Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER #30

"Thank you for being the
reason I smile."

─Nana

***

CHAPTER #30

***

DEMO, latihan, rekaman. Nana melakukannya berulang kali agar membuat musiknya terdengar maksimal. Di produseri oleh Marcell sendiri, Nana melatih dirinya sendiri dengan keras, bukan hanya proses pembuatan musiknya sendiri, dari penataan lagu pun Nana ikut ambil.

Mini album itu akan terdiri dari empat lagu, dan satu lagu utama yang akan ditemani satu side track lagu klasik hip hop yang ditambah melodi halus dan pop rock yang Nana komposeri langsung. Lirik, sudah Nana buat bertahun-tahun lalu. Kenapa? Jelas Nana terlalu lama menimbun lagu-lagunya sendirian hingga ketika Marcell, dan orang-orang yang bekerja di balik studio mengetahui betapa hebatnya Nana mereka cukup terkejut.

Dan sekarang, sudah pukul sepuluh malam dan pita suara Nana sudah habis. Bagaimana menjelaskannya? Marcell hanya ingin Nana menikmati segala perjalanan rekamannya, bukan berarti menekan dan berusaha keras yang akhirnya membuat pita suara gadis itu terasa sakit.

"You okay?" tanya Marcell dengan khawatir ketika Nana baru saja menyelesaikan rekaman lagu ketiganya.

Nana mengangguk dengan wajah lesu. "Begini, banyak eksperimen dan aku nggak sesiap itu untuk rekaman."

Marcell menghela napas khawatir. "Kan sudah aku bilang, Katarina. Just slowly, di sini nggak ada yang memburu-buru kamu. Kalau begini, Klarinna bisa marah kepada aku."

"Nggak lah," kata Nana mengibaskan tangannya dengan santai. "It's okay, can I practice my Cello?"

"Are you had your dinner, Katarina?" tanya balik Marcell memastikan.

Nana menggeleng jujur. "Belum, nanti deh ya.."

"Katarina.."

"Marcell," desah Nana frustrasi. "It's frustrated me, the songsare really well but I can bring my feel for that songs!"

"You can, Katarina." balas Marcell meyakinkan Nana yang sedang merasa down. "Kamu hanya kurang menikmatinya."

"I did─, but─"

"Hallo? Any there's girl who name's Katarina?"

Nana dan Marcell memutarkan tubuhnya ketika mendengar seseorang menyebut nama Nana. Nana bahkan hampir lupa diri, seharian ini dia menghabiskan waktu di dalam studio hingga tidak sadar waktu, istirahat, dan tekanan yang terus meningkat kala mengingat bagaimana buruknya dia menyanyi.

"Oh, I'm so glad to see you here, Raphael. Your girlfriend totally hard for understand situation, she's depleting her vocal chords." adu Marcell kepada Raphael.

Pria itu terlihat segar, fresh, tampan dengan kaus hitam santainya. Raphael memang selalu terlihat tampan dengan warna hitam, menjadikannya kesan manly dan berani yang membuat Nana terasa diserang sindrom ingin memeluk Raphael segera.

"Coba suruh dia bicara kepada gue, Bang." kata Raphael kepada Marcell, namun kedua matanya tidak lepas menatap Nana yang terlihat gugup.

Marcell hanya bisa menarik napasnya saja, ketika melihat Nana yang malah pergi mengambil Cello dan busur Cellonya. Jika sudah seperti ini, maka Marcell akan menyerahkan Nana kepada Raphael saja.

Maka dari itu, Direkturnya meminta agar orang-orang meninggalkan Nana bersama Raphael di studio.

Nana merasa kesal, kenapa setiap orang yang ada di ruangan ini seakan tidak mengerti soal kesulitannya? Rekaman adalah pressure yang membuat setiap penyanyi terkadang bisa membodohi dirinya sendiri. Nana betul-betul butuh saran Pravinda jika sudah seperti ini.

Membuka buku balok-balok nada-nya, Nana masih diam tak menyapa dan mengindahkan kedatangan Raphael meskipun yang ingin dia lakukan sekarang adalah memeluk pria itu.

"Na,"

"..."

"Katarina," panggil Raphael kedua kalinya.

"Kenapa, Raf?" balas Nana dengan lesu.

Raphael mengambil kursi dan duduk di sisinya tanpa rasa canggung. Nana bahkan sudah dilanda rasa salah tingkah lebih dulu karena menghirup aroma parfum Tom Ford yang sangat Nana kenali.

"Suara lo jelek banget," komentar Raphael.

Mendapatkan komentar seperti itu jelas membuat emosi Nana memuncak begitu saja. Bisa-bisanya, ketika dia merasa feeling down dan Raphael mengatakan hal yang tidak pernah ingin dia dengar?

"KALAU LO CUMAN MAU KOMENTARIN SOAL SUARA GUE YANG HILANG, TOLONG LO MENDING PULANG SAJA." usir Nana dengan penuh penekanan.

Kening Raphael berkerut, membuat Nana menjadi dilanda sangsi. Jangan-jangan dia sudah terlalu kasar kepada Raphael. Tapi ya, kalau dibandingkan dengan apa yang Raphael katakan tadi, pria itu terlalu kejam. Sudah tahu suara Nana seperti kodok masih saja diledek.

Raphael mendekatkan kursi beroda itu dan menggapai lengan Nana. "Lepas dulu," pintanya agar Nana melepaskan busur Cello dan Cello yang masih berada di bagian kedua kaki Nana.

Nana menurut, endpin yang menopang Cello itu akhirnya oleh Raphael dipindahkan. Nana hanya diam saja, ketika Raphael dengan akhirnya duduk kembali, namun tangan pria itu menarik tubuh Nana mendekat.

Nana baru saja dipeluk oleh Raphael.

Parfum yang sudah menempel berjam-jam di tubuh Raphael dengan tambahan feromon pria itu membuat jantung Nana sedikit tenang dari sebelumnya. Aroma musk, wood, bercampur amber dan lily yang sudah Nana kenali bertahun-tahun. Sejak kapan Nana membelikan Raphael parfum?

Saat itu, Raphael baru saja masuk kantor karena bertugas untuk memegang perusahaan cabang Indonesia-Singapore, dan sebagai hadiah hari pertama kerja untuk Raphael maka Nana membelikan parfum Tom Ford untuk pria itu. Namun, ternyata Raphael terus menerus membiarkan Nana mengemban tanggung jawab untuk memberikan Raphael parfum dengan alasan─gue nggak ada waktu buat ke Mall beli parfum, Na.

Pelukan itu begitu ringan, lembut dan tidak memaksa. Nana memejamkan matanya dan menyembunyikan wajahnya di dada Raphael sembari menghela napas berat.

"Wangi banget sih..." gumam Nana dengan suara seraknya.

Raphael hanya berdecak, Nana mengangkat wajahnya dan kedua mata mereka saling bertubrukan untuk waktu yang lama. Tangan kanan Raphael mengelus pelipis Nana dan turun menuju tulang pipi gadis itu. Menciumnya di sana dan membuat Nana memejamkan matanya.

"Gue udah bilang, kan?" bisik Raphael di telinganya. "Jangan capek."

Nana menggeleng putus asa. "Gue nggak bisa, Raf.. Gue ngerasa kurang, feel gue nggak dapat ketika gue nyanyi, makanya gue ulang terus."

"It's a pressure because this is your first mini album?" tebak Raphael.

Nana mengangguk. "Kayaknya iya."

"Then you have enjoy it, Sayang..." balas Raphael menepuk puncak kepala Nana. "Don't pressure yourself, you need to let go of all obstacles in your feelings."

"Iya.. Apa tapi?"

"Mm, kayaknya lo kangen gue deh?" tebak Raphael.

"Kangen?" balas Nana ragu. "Nggak ah."

"Terus?"

"That's song kinda hard."

"Hard? That a strong one?"

Nana mengangguk. Raphael kini mengerti, lalu dia mengusap puncak kepala Nana dan menciumnya. "Istirahat, jangan bicara terlalu banyak agar besok pagi suara lo bisa mendingan."

"Mm-hm,"

Lalu suara asing dari perut Nana meminta untuk diperhatikan. Dalam satu gerakan, Nana melepaskan dirinya dari pelukan Raphael dan menggigit bibirnya malu.

"LO BELUM MAKAN?!" tanya Raphael ngegas.

Nana mengangguk, lalu menyengir tanpa dosa. "... Belum,"

"Shit, pulang sekarang!" ancam Raphael.

Dan malam itu, Nana tidak akan pernah bisa bebas dari incaran Raphael.

***

Kita buat ceritanya menjadi simpel. Pagi ini, Nana dibangunkan oleh telepon Lolita yang mencarinya dengan heboh karena—dibawa kabur oleh Raphael semalam dari studio tanpa ada izin.

Iya, setelah mendengarkan suara merdu perut keroncong Nana, Raphael menggeret Nana menuju restoran siap saji dua puluh empat jam. Memang, apa lagi yang diharapkan selain restoran siap saji? Memasak untuk Nana? Bahkan jika iya pun Raphael lebih memilih membuatkan Nana indomie daripada membiarkan gadis itu kelaparan terlalu lama.

"Raf!" kata Nana dengan heboh, semalam sesudah makan Raphael tidak membawanya pulang dan malah mangkir berujung mondok di apartemen pria itu. "Loli nyariin gue lho ini!"

Raphael yang tengah memasang dasinya malah tersenyum dengan santai. Sementara Nana sudah merasa geram sejak tadi, dia tertidur di ranjang Raphael, bersama Raphael yang kini sudah tampil segar, wangi, dan bersiap untuk kerja.

"Ya suruh aja ke sini," balas Raphael dengan santai.

Nana menghembuskan helaan napas beratnya. "Raf..." rengek Nana. "Gue nggak tahu, kalau gue bakal ketiduran di sini, pasti Loli bakal marah deh."

Seketika Raphael memutarkan tubuhnya melihat kecemasan Nana, pria itu sudah sepenuhnya selesai memasang dasi dan berjalan mendekati Nana yang kini dengan wajah basah, dan pucatnya karena baru saja kembali dari air.

"Jesus," Raphael berusaha menyabarkan dirinya melihat tampilan Nana pagi ini. "Look your face, Sayang. Apa perlu gue fotoin wajah lo sekarang dan kirim ke Bang Marcell?"

Nana menggelengkan kepalanya tak mengerti. "Memang ada apa dengan wajah gue?"

"Sini," Raphael mengajak Nana untuk bangkit dan menghampiri cermin.

Nana menurut, dalam sekejap Nana dihantui rasa khawatir juga. Wajahnya pucat, bibir kering, kantung mata menghitam dan suaranya masih serak.

"Masih bingung kenapa gue menahan lo di sini?" tanya Raphael yang sudah memeluk tubuhnya dari belakang.

Hoodie Raphael memang besar, Nana bahkan dibuat tenggelam olehnya. "Ih! Jangan dekat-dekat dong!"

"Kenapa?"

"Gue bau, belum mandi! Sedangkan lo udah wangi aja!"

Raphael menyengir, namun tidak memedulikan rengekan Nana dan terus memeluk Nana. "Gue ke kantor bentar, habis itu pulang lagi."

"Buat apa?"

"Menjaga lo, Sayang.. Atau mau ke rumah sakit?" tawar Raphael.

Nana menggeleng, meraih wajah Raphael yang ada di pundak kanannya dengan tangannya. "Nggak usah, gue kayaknya memang masuk angin, sama teh manis juga kelar."

"Hadeh..." komentar Raphael.

Nana terkekeh pelan. "Ya udah sana berangkat ke kantor." usir Nana.

"Bentar lagi, ada Bibi Yum datang yang akan hire semuanya." Nana sontak membulatkan matanya. "Sengaja, biar lo istirahat di sini, Sayang. Gue udah kabarin Kak Ina, kayaknya Kak Ina juga tahu dari Bang Marcell."

"Raphael..."

"Apa lagi, Sayang?"

Haduh, jiwa Nana sudah berantakan sekarang. Nana merangkum wajah Raphael dengan kedua tangannya, kenapa rasanya clingy sekali? Dia dan Raphael belum lama jadian, tapi Nana merasa gila karena Raphael.

Jangan-jangan, ini yang disebut mabuk cinta?

"Jangan pergi kerja gimana?" tanya Nana dengan suara pelannya.

Raphael mengangkat alisnya. "Nggak pergi kerja? Buat apa?" goda Raphael.

Tangan Nana turun memainkan dasi Raphael dan mengusap dada bidang itu dengan lembut. "... Di sini aja sama gue."

"Kenapa?" goda Raphael lagi.

Kedua lesung pipit pria itu sangat dalam, Nana tahu Raphael sedang menggodanya sekarang. Memang, apa lagi yang tersisa sekarang? Rasa malunya? Sepertinya memang sudah hilang karena Raphael.

"Mau cuddle sama lo." kata Nana dengan malu, kedua pipinya sudah memerah, dan Nana yakin masuk angin sudah membuatnya tidak waras.

Raphael tertawa, sangat keras dan puas. "Akhirnya, nggak mau lepas juga dari gue."

Apa katanya tadi? "Hah?"

"Ya udah, gue telepon dulu Candra deh.."

"Nggak usah!" tolak Nana cepat, Nana mengambil ponselnya dan mulai mengetikkan sesuatu.

"Lho? Katanya mau ditemenin gue?"

Nana tersenyum kepada Raphael. "Nggak usah, gue udah kabarin Arie buat datang ke sini sama Dinda."

"What?"

"Kenapa?"

"Tadi katanya lo mau ditemani sama gue aja?"

"Nggak usah," geleng Nana dengan wajah sengak, Nana tahu sekarang Raphael sudah keras kepala. "Lo kerja aja.."

"Na!" rengek Raphael kesal.

Nana menatap Raphael dengan geli. "Apa sih?!"

Akhirnya, Raphael tidak pergi ke kantor sama sekali. Bibi Yum sudah datang, membawa beberapa makanan dan bahan masakan yang akan di buat. Nana dengan dadakannya meminta bebek goreng, sambal, nasi, lalab yang sangat tidak terkendali. Dia bahkan tidak memedulikan lagi wajah Raphael yang sudah terlihat bete ketika Arie dan Dinda datang.

"YAY MAKAN-MAKAN!" ujar Nana sembari memeluk Bibi Yum.

"Sangat aneh.." gumam Arie ketika baru saja datang.

Raphael yang sudah berganti baju, mengangguk di sisi Arie. "Benar, baru aja tadi pagi dia bilang mau cuddling sama gue, sekarang dengan cueknya malah mengundang lo dengan Dinda ke sini untuk makan-makan."

Dinda yang mendengarnya malah terkekeh pelan. "Nggak senang banget ya lo, Raf? Merasa waktu berduanya keganggu?"

Benar, dalam hati Raphael membenarkan. Raphael tak sampai hati kalau mau mengomel lagi, wajah Nana setidaknya tidak sepucat tadi pagi, dan gadis itu malah sibuk menghidangkan makanan di atas karpet. Apa lah daya Raphael yang selalu menuruti keinginan Nana untuk makan secara lesehan.

"Kak Ina udah datang belum?" tanya Nana.

Raphael menggelengkan kepalanya. "LO SURUH KAK INA DATANG JUGA?!"

"Iya, sama Marcell."

Jawaban Nana begitu ringan dan enteng. "Gue nggak expect libur gue malah jadi makan-makan sama banyak orang."

"Ya udah, sekalian ajak Candra ke sini, ya?"

"NGGAK!"

"Ih kenapa? Kasihan kan, Candra? Dia hire semua rapat di kantor lho.."

"NGGAK!" tolak Raphael.

Nana tersenyum saja. "Ya udah, nggak apa-apa.. Ayo guys makan! Bibi Yum juga ikut makan ya!"

Nana sudah pergi masuk ke dapur, Dinda tertawa saja melihat wajah sengak Raphael.

"Raf, ngundang tamu tuh banyak rezeki tahu!"

"Ya nggak mendadak gini juga kali!"

"Nana tuh senang sama suasana ramai, Raf. Jadi, kalau dia jadi istri lo nanti, minimal ya makan bersama seminggu sekali."

"Hadeh..." Raphael menggelengkan kepalanya frustrasi.

"Nggak apa-apa," kata Nana sembari melewati mereka membawa beberapa mangkuk kecil untuk sop buah. "Kalau Raphael nggak suka, gue bisa cari calon suami yang baru, yang hobinya makan, suka kumpul-kumpul dan nggak boring di ajak main."

"HEH! MAU CARI CALON SUAMI DIMANA LAGI LO?! NGGAK LIHAT, SEMUA KANDIDAT SUDAH GUE TERABAS DENGAN KESEMPURNAAN GUE?!" kata Raphael dengan percaya dirinya.

Arie dan Dinda tertawa lagi. "Ya... Nggak apa-apa sih, mungkin gue harus mengenal banyak orang lagi."

"Kok lo ngomongnya gitu, sih?!" tanya Raphael seakan baru saja tersakiti.

Nana menggeleng. "Apa yang salah dari ucapan gue?"

"Lo seakan mau cari cowok lain aja. Satu aja, gue nih ya belum lo jajal sampai habis!"

"APA TUH YANG DIJAJAL?!" sambar Arie dengan otak gilanya.

Nana hanya menghela napas. "Berhenti drama, dan kita makan sekarang, gue lapar!"

Suara bel apartemen Raphael terdengar begitu saja, dan Nana sudah pergi menghampiri pintu untuk menyambut tamu yang lain.

"YAH... PAS BANGET, GUE BELUM SARAPAN DAN MENJELANG MAKAN SIANG!" seru Ina dan Marcell yang baru saja datang.

Raphael hanya memijat batang hidungnya, rasanya dia baru saja diterbangkan oleh angan tinggi atas keinginan Nana yang ingin cuddle dengannya, tapi kenapa jadi tidak sesuai ekspektasi?

***

a/n:

Tenang sebelum badai. Xixixi.

"Musibah sedang otw."

─Problem.

Bandung, 29 Januari 2022.

Double update lagi nie, spesial malam minggu...

Vampire.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro