Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER #36

"Souls don't meet with
accident."

─Raphael

***

CHAPTER #36

***


SUDAH menjadi tradisi bagi Nana mengundang teman-temannya ke rumah, hanya untuk makan besar. Karena kebetulan Ina dan Marcell sedang staycation, Nana hanya sendirian di rumah. Raphael tidak tahu, karena Nana sengaja tidak mau membiarkan lelaki itu memanfaatkan keadaan nantinya.

Arie, Dinda dan Prav. Konteks makan besar itu ya Nana, Bibi Yum memasak makanan rumah ala Sunda yang nikmat tapi mengenyangkan. Nasi liwet, dengan ikan teri di campur bumbu aroma sereh yang kuat, serta petai, daun kemangi. Memang gilaaaaa, Nana tuh rela mengeluarkan duit sebanyak apa pun hanya untuk makanan.

Nana, hidup untuk makan. Dan makan untuk hidup. Baginya, nikmat ketika sehat adalah nikmat ketika kita bisa makan enak. Nana baru saja mengeluarkan ayam bakar dari panggangan. Tolong, ayam bakar mentega ini di buat penuh perjuangan karena permintaan siapa? Yap, permintaan Raphael!

Raphael kebetulan datang telat, karena Sabtu pagi ini dia harus mengadakan meeting dadakan. Sementara Nana, Senin depan sudah mulai sibuk comeback atas mini albumnya.

"ANJING!" pekik keras Prav yang baru saja mencolek sambal terasi yang baru saja Bibi Yum simpan di atas alas daun pisang.

Jakarta siang ini memang panas, tapi Nana sengaja makan di ruangan Yoga─Ina yang punya space besar, kosong, luas dan jendela besar yang menghadap ke arah kolam renang.

"Kenapa Njing?!" balas Arie tak kalah penasarannya.

"Lo coba sendiri, Setan! Ini sambal Setan namanya!" kata Prav dengan heboh.

Nana tertawa puas mendengarnya, sementara Bibi Yum hanya menahan tawanya. "Ya ampun... Bibi Yum, Sayang.. Pedes lho nanti gue makan sambal ini." adunya dengan manja.

Bibi Yum hanya menggeleng. "Ya udah, jangan di makan sambalnya, Den Prav!"

"YA MANA AFDOL MAKAN LIWET NGGAK PAKAI SAMBAL?!"

"Hadeuhhh.. Sama saos aja lo sono!" titah Arie kepada Prav.

Prav malah manyun, lalu Nana memberikan semangkuk tumis cumi yang diberikan potongan sayuran kacang panjang dengan saus tiram.

"Gue jadi penasaran sama anggaran dapurnya Nana deh." celetuk Dinda begitu saja. "Masa tiap kita makan nggak pernah di tagih iuran?"

Yang tersedak bukan Nana, tapi Prav yang tengah mengunyah kerupuk udang. "Din," kata Prav berusaha bersikap sabar pada pacar temannya itu. "Harga diri Nana bisa hancur karena minta iuran sama lo. Ya kali?!"

"Ya kan rugi, Prav kasih makan kita terus tiap minggu?!"

"Ini namanya membuka pintu rezeki, Non.." balas Bibi Yum.

Nana hanya tersenyum saja mendengarnya. "Kan, ladang rezeki bukan hanya kita beramal saja. Non, Den Arie, Den Prav, Den Raphael kalau datang ke rumah itu sebagai tamu. Dalam Islam, menyenangkan tamu itu pahala, dan sudah menjadi kewajiban bagi pemilik rumah membuat tamu merasa kenyang, dan senang atas pelayanan kita."

"TUH DENGAR KULTUM BIBI YUM, SAYANG.." cetus Arie ikut-ikutan.

"... Ya doain aja, gue banyak rezeki biar sering-sering dan nggak berhenti traktir kalian." ujar Nana yang baru saja join di atas permadani Turki itu.

Terlalu mewah memang, makan di alasi oleh karpet Turki mahal, punya Ina. Apa pun, punya Ina, karena selera Ina memang agak aneh dan tidak biasa. Lagipula, sayang kalau permadani besar ini nggak pernah di pakai.

"Dan serius kita makan di alas daun?!" tanya Arie si anak yang sudah lahir dengan suapan sendok emas itu.

Nana hanya berdecak. "Ada yang salah, Rie?"

"Kalau ada piring ya kenapa nggak pakai piring aja?!"

"Ya ini namanya seni makan liwet, Rie!"

"Ya tapi kan, Na.. Ampun dah, lo dapat daun pisang darimana? Ini udah di cuci belum?!"

Nana kesal dengan segala ocehan Arie. "YA MENURUT LO AJA?! GUE MALING DAUN PISANG PAK HAJI MULKI!"

Pak Haji Mulki adalah bandar daging ayam di komplek yang punya kebun pisang di depan rumahnya. Makanya, rumahnya terkesan angker dan kayak hutan, belum lagi kolam lele di depannya. Tapi anehnya, ibu-ibu komplek elit suka belanja lele dan daging di Pak Haji Mulki. Ya sama sih, Nana juga. Soalnya, sering di kasih diskon.

"ANJING SERIUS?!" timpal Prav dan Arie bersamaan.

Seperti tagline iklan, keduanya memasang ekspresi yang membuat Nana gemas. "Bebas lo aja deh, mau makan di alas daun pisang, atau ambil piring sendiri!"

"WOH UDAH SIAP AJA NIH GUE BARU AJA DATANG!"


Semuanya kompak menoleh, ada Raphael yang membawa buah tangan, padahal Nana nggak minta, tapi Nana bisa menebaknya kalau itu adalah brownies bakar.

Nana secara random mengatakannya minggu lalu, tapi Raphael baru membawakannya sekarang. Memang, slow respon sekali.

"Itu pasti brownies bakar ya?" tebak Nana dengan wajah tengilnya.

Raphael mengangguk, dia berjalan mendekati Nana dan mencium pelipis Nana. "Iya dong, kan pacar gue yang mau."

"NAJIS!" sambar Prav dan Arie yang baru saja menyaksikan adegan menjijikkan itu.

Raphael hanya tertawa. "Tolong ya Anda-Anda, berhenti bersikap menjijikkan seperti itu." kata Arie memperingatkan.

Raphael memutarkan bola matanya dengan malas. "Coba Anda sadar diri bagaimana Anda dulu ketika baru anget-angetnya sama Dinda."

Dinda hanya bisa berekspresi:


Sementara Arie:

Lalu Nana dan Raphael tertawa begitu saja meledek ekspresi Arie dan Dinda yang kelewat polos. Mereka cukup prihatin karena dari sekian tahun lamanya, hanya Prav saja yang masih tetap menyendiri dan betah sendirian.

"Ya udah ayok makan, dan Bibi Yum!" teriak Nana. "Udahan dulu bersihin dapurnya nanti aja, makan dulu!"

Acara makan-makan itu terlaksana cukup kondusif ya. Namanya mulut, kalau dijejal makanan pasti dalam mode silent.

Tadinya Nana berpikir, dia harus merencanakan sesuatu karena sebentar lagi Raphael akan berulang tahun yang ke dua puluh enam. Rencananya, Nana akan buat acara makan-makan sederhana dan mengundang beberapa teman dekat Raphael, jelas─rencananya yang ingin mempertemukan Raphael dengan Intan harus terealisasikan.

"Bentar lagi Raphael ulang tahun lho.." celetuk Nana begitu saja ketika mereka selesai makan.

"Hah?" respon Raphael lambat. "Oh iya.." senyum lelaki itu terlihat senang dengan kedua mata yang menyipit.

"Kayak anak TK aja lo! Mau dirayain, hah?!" sewot Prav kepada Raphael.

"Kita lihat ada agenda apa nanti okay?" acuh Raphael pada Prav, namun dengan sengaja dia menggoda Nana.

Nana meringis malu. "Kayaknya..."

"Kenapa?"

"Gue nggak bisa ngerayain deh.."

"KENAPA?" tanya Raphael dramatis.

"Gue mau ke Atlanta."

"Georgia?"

Nana mengangguk. "Iya, gue ke sana bukan soal kerjaan kok. Tapi, mewakili undangan Tante gue. Adiknya Papa."

"Ada acara apa, Na?" tanya Dinda penasaran.

"Katanya, ada bagian punya Papa yang harus diselesaikan, dan jelas harus ada saksi. Secara hukum, harusnya Kak Ina karena dia anak tertua, tapi Kak Ina tanggal empat belas juga nggak bakal bisa ke Atlanta."

"Gue ikut." cetus Raphael.

Prav berdesis gemas. "Sekarang malah lo yang jadi buntut dia?"

"Apa salahnya? Sekalian gue memperkenalkan diri pada keluarga besar Nana." jawab Raphael jumawa.

Nana menepuk pipi Raphael dengan lembut. "Ada waktunya, nanti."

"Lo nggak mau gue ikut?"

"Bukan─"

"Bilang aja sih kalau lo nggak mau gue temani." potong Raphael.

"YA AMPUN RAPHAEL NARYAMA ARJANTA.." ledek Prav melihat betapa norak sepupunya itu.

"ADA MASALAH ANKATARA PRAVINDA ARJANTA?!"

Nana menghela napasnya. "Memang lo nggak ada kerjaan, Raf? Kalau lo ikut gue ke Atlanta─"

"Intinya mau apa nggak gue temani?" sambarnya tak sabaran.

Nana akan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan ini. "Lo boleh ikut, asal.."

"... Asal?"

"Mau ketemu sama Intan dan ngobrol baik-baik soal kasus kemarin. Dia udah mau berdamai—"

"Jadi lo temui Intan, meskipun sudah gue larang?"

Well, perdebatan itu memang akan terulang lagi, terus menerus.

"Ya tapi kan, Raphael─"

"Lo nggak pernah tahu siasat apa yang Intan sudah mainkan kepada lo, ya? Lo bisa ketipu gitu aja dengan omongan manis dia, mau taruh berapa lama?"

"Raf, lo nggak usah bereaksi semarah itu juga kali." ujar Arie mengingatkan. "Toh, niat Nana baik, dia mau mempertemukan lo dengan Intan ya karena ingin menyelesaikan masalah kalian, Raf."

"Lo nggak tahu apa-apa, Rie." balas Raphael dengan tidak sukanya.

Arie mengangguk. "Iya, gue memang nggak tahu. Tapi publik, masih menganggap lo adalah ayah dari anak yang Intan kandung. Gue tahu, para petinggi di perusahaan lo mempermasalahkannya, Raphael. Termasuk Bokap lo yang minta kejelasan."

Bahkan untuk sesaat Nana tersadar, Raphael tidak pernah bercerita apa pun soal masalah pernyataan Intan yang merugikan banyak pihak. Termasuk, keluarga Arjanta.

"..."

"Gue nggak paham," ujar Prav memberanikan diri mengeluarkan suara. "Intan doang lo turuti gitu aja? Padahal, tinggal menyangkal apa susahnya, Raphael?"

"Gue sudah berniat menyangkal!"

"Tapi?"

"Gue..." Raphael menahan napasnya. "Gue nggak bisa, karena.." Raphael menatap Nana, dan tatapan mereka saling bertubrukan satu sama lain. "Intan bisa menghancurkan siapa pun dalam keadaan saat ini, termasuk Nana."

"Jadi, pada akhirnya tujuan Intan adalah Nana?" tebak Dinda.

Raphael mengangguk. Sementara Nana sudah bangkit dan pergi menjauh, ternyata masalahnya belum selesai, Intan masih bersikap keras kepala dengan keinginannya sendiri. Perempuan itu begitu picik, beberapa hari yang lalu, semuanya baik-baik saja. Dan sekarang?

***


Nana tersadarkan dari lamunannya ketika seseorang baru saja menyentuh bahunya. Nana mendongak, Raphael memutari meja dan duduk di hadapannya. Setelah acara makan-makan selesai, Arie dan Dinda kembali pulang, sementara Prav memiliki rencana pergi dengan Tante Mauli. Jadi, jangan ditanya apakah Raphael akan stay bersamanya malam ini? Jawabannya iya.

"You mad."

Nana mendongak, membalas tatapan penuh hangat Raphael kepadanya. "Apa?"

"I said you mad, right now."

Nana menghela napasnya. "Damn, I am."

Raphael mengambil tangan Nana dan mengecupi jari-jari Nana satu persatu. "I'm sorry, Na."

"Can wel talk about this later? Malas banget kalau harus bahas Intan." ujar Nana terang-terangan.

Raphael mengangguk mengiyakan. "Tapi gue mau bicarakan soal kita."

"So, here we go." tanggap Nana.

"Gue nggak mau ada kesalahpahaman lagi." jelas Raphael kini, punggung jari tangan Raphael mengelus tulang pipinya dan turun menuju rahang. "Gue mau buat pengakuan."

"Apa?"

"Soal gue yang nggak pernah berani untuk unjuk perasaan kepada lo, sejak dulu."

Nana mengangguk paham. Tapi ya, kalau mau disesalkan juga nggak ada ujungnya. Raphael yang dulu, bukanlah Raphael yang sekarang dan Nana tidak akan menyalahkan sikap Raphael saat dulu ketika bersama pacar-pacarnya.

Raphael menatapnya dengan sungguh-sungguh. "Gue nggak mau lagi cari yang lain, well ini terdengar sangat menyebalkan tapi gue berusaha untuk serius bersama lo. Gue berusaha, agar hubungan kita berhasil. I think we should being cooperative for each other, right? Ini nggak berlaku hanya untuk gue, tapi lo juga."

"..."

"Karena hubungan ini, terjalin antara gue dengan lo. Gue nggak menjalani hubungan ini sendirian aja. Gue mau berkomitmen dengan lo, sangat ingin bahkan menindaklanjuti keseriusan hubungan kita."

Nana tersenyum tipis. Raphael mendekatkan diri kembali dan menggenggam tangan Nana. "Gue tahu, lo punya trust issue. Nggak sekali, lo banyak mengalami kegagalan, begitu pun dengan gue, kan?"

Nana mengangguk, lalu Raphael melanjutkan kembali. "Nggak setiap hari gue bisa jatuh cinta sama cewek, tapi sama lo kayaknya setiap waktu gue jatuh cinta terus."

Ujung-ujungnya tetap cringe. "Sounds so yeyek."

Raphael terkekeh pelan. "What? Yeyek?! Lo mau gue cium ya, Na?!"

"Ya habis gombal banget, Raf. Manusia pasti ada bosennya kok, lihat aja nanti."

"Lo nantangin gue?"

"Iya. Ah, kayak yang baru pacaran aja, nanti juga bakal ada jenuhnya lo sama gue."

"Gue nggak tuh," jawab Raphael percaya diri. "Harusnya sih, kalau gue jenuh dari dulu gue nggak akan cari perhatian sama lo."

"Mm, gitu ya?"

"Iya Katarina, Sayang.. Makanya jangan lagi lo berpikir hubungan kita salah karena Intan merasa nggak menerima gue dan lo─I mean kita pada akhirnya bersama. Gue, dan lo, punya hak untuk saling memiliki. Di luar itu semua, gue sangat sadar, gue tidak berhasil dalam menjalin hubungan dengan Intan. Tapi, sekali lagi itu bukan salah lo." kata Raphael dengan tegas. "Apa pun yang lo pikirkan sekarang, sampai lo berani bertemu dengan Intan and for fuck sake's, Na. I dumped her for good, kenapa? Karena gue sudah tahu gue dengan dia tidak akan pernah berhasil."

"..."

"So, please.." tatapan memohon Raphael membuat Nana tersadar, kalau selama ini dia terlalu mementingkan perasaan orang lain. "Forget it, about Intan, Noah, and so many things that will be fucker disturber in our relationship. Nurut sama gue, bisa?"

Nana mengerti apa yang Raphael maksud, dan dia bersyukur mengetahui apa yang Raphael inginkan ternyata sama dengan apa yang Nana harapkan.

"Mau banget gue nurut sama lo?"

Raphael mengangguk polos. "Mau,"

"Okay." putus Nana.

Tangan Raphael tergerak begitu saja mengusap puncak kepala Nana. "Sayang banget deh gue..."

"Ya udah, sana pulang." usir Nana.

"Lho? Nggak takut sendirian?"

"Nggak." jawab Nana percaya diri.

"Bibi Yum udah pulang lho.." goda Raphael lagi seakan ingin Nana mengerti apa maksudnya.

"Nggak, Raphael. Lebih baik, lo pulang ke rumah lo yang ada di depan."

Raphael manyun, terserah lah pikir Nana. Karena semakin dia sering berduaan dengan Raphael maka semakin tinggi peluang lelaki itu mendekati Nana secara tidak wajar. Nana nggak mau dengan mudahnya memberi jalan, apa lagi kalau dia sudah mendapatkan wejangan dari Ina dan Marcell soal kemungkinan kalau Nana dan Raphael kini sudah dalam situasi berbeda.

Dekat dikit, jadinya bahaya. Apa lagi, tipe-tipe Raphael ini memang nggak bisa dipercaya.

"Ya udah, gue pulang tapi harus face time, ya?"

Ampun dah. "Okay,"

"Pacar siapa sih ini?!" Raphael memeluknya dengan erat membuat Nana memukul lengan pria itu.

Ya bagaimana lagi? Memangnya Nana bisa lepas kalau sudah seperti ini?

***

a/n:

Mau cerita dikit, udah mulai sibuk lagi.. Jadi maaf kalau nggak bisa double update. Kemarin aji mumpung daring satu bulan, sekarang sudah luring di RS lagi saya..

Tapi tenang, cerita ini bakal selesai kok. Yang semangat komen dan vote-nya ya! Biar si aku semangat menulis, cielah.. Tapi beneran, komentar maupun vote kalian notifikasi paling indah di kala lelah:))

Menglebay sedikit nggak apa-apa, kan?

Abis ini dramanya belum kelar, sulit Bund. Maklum, orang baru ngerasain jatuh cinta sama orang yang diinginkan selama seumur hidup kan gitu..

Segitu aja dulu ceritanya. Nanti dilanjut.

Xoxo

Jangan lupa mangan...

Guru les mobil Nana.

Yang belajar mobil.

Bandung, 3 Februari 2022.

couple hopeless romantic.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro