CHAPTER #38
"When you and him are fighting
you both need to remember
that's it's you two vs the problem.
Not you vs him."
─Oma Naka
─────────────
Raphael:
[ selalu ada jalan ]
***
CHAPTER #38
***
"LO INI MAUNYA APA SIH?!"
Raphael terkejut ketika datang Ina buru-buru menerornya dengan sebuah pertanyaan yang terkesan garang. Padahal, memang garang. Selain garang, Ina itu menakutkan. Versi kasarnya Nana. Bedanya Ina dan Nana tuh jauh banget. Ina terlalu bold dan Nana terlalu soft tapi mematikan.
"Wait, hold on─ada apa?" tanya Raphael yang tidak mengerti.
"LO BARU AJA DARI RS KAN?! JAM SEGINI RAPHAEL?! FOR FUCK SAKE'S LO DATANG KE SINI JANJI SAMA NANA JAM BERAPA?!"
"Wait," lagi-lagi Raphael terlihat bodoh di depan Ina. "Tahu darimana lo Kak gue ke RS?!"
"Ah bangke." umpat Ina kesal.
Pukul memang sudah menunjukkan dini hari, dan nggak sepatutnya Raphael datang. Tidak diharapkan juga pikir Ina.
"Coba lo lihat jam, sekarang jam berapa Raphael?" tanya Ina dengan sabar.
"Jam 12. Gue tahu, gue salah karena harusnya gue mengabari Nana. Gue tadi nggak sengaja ketemu Intan di jalan, dan dia mau melahirkan."
"Dan lo menemani dia bersalin?!" todong Ina lagi.
Raphael mengangguk jujur. "Iya, tapi setelah itu Noah datang."
"Lo beneran cari perkara, Raphael..." desis Ina kepadanya. "Nana uring-uringan, mampus aja udah."
"HAH?! NANA TAHU?!" tanya Raphael shock.
Ina mengangguk meyakinkan Raphael. "Lebih dari tahu, lo dengan sengaja telepon dia dan kita—literally mendengarkan erangan kesakitan Intan, Raf."
"Kok bisa?!"
"Ya lo yang telepon Nana, wah lo goblok banget Raphael.." maki Ina dengan kesal.
Raphael buru-buru mengambil ponselnya, dia melihat log panggilan terakhir. Memang benar, Nana! Noah adalah orang pertama yang Intan telepon, tapi kenapa Nana?
"Gue nggak merasa telepon Nana, ini pasti Intan karena dia pinjam ponsel gue─"
"Gue nggak butuh penjelasan lo, Raphael. Pacar lo udah uring-uringan di kamar."
Terdengar suara melodi Cello dengan beat yang cukup cepat. Mendengarkan hal itu, Raphael tahu Nana tidak baik-baik saja. That's crazy, Nana bisa menghancurkan senar Cello miliknya jika Nana memainkannya dengan penuh nafsu seperti itu.
"Gue.."
Ina mendorong tubuh Raphael yang besar agar masuk ke dalam rumahnya. "TANGGUNG JAWAB LO ELAHHHH..."
"KAK!" teriak Raphael dengan heboh ketakutan. "Gue.. Takut."
"Anjing, nyali lo doang berani pacaran sama dia?!"
"Ya habis kalau Nana marah─"
"Dia bisa gampar lo pakai busur Cello!" sambar Ina sengaja meledek Raphael. "Sana elah, bujuk dia!"
"IYA-IYA YA TUHAN!"
"LAGI GINI AJA LO INGAT TUHAN?!"
"YA GIMANA GITU-GITU ADIK LO MENYERAMKAN!"
Ina membulatkan matanya. "For real, Raphael?"
Lalu suara pintu dibuka secara dibanting itu membuat keduanya terkejut. Raphael tersentak di tempatnya melihat Nana yang baru saja keluar dari kamarnya seperti adegan monster yang baru saja berhasil memecahkan dinding bebatuan yang besar.
Tahu potongan film para Avengers? Bedanya Nana akan menghabisinya sekarang. Dan lagi, kenapa dia harus menemani Intan bersalin tadi... Ah, shit.
"NGAPAIN DIA KE SINI, KAK?!" tanya Nana kepada Ina sembari menunjuk Raphael.
Ina hanya melipat kedua tangannya di depan dada berlagak sombong. "Minta pengampunan."
"KAGAK PERLU! UDAH GUE TUTUP. MEMANG HARUSNYA SEJAK LAMA DIA DI BLACKLIST JADI PACAR GUE."
"HEH!" teriak Raphael ketakutan, bisa-bisa dia berakhir jomblo malam ini. Niatnya melepas rindu, malah melepas status kan nggak lucu. "Ya ampun, Na, gue bisa jelasin─"
Nana memberikan telapak tangan ke hadapan wajah Raphael. "GAK DULU."
"Nana... Please," erang Raphael frustrasi. "Tadi tuh, gue ketemu Intan di jalan. Nggak sengaja, I swear. Terus air ketuban dia pecah dan─"
"NGGAK SEKALIAN AJA LO SYUKURAN ATAS KELAHIRAN ANAK LO?!" sambar Nana dengan sengak.
Ina? Tertawa sembari walk out dari tempat. Dia suka mendengarkan dan melihat keributan yang terjadi, tapi kalau soal Raphael dan Nana. Mereka itu tipikal gila, sejak kecil kerjaannya saja merusak properti.
"ITU BUKAN ANAK GUE! TADI WAJAHNYA AJA MIRIP BANGET KAYAK NOAH, NA.. PLEASE, KATANYA LO KANGEN SAMA GUE?!"
Nana menggeleng berdecih menunjukkan ketidaksukaannya. "Udah melempem duluan, sama kayak rasa gue ke lo! Melempem!"
Raphael buru-buru berjalan mendekati Nana dan meraih lengan pacarnya. "Okay, please don't be mad at me. Because it has a good reason."
"Ya jelas good reason, karena menolong mantan dan menemani mantan tunangan melahirkan. Such a sweet boy." puji Nana dengan sarkas.
Raphael tidak menyerah begitu saja. "This is why I wanted explain to you. We better have a fucking conversation like this, but after you mad at me please hear my reason."
Nana hanya memandang Raphael dengan jengah. Capek, karena rasanya kenapa Intan selalu berhubungan dengan Raphael terus menerus. Entah itu pertemuan yang direncanakan atau tidak. Bahkan, tadi Raphael menemani mantan tunangannya sendiri melahirkan. Dimana otak Raphael sebenarnya? Karena itu tugas Noah.
"Pergi," usir Nana. Dia membuang napasnya dengan susah payah. "Gue mau istirahat, capek. Besok ada jadwal syuting pagi, dan sebaiknya lo pulang."
Raphael masih tetap memberikan gelengan kepala. "Nggak apa-apa, lo boleh marah sama gue. Pukul gue, maki gue, nggak apa-apa. Tapi please, jangan kayak gini dong, Na.."
"Udah lah, capek gue Raf..." Nana menahan tangisnya, ini konyol kenapa dia harus menangis sekarang? "I've imagine how much shit you could avoid if your ex still intentions on you."
"Na─"
"Lo menelepon gue hanya untuk membiarkan dengan sengaja, bahwa lo tengah memberikan semangat kepada mantan tunangan lo yang tengah melahirkan."
"Tadi itu─"
"Lo bukan suaminya, lo bukan siapa-siapanya lagi. Even yang melahirkan adalah Intan, gue tetap tidak mewajarkan kenapa lo tetap berada di ruang persalinan menemani dia, dan menyemangati dia."
Lalu kedua mata Nana turun melihat pergelangan tangan Raphael yang memerah karena cengkeraman dan cakaran tangan Intan.
"Look," Nana mengangkat tangan itu dan menunjukkan kepada Raphael. "Masih mau menyangkal?"
"Na, gue nggak nyangka kalau lo akan se-childish ini."
"CHILDISH?!" Nana terlihat terluka sekarang, childish? Lalu Nana harus bersikap seperti apa sekarang? "Jadi gue terlalu childish karena marah kepada pacar gue yang baru saja menemani mantan tunangannya melahirkan?"
"Na─"
"Fuck you!" umpat Nana dengan kesal. "People know you're is father that child! Dan lo bilang gue childish?!"
Raphael terdiam, menghela napasnya dan memejamkan matanya lelah. "That was pointless we could've just stayed strangers."
"Itu yang lo mau?!" tanya Nana tak menyangka.
Raphael malah mengangguk. "Ya, if you tired to me, gue pun sama."
Nana menggelengkan kepalanya tak percaya. Kenapa Raphael jadi pihak yang balik marah kepadanya. "What?!"
"Lagipula, lo nggak mau mendengarkan penjelasan gue, kan?" balas Raphael tak kalah dinginnya.
Nana rasa waktu telah salah dia pergunakan. Baru saja dia berpikir bahwa dia akan berusaha mulai dan belajar berusaha menyampaikan sesuatu dengan baik. Tapi yang dia lakukan kepada Raphael adalah sebuah kemarahan, dan Raphael seakan tidak menerima rasa marah dan cemburu yang dia rasakan. Apa ini benar?
"Lo marah?" tanya Nana kepada Raphael.
Raphael menggeleng, pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan santai menatap Nana. "I'm honestly not mad to anyone for anything they ever did to me. You, showed me you."
Nana mengerti, dia bukan gadis bodoh yang tidak mengerti maksud Raphael. Tadi, Raphael dengan sengaja mengatakan kalau menjadi orang asing diantara mereka lebih baik. Itu yang Raphael inginkan, bukan?
"Raphael..." lirih Nana tidak sanggup. Akhirnya, yang seperti ini akan datang padanya, kan? "... I don't really mad at you, it just my personal feel─oke gue akui gue cemburu. Dan lo? Mengatakan kalau sebaiknya kita menjadi orang asing saja?"
Raphael terdiam, Nana hanya memandang Raphael dengan cara yang tak biasa. Semua hanya figuran, pada akhirnya mereka semua hanya lewat dan pergi begitu saja.
"..."
Nana memejamkan matanya lagi. "I feel so sorry, Raphael. Gue minta maaf."
Dan setelah itu, Nana pergi masuk ke dalam kamarnya lagi dan mengunci dirinya. Sementara itu Raphael baru saja menyadari apa yang baru saja dia lakukan kepada Nana.
"OH SHIT RAPHAEL.. YOU STUPID." maki pria itu memukul kepalanya sendiri.
***
Pagi-pagi, Ina sudah dibuat shock dengan keberadaan Raphael di ruang tengah. Wajahnya kusut, kantung mata menghitam, rambut yang semalam tertata rapi sudah tidak ada lagi, dan yang paling menyedihkannya adalah wajah murung serta menderita yang membuat Ina miris kasihan.
Jadi, tadi malam sudah ada keributan yang sangat besar? Itu artinya, Nana tidak memaafkan Raphael.
Suara ketukan heels Ina bahkan tidak menggugah lamunan Raphael sama sekali. Masa sehancur itu sih?
"Raf," panggil Ina.
Raphael masih tidak menyahut. Lalu, dengan inisiatif atas dasar rasa kasihan, Ina menyentuh bahu Raphael. "Raphael,"
Raphael mendongak dan terkejut dengan keberadaan Ina yang sudah rapi. "Oh, Kak Ina?"
"Lo nggak balik? Dari semalam ada di sini?" tanya Ina lagi.
Raphael mengangguk, mengusap wajahnya dengan gusar. "Iya, semalam gue di sini."
"Masih marah?"
Raphael mengangguk lagi. "I did something wrong."
"Lo memang selalu ngelakuin kesalahan, kapan benarnya?" timpal Ina menyebalkan.
"Serius.. Semalam, gue ngomong─argh!" Raphael terlihat frustrasi sekarang.
"Good morning!" suara Loli yang baru saja datang membuat keduanya langsung menoleh. "Oh, ada Raphael?"
"Ada schedule?" tanya Ina kepada Loli.
Loli mengangguk. "Iya, Nana di undang ke galeri Master Chef, Bun. Udah bangun belum ya tuh anak gadis."
"Gue di sini, Mbak Loli..."
Suara itu langsung membuat Raphael bangun dari kursinya. Nana sudah merias dirinya, gadis itu memakai boho dress putih selutut yang cantik dan rambut hitamnya tersebar jatuh di punggungnya. Melihat itu semua, Raphael menahan napas dan berjalan cepat mendekati Nana.
"Na─"
"Mbak, Loli.. Berangkat sekarang?" ujar Nana mengacuhkan Raphael.
Baru saja Loli mengangguk, namun Raphael menahan tubuh Nana. "Please, give me a time. Na, gue salah."
"Awas," Nana dengan sengaja mengalihkan diri dan enggan menatap Raphael.
"Mbak Loli! Gue bakal anterin Nana ke gedung RCTI tapi please, biarin gue bicara sama Nana?" ujar Raphael dengan tatapan memohon.
Loli yang tidak mengerti keadaan hanya bisa melongo. "Ini kenapa sih─"
"Biasa Mbak Lol, kayak nggak tahu drama Raphael-Nana aja." balas Ina meledek.
"KAK INA!" protes Nana.
"Apa, Na? Udah dong, mau sampai kapan kalian berantem? Lagian si Intan udah ngelahirin, mau diapain lagi? Kecuali, lo balas dendam nanti lo minta ditemani cowok lain kalau lo lahiran. Atau bisa nikah sama cowok lain─"
"KAGAK ADA!" sambar Raphael ngegas. "Udah dong, Kak Ina stop bahas Intan."
"Sumpah, lepas Raphael!" tekan Nana kepada Raphael.
"Gue mau ngomong─"
"Lo sendiri yang pengen kalau kita lebih baik jadi stranger!"
"Gue salah," Raphael menekan egonya saat ini yang ingin menyeret Nana ke dalam kamar. "Gue salah.. Maafin gue, please I want make it right again, gue salah."
"..."
"Hadeuh... Waktu dan tempat dipersilakan, gue tunggu di mobil ya, Na." kata Loli pamit undur diri dari drama yang dia lihat.
Ina melakukan hal serupa. Jadi, yang tertinggal hanya Nana dengan Raphael yang masih terus menahannya.
"Apa lagi, Raf?"
"Maafin gue.. Gue salah, semalam gue capek, gue udah kebawa emosi─"
"Gue yang salah, gue kan childish nggak memenuhi ekspektasi lo. Jadi, ya sori. Karena gue, nggak bisa menerima cowok gue yang masih tetap peduli, dan menjadi incaran mantan tunangannya. Dan gue, dengan begonya menunggu kedatangan lo semalam."
Kentara sekali, kecewanya Nana. Tapi ya Raphael nggak mau menyerah gitu aja. "Gue salah, semalam nggak─"
"Gue nggak tahu, Raf." potong Nana dengan kesal. "Semuanya udah jelas, mulut ya mulut lo."
"Iya, mulut gue. Gue bodoh." Raphael mulai menyalahkan dirinya sendiri. "Please, maafin gue, jangan putusin gue."
"Lo yang udah mutusin gue, Raf." balas Nana.
Raphael menggelengkan kepalanya buru-buru. "Nggak, gue kebawa emosi. Tolong... Tuhan, gue nggak bisa begini terus, Na. You should listen to me, that I never trully want breakup with you. Soal Intan, gue akan secepatnya─"
"Kita break aja." balas Nana dengan wajah sengak. "Gue malas ketemu lo, dan gue lagi nggak mau meladeni lo. So, minggir."
"..."
Raphael masih diam tanpa mau menyingkir dari hadapan Nana. Nana mengangkat alis sebelahnya. "Minggir gue bilang!"
"Na.."
"Gue mau kerja ya, Raphael. Jangan bikin mood gue rusak!" tekan Nana kepadanya.
Maka dari itu, Raphael dengan rasa mengalahnya menyingkir. Setidaknya, Nana tidak memutuskannya, break adalah pilihan yang baik ketika dua insan saling melemparkan emosi sejak semalam.
Tapi.. Sampai kapan?
Dan Raphael yakin, Nana tidak akan memudahkan usahanya untuk mendekati gadis itu lagi. Kesalahan terbesarnya adalah mulutnya, dan semalam mereka berdua sama-sama menghadapi lelah yang berbeda.
Komunikasi selalu menjadi masalah utama, kan? Dan Raphael pikir apa yang dia perbuat selalu membuat Nana menjadi pihak yang mengalah atas kedekatannya dengan Intan meskipun sudah menjadi mantan.
Tapi percaya lah, bahkan dalam niatnya sekali pun, Raphael ingin mengakui Nana di hadapan semua orang. Dan jika Intan dan Noah telah menyelesaikan masalah keluarga mereka, maka Raphael tidak akan membiarkan Nana merasa statusnya tidak jelas dalam beberapa bulan ini.
Nana berhak mendapatkan yang terbaik, bukan? Yang pasti, dengan dirinya.
***
a/n:
Ah, break doang. Kagak jelas.
Jadi gimana guys? Apa perlu putus? Nanti kelamaan nggak bakal tamat-tamat WKWKWK.
Raphael Nana tuh definisi ribet dari sesungguhnya, nggak tau ya belum ada yang waras. Sekalinya waras, Raphael bertingkah. Begitu aja terus.
Jadi kira-kira, persentase untuk bersama masih harus dipertahankan atau nggak?
"Apa salah gue?! Ketemu dia udah
ketuban pecah dini! Mana kata
dokter pembukaan lengkap, si
Noah bangsat kagak ada. Ya siapa
lagi yang harus temani Intan
jadinya?!"
─ berusaha mencari pembenaran.
Bandung, 5 Februari 2022.
─Mari kita pindah haluan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro