CHAPTER #35
"True love has a habit of
coming back."
─Nana
***
CHAPTER #35
***
"Good morning, Love..."
Nana mengerjapkan matanya yang terganggu karena sinar matahari pagi. Semalam, setelah memberikan Raphael obat, malah Nana yang tumbang dan sudah tidak sanggup membuka mata terlalu lama.
"Jam berapa ini?" tanya Nana pada Raphael yang kebiasaan─sudah rapi.
"Jam tujuh, nggak apa-apa," ujar Raphael sembari menepuk puncak kepala Nana. "Bobo lagi, gue ke kantor dulu."
Kedua mata Nana langsung membulat seketika. "KE KANTOR?! MEMANG BADAN LO UDAH ENAKAN?"
"Udah dong... Kan lo yang rawat gue."
Cringe abis. Nana meregangkan tubuhnya dan menendang Raphael dengan sengaja. "Ya udah sana lo pergi, gue mau ke Label."
"Ngapain?"
"Mau meeting kontrak iklan."
"Dih? Iklan apa?"
"Nggak tahu, Loli bilang iklan minuman."
"Mm, bajunya jangan seksi-seksi ya, Na."
Ini terdengar sangat menjijikan. "Nggak sekalian aja gue pakai gamis muslimah? Kalau itu sih, harusnya iklan bulan Ramadhan!"
"Boleh, itu lebih baik." jawab Raphael seenaknya.
"Terserah lo!"
Raphael terkekeh pelan, menunduk menyematkan ciuman pada dahi Nana. "Nanti gue jemput?"
Nana menggeleng. "Nggak usah, gue..."
"Kenapa?"
"Gue mau ketemu Intan."
Raphael mengangkat alisnya. Nana tahu, pasti Raphael tidak akan menyukainya, tapi demi Tuhan ini untuk kebaikan Raphael juga.
"Mau ngapain sih?"
Nana berusaha menjelaskan, lebih baik daripada tidak sama sekali. Karena rasanya, rasa bersalah Nana masih ada─hingga kini. Bohong jika dia tidak kepikiran, dari awal, di sini dia lah yang merusak hubungan Raphael dan Intan. Jangan menyangkut-pautkan dengan hubungan mereka yang toxic. Pada saat dimana Nana mengakui bahwa dia mencium Raphael kepada Intan, Nana tahu Intan bukan gadis bodoh yang tidak paham rasa suka Nana kepada Raphael selama ini.
Atau mungkin, Intan sudah mengetahuinya dan hanya diam saja? Di hari mana Nana mendengarkan obrolan Raphael dan Intan, di Mc Donalds, mereka membahas tentang sikap Raphael yang terkesan berlebihan jika menyangkut dirinya. Tapi dengan keras kepalanya Raphael selalu berkilah, memang jelas tidak─sebelum akhirnya Nana merasa bahwa perasaannya memang harus dihibahkan, harus diumumkan.
Intan selalu meminta Raphael menjauh darinya. Tapi seakan tidak mengerti, Raphael selalu berada didekatnya, apa lagi jika Ina yang sudah meminta agar pria itu menjaganya. Apa Raphael masih belum mengerti? Intan berselingkuh adalah bukti bagaimana gadis itu memberontak kepada Raphael yang selalu mementingkan dirinya.
Nana selalu menutup mata, pura-pura buta meskipun dia tahu selama ini Intan kesal padanya. Dia, selalu tutup telinga dan pura-pura tuli seakan tidak ingin mengetahui kesulitan Intan yang ingin fokus memiliki Raphael sendirian.
Itu kenapa, Nana mencoba peruntungannya dengan Noah. Yang anehnya, Intan mengambilnya dengan sengaja. Seolah ingin menunjukkan bahwa dia berhak membalaskan rasa dendam kepada Nana bertahun-tahun yang dia rasakan menjadi kekasih Raphael.
"Raf, ngerti nggak sih? Kalau Intan tuh nggak pernah suka membagi lo, kepada siapa pun. Termasuk, kepada gue, sahabat lo?" tanya Nana dengan serius.
Kening Raphael mengerut, merespon obrolan yang Nana ucapkan seolah konyol di mata pria itu. "Nggak, kan? Sekarang, gue katakan kepada lo, apa ada cewek yang rela membagi cowoknya untuk dekat dengan cewek lain meskipun notabenenya sahabat?"
"..."
"Selama ini, lo selalu mementingkan gue. Even, hal remeh kayak Kak Ina yang lagi ke Swiss atau bisnis lainnya yang berujung gue ditinggal sendiri, Kak Ina selalu meminta tolong kepada lo dan Arie." jelas Nana sembari berusaha menjelaskan dengan secara sabar dan perlahan. "Arie, masih bisa menolak dengan alasan Dinda. Dia nggak terpaku pada gue, Raf. Sementara lo? Lo rela meninggalkan Intan sendirian di lokasi pemotretan ketika tahu gue sendirian di rumah. Apa itu wajar? Nggak."
"..."
Nana merasa tidak enak karena kini ekspresi wajah Raphael terlihat sangat mendalami apa yang ia utarakan. "Makanya gue aneh, lo suka sama gue tapi lo bertunangan dengan Intan. Tunangan itu bukan hanya saling mengikat satu sama lain, tapi itu ikatan yang kuat lo bangun bersama dia, guna menuju gerbang pernikahan. Cewek mana pun, akan beranggapan yang sama─berpikir bahwa lo serius dengannya."
"Na, listen─"
"No," tolak Nana tegas. "Gue kemarin memutuskan lo bukan hanya semata-mata distraksi kepada Intan, menegaskan bahwa lo bukan lagi milik gue. Itu lebih tepatnya. Jujur, gue ngerasa nggak enak Raphael."
"Apa yang lo maksud Na?"
"Raphael, Intan berubah menjadi serakah, main belakang itu karena siapa?"
"..."
"Dia mencari perhatian lo." tekan Nana kepadanya. "Lo selalu menyebut nama gue ketika lo bersama dia, lo selalu─dan lagi-lagi kebiasaan lo adalah, melibatkan gue dalam hubungan lo bersama cewek. Nggak semua cewek yang datang di dalam hidup lo mau menerima gue sebagai sahabat cewek yang lo kenal sejak kecil, Raf. Rasa cemburu itu pasti ada."
Raphael menggelengkan wajahnya, dan menegaskan rahangnya. "Lo nggak tahu apa-apa soal gue dan Intan."
"Memang!" jawab Nana spontan. "Gue nggak tahu, karena yang menjalankan hubungan itu lo dan Intan, gue adalah orang luar."
"..."
"Tapi lo nggak pernah sama sekali berusaha menempatkan diri sebagai Intan, Raf.. Dia, merebut Noah dari gue, ingin menegaskan, ingin menunjukkan bahwa dia bisa melakukan hal yang serupa terhadap gue!"
"Kenapa lo tiba-tiba seperti ini?" tanya Raphael dengan bingung. "Are you serious want talk about that guy again? He is your ex?!"
"Kenapa poin yang lo tangkap hanya Noah saja, Raphael?!" tanya Nana dengan gemas.
Raphael menyugarkan rambutnya frustrasi. Pria itu mendekatkan diri mencium kening Nana lagi. "We can debated again, jangan sekarang. Jangan buat mood gue memburuk, gue mau ke kantor."
"Raphael─"
Raphael mengangkat telunjuknya sebagai perintah padanya. "Dan jangan berani-beraninya lo temui Intan hari ini. Ini perintah, bukan permintaan."
Setelah itu Raphael pergi meninggalkan Nana yang termenung karena sikap Raphael yang berlaku seenaknya. Kenapa begitu sulit membuat Raphael mengerti? Ini adalah masalah perempuan, dan tidak seharusnya Raphael melarangnya untuk bertemu dengan Intan.
***
Apa Nana menuruti permintaan Raphael? Jelas tidak. Dia harus menemui Intan, mengobrol dari satu hati ke lain hati─sebagai seorang perempuan yang memandang perempuan lainnya. Egois kalau Nana pura-pura tuli dan buta jika menyangkut Raphael. Rasa bersalah itu kian besar, hati telah berganti dan awalnya tiada menjadi ada─Raphael yang menjadi miliknya.
Meskipun terdengar sangat tidak adil, karena nyatanya Intan pun mengganggu Noah darinya. Jadi, dengan berbesar hati, Nana menuruti permintaan Intan yang ingin bertemu di apartemen perempuan itu.
Intan bukan temannya, dia juga tidak pernah menganggap Intan sebagai sahabatnya karena dia tunangan Raphael. Tidak, karena Nana tahu dari segi memandang, Intan terlihat tidak pernah nyaman seperti Dinda kepadanya. Kayak, sesuatu hal tuh nggak akan pernah sejalan dan cocok. Meskipun dari awal, Raphael selalu mengenalkan, dan berusaha membuat dirinya agar mau berteman dengan Intan.
Apartemen Intan terlihat masih sama seperti Nana terakhir datang. Tidak ada lagi foto dalam pigura besar, yang berisikan foto Intan dan Raphael memamerkan cincin kebanggaan mereka saat bertunangan. Tembok apartemen itu sepi, tapi satu hal yang membuat perhatian Nana tertarik adalah. Piano.
Intan bisa piano? Tidak.
Siapa lagi? Jelas Noah.
"Maaf ya, cuman bisa kasih orange juice. Kebetulan gue sama Noah memang belum belanja keperluan kulkas." kata Intan memberikan jamuan sederhana.
Mendengarnya, Nana seolah mengerti bahwa Intan tengah menegaskan keberadaan Noah kepadanya. Jadi, Intan dan Noah tinggal bersama? Masuk akal, itu kenapa piano besar itu ada di apartemen Intan. Tapi, sejak kapan? Apa Raphael menyadarinya?
"Nggak apa-apa, Tan.. Thanks ya." kata Nana sembari meringis ngilu melihat perut Intan yang semakin membesar.
Kehamilan memang mengubah segalanya. Yang Nana tahu, Intan ini perempuan yang selalu terawat, cantik, bersih dan menjaga pola tubuhnya. Tapi sekarang? Intan merelakan tubuhnya berubah secara signifikan karena mengandung anak...
Well, kenapa gue jadi membayangkan kalau anak itu anak Raphael?
Intan tidak memberikan senyuman setulus biasanya. Perempuan di hadapannya ini, selalu mencari dirinya ketika dia membutuhkan bala bantuan─berusaha menarik perhatian Raphael jika Raphael dan Intan bertengkar, dan masalah sudah tidak bisa lagi di selesaikan dengan baik-baik. Nana memang selalu menjadi mediator di antara mereka.
"Capek ya, Tan? Bawa-bawa dedek." kata Nana mulai berbasa-basi.
Intan mengangguk. "Lumayan, janinnya memang agak besar sih, Na. Katanya sih, keturunan gitu, Noah juga waktu bayi berat badannya besar."
Ow, ow... Nana mengulas senyum dalam hati. Secara tidak langsung, Intan mengakui bahwa bayi itu milik Noah?
"Tan, are you realized something?" tanya Nana dengan hati-hati.
"Maksud lo?"
"Lo tadi secara tidak langsung mengatakan kepada gue bahwa janin lo anaknya Noah."
Wajah Intan terlihat tegang sekarang, namun Nana berusaha mengerti dan menghargai perempuan itu. "Gue ngerti, Tan.. Maaf ya, gara-gara gue, lo sama Raphael─"
"Then don't talk about Raphael again, Na." balas Intan kepadanya.
Nana tercengang. Ada apa dengan Intan? "Tapi kenapa? Bukannya ini tujuan gue datang ke sini, buat saling konfirmasi, saling introspeksi, saling bicara biar tahu mana yang salah. Gue nggak mau kejadian kemarin terulang lagi, Intan."
"I know." balas Intan cepat. "I was stupid, sampai kapan pun posisi gue nggak akan pernah bisa menggantikan posisi lo di dalam hati Raphael."
"..."
"Kalau lo berpikir do I love Raphael? Ya, I loved him. That was a long time a go, ketika dia bisa menerima gue, dan ketika dia tidak mengingat lo dalam sekali. Selanjutnya? He always remember, and thinking about you all the time, Na. Dimana waktu dia tahu kalau lo, tidak lagi membutuhkan dia. Dimana waktu dia tahu, kalau lo punya dunia baru, Raphael was scared thinking about you."
"..."
"Raphael memang tunangan gue, tapi jiwa dia tidak bersama gue. Apa adil bagi gue untuk menerima itu semua, Na?" tanya Intan kepadanya dengan nanar.
Nana secara tidak sadar menyentuh dadanya sendiri yang terasa sesak. Kenapa Raphael harus menyakiti orang lain seperti ini karena sikap pengecut lelaki itu?
"..."
Intan tersenyum hampa memandang pada hamparan luas kota Jakarta dari kaca gedung apartemen itu. "Cuman gue yang tahu isi hati dia, Na. Bagaimana pun gue berusaha, lo tetap obsesi dia." Intan terkekeh pelan sembari mengusap perutnya. "Itu kenapa, gue jahat dan merebut Noah dari lo, lagipula dia pernah menjadi milik gue meskipun dalam sesaat."
Jadi, benar apa yang Nana pikirkan tentang Intan. Intan melakukan itu semua atas dasar sakit hati yang dia rasakan.
"Gue merasa kesal, melihat lo dengan mudahnya dicintai oleh banyak orang. Sementara gue? Nggak ada yang mencintai gue, Na."
Nana menggeleng tidak setuju dengan kata-kata Intan. "Raphael mencintai lo, Intan. Bagaimana mungkin lo bisa berpikir seperti itu? Empat tahun ini, lo bertunangan dengan dia dan lebih dekat secara emosional dengan dia dibandingkan gue. Lo, pernah menjadi orang yang paling diinginkan kehadirannya oleh Raphael!"
Kini, bagian Intan yang terdiam. Nana masih berusaha meyakinkan bahwa apa yang dia nilai selama ini tidak lah salah. Raphael, memang mencintai Intan.
"Lo nggak bisa bilang kalau apa yang lo dan Raphael sudah jalani itu tidak ada cinta. Itu sebuah kebohongan, Intan."
"..."
"Setiap orang, punya prioritasnya masing-masing. Dan menurut gue, Raphael memiliki tempatnya tersendiri jika soal lo, Intan."
Intan menundukkan kepalanya, Nana mendekati Intan dan berusaha menenangkan. Bagaimana pun, momen perbincangan yang Nana inginkan bukan saling menunjukkan taring satu sama lain, tapi Nana ingin memberikan sentuhan perasaan satu sama lain, sebagai perempuan. Tidak ada maksud menekan.
Maka dari itu, Nana mengusap punggung tangan Intan dengan perlahan. "I'm really sorry, Intan. Karena gue, menjadi sahabat Raphael sejak kecil, karena gue mengenal Raphael lebih dulu daripada lo, dan karena gue─"
Intan menutup mulut Nana yang tengah berbicara. "Jangan bicara seperti itu lagi, Na.. You deserves better..."
"Then you too." balas Nana tak mau kalah.
"You had many privilege, apa lagi soal Raphael, Na. Gue, udah merelakan Raphael melebihi apa pun."
"Tapi lo?" tanya Nana kali ini. "Kemarin, dengan sengaja membuat pernyataan yang nggak sesuai realitanya?"
"I feel so sorry," Intan meringis tak enak. "Gue takut, feel like you can live without people and people can leave me─"
"... Intan," Nana memeluknya, tidak ada lagi jawaban yang bisa Nana berikan selain pelukan. "You have me, you have Raphael, you have Noah."
Intan membalas pelukannya. "Ya, sekarang gue ngerti, Na. Noah sudah membuat gue yakin."
"Yakin?" tanya Nana bingung.
"He said, he loved me."
Nana menarik napasnya lega, entah kenapa merasa senang mendengarkan berita yang Intan berikan padanya.
"... Noah mencintai gue, dia bilang bahwa dia sudah tidak lagi memandang lo seperti dulu. Hal yang nggak bisa Raphael berikan kepada gue, dan Noah bisa memberikannya kepada gue." lanjut Intan.
Raphael yang sialan, Nana yang merasa bersalah.
"I feel so sorry, to you and Raphael." kata Intan kali ini.
Nana mengulas senyumannya lagi. Menepuk punggung tangan Intan dengan rasa lega yang mengaliri dadanya. "Jadi, kita selesai, Tan?"
Intan mengangguk mantap. "Selesai."
"Thanks, Intan."
"You a lucky girl, Na.. Raphael really loves you so much."
Nana hanya terkekeh pelan. Jadi, usaha Nana kali ini adalah bagaimana caranya membuat Raphael dan Intan saling menyelesaikan hubungan yang seharusnya selesai dengan cara baik-baik.
Sepertinya, Nana membutuhkan bantuan Noah kali ini.
***
a/n:
Klarifikasi dong....
"Cantiknya Mbak Pacar."
─Raphael
Bandung, 2 Februari.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro