Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER #39

"Beginning today,
treat everyone you meet
as if they were going to be
dead by midnight."

─Nana

***

CHAPTER #39

***

[ masih edisi kemusuhan ]

OUTFIT formal, blazer hitam, kacamata, skinny pants hitam yang membentuk kaki jenjang, serta stiletto hitam yang memukau langsung mengubah image Nana dari polos malah terlihat berkharisma. Hebatnya, Nana datang seperti itu atas undangan Tante Cassandra, Mama Raphael yang baru saja datang dari Los Angeles.

Pertemuan ini dilakukan di kantor Raphael, ruang meeting yang berisikan puluhan kursi para direksi perusahaan itu, serta meja panjang yang sudah dialihkan fungsinya menjadi meja makanan, membuat semua orang terlihat konyol karena tidak sesuai dengan pakaian mereka yang terlihat serius dan profesional.

Nana masih memusuhi Raphael, ajakan break Nana kepada Raphael ternyata diterima baik oleh pria itu meskipun sesekali Raphael tetap mengirimkan pesan yang tidak dia balas sama sekali.

Hanya di isi oleh Arie, Raphael, Nana dan Ina yang sekaligus ingin mengumumkan rencana pernikahannya kepada semua orang.

"Ya ampun, Na.. Tambah cantik aja kamu tiap tahun, pantesan anak Tante nggak pernah bisa tenang ninggalin kamu sendirian kalau kamu tambah cantik begini." ujar Cassie kepada Nana.

Nana hanya bisa tersenyum, meskipun dalam hati dia tidak ingin. Tapi ya, waras aja sih yang bikin masalah kan anaknya, dan Nana nggak punya masalah sama Cassie.

"Tante bisa aja, gimana Tan? Sehat?" tanya Nana.

"Sehat dong, Sayang.. Selamat ya, akhirnya debut juga kamu, lagu kamu masuk ke dalam playlist Tante lho."

"Serius? Wah... Makasih banyak ya, Tante.."

"Tante, Tante!" ujar Arie dengan heboh memanggil Cassie. "Tante tahu nggak, anak Tante lagi punya masalah sama Nana?"

Tante Cassie malah mengulum senyumnya dan saling bergantian menatap Nana dan Raphael yang saling melemparkan tatapan maut.

"Tahu kok, Rie.. Ya namanya juga orang pacaran, ada aja masalahnya." balas Cassie dengan tenang sekaligus senang meledek putranya sendiri.

Nana berdecih, membuang pandangan matanya dan kini sibuk dengan minuman yang ada di tangannya. "Like, seriously? Kita terlalu siang buat minum wisky." kata Nana kepada Ina.

Ina menggeleng. "Gue pusing,"

"Kak Ina, nanti─"

"Ya lo jangan kasih tahu Marcell."

"Dan siapa itu Marcell?" timpal Cassie.

Nana meringis kaku. "Oh, itu anu.. Tante, Kak Ina punya pacar, calon suami sih."

"Calon suami?" teriak Cassie dengan senang. "Congratulation, Sayang.. Rencananya kapan ini?" ucap Cassie sembari memeluk Ina.

"Akhir Juli tahun ini,"

"Mmm, well sebentar lagi."

"Kak Ina nikah? Akhirnya..." Arie mengucapkan syukur yang sangat berlebihan. "Terus, adiknya kapan ini?"

Nana mendengus ketika yang Arie maksud adalah dirinya.

"Kapan-kapan," balas Nana dengan asal.

"Bagaimana saudara Raphael?" tanya Arie kini mengarah pada Raphael.

Raphael di sudut meja, duduk dengan diam menatap Nana sesekali sembari berlagak acuh. "Tanya mau berjanji depan Tuhan kapan tuh teman lo?!" jawabnya.

Nana langsung mendongak memberikan wajah sinis kepada Raphael. "Rie, bilangin sama teman lo, bukannya dia yang pengen jadi orang asing. Orang asing nggak ada yang saling menikah."

Arie, Ina dan Cassie kini hanya menonton opera sabun itu.

"Rie," cetus Raphael sembari melonggarkan dasinya. "Bilangin sama teman lo, nggak usah baperan. Gue nggak ada maksud aneh-aneh."

Nana menghela napasnya. "Rie," panggil Nana kepada Arie. "Bilangin sama teman lo, gue nggak bisa mentoleransi orang yang udah ngomong, tapi otak sama perasaannya nggak pernah sesuai."

"Rie─"

"STOP MEMBADUT!" teriak Arie protes. "Gue bukan perantara di sini!"

Raphael mendengus, begitu juga dengan Nana. Ina dan Cassie hanya bisa geleng-geleng kepala. "Kalian.. Such a sweet couple." puji Cassie.

"Nggak, Tan─" jawab Nana.

Sementara Raphael. "Iya, memang."

Lalu keduanya saling memandang kembali. Nana gerah, mengipasi dirinya sendiri dan berusaha bersikap acuh. Kenapa Raphael semakin kurang ajar sekarang? Lihat, bagaimana lelaki itu membuka dasinya dan dua kancing kemeja teratasnya hingga memperlihatkan dada.

Memang ya, musuh paling besar itu ya sahabat sendiri. Nggak ada otak, pikir Nana. Macam manusia tak berotak, dengan seenaknya Raphael menegaskan bahwa dia dan dirinya lebih baik menjadi orang asing.

Lihat saja, lain kali Nana tidak akan lagi menaruh perasaan cemburu pada Raphael. Karena apa? Percuma.

"Kalian nggak ada rencana hancurin ruang meeting ini, kan?" tanya Cassie hati-hati. "Soalnya, Tante juga bakal ada pengumuman buat kalian."

"Pengumuman apa, Tan?" tanya Arie.

"Mm, well.. Sebelumnya, Tante juga udah minta saran sama Raphael. Ya, siapa lagi anak Tante ya, kan?" Cassie terkekeh pelan menghangatkan suasana. "Tante dan Om Bram rencananya mau rujuk juga tahun ini."

"ALHAMDULILLAH!" teriak Arie.

Nana langsung menyipitkan matanya. "Lo Katolik, Ariendra."

Arie terkekeh pelan menyadari betapa refleksnya dia. "Kebiasaan, Na." lalu dia beralih pada Raphael. "Tuh, Raf.. Bokap sama Nyokap mau rujuk aja, lo sama Nana kapan kelarnya?"

"Sialan, lo doain gue kelar sama dia?!" tanya Raphael penuh nafsu.

Arie mengangguk. "Lagian, Nana kayaknya udah nggak mau sama lo, teman gue arsitek Keenan Matahendra pengen dikenalin sama Nana, kalau lo mau putus kasih tahu gue─"

"NGGAK ADA OTAK YA LO, RIE?" jawab Raphael.

Lelaki itu lantas bangkit mendekati Nana dan berjalan melewati Mamanya. "Ma, aku izin pergi keluar sama Nana."

"Heh? Memang mau kemana?" sambar Nana dengan wajah malasnya.

"Pergi, selesaikan masalah." jawab Raphael sembari meraih tangan Nana dan menariknya keluar dari ruang meeting.

"Raf!" teriak Nana. "Kebiasaan, nggak enak banget. Gue nggak pamit sama Tante Cassie!" gerutu Nana.

Raphael masih tak memedulikannya. "Udah gue wakilin, sekarang masuk." perintah lelaki itu kepada Nana.

Nana tercenung, karena biasanya Raphael akan membukakan pintu mobil untuknya. Sementara kini?

"Cepat masuk!" pinta Raphael lagi.

Nana menggeleng cepat. "Bukain!"

"Apanya?!"

"Pintu!"

Delik mata Raphael mengisyaratkan ledekan. "What a princess." jawabnya dengan sarkas.

Nana hanya mengulum senyumnya, sebelum merunduk memasuki mobil dengan sengaja Nana mengibaskan rambut panjangnya dan dengan sengaja mengenai wajah Raphael.

"NA! RAMBUT LO!" protes Raphael tak suka.

Nana hanya terkekeh pelan. Setelahnya, ya kemana lagi Raphael membawanya? Ke apartemen lelaki itu.

Sepanjang jalan Nana menggerutu, tidak terima dan merasa di tipu karena harus mengikuti Raphael ke apartemennya. Padahal, Nana sudah janji akan menghabiskan waktu dengan Tante Cassie.

"Sumpah, niat lo itu memang selalu buruk. Gue udah janji sama Nyokap lo, Raphael!"

"Apa sih, Na? Gue kan udah bilang, mau menyelesaikan masalah sama lo. Nggak capek lo marah terus sama gue?"

"Ya lo sendiri?! Bisa-bisanya ngomong nggak pernah dipikir dulu, mulut lo memang nggak pernah bisa saring kata-kata, kan? Bukannya gue terlalu childish buat lo yang sudah sangat dewasa hingga berani membantu, dan bersedia menemani mantan tunangan lo yang melahirkan?!"

Raphael mengangkat alisnya. "See? Lo yang bahas duluan."

"MEMANG!" balas Nana tak kalah garangnya sembari berkacak pinggang. "AKAN GUE BAHAS TERUS MENERUS SAMPAI LO SADAR BETAPA BODOHNYA LO!"

Raphael melepaskan jasnya dan menggulung lengan kemejanya. "What? Apa lo bilang?"

"I said you're so stupid!"

"Na, watch your words."

"Then, talk to yourself, Raphael."

Raphael berdecak mendekati Nana dengan penuh emosi. "I swear to God, that I never like you rebelling me like this."

"Ow," balas Nana dengan wajah sarkas. "And you like being a dominated huh?!"

Raphael menarik tangan Nana dan kedua tubuh mereka kini saling berdekatan. "You showed me up, Katarina. Answer me, you wanna being like a dom or submissive?"

"Are you threatening me right now?" balas Nana tak mau kalah. Sama sekali, tidak mau kalah.

Raphael menarik smirk dan menyimpan kedua tangannya di lekukan pinggang Nana. "And you're intimidated?"

Nana tertawa jenaka dan pongah. "Hah, of course no..."

"Then let see,"

Raphael menjauhkan dirinya dan membuka kancing kemejanya satu persatu. "Kita lihat, seberapa kuat lo memberontak gue sampai lo sadar bahwa yang gue inginkan adalah lo, dan selalu lo yang gue inginkan, Katarina."

Nana menahan napasnya sendiri. Duh, kalau begini dia jadi kena keringat dingin. Nggak lucu juga kalau dia menanggapi tantangan Raphael. Tapi, kalau dia mundur, Nana akan merasa terhina karena dia mau-mau saja mengalah kepada Raphael.

Maka, yang Nana lakukan pun kini adalah melepas blazer-nya dan membuangnya asal di atas lantai marmer dingin itu.

Bersamaan dengan Raphael yang sudah topless, Nana tersenyum sinis karena kini dia merasa kedinginan karena pendingin udara yang sejuk menyapa kedua lengan telanjangnya.

"Come here," pinta Nana lebih dulu.

Nana tidak menyangka Raphael akan menuruti perintahnya. Lelaki itu mendekati Nana dan kini posisinya begitu dekat dan sapaan napas hangat mereka saling bersahutan. Kedua mata Nana menelusuri alis hitam dan tebal milik Raphael, lalu jatuh pada kedua bola mata sehitam jelaga yang menatapnya penuh hasrat yang tidak Nana mengerti selain kemarahan pada Raphael. Hidung lelaki itu begitu memukau, dan bibir Raphael yang pada akhirnya membuat napas Nana tertahan.

"Are you a dom right now?" tanya Raphael dengan suara dalamnya.

Nana mengangguk. "Mm, I like being dom, dan lo akan menyesali perkataan lo pada gue malam kemarin, Raphael."

"Dan lo masih marah."

Nana mengangguk membenarkan. "Ya, dan gue masih marah."

Setelahnya, Nana menggapai bibir Raphael dengan bibirnya sendiri. Mencium dengan lembut, dan melekatkan diri pada lelaki itu. Tangan Raphael, sudah berada di tengkuknya, mengelus dengan secara perlahan dan lembut hingga Nana mengerang dan mencoba memperdalam ciuman mereka.

Jika ada yang gila, maka mereka berdua sudah gila. Udara panas Jakarta, membuat kaca jendela apartemen Raphael terasa panas di punggung Nana karena Raphael terus mendorongnya. Menyadari betapa jelasnya mereka bisa terlihat, Nana menarik tuas tirai jendela hingga kini jendela kaca apartemen Raphael tertutup.

Tubuh mereka terhalangi oleh tirai jendela hitam yang besar, ciuman itu terlepas dan Nana mengusap bibirnya yang terasa asin dan perih karena gigitan Raphael pada bibirnya. Dan ya, bibirnya baru saja terluka.

"Oh shit, I'm sorry." lirih Raphael merasa bersalah setelah melihat bercak darah Nana pada bibir gadis itu.

Tapi Nana tidak memedulikannya dan mereka melanjutkannya kembali. Tangan kanan Raphael sudah terlepas dari tengkuknya dan turun ke bawah menyentuh area Nana dengan jari-jarinya.

Nana melepaskan ciuman mereka dan memandang Raphael. "You want do that to me?" tanya Nana.

"Are you want it?" tanya balik Raphael.

Nana tidak menjawabnya, jari-jari Raphael menyusurinya dari luar celana kain itu dan satu telunjuk lelaki itu menekan sesuatu di bawah sana yang membuat Nana hampir berteriak.

"I don't fucking care your mind that keep talking my ex." geram Raphael menatap Nana dengan tajam. "And you should know, I'm still and always madly in love with you." jari Raphael kembali menekan dan membuat Nana merapatkan kedua kakinya.

"Raf─"

Raphael membuka pengait celana Nana dan resletingnya. Nana hampir saja mengeluarkan protes jika Raphael tidak membungkamnya dengan ciuman kembali. Lelaki itu dengan mahirnya menurunkan celana Nana, dan tangannya menemukan jejak basah milik Nana pada celana dalam gadis itu.

"You wet."

"Raf, please─"

"Mm, what you want?"

Nana memejamkan matanya ketika tangan Raphael berhasil masuk ke dari sela kain celana dalam Nana, dan bergerak dengan jari-jarinya yang membuat bagian miliknya terasa penuh. Jari lelaki itu akhirnya sampai pada tempatnya dan terus menggerakkannya hingga membuat Nana mengejang lemas karena sesuatu yang baru itu kini datang dan memperkenalkan Nana pada sebuah sensasi.

"You can't leave me, Na." bisik Raphael mencium Nana kembali.

Nana menyambut ciuman itu, menerima segala rasa miliknya dan Raphael memeluknya dengan erat. "Jangan ajak gue buat break sama lo lagi, ya?" pinta Raphael.

Nana mengulas senyumannya dan menyembunyikan wajahnya di leher Raphael. "Akan gue pertimbangkan."

***

Malam ini, dengan niat baik hati, Nana bersedia menerima ajakan Raphael ke RSIA Tambak dimana Intan bersalin. Hah, lucunya dia karena mau tidak mau kini Nana membawakan hadiah. Ya tidak apa-apa, hitung-hitung memberi kebaikan pada orang fake seperti Intan.

Raphael dengan sengaja menunjukkan sikap komunikasi yang kooperatif dengan Noah. Menyebalkan memang, mantan Nana akur dengan pacarnya dan Nana bermusuhan dengan mantan Raphael.

"Bentar lagi Noah turun," kata Raphael setelah memasukkan ponselnya.

"Dan kenapa kita nggak ke sana aja?"

"Sayang..." Raphael mengusap puncak kepala Nana dengan gemas. "Karena pacar gue ini penyanyi terkenal yang lagi naik daun, dan Intan adalah mantan gue si influencer sementara Noah adalah anak dari pengacara Astungkara, lo pikir gue bisa seenaknya aja bikin skandal sama lo? Nggak lah, Sayang."

Nana berdecak kesal mendengarkannya. "Terus? Kita lewat mana?"

"Ada pintu belakang, menurut lo kenapa gue parkir di belakang RSIA, Sayang?"

Nana hanya bisa mendengus. Bagus sih, inisiatif Raphael. "Gue nggak mau ribut deh sama Intan."

"Ya gue aja yang wakilin, gue sudah siap ribut sama Intan." jawab Raphael jumawa.

"Perlu gue ingatkan kalau dia mantan lo, Raphael?"

"Iya, gue akui dia mantan gue."

Nana menyipitkan matanya dengan sebal. "Bagus, karena gue pun akan mengakui Noah sebagai mantan gue."

Kini giliran Raphael yang melengos.

Dari arah pintu private RSIA, Nana bisa melihat Noah baru saja keluar. Gila ya, memang sekeren ini apa aura Bapak-Bapak? Perlu Nana ingatkan lagi, kalau Noah tuh sudah menjadi Bapak.

"Anjrit, sejak kapan Noah jadi seganteng itu?" celetuk Nana.

Raphael langsung menoleh. "Apa lo bilang?"

"Noah ganteng deh, Raf. Lihat deh, aura ke-Bapak-an dia tuh kuat banget. Memang ya, cowok kalau udah jadi Bapak tuh beda banget."

Tatapan Nana begitu memuja Noah. Raphael dengan rasa cemburunya menjewer telinga Nana. "Na, sadar diri dong! Lo udah punya gue!"

"Argh—bajingan, Raphael! Sakit!" teriak Nana.

"Ya habis lo ngelihatin Noah kayak gitu, udah balik aja kagak usah nengok Intan kalau gini caranya!"

"Heh! Sarap ya lo?!"

Tok! Tok!

Perdebatan mereka terhenti karena Noah baru saja mengetuk kaca jendela. Nana langsung membuka pintu mobil dan turun. "Hai, Noah." sapa Nana dengan senyuman.

"Hai, Na.. Long time no see.."

"Iya, udah lama banget. Sehat?"

"Sehat, puji Tuhan." balas Noah.

Raphael membanting pintu mobil dengan kasar. "JANGAN GANJEN INGAT LO UDAH JADI BAPAK ASTUNGKARA!" sewot Raphael pada Noah.

Noah hanya bisa menghela napasnya dengan berat. "Na, dia masih gitu ya?"

Nana mengerti apa maksud Noah, lalu mengangguk. "Masih,"

"APA MAKSUD KALIAN─"

"Noah, langsung masuk aja boleh nggak?" potong Nana daripada harus meladeni Raphael terus menerus.

"Boleh, yuk."

"NANA!" teriak Raphael.

Nana buru-buru membulatkan matanya khawatir orang-orang mendengar kehebohan mereka. "Katanya nggak mau bua skandal, tapi lo berisik banget?!"

"Ya habis lo begitu sama gue─"

Nana langsung menggandeng tangan Raphael. "Sekarang, diam." pintanya yang langsung diikuti sikap jinak Raphael.

Mereka menuju ruang VVIP dimana Intan bersama sang Bayi berada. Jenis kelamin anak Intan ternyata perempuan, dan wajahnya benar-benar mirip Noah.

"Astaga... Mirip Noah banget, Tan. Yang kayak gini nggak bakal lo klarifikasi ke publik? Sayang banget, anak lo bakal jadi bintang iklan susu, lumayan lho..." goda Raphael memulai pertengkaran.

Nana hanya bisa tersenyum, jelas tidak enak, karena wajah Intan sudah asem ketika dia masuk dengan Raphael sembari menggandeng tangan satu sama lain tanpa lepas, hingga saat ini.

"Gue udah buat keputusan kok, Raf." kata Noah mengeluarkan suara.

Nana menatapnya dengan bingung. "Maksud lo?"

"Papa gue dan Mama Intan sudah memutuskan untuk bercerai. Mereka mengalah, dan gue akan menikahi Intan."

Intan hanya diam saja, tetapi Nana tahu ini akan sulit jika Intan tidak bisa menerima kenyataan. "Do you love her?" tanya Nana kepada Noah.

Nana yakin, Noah pasti akan menjawabnya dengan jujur.

Terlihat kegusaran di mata Noah, tapi Nana dengan sabar menunggu jawaban lelaki itu. "Ya, aku cinta sama Intan, Na."

Nana mengulas senyuman lega, genggaman tangannya dengan Raphael menguat. Intan kini menatap Noah dengan tidak percaya.

"Apa perlu aku mengakuinya sekali lagi, Intan?" Noah beralih bertanya kepada Intan. "Kalau aku mencintai kamu?"

"Noah─"

"Marry with me, in white. Mau, kan?"

Nana hampir saja berteriak, ketika Noah dengan manisnya tengah mengeluarkan kotak cincin dari saku celananya. Lalu Nana berbisik pada Raphael. "Di lamar, Raf..."

Raphael balas berbisik pada Nana. "Gue juga tahu, dan gue bisa lebih keren dan gentle daripada dia. Tinggal bilang, lo mau di lamar dimana?"

Nana hanya bisa mendengus, lalu kembali menonton adegan manis itu.

"Intan, kamu sudah melahirkan anak aku. My daughter, our daughter. And I'm so blessed because of you. So, please be my wife, I love you and I want to protect you."

Intan menutup mulutnya tak percaya. Nana bertepuk tangan dan bersorak senang. "Terima Tan! Terima!"

Intan menggigit bibirnya ragu, namun demikian dia akhirnya menganggukkan kepalanya. "I want be your wife, Noah."

"ARGH... SO SWEET!" teriak Nana lagi.

Raphael membekap mulut Nana yang sudah tidak tahu malunya berteriak, hingga akhirnya anak bayi yang tadi sedang tertidur lelap itu terbangun dan menangis karena teriakan Nana.

"Kan... Gara-gara lo." cetus Raphael menyalahkan Nana.

Nana hanya meringis dan tertawa. "Ya habis, Bapak sama Emaknya sweet, Raf. Ya ampun, Sayang.. Tan? Gue boleh gendong, kan?"

Intan menganggukkan kepalanya dalam pelukan Noah. "Boleh, Na."

Nana dengan sigap menggendong bayi mungil itu ke dalam dekapannya dengan hati-hati. "Sayang.. Jangan nangis lagi, ya.. Papa kamu udah propose Mama kamu tadi, kamu senang kan, pasti? Senang dong..."

Raphael hanya menggeleng melihat tingkah laku Nana.

"Cup, cup.. Jangan nangis lagi, ya.. Digendong sama Tante Cantik ini."

"CANTIK!" salty Raphael meledek Nana.

"Apa sih, Raf?"

Raphael tertawa melihat Nana dan mendekati gadis itu lalu berbisik. "Ya udah, gimana kalau kita bikin?"

"Bikin?" tanya Nana bingung.

Raphael menunjuk bayi merah dalam gendongannya. "Ini, bikin yang gini."

"LO MAU CARI MATI YA, RAPHAEL?" teriak Nana lagi.

Dan akhirnya, bayi itu kembali menangis. Dengan inisiatif dan prihatinnya, Noah mengambil putrinya dari gendongan Nana. Memang berbahaya, memberikan sosok lembut pada pasangan bar-bar dan gila itu, pikir Noah. Anaknya bisa sakit telinga kalau seperti itu.

Bapak Muda

***

a/n:

Si toksik, kagak jelas. Gimana ya sulit, soalnya dua-duanya juga keras kepala nggak ada yang bener kalau mau diomongin wkwkwk.

Kalau kata Ina, Nana definisi dari Bulol. Bucin tolol.

Padahal, yang mau sama Nana itu banyak kok gais, apa lagi dia punya nama, ibarat kata tinggal tunjuk aja jadi kok. Tapi ya masalah hati, jadi nggak cuman di real life aja, ini ketahuan begonya nggak ada dua.

Sebenernya aku emosi nulis mereka berdua, tapi ya gimana....

"Thanks to Author, gue tahu
Nana dan gue nggak bisa
terpisahkan."

─Raphael.

"Ya Tuhan, gue punya dosa apa
sampai jadi bucin tolol sama
Raphael?!"

─Nana

Dua minggu digantung dengan kata
break. Isi hape Nana kek begini.

Bandung, 5 Februari 2022.

double update tuh kan..
karena bsk w libur dinas wkwkwk!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro