Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER #34

"I hate days like this.
Where I canliterally feel
every single mile between
me and him."

─Nana

***

CHAPTER #34

***

"ANAK ORANG LO APAIN KATARINA?!"

Sepulang syuting Music On The Street di Yogyakarta, Nana dan tim-nya berpisah di Bandara setelah mengetahui siapa yang menjemputnya kali ini. Loli, manajernya seakan memberikan waktu kepada Nana dan membebaskan gadis itu agar bisa berekspresi lebih luas menyambut mini albumnya.

Jadi, atas perintah Antonova Klarinna Sie Damarys, Nana dijemput oleh Ariendra Taruna Harsaya yang kini tengah mengomel di dalam mobil.

"Siapa yang lo bicarakan?" jawab Nana dengan santai sembari memejamkan matanya.

Flight pagi-pagi memang sangat menyiksa, Nana bisa sengantuk ini karenanya. Tapi, membayangkan lontong kari dengan sambal kayaknya enak..

"Raphael lah, siapa lagi?" balas Arie dengan sewot. "Lo mutusin dia?"

Nana mengangguk jujur. "Iya,"

"Anaknya meriang gara-gara diputusin lo, dasar sarap!"

"Kok lo jadi marah-marah sih?"

"Ya gimana? Udah dua hari Raphael sakit, Na. Dia nggak masuk kantor, Tante Cassie baru bisa datang lusa."

"Ya suruh aja Candra yang urus dia."

"Candra kan istrinya baru lahiran, jahat betul lo mau suruh Candra terus jagain Raphael?"

"Ya udah kalau gitu lo aja."

"Mana bisa─"

"Bisa," pungkas Nana cepat. "Kalau nggak lo ya, si Prav."

"Prav nggak ada, dia lagi syuting di Thailand."

"Sibuk betul." cibir Nana.

"Dan lo?" tanya Arie balik. "Apa kabar?"

Nana menggelengkan kepalanya. "Gue baik," jawabnya dengan bercanda.

"Na gue serius─"

"Gue juga serius, Arie..."

"Lo jahat banget, Na." keluh Arie kepadanya.

Nana hampir bingung, ini Arie berbohong kepadanya agar dia luluh mau bertemu dengan Raphael, kan? Nana malas deh.. Masa iya dia harus unjuk diri di hadapan Raphael? Nana malas berurusan dengan Intan pula.

"Gue tahu semua, Na. Salah kalau lo menyerah gitu aja, lo nggak salah sama sekali."

"Bukan itu, Rie.."

"Terus apa?!" tuntut Arie meminta penjelasan. "Lo nggak bisa seenaknya memutuskan Raphael tanpa tahu kejelasannya gimana. Dia menolak Intan puluhan kali, bahkan ratusan kali. Kalau lo ragu soal anak Intan, I know Raphael is smart boy dia pasti main bersih, Na."

"Lo tahu apa yang Intan katakan kepada gue dan semua orang saat rapat dadakan, Rie?"

"Apa?"

"Dia punya rekaman sex-tape dia sama Raphael yang bisa dia sebar gitu aja. Apa gue tega membiarkan Intan melakukan itu semua?" tanya Nana dengan serius.

Arie berdecak tak suka ketika mendengarnya. "Intan definisi dari serigala berburu rubah. Waktu lo bersama Noah, dia menginginkan Noah, dan sekarang ketika lo bersama Raphael─she want him back again, rakus banget."

Sudah jelas iya! Makanya Nana mending menyerahkan Raphael daripada kesannya memperebutkan mainan yang bahkan belum jelas itu miliknya atau bukan.

Meskipun Nana yakin, janin yang dikandung oleh Intan bukan anak Raphael, tapi tetap saja ancaman gadis itu bukan main-main.

"Na, mau ya ketemu Raphael?" kata Arie yang masih berusaha melobi Nana sejak tadi.

Nana menggeleng dengan kukuh. "Nggak, gue mau balik ke rumah langsung."

"Na..."

"Please, Rie." pasrah Nana kepada Arie. "Gue butuh waktu sendirian─"

"Wait, Dinda telepon gue." Arie memutuskan percakapan dan mengangkat telepon Dinda. "Mmm, apa Yang?"

"Kamu dimana ih? Lama banget..."

"Bentar lagi keluar tol ini, ada apa? Kenapa sama si Raphael?" balas Arie sengaja agar Nana mendengarkan.

"Demam dia naik, tadi tiga puluh delapan sekarang tiga puluh sembilan derajat celsius hampir empat puluh. Aku sama Kak Ina nggak kuat bawa dia ke RS makanya kamu buruan ke sini."

"Hah? Beneran tumbang?!" jawab Arie dramatis.

Nana mulai menggigit kukunya karena bingung sekaligus khawatir mendengarkan keadaan Raphael saat ini.

"Iya, tapi Kak Ina udah telepon dokter keluarga kok."

"Ya udah, tunggu ya, Yang.. Ini aku di jalan, bentar lagi sampai."

"Iya.. Sama Nana, kan?"

Nana dan Arie saling melempar tatap satu sama lain. Lalu Arie mengangguk. "Iya, aku datang sama Nana."

"Ah syukurlah.. Kayaknya memang obatnya Raphael sekarang tuh Nana."

Lalu Arie menggerutu tanpa suara kepada Nana: DENGERIN NOH!

"Oke, matiin telfonnya ya, Yang.."

"Iya, hati-hati ya Yang..."

Sambungan telepon Dinda akhirnya selesai, Nana berusaha menjernihkan pikirannya sendiri. "Kenapa Raphael bisa gitu, Rie?"

Arie mengangkat bahunya. "Ya lo pikir, Na. Diputusin sama lo, dan lo block semua akses komunikasi lo pikir Raphael masih bisa hidup?"

Nana meringis kesal mendengarnya. "Kenapa terdengar sangat berlebihan."

"Ya lo kayak nggak tahu aja Raphael kan BULOL."

Kening Nana mengerut tak mengerti. "Bulol apa sih?"

"Bucin tolol!" jawab Arie sembari tertawa.

Nana menggelengkan kepalanya, memang dalam keadaan genting pun Arie masih bisa bersikap tidak waras. Pantas saja, Arie, Raphael dan Prav itu satu server. Otak mereka sama-sama butuh proyek pembetulan jalan otak mereka terus menerus.

Akhirnya, dengan hati yang lapang dan besar, Nana memutuskan untuk mendatangi apartemen Raphael. Kedatangannya, berbarengan dengan dokter keluarga yang Ina biasa pakai, Dokter Fransesca teman Mama mereka.

Nana hanya menguping dari luar, dia belum masuk ke dalam kamar Raphael meskipun sejak tadi di paksa. Alasannya? Nana baru saja mencopet Arie agar memesankan lontong kari ayam dan gadis tengah menikmatinya. Setelah ini, dia berencana untuk meminjam kamar mandi Raphael dan bergegas tidur di sofa atau di kamar lain.

Dalam batin Nana: Hehe.

"Kemungkinan gejala tipes, dari dilihat riwayat penyakitnya Raphael punya asam lambung yang cukup tinggi, tapi saya sudah memberikan obat untuk asam lambung sekaligus penurun demam yang saya injeksikan tadi. Kalau memang demam tidak turun sampai malam, bawa ke rumah sakit aja ya, Ina? Karena yang saya takutkan Raphael terkena dehidrasi juga." jelas Fransesca kepada Ina.

Ina mengangguk patuh. "Baik Tante, tapi cairan infus untuk saat ini bisa membantu, kan? Makasih ya, Tante.. Maaf repotin Tante di hari weekend."

Fransesca mengusap bahu Ina sembari tersenyum. "Membantu, kita pantau sampai malam dan lihat demamnya. Biasanya, pada gejala tipes demam akan naik di sore hari sampai malam hari, Ina." lalu Fransesca tersenyum ramah, mengerti melihat wajah Ina yang canggung. "... Nggak apa-apa, Tante senang bisa bantu kamu. Tapi, ngomong-ngomong bukannya Raphael itu tunangannya sedang hamil, kan?"

"Oh... Anu─Tante," Ina takut salah bicara. "Sebenarnya itu cuman skandal yang belum di klarifikasi saja, pacar Raphael yang sebenarnya ya itu," tunjuk Ina kepada Nana yang sedang menyantap lontong kari. "Nana."

Nana sontak berdiri dan mendekati Fransesca karena namanya baru saja disebut. "Halo, Tante.. Apa kabar?"

Kedua mata Fransesca berbinar ketika melihat Nana. "Ya ampun ini Nana? Pangling banget.. Dikira tapi bukan Nana─eh, apa tadi? Nana pacar Raphael?"

Nana dengan mulut penuhnya menggeleng. Tapi Ina buru-buru menyambar cepat. "Iya, Tan.. Pacar Nana itu Raphael, tapi tolong jaga rahasia ya, Tan? Memang kita belum konfirmasi apa pun sama media."

Fransesca mengangguk mengerti. "Iya, Tante ngerti.. Sing penting, jangan kemakan sama omongan netizen yang kadang nggak pernah di saring, ya?"

"Siap Tante!" jawab Ina semangat.

Setelah kepulangan Fransesca, Ina mendekati Nana adiknya dan memukul bokong Nana dengan kencang.

"ARGH! ADA APA SIH, KAK?! PANTAT GUE MERAH NANTI!" gerutu Nana mengusap pantatnya.

"Bagus Kak!" kata Arie mendukung keributan itu. "Nggak apa-apa, gadis berhati batu itu memang harus di hukum!"

"Berhati batu?!" balas Nana dengan dramatis. "Lo memang─ARGHHHH ANJING!" sekali lagi Nana berteriak ketika Ina mencubit lemak perutnya.

"Bagus kelakuan lo begitu, huh? Putusin Raphael dan menutup semua akses komunikasi? Nana lo nggak boleh kayak gitu, Na! Soal Intan doang mah masalah kecil!"

"Ya tapi kan Intan sama Raphael─"

"KENAPA?! SOAL VIDEO SEX?! Mereka melakukannya dengan sadar, atas persetujuan satu sama lain dan nggak ada pihak yang memaksa ataupun dipaksa. Tapi kalau soal video, jelas Raphael kagak tahu kalau Intan ngerekam diam-diam. Semua udah di usut sama pengacara Raphael!" omel Ina.

Nana mendengus sebal, jika video seks itu sampai debut, dia tidak mau melihat wajah Raphael lagi.

"Ancaman Intan bukan apa-apa buat Raphael, Na. Tapi demi menegaskan kebenaran, Raphael mau menuruti saran lo yang harus melakukan tes DNA."

Nana membuang napasnya lelah. "Nggak usah kayak gitu.. Semua orang punya bagian masa lalu, lo juga punya sama mantan lo─"

"Gue nggak pernah mempermasalahkan apa yang sudah Raphael lakukan bersama Intan, Kak."

"Terus apa lagi? Toh lo sayang sama Raphael, toh lo cinta kan, sama Raphael?"

Nana hampir saja mengangguk namun buru-buru menggeleng. "Tapi dia─dan gue, bakal sulit lepas dari Intan, Kak. Ini semua karena gue, sebenarnya target Intan itu gue."

"Ya kalau begitu lo harus lawan." timpal Arie dengan gemas.

Nana menoleh dengan wajah kesal. "... Gue nggak salah ngomong!" ujar Arie percaya diri bahwa dia mengatakan hal yang benar. "She's a manipulative itu kenapa alasan Raphael mudah banget melepaskan Intan, Na."

"..."

"And ya, Intan isn't your friend! Kalau lo mau jadikan dia musuh juga sah-sah aja kok!"

Ina mengangguk setuju. "Apa yang Arie bilang benar, tapi dengan cara lo mengalah dan melepaskan Raphael itu salah, Na."

"..."

"Some people love being victims, Na." ujar Arie lagi yang tengah berusaha keras menyadarkan Nana. "... Cause they love being able to blame someone else. Jadi, tinggal lo-nya aja. Be mindful, dari orang-orang toxic kayak Intan. Toh, lo mau lawan dia pun dekeng lo banyak, Na."

"Nana takut?" sambar Dinda tiba-tiba. "... Kayaknya nggak mungkin deh, kan?"

"Tuh Dinda aja nggak meragukan keberanian lo, jangan jadi lemah dong Katarina..."

Nana menarik napasnya, melihat orang-orang sekitar begitu banyak mendukungnya membuat Nana sedikit.. Tersentuh?

"Oke.." putus Nana final.

Arie dan Ina saling menatap Nana dengan penuh antusias.

"Jadi, malam ini bagian yang menjaga Raphael adalah..." Ina membuka opening surprise.

Lalu Arie menepuk pahanya membuat sound menegangkan seakan-akan tengah mendapatkan undian uang kaget.

"... MALAM INI YANG JAGA RAPHAEL ADALAH NANA!" ujar Ina dengan nada senang.

Ah, kampret...

***

Sudah pukul empat sore dan Raphael masih belum terbangun. Nana kan jadi khawatir, sejak tadi siang, Nana mendapatkan tidur siang yang tidak disengaja selama dua jam. Apa lagi, setelah Ina, Arie dan Dinda pulang apartemen Raphael hening, sepi dan tidak ada suara mendukung suasana lelah Nana.

Akhirnya, Nana berinisiatif masuk ke dalam kamar Raphael dan menatap pria itu yang tengah berbaring dengan rapi. Wajahnya pucat pasi, keningnya mengeluarkan keringat, maka dari itu Nana mengusapnya dengan tissue dan mengecek suhu tubuh Noah dengan termometer.

Tiga puluh tujuh derajat celsius, Nana menghela napasnya dengan lega.

Rasanya nggak pantas, meskipun Raphael tetap manusia, Raphael tuh punya imun body yang bagus dan kuat, bahkan sejak kecil pun dia jarang sakit. Dan melihat Raphael yang terkapar lemah tidak berdaya seperti ini malah membuat Nana heran. Bisa ya, seseorang jatuh sakit secara cepat karena sakit hati? Tapi masa iya sakit hatinya Raphael menyiksa dirinya sendiri?

Toh, yang sakit hati di sini bukan hanya Raphael, tapi dia juga. Intan terus menerus mengusik hubungannya. Ya, pasti kesal sih, Nana pun jika mengalami hal yang sama─seperti apa yang Intan rasakan, pasti Nana akan merasa marah. Baru memutuskan pertunangan, Raphael dengan mudahnya mengalihkan hati.

Andai saja, kalau Intan tidak hamil karena Noah, apa mungkin Raphael dan Intan masih bersama sampai sekarang?

"Na..."

Nana mengerjapkan lamunannya sendiri dan buru-buru mengusap dahi Raphael. "Iya? Mau minum? Mau bangun? Pusing nggak?"

"... Pusing." jawab Raphael dengan lemah.

Nana membantu Raphael bangkit dan menyandarkan kepala pria itu pada bantal. Napas Raphael masih terasa panas, hawa tubuhnya juga. Jadi, Nana memutuskan untuk melepaskan selimut yang melingkupi tubuh Raphael.

"Mau makan?" tawar Nana.

"Lo kemarin kemana?" tanya Raphael.

Nana berdeham meredakan suasana yang terasa canggung. "Makan bubur? Ada soto di dapur─"

"Gue nanya lo, Na."

"Kemarin gue syuting acara survival gitu di Yogyakarta. Udah ya? Jangan nanya terus, kita makan dulu."

Raphael menahan tangan Nana yang baru saja akan bangkit. Nana mengangkat alisnya dan menatap Raphael. "Kenapa?"

"Lo putusin gue beneran?" tanya Raphael berusaha mencari kebenaran.

Nana pikir, kalau dia mengiyakan anak orang bisa sawan lagi dan jatuh sakit lagi, padahal kondisinya baru membaik. Nggak deh.

"Maunya beneran sih, tapi kayaknya.."

"Tuh kan, lo tuh berengsek ya, Na!" omel Raphael kepadanya, wajahnya bahkan kentara sekali menahan amarah.

Nana terkekeh pelan, mengusap dahi Raphael dan menyematkan ciuman di sana. "Ya abis, Intan-nya masih mau sama lo."

"YA GUE NGGAK MAU?!" Raphael berteriak dan sedetik kemudian pria itu terbatuk.

Nana mengusap punggung Raphael dan menenangkan rasa batuk itu. "Udah dong.. Kalau Intan masih mau sama lo, dan ya... Gimana, harus banget gue rebutan lo?"

"Ya gue kan punya lo?!" jawab Raphael berusaha menunjukkan kepunyaan dirinya. "Harusnya lo jangan ngalah gitu aja, masa iya cuman ancaman dia─"

Nana mencium pipi Raphael dengan cepat. "Ya udah, ayo makan dulu...."

"Benar-benar ya lo, Na." tatapan garang Raphael membuat Nana terkekeh pelan.

"We can talk this later, lo makan dulu, habis itu lo minum obat? Okay?"

Raphael hanya bisa menghela napas, memberikan makan pada pria itu, mengurusnya tapi Nana rasa Raphael belum melepaskan rasa dendam kepadanya karena Nana menutup semua akses komunikasi.

Padahal, ya Nana juga butuh waktu.

"Jujur sama gue, Na." kata Raphael kali ini.

"Jujur apa lagi, nih?"

"Lo cinta nggak sih sama gue?"

Nana terkekeh pelan, tatapan tak sabaran dari Raphael seolah membuat Nana senang mengerjai pria itu.

"Gue serius, Na.." tuntut Raphael.

Nana menarik senyumannya. Kalau memang dia harus mengatakan semuanya sekarang, maka masalah Intan belum sepenuhnya selesai, Nana tidak akan bisa tenang.

"Gue cinta sama lo, Raphael... Tapi udah ya, nggak usah tanya-tanya lagi soal itu. Gue ingin tahu prahara lo sama Intan gimana? Noah gimana? Terus pengacara lo bilang apa?"

"Na.." erang Raphael frustrasi. "Gue mengkhawatirkan soal hubungan gue dan lo, tapi lo di sini malah─"

"Gue sengaja," ujar Nana jujur. "Distraksi dari gue, biar Intan ngerasa puas aja."

"Tapi jangan gitu caranya, Na! Lo block semua komunikasi gue kepada lo, masa gitu sih, Na?"

"Gue takut..." cicit Nana pelan. "Lo masih dalam pengawasan Intan. Kalau gue jadi Intan juga ya kesal, lihat mantan tunangan bahagia sama cewek lain. Sementara dia? Dia lagi hamil, Raf.. Mana Noah belum bisa menikahi Intan gitu aja."

"Intan itu susah di ajak serius, Na." jawab Raphael. "Dari awal sama gue aja, dia nggak suka membahas pernikahan. Lo bayangkan, masa iya cowok kayak Noah ngebiarin Intan gitu aja?"

"Tapi mereka saudara tiri, secara hukum."

"Mereka bukan saudara satu darah, Na. Apa perlu gue ingatkan? Yang gue takutkan itu lo. Kalau Intan main-main sama lo gimana?"

"Ya gue ladenin." jawab Nana enteng.

"... Dengan cara memutuskan gue?"

Nana mengangguk. "Iya."

"Jahat...."

Nana terkekeh pelan, lalu dia memeluk pinggang Raphael dan membiarkan kepalanya bersandar di dada Raphael. "Distraksi.. Tenang.. Tapi ya, gue jadi kepikiran satu hal deh."

"Apa lagi?"

"Kalau kita nikah..."

"Iya?"

"Jangan ada masalah kayak gini lagi ya, Raf. Baik lo, ataupun gue, kita selesaikan apa yang harusnya selesai di masa lalu."

Raphael tersenyum dan mencium kening Nana. "Deal."

Nana mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajahnya di sana. "Kangen banget.."

"Suruh siapa sok-sok'an putusin gue?!" todong Raphael.

"Gue kira, putus sama lo gampang."

"Ternyata?"

"Susah," jawab Nana setengah meledek. "Mana ada acara tumbang segala lagi lo!"

"Wajar..."

"Apa?"

"You're the love of my life." jawab Raphael menggombal.

"JIJIK RAPHAEL!"

Tawa Raphael menggelegar begitu saja. Sementara Nana berpikir keras, setelah ini dia akan membuat pertemuan dengan Intan. Jika Intan bisa diberikan sebuah pengertian olehnya, Nana rasa dia masih bisa memaafkan semua hal konyol yang sudah Intan lakukan.

Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya Nana merasa bahwa hal yang harus dia miliki harus dia perjuangkan agar selalu ada. Raphael sudah memintanya, agar dia mempertahankan Raphael untuk tetap di sisinya, menjadi miliknya.

Lalu, apa yang lo takutkan Na?

Nana bertanya pada hatinya sendiri dan memandang wajah Raphael yang kini terlihat lebih hidup dari sebelumnya.

***

a/n:

Wajar ya Nana plin-plan sebelumnya. Karena dia memang tipikal orang yang bakal mikir keras apa lagi kalau itu menyangkut soal kebenaran dirinya.

Kira-kira, kalau begini.. Dia salah apa nggak, kira-kira, kalau begitu dia benar apa nggak. Nggak kayak yang ono, main hakim sendiri karena merasa dia berhak atas segala wkwkwk.

Dah sekian, sulit ya Bund.

"Keputusan ini ditunda dulu."
─Raphael.

Bandung, 1 Februari 2022.

Gong Xi Fa Cai.

Selamat Hari Raya Imlek bagi yang merayakan:)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro