bisa hamil kalau ada sperma, Nana Sayang..."
"Ya gue juga harus bisa-"
"Kenapa, Na? Mau bikin anak?" sahut Raphael tiba-tiba.
Nana menyemburkan kopi dan otomatis terkena lengan Ina dan jas Raphael. "APA SIH NA?! BIKIN BECEK AJA?!" omel Ina.
"YA HABIS INI JELANGKUNG TIBA-TIBA DATANG AJA!" bentak Nana pada Raphael.
Raphael tertawa mengusap puncak kepala Nana. "Jadi, mau unboxing kapan? Mau tanggal berapa nikahnya?"
"... Lo, lamar gue?" tanya Nana dengan ragu-ragu, tapi jantungnya sudah berulah sejak tadi.
Raphael mengangguk. "Iya, gue lamar lo. Sekalian, mumpung ada keluarga lo sebagai saksinya. Mau nggak jadi istri gue? Soalnya, gue mau jadi suami lo nih.."
Suara siulan dari keluarganya meramaikan suasana rumah. Pipi Nana memerah, bahkan rasanya panas dan memalukan. Tapi rasa ini juga menyenangkan, memalukan dan rasanya campur aduk. Dalam hidupnya, Nana tidak pernah merasa semalu ini sebelum dia mengenal perasaan kepada Raphael.
Tapi.. Serius harus sekarang?
Raphael melamarnya saat ini?
Apa ini serius?!
***
a/n:
Waw, sudah ada kata lamar melamar saja nie. Kira-kira, dipercepat saja kah? Tapi Kak Ina baru kelar mau kawin, jadi kira-kira.. Baiknya kapan nih?
"GUE NIH PUNYA NIAT BAIK!"
─Raphael.
"Membayangkan masa depan."
(suram)
─Nana.
Calon mantu idaman katanya.
Bandung, 7 Februari 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro