CHAPTER #37
"The problem with some
people is that they're
breathing: for ex."
─Nana
***
CHAPTER #37
***
DIALOG hangat bersama para anggota Jakarta Symphony Hall trending nomor satu di Twitter, Youtube dan memiliki rating tertinggi semalam saat acara Harmony and Culture from Indonesia Land, yang dihadiri Nana menjadi bahan positif yang panas di Indonesia. Banyaknya anak muda Indonesia yang tertarik akan musik klasik menjadi wadah baru bagi dunia musik klasik─modern yang kini tengah berkembang.
First mini album Nana memiliki pengaruh cukup besar dan baik. Menjadi musisi klasikal pertama yang mampu merajai Chart Billboard. Ketika Prav mengetahuinya, Prav memberikan hadiah yang tak tanggung-tanggung, sahabatnya itu mengutarakan kebanggaan dengan tak ada habisnya karena Nana berhasil dengan comeback-nya kali ini.
Tagar Twitter dengan nama #nanadamarys masih menjadi trending satu sejak semalam. Hari ini, Nana di undang ke salah satu podcast dari salah satu musisi ternama, Erik Bachmid. Dia musisi sekaligus penyanyi lagu Jazz yang banyak digandrungi oleh para remaja. Karena lagu pria itu, memilik kesan bahasa cinta yang kuat, namun terkesan santai.
Loli memberikan Nana satu kotak cokelat, entah kenapa menurut Loli bahwa cokelat bisa menenangkan dan membantu mengalihkan dari rasa gugup. Namun dengan begitu, Nana bersyukur setidaknya Loli punya inisiatif yang baik dan cerdas. Ternyata, cokelat itu berhasil membantunya.
Erik Bachmid mempunyai studio lima lantai, tepatnya di Pakubuwono, Jakarta Selatan. Nggak bisa dibilang studio karena kondominium mewah dan modern itu bahkan berhasil membuat Nana berdecak kagum. Tekad besar, memang tidak pernah mengkhianati hasil. Termasuk, apa yang Nana lihat dari Erik Bachmid.
Erik Bachmid sering diledek oleh fans-nya sendiri, like idol like fans mereka terlalu sering berdebat dan saling membalas mention di Twitter layaknya teman dekat. Jejaring fans Erik Bachmid adalah fans yang sudah dewasa─bertolak belakang dengan fans Adam Malik dan Pravinda sahabatnya. Tidak semua fans bisa bersikap dewasa, dan bagi Nana fans Erik Bachmid sudah cukup dewasa untuk menjaga image sang artis.
Di usianya yang ke tiga puluh lima, Erik Bachmid belum menikah. Pria itu sepertinya senang dengan status lajangnya, atau mungkin memang sudah ada tapi tetap berusaha bersikap lowkey dan tidak ingin mengumbar kehidupan asmaranya.
Ya kalau di pikir-pikir, sama dengan apa yang Nana lakukan. Sudah terhitung lima bulan, Nana masih tidak mengumbar hubungannya dengan Raphael. Padahal, Intan sampai sekarang belum melakukan klarifikasi lanjut soal status kehamilannya, sepertinya belum ada kabar lanjutan anak Intan lahir atau belum.
Dan Raphael pun, masih belum menyanggah. Raphael seakan sengaja menunggu Intan yang mulai lebih dulu klarifikasi daripada dia.
"Aloha, nice to meet you, Nana!" sambut Erik ketika Nana baru saja masuk ke studio pria itu.
Nana tersenyum lega, dia menerima sambutan dari Erik dan para staf yang bekerja. "Nice to meet you too, Mas Erik.."
"Oow, Mas Erik." ujar Erik merasa canggung dengan sapaan itu.
Wajar, Nana memang terlalu sopan kepadanya.
Lalu Nana meringis tak enak. "Salah ya?"
"No, no.. It's just sounds good, jarang saya dipanggil Mas biasanya Abang."
Nana terkekeh pelan. "Kan saya tahu Mas Erik senior saya."
"Oh c'mon, Na.. Jangan terlalu kaku!"
Nana tertawa lagi. "Oke-oke, jadi dimana kita mulai recording podcast-nya?"
Erik mengajaknya berjalan menuju studio room. "Here, welcome to Erik's room. You can do anything right here."
Nana dipersilakan duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan Erik. Di sana, sudah terdapat headphone, microphone, dan yang terpenting adalah script perjanjian perbincangan yang akan dibahas kali ini.
"This is the script, gue udah konfirmasi sama manajer lo, Mbak Loli. Barangkali, lo juga udah di kasih tahu sama dia? Apa perlu briefing lagi?"
Nana membacanya sekilas dan pertanyaan pun terlihat oke-oke saja. "No, it's okay, make this podcast enjoy aja, Mas Erik."
"Baik kalau begitu," Erik menjentikkan jarinya kepada para staf dan kru kamera. "Bisa kita mulai sekarang? Buat diri lo senyaman mungkin ya, Na."
Nana mengangguk ketika selesai memasang headphone-nya. "Oke, Mas."
Kamera sudah menyala semua, Nana sudah nyaman di tempatnya dan Erik memulai acara podcast-nya.
"Well, today is a new day. Monday always being monster day for students, but me! Have a cute, smart, talented guest today. Nggak menunggu lama, so here we go! Nana Damarys, a best national cellist beri tepuk tangannya!"
Seluruh staf bertepuk tangan dan Nana tersenyum pada kamera. Loli memonitor dari belakang kamera dan terlihat sangat santai ketika Nana membuka acara tersebut dengan sebuah sapaan.
"Hai, rekan podcast Erik. Saya Nana, and ya," Nana mengalihkan pandangannya pada Erik. "Terima kasih sudah mengundang aku di sini, Mas. Your studio such a great cozy room."
Erik tertawa lepas. "Heiiiii... This is the first time of our meet you know? Tapi kok kayaknya udah kenal dekat banget."
Nana mengangguk setuju. "Uhm, well.. Mas Erik sibuk, dan aku pun sibuk. Padahal, kita udah janjian lama banget."
"That's right! Gimana promosi album kemarin? Lancar? Masuk Top Ten di chart Billboard I was like─what?!" kata Erik bereaksi heboh atas pencapaian Nana.
Nana tersenyum. "Gila sih, aku sempat khawatir kalau musikku itu susah buat diterima karena ya─penggabungan klasikal musik with modern hipe genre such a big idea!"
"I know," balas Erik paham. "Nggak heran, Label Marcell memang senang bereksperimen, kan? And taste your music so really good. First of all, gue penasaran bagaimana lo memulai karir lo, Nana."
"I was in seven when I start loving a Cello."
"Seven?!"
Nana mengangguk tertawa renyah melihat ekspresi Erik. "Ya, literally seven. I've been had a long time for make sure, do I like music?! Do I?! I always asking for myself, music a Cellist? That's kinda weird for me."
"That's why I'm so curious, like girl in seven falling in love at the first sight with Cello?"
Nana mengangguk setuju dan menjentikkan jarinya. "Ya the feels like that. Aku dan sahabatku, waktu itu kira-kira SD. And we have time to know beberapa macam alat musik, saat itu kelas seni musik." jelas Nana ketika mengingat kenangan kecil bersama Raphael. "... It was like─oh my God? Ini adalah Cello, apa coba yang aku lihat pertama?"
"Apa apa?!" jawab Erik excited.
"Body Cello!"
Erik tertawa mendengarkan jawaban Nana. "Cello tuh unik, dia punya senar sama seperti gitar, body dia besar dan berlekuk─"
Erik tertawa puas mendengarkan penjelasan Nana yang terkesan terdengar tengah menjelaskan seseorang. "Why you explain a Cello like that?!"
Para kru tertawa mendengarnya. Nana dengan santainya bertanya sembari menunjuk dirinya sendiri. "Do I something wrong?!"
Terlihat sangat polos, itu kenapa Erik masih tertawa sampai sekarang. "No! It's just, ah... You so funny, Nana."
"... Kok, jadi aneh ya?" tanya Nana dengan polos.
"ITU KENAPA GUE DAN SEMUA KRU DI SINI TERTAWA!"
Nana jadi ikut tertawa. "Oke, lanjut."
"And ya, karena memang apa pun itu semuanya di mulai dengan first sight, first impression. Aku meneliti diriku sendiri, apa Cello akan terasa menyenangkan saat dimainkan? Gimana rasanya menggesek senar itu dengan busur Cello? Dan suara itu kenapa membuat aku ingin melakukannya terus menerus. So, I do a violin for a first time."
"Violin?!"
"Ya, kakekku yang memberikan violin lebih dulu. Karena ya, sahabatku bilang─Nana, badan kamu itu kecil, kamu pasti nggak bisa bawa Cello karena Cello itu besar."
Erik tertawa lagi, entah kenapa Nana merasa heran mendengar suara tawa Erik yang lepas. Apa pria itu memang gemar tertawa?
"It's a seven years old girl and boy when had a talk. That's cute. Lalu, lo memulai bakat lo dengan serius di Jakarta Symphony Hall?"
Nana mengangguk. "Iya, karena awalnya aku hanya masuk Rumah Musik Harmoni, dan belajar Cello di sana. Ketika SMP, Direktur Jakarta Symphony Hall, datang ke Rumah Musik Harmoni. Jadi, setiap tahun ternyata dia mencari beberapa talent di sana untuk di ajak bergabung di Jakarta Symphony Hall."
"Wow, kayaknya memang bakat lo sudah terlihat dari dulu ya, Na. Terus-terus? Momen yang paling lo ingat apa?"
Nana tersenyum sembari mengingat masa-masa saat dia mengenal dunia orkestra dan dunia opera. "Saat pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Sydney Opera."
"WOW! NANA DAMARYS IN FIRED! LO MENAKLUKAN SYDNEY DI USIA MUDA?!"
Nana terkekeh pelan dan mengangguk. "Itu berkesan banget sih, bagi aku."
"Sekarang, gue paham kenapa banyak yang mengidolakan lo sejak muda. Soalnya ya, karena penikmat musik orkestra tuh bukan sembarang orang."
"Iya, Mas. Betul sekali, stigma orang-orang ketika memandang musik orkestra itu hanya untuk kalangan atas." jelas Nana. "Selama ini, apa yang aku rasakan nggak gitu."
Erik mengangguk lagi. "Anak-anak muda udah malas duluan sih, Na. It was like, apa sih? Mereka lebih milih apa sih musik klasik? Kalau rock-band yang terdengar lebih asik dan menggebu-gebu jiwa, pasti banyak dipilih."
"Iya aku banyak dengar soal itu. Teman-temanku, saat di sekolah juga seperti itu, Mas. Ada suatu waktu mereka tanya sama aku, Nana? Apa yang enak dari musik mendayu-dayu? Musik klasik terdengar berat dan ya seperti yang aku bilang tadi─stigma orang memandang musik klasik dan orkestra itu berbeda. Padahal, beberapa genre musik diadakan memang untuk dinikmati, bukan jadi pembeda strata di bidang sosial juga, kan?"
"I'm agree, pasti banyak timbul pertanyaan waktu sekolah. Ada nggak sih, yang menyinggung soal selera lo?"
Nana mengangguk mantap. "Ada. Beberapa dari mereka selalu bertanya, kenapa bisa suka musik klasik kolot begitu? Mereka tuh lebih banyak bilang, ya─bayangin deh katanya, kamu bersih-bersih di rumah ketika orang-orang banyak dengar lagu Justin Bieber, Selena Gomez, Katy Perry and many more. Kamu hanya mendengar lagu klasik, ditambah seriosa? Kalau gue lebih merasa seperti pembantu kerajaan, gitu katanya."
Erik tertawa lagi. Kali ini lebih puas dari yang tadi. Karena memang sebagian kenangan Nana tuh dihabiskan oleh rasa-rasa penasaran temannya karena genre musik yang Nana sukai agak berbeda.
"Oh my God, Nana.. harus banget pembantu kerajaan ya?!" tanya Erik sembari tertawa. "That was crazy."
"Indeed," kata Nana mengangguk setuju. "Padahal, lagu apa pun kalau dimainkan, di aransemen dengan musik orkestra terdengar enak juga."
"Dangdut iya nggak sih?" tanya Erik. "Honestly, gue suka banget kalau lagu dangdut di aransemen."
"Jakarta Konser Orkestra selalu melakukannya setiap minggu, malah."
"And well, lo adalah penulis lagu, penata musik, dan penyanyi. Nyadar nggak sih, Na? Kalau lo itu hebat banget?" tanya Erik terpukau dengan semua bakat Nana.
Nana tertawa lagi, dengan rendah hati dia mengucapkan terima kasih. "Aku mau mengerjakan sesuatu, tanpa pernah mendapatkan inspirasi. Kayak, semua itu udah terangkai dalam otak aku, Mas. Kayak, nulis lirik lagu, I was like I have a big room, a big diary in my head yang nggak bisa orang lain ketahui."
"... Mm, I see."
"Kayak, kamu punya dunia sendiri dalam kepala kamu, dan kamu adalah sistem kontrol. I think, I was like President on my stories in my brain. Menjaga mood, dan ikut menjaga eksistensi musik, menjaga dan melestarikan, kayak semua hidupku tuh ada di musik. Aku sangat menghormati musik."
Erik memandang Nana dengan kagum. "... Semua orang, punya point of view masing-masing, termasuk Mas Erik. Iya nggak sih?"
Erik mengangguk setuju. "Karena hanya dengan musik gue bisa jujur."
"Right?" kata Nana dengan senyuman jumawa yang senang mendengar jawaban Erik. "Karena hanya dengan musik, kita bisa jujur. Kita nggak bisa membohongi diri sendiri ketika bersama musik."
"Music is free, Na." balas Erik. "Lo bisa totalitas dalam melakukan musik, bayangkan ketika lo punya suatu formula, dan formula itu hanya bisa lo ciptakan sendiri. Karena apa? Formula belum tentu bisa diterima, bisa cocok dengan orang lain. So for make sure, gue jadi berpikir, bagaimana caranya gue membuat formula yang kira-kira tanpa harus diterima atau menerima, tanpa harus cocok atau tidak cocok tapi masih bisa dirasakan."
Nana mengangguk setuju. "Panca indra ya, Mas. Pendengaran paling utama, dia bisa mendengar, merasakan, masuk dalam pikiran dan hati tanpa harus menyentuh. Bayangkan, sehebat itu lho musik tuh!"
Erik mengajak Nana untuk berhigh five. "Gue suka gaya lo sih, Na."
"Thanks, Mas Erik."
"Oh, udah tiga puluh menit aja nih. So, here the question from Netizen Maha Benar. Mbak Nana, tipe idealnya Mbak Nana itu seperti apa?"
Nana tertawa sembari bertepuk tangan. "I don't have ideal type. Oh God, memang aku terlihat bertipe untuk cowok-cowok?"
"Nggak mungkin nggak punya sih, Na. Ibarat kata, sedikit pun kayak tadi bagaimana lo menjelaskan body Cello─"
"OKE STOP MAS ERIK!" ujar Nana heboh. Semua kru tertawa melihat tingkahnya. "Aku punya kok, tipe ideal."
Semua orang di ruangan saling bersiul menggoda Nana. "Jadi, tipe apa nih yang Nana sukai."
"Randomly, ya.. Aku suka sama cowok yang sopan sih, itu utama. Selain fisik, attitude menurut aku penting banget. Katanya, yang dipegang dari laki-laki tuh omongannya, tapi aku nggak setuju."
"Well, well kenapa?"
"Karena lelaki yang punya sikap dan attitude sudah jelas punya otak untuk berpikir sebelum berbicara Mas Erik."
Erik tertawa lagi, memang pembahasan dengan Nana tidak akan selesai dengan mudah. "Terus-terus, selain itu?"
"Aku suka cowok yang sayang sama Ibunya. Manja, tapi nggak berlebihan, dan yang baik sama semua orang tanpa pandang bulu."
Erik mengusap dagunya sembari mengangguk. "Mm, gue jadi penasaran. Lo punya cowok nggak sih?"
"Wah..." Nana speechless lalu meminta izin pada Loli sebagai manajernya. "Mbak Loli! Spill nggak nih?"
"JANGAN CARI MASALAH YA ANDA!" teriak Loli yang membuat semua orang tertawa.
Nana dan Erik pun tertawa. "Gotta keep it like a secret aja deh."
"WOW!" teriak Erik heboh. "Gila juga ya, Anda.."
Nana mengangguk. "Lumayan,"
"Senang banget hari ini gue bisa berbincang soal musik dengan lo."
"Aku juga Mas Erik, sering-sering undang dong.."
Erik tertawa santai. "Kalau soal itu gampang sih, kalau mau di undang ke podcast gue nggak perlu bikin sensasi dulu kok, Na."
"Nyindir nih? Nyindir?"
"Nggak lah!" jawab Erik sembari tertawa. "Thanks karena udah mau join di acara podcast gue, Nana."
Nana mengangguk sembari menerima jabatan tangan Erik. "Then, thanks for having me."
***
Agan Monyet:
Cowok yang sayang sama Ibunya
manja tapi nggak berlebihan.
Gue ya? Hehe.
Nana membuka aplikasi pesannya dan tersenyum melihat apa kata Raphael. Jadi, pacarnya itu mendengarkan podcast-nya dengan Erik tadi siang?
Nana Damarys:
Pede betul!
Btw, lo dimana?
Agan Monyet:
Ngaku aja sih, tapi kenapa
tadi lo nggak spill gue aja sih?
Baru balik kantor, kangen
ya?
Nana Damarys:
kata Mbak Loli jgn, nanti
bikin masalah baru yang ada
Kangen ga ya...
Agan Monyet:
Dih, kenapa gue merasa
seperti pacar yang nggak diakui?
Jangan belajar berengsek
gitu dong:)
Nana Damarys:
Memang mls mengakui.
Ya udah, gue kangen deh..
Agan Monyet:
Terpaksa bgt ya Anda?!
Nana Damarys:
IH KESEL DEH.
Yaudah skrg ke rumah,
gue kangen, banget.
Agan Monyet:
Otw.
Nana tidak membalas lagi pesan Raphael setelahnya. Dia terlalu sibuk menghapus makeup pada wajahnya. Hari ini, dia terlalu banyak mengenakan baju makeup dan berganti warna shade makeup. Apa yang Nana pikirkan saat ini, dia harus belajar menerima kalau beberapa hal akan dia sampaikan dengan baik lagi.
Soal Raphael, Nana masih harus memikirkan yang satu itu. Fokusnya, saat ini Nana menunggu kira-kira kapan sih, Intan melahirkan? Seperti apa yang Ina katakan kepadanya, soal Intan bukan lagi jadi prioritas Nana. Tapi Raphael memang harus tegas pada dirinya sendiri.
"Nunggu siapa?" tanya Ina melihat Nana yang duduk di teras rumah.
"Raphael, tapi nggak sengaja nunggu kok. Memang pengen duduk aja di sini." kata Nana kepada Ina.
Ina mengangguk mengerti. "Na, gue mau ngomong sama lo."
"Ngomong aja kali, Kak. Ya ampun.."
"Serius." kata Ina yang terlihat cemas.
Nana langsung menyipitkan matanya. "Ada apa nih?"
"Gue..."
"... Gue apa?"
"Mau nikah sama Marcell."
Tunggu, Nana sedikit belum paham. Masih berusaha mencerna apa yang Ina katakan padanya.
"Pertengahan tahun ini, gue pas tiga puluh, Na. Jadi, Marcell bilang dia mau menikah sama gue dan Mama sama Oma─"
"NIKAH?!" seru Nana dramatis dengan bola mata yang membulat. "MENIKAH?!"
"Iya, Na." balas Ina dengan sabar.
"Kok tiba-tiba banget? Lo nggak hamil kan, Kak?" tanya Nana dengan kurang ajarnya.
Ina menjewer telinga Nana. "Memang yang mau nikah tuh harus kebobolan hamil apa?! Ya nggak lah!"
"Ya... Serius?" tanya Nana masih tak percaya. Kakaknya akan menikah dengan Marcell, direktur perusahaannya, dan produser yang membantunya. "This is for real?"
"Memang ada nikah bercanda, Na?!"
"Ya tapi kan.. Ampun, gue tinggal sendiri dong, Kak?" jawab Nana.
"Jadi.. Lo nggak senang gue menikah dengan Marcell?!"
Nana menggeleng cepat. "OF COURSE I WAS SHOCK RIGHT NOW, AND I TRULLY HAPPY FOR BOTH OF YOU, SIST!" teriak Nana.
Lalu, Nana memeluk Ina dengan tiba-tiba dan tak terasa air matanya turun begitu saja. Kakaknya, yang sudah menjadi temannya sejak kecil, menemaninya, membantunya, bertengkar, ataupun saling mengejek satu sama lain akan menikah?
Itu semua seperti mimpi bagi Nana. Dia tidak menyangka, kakaknya yang selalu menjaganya dari belakang akan menikah. Waktu memang berlalu begitu cepat, Papanya sudah meninggal dan tidak ada kesempatan bisa melihat kedua putrinya menikah.
Nana dan Ina memang tidak pernah selalu melakukan daily conversation. Karena dari sisi perbedaan pun sudah cukup jelas kalau Ina dan Nana punya dunia yang berbeda. Namun, positifnya keduanya bisa menjadi tim dalam sewaktu-waktu.
"I'm so blessed that you call me a sister." Ina memeluk Nana dengan erat dan menangis seakan malam ini adalah malam terakhir mereka. "When you born, I've always felt your love, you're a great sister, Na. Please, be happy."
"... Kak,"
"We have shared so many moments right? Jangan pernah berhenti ya, Na. Gue akan selalu menjadi kakak lo."
"Kak Ina..." rengek Nana menangis. "Always be happy too, gue mau lebih banyak sharings happy time with you, semoga niat baik Kakak sama Marcell tercapai ya."
"And you too, Sayang." Ina melepaskan pelukan mereka dan mengusap pipi basah Nana. "With Raphael."
Nana terkekeh pelan. "Speaking Raphael, kenapa dia lama banget? Ini udah mau jam sembilan, kan?"
Lalu dering ponsel Nana terdengar begitu saja membuat Nana langsung mengangkat teleponnya.
"Halo, Raf?"
"... Wait, tahan.. Tenang okay? You can handle it, Intan, I believe on you."
Sebentar, kening Nana berkerut begitu saja. Ina tergerak rasa penasaran bertanya. "Kenapa?"
"Aneh banget, Kak." ujar Nana kepada Ina.
"Loud speak."
Akhirnya, Nana melakukan apa yang Ina sarankan kepadanya. Panggilan telepon itu terdengar aneh bagi Nana.
"... El, aku nggak kuat banget ini sakit."
El? Aku? Sakit? Hanya satu orang yang Nana ketahui siapa pemilik panggilan itu.
"Kak, ini... Intan?" tanya Nana memandang Ina tak percaya sekaligus takut.
Ina menggeleng cepat buru-buru merebut ponsel Nana. "Halo? Raf? Raphael?!"
"... You can, bentar lagi ayok bisa."
Dan erangan kuat itu semakin membuat Nana kesal. Ada apa sih, sebenarnya? Kenapa Raphael bisa bersama Intan dan...
"Wait!" cegah Nana kepada Ina. "I think Intan with Raphael right now. Apa dia lagi melahirkan? Tapi kenapa harus sama Raphael?"
"Pertanyaannya, kenapa Raphael telepon lo ketika dia dengan kurang ajarnya menemani Intan melahirkan?! Asshole, rasanya gue mau tonjok Raphael." gerutu Ina.
Janji Raphael adalah menemui Nana, dan setahu Nana Raphael sedang berada di jalan menuju ke arahnya. Tapi sekarang?
"SHIT RAPHAEL I HATE YOU!" teriak Nana murka pada ponselnya sendiri.
Jantung Ina merasa copot sekarang. Masalah baru benar-benar akan muncul sekarang, dan Ina yakin nyawa Raphael tidak akan bisa ia tolong meskipun dengan cara negosiasi sekalipun.
***
a/n:
Malah nemenin mantan lahiran. Parah sie. Bapaknya siapa, yang tanggung jawab menemani Intan berjuang malah sama mantan.
Kali ini, fix putus nggak nie?
"Yakin mau putusin yang kayak
begini?"
─Raphael (pede ute)
Bandung, 4 Februari 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro