CHAPTER #26
"There's line between
love and hate, but you?
You're my eternal enemy."
─Raphael
***
CHAPTER #26
***
PERASAAN tidak enak tuh memang selalu datang dengan cara yang tidak terduga. Raphael, datang bersama teman perempuannya yang belum pernah Nana ketahui, tapi dari cara bagaimana Raphael memperkenalkan namanya, Nana rasa tidak asing lagi mendengar nama Bella.
Bella itu salah satu pacar, dari sekian perempuan yang pernah Raphael pacari bahkan ketika bersama Intan. Nana ingat, Bella adalah gadis yang menjadi selingkuhan-selingan Raphael demi membalaskan rasa dendamnya kepada Intan yang punya selingkuhan juga. Sinting.
Nana tidak bisa lagi percaya kepada Raphael, membayangkan jika dirinya harus terjebak bersama Raphael rasanya akan capek hati.
Jadi, Bella itu tipikal cewek cantik, yang selalu menyentuh perawatan mahal dan kulitnya yang bening begitu menyilaukan mata. Warna rambutnya cokelat dan hasil pewarna yang ditata oleh salon ternama. Kedua matanya bahkan memakai extension mahal nan rapi yang membuat kedua mata itu terlihat lentik dan indah ketika mengedipkan mata.
Nana sampai insecure dibuatnya. Dia bahkan public figure, penyanyi, tapi tidak setelaten Bella yang memiliki kulit dan wajah terawat. Hebat, memang cocok disandingkan dengan kepribadian Raphael yang royal.
"Hai, jadi kamu Nana? Sahabat Raphael?" sapa Bella kepadanya.
Nana mengangguk dan mengulas senyuman tipis. "Iya, salam kenal ya."
Lalu Bella mengajaknya berjabat tangan. Salah Nana, sih, karena dia memberikan tangan kirinya sebagai jabatan tangan itu, jelas karena tangan kanan Nana baru saja menyentuh gurita mentah yang baru saja akan di olah.
"Salam kenal jug─ah! Jari kamu kasar sekali.. Pasti kapalan ya?"
SINTING!
Nana langsung mengerjap kesal dan melihat bagaimana Ina bereaksi pun ikut membuat Nana khawatir. Belum apa-apa, Bella sudah mengibarkan bendera perang? Dan apa lagi? Coba lihat reaksi Raphael? Dia malah tertawa tanpa malu?
"Sori, tangan gue memang kasar." kata Nana sembari mengusap jari-jarinya yang memang sudah kapalan.
Hasil dari bermain Cello memang menimbulkan bekas, dan salah satunya kapalan pada buku-buku jarinya. Tapi sepertinya Bella tidak akan mengerti, dan Raphael pun malah mentertawakannya.
"Ini kapalan karena Nana suka bermain Cello, Bella." kata Dinda berusaha membela Nana. "Nana bukan tukang kerja rodi, tapi dia Cellist."
"Oh..." respon Bella yang sangat menyebalkan membuat Nana buru-buru menyembunyikan tangannya. "Tapi kan nggak seharusnya tangan cewek itu kasar, tangan cewek itu harusnya lembut."
OH WHAT EVER! Rasanya Nana ingin berteriak di hadapan wajah itu. Nana menoleh kepada Raphael yang kini tengah mengulas senyuman. Sudah, ini sudah keterlaluan dan bagi Nana bukan urusannya untuk meladeni ocehan Bella dan Raphael yang sangat tidak penting.
Kafka baru saja turun, pria itu lebih segar daripada tadi pagi. Rambut hitamnya berkilat basah, wajahnya tampak bersih dan tubuhnya yang besar dan bidang membuat Nana menahan napasnya seketika.
Tidak hanya Nana, tapi Kafka sudah menjadi tontonan semua orang sekarang.
"Hei, udah puas main airnya?" sapa Kafka mencium pelipisnya.
Duh, jelas Nana kaget dong. Karena ini tidak pernah direncanakan sebelumnya, tapi sebisa mungkin Nana menjaga ekspresi wajahnya.
"Aku nggak main air, Mas." jawab Nana kepada Kafka.
Nana bisa melihat wajah malas Raphael yang kini sudah mengetatkan rahangnya. Lalu tangan Kafka kini meraih lengan kanannya dan mengangkatnya. "Kamu lagi masak sesuatu?"
Nana mengangguk. "Cuman mie instan seafood. Kebetulan, Chef pribadi yang Kak Ina minta belum bisa datang siang ini."
"May I help you?" tanya Kafka kepadanya.
Nana mengerjap cepat dan bersikap kaku. "Di dapur?"
"Ya iya lah, dimana lagi Nana? Mas bantu kamu ya?"
"Tapi Mas, aku nggak apa-apa kok. Kamu gabung sama Arie aja di luar sana."
"Panas," keluh Kafka kepadanya. "Di dalam adem, dan Mas bisa masak sama kamu, okay?"
Nana mengangguk kaku, Dinda hanya bisa menghela napas berat kala melihat drama baru di mulai. Dan bagian bodohnya, Nana harus melihat respon wajah Raphael yang tengah menatapnya dengan tajam. Ah, persetan. Nana tidak merasa dia membuat kesalahan.
"Raphael mau makan juga, nggak?" itu jelas bukan Nana yang menawarkan. Tapi Bella yang tengah buka suara.
"Nggak," jawab Raphael.
"Aku bisa masak juga kok, kalau kamu mau." kata Bella lagi kepada Raphael.
Kafka langsung berbalik dan berkata. "Oh, it's okay, siapa kamu?" tunjuknya kepada Bella.
Bella menunjuk dirinya sendiri. "Bella,"
"Ya, Bella teman Raphael." kata Kafka memperjelas status Bella. "Saya dan pacar saya bisa membuatkannya untuk kamu dan Raphael."
"SERIUS?!" tanya Bella antusias.
Kafka mengangguk. "Serius, soal dapur serahkan kepada saya dan pacar saya saja. Karena saya pikir, tangan kamu hasil meni pedi mahal, kuku kamu bisa rusak jika kamu memasak." balas Kafka telak.
Dinda menyemburkan tawanya yang tertahan, sementara Nana sudah bergerak acuh mencuci baby gurita itu dengan telaten di bawah air yang mengalir. Punggungnya terasa panas, barangkali sepasang mata milik Raphael sedang menghunus punggung sempitnya. Jadi, Nana memberanikan diri menolehkan wajahnya ke belakang dan tada! Raphael memang sedang menatapnya dengan bengis.
Nana menghela napasnya, Kafka beringsut menggeser tubuhnya dan membuat Nana tersenyum. Pria itu menundukkan wajahnya dan mendekati telinga Nana.
"You did well," bisik Kafka kepada Nana.
Nana mendongak dan mengangkat satu alisnya. "Apa?"
"Kamu bersikap lebih sabar ketika kamu bisa saja marah karena sikap kurang ajar dia."
Nana langsung mengerti. "Oh.."
"Soal jari kamu," ujar Kafka kini mengambil tangan kirinya.
"... Ya?"
"This is art, Na. You doing art to your fingers, and I like it."
Nana terharu, sumpah. Dari sekian kekurangan yang dia miliki, dia memang memiliki jari-jari yang kapalan. Tapi baru kali ini, seseorang menghargai kekurangan yang Nana miliki tanpa menghinanya. Bahkan, ucapan Bella seakan menjadi angin lalu bagi Nana meskipun sangat terdengar menyakitkan.
"MINGGIR!" tubuh Nana terhuyung begitu saja jika Kafka tidak menahannya.
Siapa lagi pelakunya? Jelas Raphael Naryama Arjanta.
Pria itu menggeser tubuh Nana dengan kekuatannya, membuat Nana hampir saja terjatuh. "Mau apa sih lo?!" bentak Nana kepada Raphael.
"Ya gue mau masak juga?! Kenapa?! Nggak boleh?! Merasa berhak kalau dapur ini milik lo dan pacar tua lo ini?!" bentak Raphael tak mau kalah.
Gila, Nana berdesis kesal dan mengangkat baby gurita dari synk. "Of course, you can do a cooking─bagusnya memang jadi nggak merepotkan gue dan pacar gue!"
Kafka yang melihat perdebatan itu hanya bisa tersenyum sembari menggelengkan kepalanya saja. Hubungannya dengan Sora belum selesai dengan pasti, tapi di sini dia malah membantu gadis yang sudah menjadi temannya satu bulan ini agar berhasil dengan cinta masa remajanya? Apa dia waras?
***
Karaoke malam memang selalu menjadi pilihan yang tepat ketika kumpul bersama. Di atap paviliun, terdapat bar outdoor yang sengaja Ina buat untuk bersantai. Dilengkapi oleh layar in-focus dan perlengkapan home teather jangan tanya suara manis dan merdu milik Nana akan menyapa gendang telinga para penghuni villa.
Di mulai dari Bella, ternyata dia cewek yang cukup ekstrovert, dia dengan mudah berkenalan dengan banyak orang, bahkan kini sudah saling kenal dengan Kafka dan Crystal. Hanya Dinda, Arie dan Nana yang masih satu frekuensi dalam tim julitawati.
Meskipun Kafka selalu ada di sisinya, Nana tidak pernah sekali pun mengabaikan pria itu. Apa lagi, Marcell dan Kafka itu satu aliran. Sama-sama nyambung ketika membahas pergerakan saham, meskipun otak saham seperti itu sudah jelas memiliki grup tersendiri seperti Arie, Raphael dan Ina.
Raphael menyaksikan bagaimana membosankan trip dadakan yang direncanakan untuk Nana. Awalnya, dia tidak tertarik, tapi ketika tahu Nana ikut serta dan Crystal mengirimkan foto Nana saat di pesawat, rasa ingin mengejar Nana jadi menggebu-gebu. Dia mendapatkan pesan dari Crystal bahwa Nana tidak liburan sendirian, melainkan ternyata Kafka si pria tua itu pun ikut datang dan mereka berdua berhasil menyulut emosi Raphael ketika dengan bangganya memamerkan status baru mereka yaitu berpacaran.
Raphael langsung di buat bungkam, lagi-lagi Nana mendorong jauh dirinya agar menyerah begitu saja kepada gadis itu. Padahal, yang mulai membangunkan perasaan Raphael itu siapa lagi pelakunya kalau bukan Nana?
Dan sekarang, gadis yang tengah Raphael pikirkan dan ia amati sejak tadi dengan santainya tengah bernyanyi dengan tenang.
"... Sadar ku tak berhak untuk terus memaksamu,"
"... Memaksamu mencintaiku sepenuh hati."
"... Aku kan berusaha untuk, melupakanmu."
"... Tapi terimalah, permintaan hatiku."
Malas, Raphael membuang wajahnya ketika menyadari lirik yang Nana nyanyikan. Di sisinya, Arie hanya mendengus menertawakan Raphael yang tengah menahan emosi.
"Lo kenapa ajak Bella ke sini?" tanya Arie kepadanya.
Raphael mengangkat bahunya acuh. "Gabut,"
"Goblok, besok malam Nana ulang tahun. Jangan cari ribut, janji sama gue." bisik Arie kepada Raphael.
Ya memangnya Raphael lupa? Jelas tidak! Tanggal tiga puluh satu Desember adalah tanggal keramat yang selalu ia ingat seumur hidup.
"... Genggam tanganku, sayang. Dekat denganku, peluk diriku. Berdiri tegak, di depan aku, cium keningku untuk yang terakhir."
Nana mulai berdiri, membuat semua orang menyerukan namanya dengan semangat.
"... Ku kan menghilang, jauh darimu, tak terlihat sehelai rambut pun. Tapi di mana nanti kau terluka, cari aku, ku ada untukmu..."
Dalam satu tarikan napas, Nana memutar tubuhnya dan memejamkan matanya ketika menghayati lirik lagu yang dia nyanyikan.
"... Tapi di mana nanti kau terluka, cari aku.. Ku ada untukmu..."
"WOOOO! NANA DAMARYS IS HERE!" teriak Marcell dengan bangga atas pertunjukan sederhana dari talent-nya.
Nana membungkukkan tubuhnya dan meraih gelas berisi wine. Gadis itu meminumnya sembari menatap Raphael dengan penuh dendam. Setelahnya, yang melanjutkan nyanyi adalah Raphael.
Raphael bangkit mendekati Nana dan menjulurkan tangannya meminta mic. "Mana?"
Nana memberikannya dengan setengah kesal. Lalu, gadis itu pergi meninggalkan Raphael yang tengah memilih lagu.
"... Senyumanmu, masih jelas terkenang. Hadir selalu seakan tak menghilang dariku."
Suara bariton Raphael mengundang hening semua orang. Kini, tak hanya Nana yang terkejut, sejak kapan Raphael punya suara sebagus itu. Bahkan, Nana baru mendengarnya sekarang.
Bella menjadi suporter pertama yang menyemangati Raphael. Marcell mendengarkan Raphael dengan penuh antusias.
"... Takkan mudah, ku bisa melupakan segalanya, yang telah terjadi di antara kau dan aku."
"... Di antara, kita berdua."
Nana merasa telinganya panas sekarang. Melihat bagaimana dengan sengaja Raphael menyerangnya lewat lagu.
"... Kini tak ada terdengar, kabar dari dirimu!"
Raphael mulai menyanyi dengan penuh emosi hingga tonjolan urat nadi pada tenggorokan pria itu terlihat dengan jelas.
"... Kini kau telah menghilang, jauh dari diriku. Semua tinggal cerita antara aku dan aku. Namun satu yang perlu engkau tahu, api cintaku padamu tak pernah padam."
Kedua mata Raphael menatapnya dengan sarat yang dalam. Sesuatu hal baru Nana rasakan lagi, detak jantungnya menggedor rongga Nana lagi dan Nana yakin dia tidak pernah merasa seperti ini dengan pria lain.
Bahkan, dengan Kafka sekali pun.
Seolah tahu, Nana dan Kafka adalah cerita yang tidak akan pernah bisa memulai cerita baru. Dia dan Kafka hanya teman-yang saling mengungkapkan rasa frustrasi karena sayang kepada orang yang sudah dikasihi selama bertahun-tahun. Meskipun begitu, Nana tidak menutup kemungkinan kalau Kafka memang ada niat untuk mendekatinya.
Nana tak mau berlama-lama mendengarkan Raphael bernyanyi. Dia memutuskan untuk pamit pergi ke kamarnya sebelum semuanya menjadi berantakan. Bukan hanya untuk dirinya saja, Nana juga ingin menjaga emosi sekitar agar tetap memiliki liburan yang menyenangkan.
Perasaannya dan permasalahannya dengan Raphael tidak berhak dikorbankan pada yang lain, cukup Nana keep sendiri saja.
"Kabur adalah jalan ninja lo."
Nana baru saja menutup tirai kamarnya dan embusan angin besar dari pantai menyapanya dengan dingin di tambah suara berat dan bariton Raphael mengejutkannya.
"Lo ngapain di sini?" tanya Nana kepada Raphael. "Bella mana?"
Oh, for your information─Bella dan Raphael berada dalam satu kamar yang sama.
"ARE YOU DUMB?!" suara Raphael memenuhi ruang kamarnya yang besar. Pria itu langsung menutup pintu kamar Nana dengan tendangan kakinya.
"Wait," Nana mengangkat kedua tangannya mengisyaratkan agar Raphael tidak mendekat ke arahnya. "Lo mau ngapain? Gue mau istirahat please jangan ajak gue debat malam ini."
"GUE CARI LO DAN LO TANYA BELLA?! FOR REAL, KATARINA?!" bentak Raphael kepadanya.
Wah, sepertinya Raphael tidak bisa lagi menahan emosinya hingga membuat pria itu mengeluarkan taringnya.
"DAN KENAPA LO MARAH-MARAH SAMA GUE?!" teriak Nana tak mau kalah. "Are you out of your mind?!"
"GUE KANGEN SAMA LO SIALAN!" teriak Raphael yang kini menarik tangan Nana hingga tubuhnya bertubrukan dengan dada bidang Raphael.
Nana memejamkan matanya, dia tahu dengan benar seberapa kekar dan bidangnya dada Raphael.
"... Ya, gue kan nggak tahu."
Napas Raphael melambat seiringnya waktu ketika melihat Nana ketakutan. "Lo pacaran sama dia?" tembak Raphael tanpa basa basi.
"Dia?" jawab Nana bingung, lama berpikir lalu Nana mengangguk cepat mengerti apa yang Raphael maksud. "IYA!"
Raphael memasang senyuman jahilnya dan mengusap sisi wajah Nana dengan jari-jarinya. "You're not a good liar."
Nana meneguk salivanya dengan gugup lalu mendorong dada Raphael. "KELUAR!"
"Nggak," balas Raphael keras kepala. "Gue akan tidur di sini."
"HEH!"
Raphael merebahkan tubuhnya dengan enteng di ranjang Nana dan membuat Nana membulatkan matanya melihat sikap Raphael yang seenaknya.
"Sini," kata Raphael setelah menepuk sisi ranjang yang kosong.
Jujur, hari ini Nana sudah sangat merasa kelelahan. Dia dan Kafka, berakhir menjamu, dan memasak besar untuk semua orang. Tidak ada yang membantu lagi selain Kafka, jadi Nana pikir akan nyaman jika dia bisa tidur cepat, tapi Raphael dengan kurang ajarnya malah..
"Sini!" ajak Raphael lagi menepuk ranjang itu.
Nana menghela napasnya dan mengalah duduk di sisi ranjang. Tahu-tahu, Raphael menarik bahunya dan membuat Nana terlentang di atas ranjang dengan pekikan yang kaget.
"Raf!"
"Sshhht," Raphael membungkam bibirnya dengan tangannya. "Jangan berisik, nanti Bella tahu gue ada di sini."
Nana langsung menyingkirkan tangan Raphael. "Ya lo ngapain di sini kalau niat ajak dia liburan hah?!"
"Ya lo ngapain juga ajak si Kafka, hah?!"
Oh memang tidak akan selesai. Nana menarik napasnya, belum dia mengeluarkan napasnya Nana sudah dibuat terkejut karena Raphael tiba-tiba menyerukan wajahnya di lekukan leher Nana.
"Oh God.. I miss you." gumam Raphael di leher Nana.
Nana bergerak tidak nyaman, jelas dia merasa tidak nyaman karena sesuatu terasa kasar menggesek kulit lehernya. "Raf," panggil Nana.
"Mm?"
"Udah berapa lama nggak cukuran?"
Raphael sontak mengangkat wajahnya dan kedua matanya bertemu dengan dua bola mata besar Nana. "Nggak tahu, gue nggak ingat. Lupa."
"Ck," tangan Nana dengan inisiatifnya mengelus rahang Raphael.
Raphael yang mengerti sentuhan lembut Nana langsung menahan tangan gadis itu. "Jangan berengsek dong, Na. Lo itu cewek, kok bisa-bisanya mainin perasaan cowok?"
Apa tidak berbalik? Nana langsung mendorong tubuh Raphael dan memposisikan Raphael di bawahnya sekarang. "OH! Jadi, gue yang memainkan perasaan lo?!"
"Iya, emang ada cewek yang nggak berengsek kayak lo? Ketika gue mau, lo malah jalan sama cowok lain. Biar apa?" tanya Raphael kepadanya dengan nyolot.
Nana menampar wajah Raphael dengan gemas. "Gue nggak berengsek! Lo yang berengsek sama hati gue, Raphael Monyet!"
"KAPAN GUE BERENGSEK SAMA LO, KATARINA?!" tanya Raphael tidak terima.
Nana bangun dan membiarkan Raphael menatapnya dengan puas dari posisi terlentangnya.
"Jujur, gue capek." kata Nana kali ini.
"Capek kenapa?"
"Ya capek, Raf. Emang lo nggak capek? Kita terus kayak gini."
"Maka dari itu," jawab Raphael dengan wajah jumawa. "Coba lo nurut sama gue, jatuh ke dalam pelukan gue, maka semuanya akan beres."
"..."
"Mau nggak?" tawar Raphael dengan wajah songong luar biasa.
Nana menggeleng, dia pergi melepaskan anting dan cincin yang ada pada jarinya. Tidak disangka, ternyata Raphael mengikutinya ke meja rias.
"Apa lagi salah gue, Na?" tanya Raphael memandang Nana dari pantulan cermin.
Nana mendongak, membalas tatapan mata Raphael dan menggeleng. "Lo nggak salah, yang salah gue."
"Sweet, Jesus... You're my eternal enemy." Raphael menundukkan wajahnya dan menyingkirkan lengan baju Nana yang tersampir pada bagian pundak.
Awalnya Nana ingin melawan, tapi ketika Raphael melabuhkan ciumannya di atas bahu, yang ada Nana malah dibuat mematung dan nggak bisa menolak sama sekali. Memang, efek Raphael kepadanya selalu seperti ini.
Tangan besar itu mengelus dan mengusap bahu Nana. Yang awalnya lengan bahu kanan, kini Raphael menurunkan baju lengan kiri dan mengecupnya bergantian.
"I imagined this scene before I do it to you. Membayangkan lo menjadi istri gue, how cute, Na?"
Cute mata lo! Nana hanya bisa terdiam, meskipun di dalam hatinya dia mengutuk diam-diam. Raphael mencium tengkuknya dan turun di lehernya. Nana berusaha menahan erangannya sendiri dan ketika Raphael menyudahi semuanya dan mencium pelipis Nana, pria itu berbalik meninggalkan Nana. Nana langsung menarik lengan Raphael.
"Lo mau kemana?" tanya Nana tak rela melihat kepergian Raphael.
"Gue mau balik ke kamar gue." jawab Raphael.
"... Dan tidur sama Bella?" sindir Nana.
Raphael mengangguk dengan kurang ajarnya. "Kecuali, lo mengizinkan gue untuk tidur bersama lo, maka gue tidak akan tidur bersama Bella."
Nana mengangguk cepat. "Lo tidur sama gue,"
"It's that okay?"
"Ya," Nana mengangguk yakin. "Gue mau tidur sama lo."
Nana yakin, ada yang salah dengan otaknya malam ini.
***
a/n:
Apakah Bali akan menyudahi semua drama ini? Kita lihat. Soalnya, dua-duanya udah saling ngegas aja nie, kesel sama kesel kan lucu ya tinggal tunggu meledaknya kapan.
Spesial hari ini, double update!
Bandung, 27 Januari 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro