CHAPTER #28
"First love is why you
can called them: truth in
our hearts that it will
last forever."
─Nana
***
CHAPTER #28
***
DULU, ketika semua perasaan belum terjamin Nana pikir menyimpan dan menjaganya sendirian sudah akan menjadi baik. Bahkan, dalam rencana hidupnya selama seperempat abad ini Nana pikir akan lebih baik, sesuatu yang tidak usah diutarakan ya cukup disimpan sendiri saja. Memaknainya dengan sebuah doa atau mungkin harapan.
Bagaimana kita bisa tahu seseorang pantas untuk bersama kita kalau kita tidak mencoba mengenalnya dari awal? Tapi kasus pada Nana, ia tidak lagi membutuhkan perkenalan atau menilai sifat seseorang dari gaya bicaranya. Dia sudah khatam soal Raphael.
Poin plusnya lagi, Nana tidak perlu berusaha menutupi perasaan ataupun hal yang mengganjal yang biasanya tidak dia utarakan kepada pasangannya jika dalam hubungan berkencan.
Nana selalu bersikap canggung, malu, dan setengah-setengah. Banyak pertimbangan yang sering Nana lakukan kepada dirinya sendiri. Apa jika dia seperti ini pacarnya akan suka? Apa jika dia seperti itu pacarnya akan mendukungnya? Apa jika dia bertindak sesuka hati pacarnya akan menerimanya?
Tentu saja hal itu menjadi beban bagi Nana. Tidak ada seorang pun yang bisa membuat Nana bebas berekspresi, meskipun nyatanya sudah pernah dan bahkan hampir─Nana mempercayakan dirinya kepada seseorang yaitu Noah.
Apa dengan Raphael Nana harus memikirkan beban-beban itu? Tidak.
Tapi, bagaimana cara Nana bersikap kepada Raphael jelas tidak akan berubah secepat yang Nana bayangkan.
Sejak tadi pagi, Raphael memang berada di dekatnya, bahkan jika hal tidak penting terjadi seperti dimana fokus Raphael berada atau bagaimana Raphael berusaha menekankan status keberadaan dirinya sekarang jelas membuat Nana berpikir hal yang tidak biasa.
Apa yang harus dia lakukan ketika dia bersama Raphael dalam status yang berbeda ini?
Sentuhan Raphael kepadanya bahkan bukan sentuhan antara sahabat lelaki─kepada sahabat perempuannya. Bukan lagi.
"Gue udah dapat kabar dari Mas Kafka," kata Nana berujar kepada Raphael yang tengah meminum smoothies di sisinya.
Decakan pria itu terdengar sangat keras dan Nana tahu pasti Raphael akan mengomel kembali. "JADI DARI TADI GUE DUDUK DI SINI PIKIRAN LO MASIH MELAYANG─"
"Raf..." tegur Nana dengan lembut. "Bukan soal gue yang cheating on my mind─nggak gitu kok, ya cuman kan nggak enak, Raf. Gue ajak dia ke sini, karena gue tahu dia sibuk as well dengan pekerjaannya makanya gua ajak dia liburan bersama kita di sini, tapi nyatanya? Sekarang dia pergi sama Crystal, gue jadi paham.. Mas Kafka nggak nyaman."
"Nana, menurut lo apa yang Kafka lakukan dengan Crystal selain kabur jalan-jalan?" tanya balik Raphael.
Nana menggeleng, tidak tahu karena apa pun yang terlintas dalam otaknya kali ini tentang ketidak-enakan Nana kepada Kafka.
"Bukannya udah jelas? Cewek, sama cowok baru kenalan─they're have interest each other." kata Raphael kepada Nana.
Nana mendengus. "Sok tahu,"
"Dih, kayak yang nggak tahu hukum alam pedekate berjalan kayak gimana. Lagian, gue percaya Crystal cewek asing yang bisa satu server sama Kafka."
"Masa iya?"
"Berani taruhan? Balik dari Bali, Kafka nggak bakal lagi suka sama lo, tapi suka sama Crystal. Rasa sukanya kepada lo pasti akan luntur."
"... Jadi, cowok tuh memang begitu, kan? Pada dasarnya, ketika nemu yang bening, pasti oleng."
Suara deburan ombak, serta goyangan pada ayunan di atap paviliun mendukung suasana obrolan ringan mereka.
"Coba lo lihat gue, Na." kata Raphael dengan dramatis sembari menunjuk dirinya sendiri.
Nana mengerutkan keningnya bingung. "Kenapa dengan lo?"
"Gue bertahun-tahun suka sama lo, nggak oleng tuh." katanya dengan jumawa.
Nana bersidekap sembari menatap Raphael dengan sangsi. "Lo suka sama gue? Tapi lo jalan dan bahkan sampai tunangan sama Intan? Hebat betul hati lo, bisa di shift begitu?"
Tawa Raphael terdengar begitu saja. "Bukan begitu, Na.. Perasaan mana ada bisa di shift? Lo ini, selalu bikin gue terheran-heran."
"Ya apa lagi Raphael? Ucapan lo tentang menyukai gue tuh non make sense banget."
"Na, tahu nggak Buddha bilang apa?"
"Apa?"
"What is the difference between I like you and I love you?"
Nana menggeleng.
"... Buddha jawab, when you like a flower, you just pluck it. And when you love a flower you water it daily."
Sumpah, Nana berasa otaknya nggak paham dengan apa yang Raphael katakan. "Gue nggak paham, pokoknya selama empat tahun jalan lima tahun ini lo menjalaninya dengan cinta bersama Intan, that's it."
"Sudah gue katakan, bersama Intan itu segalanya menjadi lebih mudah, Na." balas Raphael. "Ibarat kata, perbedaan lo dan perbedaan Intan itu sangat jelas signifikan. Gue, mengambil Intan as a flower yang Buddha katakan, sebagai sebuah destiny yang harus gue jumpai, gue temui, gue ambil, dan gue amati dengan cara yang lekat. Lo, memetik bunga, tidak hanya untuk di lihat, tapi dicium baunya─wangi atau tidak, bentuknya indah atau tidak, dan lo tahu jenisnya atau tidak. Dan gue, sudah melakukan itu nggak hanya pada Intan saja."
"..."
"Kalau lo? Jelas lo adalah bunga yang akan gue pelihara, gue rawat, gue jaga dan gue siram dengan air setiap hari. Lo tahu kenapa?"
Nana menggeleng. "Karena lo, adalah bunga yang gue inginkan tetap hadir, tetap ada, untuk menghiasi hari-hari gue."
Terdengar sangat.. Manis, tapi Nana merasa ginjalnya baru saja di cubit. Jijik!
"Cie..." goda Raphael mencolek pipinya. "Pipinya merah nih, thanks Jesus setelah sekian lama akhirnya gue bisa membuat Katarina salah tingkah."
"NGGAK!" tolak Nana berkilah. Nana membuang wajah ke sembarang arah.
Kalau Raphael sampai tahu efek pria itu sebegini dahsyatnya, pasti Raphael akan besar kepala.
"I love this moment, Na." gumam Raphael.
Raphael mengambil lengannya, menyentuh jari-jari tangan kiri Nana dan mengelusnya. Di sana, tapak gesekan Cello yang sudah bertahan bertahun-tahun hendak disentuh oleh Raphael namun dengan cepat Nana menjauhkan tangannya.
Dia merasa malu, apa yang Bella katakan kepadanya kemarin masih terngiang-ngiang, dia memang tidak memiliki jari yang indah, lancip, jenjang, kurus seperti gadis-gadis lain, jadi ketika Raphael memerhatikan jari-jarinya Nana langsung melepaskannya.
"Na,"
"Jangan sentuh jari gue, Raf. Gue punya jari yang kasar, tangan yang kasar─"
Raphael berdecak dan menarik tangan kirinya dengan paksa. Nana mengerjap lambat, jemari Raphael begitu indah, jauh dengan miliknya dan alhasil membuat Nana merasa kalah sebagai perempuan.
Raphael menyentuh bekas kapalan nan keras itu dengan jari-jarinya. Rasanya, Nana ingin menarik tangannya kembali, tapi Raphael masih menyentuhnya dan mengamati bekas kapalan itu.
"This is so beautiful, Katarina." Raphael mengangkat jari-jarinya dan mencium satu persatu setiap ruas jari Nana dengan lembut dan Nana bisa merasakan embusan napas pria itu di sana.
It's overwhelming, Nana merasa napasnya sesak untuk sesaat karena dia lupa caranya bagaimana bernapas. Raphael masih menciumi jarinya dan menghirup aroma handcream yang Nana pakai.
"Gue suka semua yang ada pada lo, jangan pernah sembunyikan jari-jari lo lagi. Mengerti?"
Oh, tampaknya Raphael tahu akan kebiasaannya. Nana mengangguk begitu saja, Raphael menarik bahunya mendekat sehingga membuat Nana menyerukkan wajahnya di dada Raphael.
"Are you heard that?"
"Apa?"
"My heart beat."
Nana langsung meneguk salivanya dengan gugup, memberanikan diri menyentuh dada Raphael yang keras dan terbalut kaus itu. Degup jantung Raphael begitu keras dan kuat, seakan-akan ada sesosok manusia di dalam sana yang tengah membacakan bahasa cinta kepada Nana.
"Mm, I can heard that."
"Let's make a pact,"
Nana mendongakkan wajahnya. "Kenapa?"
"Lo harus janji jangan kabur lagi dari gue, berapa lama lagi waktu yang kita butuhkan buat menyadari perasaan kita satu sama lain, Na?"
Nana menghela napasnya. Kalau begini, artinya Raphael sudah serius. "Lo kenapa ajak Bella?"
"Dia sebenarnya mau urusin sengketa tanah orang tua dia di sini, Na. Kebetulan aja, ya gue ajak ke sini karena gue udah emosi duluan ketika Crystal bilang kalau lo ajak Kafka."
Raphael dan rasa cemburunya. "Memang niat lo dari awal udah jelek,"
"Ya habis lo nggak pernah ngerti, Nana. Apa gue harus berteriak kalau gue mencintai lo dan tetap memilih lo?"
"Silakan," balas Nana dengan tenang, lagi pula Nana yakin Raphael tidak akan melakukannya.
"I'll doing that."
"Doing what?!" tanya Nana shock.
"Meneriakkan nama lo, dan mengakui kepada dunia kalau gue mencintai lo?"
"Norak,"
"Damn, I am. Gue selalu norak kalau sudah menyangkut urusan lo."
"Raf.."
"Hm?"
"Airbnb yang didatangi sama Mas Kafka dan Crystal bagus banget lho."
Raphael mengerutkan keningnya. "Dimana?"
"Karangasem, Selat. Cuman satu jam setengah dari sini, di sana adem banget."
"Terus?"
"I want take my rest birthday tonight with you, di sana. Berdua. Boleh nggak?" tanya Nana dengan nyali yang sudah menciut.
Raphael tertawa dan mengeratkan pelukannya. Lalu pria itu berbisik. "Ayo, kita kabur."
***
Improvisasi action. Kata Raphael kepada Ina, Marcell, Arie dan Dinda ketika membawa kabur Nana. Jadi apa? Akhirnya, kubu terbelah menjadi dua, ada kubu Karangasem Selat, Bali─dua couple terdeteksi yaitu Kafka, Crystal dan Raphael, Nana. Sementara kubu Seminyak, ada Arie, Dinda dan Ina, Marcell. Sama rata? Jelas, kata Raphael itu pembagian yang sangat adil.
Soalnya, memang ini first birthday Nana bersamanya as a couple. Jelas Raphael tidak mau membagi Nana dengan siapa pun. Akhirnya, Ina mengalah membiarkan Nana pergi menuju Selat bersama Raphael.
Terbiasa dengki, jadi Raphael nggak mau kalah soal-persoalan Airbnb yang Kafka kirimkan pemandangan sekaligus tempat mereka menginap. Gila sih, Raphael pikir memangnya dia tidak bisa mengganggu Kafka? Jelas dia datang untuk mengonfirmasi sesuatu. Soal Crystal, apakah sepupu ceweknya itu sudah mau letting-in cowok baru ke dalam hidupnya.
Well, well, well...
Dibandingkan Seminyak, Villa milik Ina jelas tempat yang Kafka rekomendasikan lebih mengutamakan culture arsistik dan kesan pedesaan yang bisa menyejukkan mata. Ketika datang, Raphael dan Nana disambut oleh Made sekaligus Kafka dan Crystal yang mengenalkan Raphael serta Nana sebagai kerabat mereka.
"Mas Kafka.. Maaf ya, pasti gara-gara aku Mas Kafka ngerasa nggak nyaman dan pergi nggak bilang-bilang? Sori ya, kalau ngerasa di kacangin." kata Nana begitu datang.
Kafka terkekeh dengan santai. "Ya ampun, Na.. Kayak ke siapa aja, datang ke sini juga nggak terencanakan, kebetulan aja Crystal katanya pengen suasana baru."
Nana langsung menghela napasnya dengan lega. "I am so sorry, Mas Kafka.."
"Don't worry, Na. I think you and him?" tunjuknya kepada Raphael.
"Kenapa dengan gue?" sambar Raphael dengan gaya songongnya.
Nana langsung menyikut tubuh Raphael. "Mas, maaf ya.. Maaf banget, aku nggak ada maksud mengabaikan Mas."
Crystal malah tertawa mendengarnya. "Gue baru tahu kalau Nana sepolos ini, astaga.. Maaf ya, ini rencana gue bawa Kafka kabur, Na."
"Hah?"
"Tuh kan, apa gue bilang?!" kata Raphael bersungut-sungut. "Dua manusia ini pasti ada something, Na! Percuma lo khawatirin dia," tunjuknya kepada Kafka.
Nana menepuk dahinya. "Raf, lo kenapa sih? Mas Kafka, maaf ya.. Raphael memang orangnya bersumbu pendek."
"Na!"
Kafka tertawa lagi. "Santai Na, ya Tuhan.. Maaf ya aku nggak kasih tahu kamu kalau aku keluar tadi pagi."
"By the way," potong Raphael berkacak pinggang. "Sampai kapan lo sama dia mau aku-kamu, hah?" tanya Raphael kepada Nana.
Nana mengerutkan keningnya. "Memang kenapa sih? Gue sama Mas Kafka memang udah biasanya kayak gitu─oh wait jangan bilang lo mau gue pakai aku-kamu ke lo?"
"Coba aja!" tantang Raphael.
Nana menghela napasnya. "Oke, let's start. Aku mau kamu jangan─"
"Ugh..." Raphael langsung mengusap kedua lengannya. "Geli Na,"
"APA GUE BILANG?!"
"Ya ampun..." ringis Crystal melihat perdebatan mereka. "Tahu gini, kamu jangan kasih tahu tempat damai ini sama mereka, Kaf. Mereka tuh pengganggu banget."
"LO!" tekan Raphael kepada Crystal. "Sementang udah berdua merasa nggak mau ada yang ganggu, lo sama Kafka pasti─"
"Pasti apa?" sambar Crystal.
Raphael tersenyum penuh makna.
Sementara Crystal.
"Norak! Masuk sana ke kamar lo! Tolong, kalau mau berbuat sesuatu jangan sampai mengeluarkan suara. Main rapi!" tekan Crystal.
Nana langsung membulatkan mata. "Tal, apa sih? Gue kan mau rayain tahun baruan sama kalian juga."
"Nah, gue nggak setuju." jawab Crystal. "Kalau niat, satu Airbnb itu ada dua kamar, lo bisa aja satu kamar sama gue, tapi manusia ini!" tunjuknya pada Raphael. "Malah sewa Airbnb berbeda, di area berbeda, biar apa?! Biar nggak keganggu. Gue paham, Nana."
Nana langsung manyun dan menatap Raphael, sementara Raphael hanya menyunggingkan senyumannya. "Sukses ya," katanya menepuk bahu Kafka.
Kafka hanya mengangkat alisnya. "Pardon?"
"PEDEKATE LO SAMA DIA!" lirik Raphael kepada Crystal.
Lalu setelahnya, Raphael menarik Nana menuju kamar mereka berdua. Sudah dipastikan, Nana akan mendekam di kamar semalaman ini.
Butterfly House itu memiliki dua kamar tidur, dua wastafel, dan taman rahasia yang akan menghubungkan penyewa menuju kamar mandi yang dikelilingi oleh hutan. Awalnya, Nana takut, tapi ketika melihat gaya arsitektur yang ternilai harganya, Nana pikir tempat ini adalah masterpiece. Itu kenapa, alasannya Kafka mengirimkan gambar dan membuat Nana terkecoh akan keindahan tempat ini.
"Ada dua kamar tidur, lo di sana gue di sini." kata Nana berinisiatif.
"Ampun, boros banget." balas Raphael tak setuju. "Satu kamar aja."
"You wanna sharing bed with me again?"
"Ya," jawab Raphael tanpa basa basi.
Nana hanya mendengus, memangnya kalau sudah seperti itu Nana bisa apa?
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, Kafka mengajak dinner bersama, meskipun nyatanya Raphael malah memesan makanan sendiri dan makan di rooftop kamar ini.
Lantai dua, terdapat private screening room yang dilengkapi dengan screen proyektor. Gila, pemandangan malam, dan hening yang disuguhi dengan suara alam membuat Nana merasa tenang.
"Movie night?" tawar Raphael kepadanya.
Nana mengangguk saja, lalu Raphael memilih salah satu film─random, karena tahu apa yang Raphael pilih? X-Men Dark Phoenix.
"Gue belum nonton ini,"
Nana jadi bete. Jadi, dia hanya akan menemani Raphael yang fokus dengan filmnya?
"Raf,"
"Apa?" kata Raphael yang masih fokus memandangi screen proyektor.
"Beberapa jam lagi gue ulang tahun."
Raphael mengangguk sekilas. "Iya, gue tahu."
"Terus? Gue harus nonton X-Men Dark Phoenix sama lo aja?"
Raphael yang mengerti nada suara Nana yang tak biasa saja lantas menoleh. "Kenapa?" tanyanya seperti orang bingung.
"I want deep talk with you."
Setelah mengatakan itu, Raphael mematikan film yang dia tonton. "Okay, pacar Raphael.. Mau seserius apa sekarang?"
Gombal yang klasik, tapi Nana suka. Maka dari itu, ketika mereka duduk saling berhadapan, ditemani lampu cozy─warm seakan mendukung keadaan. Raphael menyelipkan juntaian rambut Nana ke belakang telinga, menatap gadis itu dengan cara yang paling tidak biasa. Sama halnya seperti yang Nana lakukan, gadis itu menatap Raphael dengan cara yang belum pernah Raphael dapatkan sebelumnya.
"Gue mau buat pengakuan dosa." kata Nana kali ini.
"Apa?"
"Kelas sebelas, waktu SMA─that the day you officially with Natasha, gue yang udah simpan surat itu ke loker lo."
Nana menggaruk pelipisnya, malu sih, tapi rasanya nggak afdol kalau nggak menyatakannya. "Gue suka sama lo, karena gue bingung buat ungkapinnya jadi gue kirim surat untuk lo, dan ya.. That's a cringe song that I created for you. Kalau lo tanya kenapa gue bisa suka sama lo, jawabannya gue juga belum ketemu."
"..."
"Lo baik, lo sopan, lo pintar, lo manis, lo penyayang, dan lo peduli dengan lingkungan sekitar. Itu hanya sedikit dari yang bisa gue jelaskan kepada lo, ketika gue menyukai lo."
Raphael memiringkan wajahnya, menumpu wajahnya dengan sebelah tangan dan menikmati suara Nana yang terdengar seperti dongeng indah yang nyata untuknya.
"You can be wrong a lot of the time, absolutely the way you laugh is the most precious to me. Mungkin, itu sebabnya lo begitu mudah dicintai oleh banyak orang." jelas Nana dengan senyumannya. "Tapi, di balik itu semua, ada jalan untuk memulai ketika gue ingin jatuh cinta sama lo."
"..."
"I scared,"
Nana menghela napasnya. "What if instead of making you happy, than I'm or you can breaks we are I won't have the strength for our relationship, I mean our friendship."
"..."
"Itu sebabnya, gue nggak mau lo berharap terlalu tinggi kepada gue, Raf. Even now, we on a happy. Tapi tolong, ketika nanti memang sesuatu hal buruk terjadi kepada kita, let's call the break of and still fix that our relationship as a frienship."
"Kalau gue nggak mau?" jawab Raphael langsung.
"Hah? Kok nggak mau?"
"Lo bicara seperti ini seakan-akan lo dan gue akan mengalami perpisahan, I don't plan do that to you."
"Tapi kan, Raf.. Namanya masalah siapa tahu? Gue sadar diri, gue nggak punya cukup kesabaran untuk menghadapi lo. Kadang-kadang, iya kan?"
"Tapi tetap tidak membuat gue senang atas kata-kata lo tadi. We fight? Let's clear the things on, Na. Untuk mengharapkan sesuatu yang belum pernah terjadi, gue jelas tidak akan berekspektasi tinggi. But please, I want make it right with you, we can be a team work right?"
Nana mengangguk. "Gue tetap menjadi sahabat lo, dan akan terus menjadi sahabat lo yang mencintai lo sebagai pria kepada wanitanya."
"..."
"I love you more than I let on... I'm adore you, fuck enough because I like you since junior high school."
Kedua mata Nana membulat seketika. "APA?!"
"Gue suka lo sejak SMP." kata Raphael mengaku.
Nana tercengang untuk sesaat. "Jadi, tolong Katarina.." Raphael merangkum wajah Nana dengan kedua tangannya yang besar. "I love you, dan jangan berpikir gue akan melepaskan lo."
"Kenapa?"
"I'll plan to fixed my life with you. Mau nggak?"
Kedua mata Nana rasanya memanas, kenapa dari sekian lelaki yang dia temui harus Raphael yang terus menerus membuatnya jatuh cinta berkali-kali.
"Mau nggak?" tanya Raphael lagi.
Nana terkekeh pelan. "Gue baru debut,"
"Dan apa urusannya?"
"Gue mau fokus karir dulu."
"AH BASI!"
Raphael melepaskan tangannya dari wajah Nana, tapi Nana beringsut mendekati Raphael dan memeluk pria itu. "Santai aja ya?"
"Apanya?"
"Jalannya." jawab Nana sembari menyembunyikan wajahnya di leher Raphael.
Raphael menahan rasa itu, rasa dimana napas Nana bisa terasa pada kulit ya.
"Iya," jawab Raphael menyerah.
"Tumben nggak ngajak debat?"
"It's 23.59 p.m, Na."
Nana melihat jam yang melingkar di tangan Raphael. Seketika alarm tahun baru dan pergantian tahun pun menjadi simbolis dimana mereka menemukan perjalanan baru.
"Happy new year," ucap keduanya berbarengan.
Nana terkekeh pelan, namun ketika Raphael mendaratkan ciumannya di pipi kiri Nana, gadis itu tersentak.
"Happy birthday for my favorit Cellist girl."
Nana menyembunyikan senyumannya dan mengangkat wajahnya. "Thank you,"
"And called tonight is our day."
Nana mengangguk setuju. "Ya, it's our day."
Lalu Raphael mencium Nana, Nana menarik tengkuk pria itu dan memeluknya dengan erat. Tahun ini, Nana berjanji akan menjalaninya dengan baik, bersama orang baik yang dia cintai.
***
a/n:
Jadian pas taon baru nggak tuh?! Pas Nana birthday lagi, jadi Nana nie ultahnya kan tanggal 31 Desember, tapi dia suka rayain ultahnya menjelang pergantian tahun. Makanya, dari siang mereka nggak ngapa-ngapain bcs Raphael sangat tau sekali.
Ya semoga langgeng ya.
Nana dan Raphael selalu tetap abadi. WKWKWKWK. Ngaku, pasti waktu SD pernah bikin nama lo sama nama doi disatuin terus pake kata abadi. Abadinya bukan abadi normal, tapi abadie.
nAnA aNd RaPhaEl SelAlU tETaP AbaDiE.
AWOKWOKWOK RECEH BANGET GW:)
"Gue nggak nyangka ini akan
berjalan dengan mulus."
─Nana.
***
Mood Raphael right now:
(kagak usah ikut nyanyi jg)
Bandung, 28 Januari.
Double update lagi.
Lagi Semangat.
─ (Kayaknya biar cepet kelar nggak sie?)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro