CHAPTER #25
"Cause you loved, by me.
Since old, until now."
─Raphael
***
CHAPTER #25
***
[ Apakah akan ada pengakuan cinta? ]
{ let's see then }
VILLA WITH PRIVATE BEACH AT SEMINYAK, BALI. Memang terdengar mewah, apa lagi setelah di lihat-lihat memang arsitekturnya saja bergaya modern villa-beach yang nggak sembarang umum bisa keluar masuk. Punya siapa? Jelas punya Sultan Antonova Klarinna Sie Damarys. Villa ini memang dirancang sangat besar, sesuai dengan impian Ina agar bisa menampung banyak tamu.
Nana ingat, villa ini sebagai hadiah terakhir yang Papa beri untuk Ina. Nana tidak menginginkan hadiah apa pun pada saat itu, tapi Papanya memberikan beberapa aset mentah yang harus Nana kelola jika Nana─membutuhkannya di masa depan nanti.
Enam kamar tidur, dan sepuluh kamar mandi, ada paviliun besar yang langsung menghadap ke arah pantai. Pantai itu sengaja dibuat private karena Papa sangat mengenal pribadi Ina yang tidak suka di ganggu. Pemandangan langsung mengarah ke Samudera Hindia. Villa modern itu memiliki beberapa spot yang membuat semua orang memekik kaget.
"This is your Villa, Kak?" tanya Arie kepada Ina.
Ina mengangguk malu. "Iya, enjoy ya.. Anggap aja rumah sendiri, jujur gue juga jarang datang ke sini. Apa lagi, Nana bukan beach person, gue juga sama. Jadi, ya alhasil gue sama Nana nggak pernah benar-benar liburan ke sini."
"This is stunning place!" puji Dinda yang masih terpukau dengan villa milik Ina.
Crystal pun berlaku serupa, dia sampai berdecak berkali-kali. "Kira-kira berapa budget yang lo keluarin buat villa ini, Kak?" tanya Crystal.
Ina menggelengkan kepalanya dan terkekeh pelan. "Ya sekitar.."
"As expected, jawaban lo sama kayak jawaban si Raphael ketika gue tanya berapa biaya yang dia habiskan buat Mansion dia di California."
"RAPHAEL PUNYA MANSION?!" teriak Arie heboh.
Crystal mengangguk. "Iya, tiga tahun yang lalu I think? Lo semua belum pernah di ajak ke California sama Raphael?"
"Wah.." Arie speechless, diam-diam ternyata Raphael menanam segudang kekayaan. "Si Bangsat itu mana pernah cerita kalau punya ini dan itu, sebesar apa Mansion dia di sana?"
"Sayang.." tegur Dinda kepada Arie. "Nggak usah dengki gitu deh, kamu bersikap seakan-akan kamu nggak mampu bangun Mansion."
"Ya kalau aku mikir-mikir dulu Yang?! Mana ada orang waras segampang itu ngebangun Mansion? Di California? Aku mikirin pajak pembangunan dulu kali!"
"Ya namanya juga, Raphael." kata Nana ikut bergabung. "Kalau nggak sok misterius, ya punya banyak rahasia."
Semua orang lalu tertawa, Nana mendapatkan kabar kalau Kafka akan sampai beberapa jam lagi. Oh jelas, pria itu Nana beritahu soal trip dadakan ini.
"Pilih kamar masing-masing deh, ya.." kata Ina kepada semua orang. "Gue mau istirahat duluan, semoga cukup. Karena gue, satu kamar sama Marcell."
Arie dan Nana mengangguk. "Gue sendiri, no debated. Crystal juga harus sendiri, biar enak."
Crystal terkekeh pelan. "Padahal, gue sih oke-oke aja kalau mau satu kamar sama lo."
"Lah, katanya Raphael mau datang?" cetus Ina kepada Crystal.
"Iya, dia datang tapi kayaknya besok deh.."
"Kalau Kafka kapan, Na?" tanya Ina kepada adiknya.
"Katanya bentar lagi."
"Berarti.. Sisa dua kamar, right? Dinda sama Arie satu paket, dan dua kamar kosong berarti buat Kafka dan Raphael."
"Gue satu kamar sama Mas Kafka juga nggak apa-apa, kok." cetus Nana tanpa dosa.
Ina hanya memutarkan bola matanya dengan malas. "Nggak usah cari penyakit, nanti Raphael tahu bisa berabe."
Nana berkacak pinggang mendengarnya. "Kenapa ya, kesannya kayak gue tuh udah punya hubungan sama Raphael, padahal gue tuh nggak ada apa-apa sama dia."
"Ya lo kayak nggak tahu aja kelakuan Raphael," omel, Arie kepadanya. "Manusia itu kalau udah menyangkut urusan lo kan, rewel banget!"
"Excuse me, what's going on right now?" tanya Crystal dengan hati-hati.
Arie langsung terkekeh pelan. "Oh, lo belum tahu ya? Jadi, Nana sama Raphael itu sudah punya bibit-bibit lovey-dovey yang nggak pernah tersampaikan."
"Hah?!"
Nana langsung meringis. "Nggak kok, Tal, forget it nggak usah dipikirin, Arie ngaco."
"Biasa, Crystal.." kata Dinda kali ini. "Persahabatan antara cewek sama cowok ya kalau nggak jadi mantan sahabat ya, mereka saling suka."
"HAH?! Oh..." seketika senyum Crystal terbit begitu saja. "Jadi, Raphael sudah mulai gerak, nih?"
Kening Nana berkerut tak mengerti. "Maksud lo?"
"Santai, Na.." kata Crystal mengusap bahu Nana. "Udah jadi rahasia umum kok, kalau Raphael has a feeling towards you."
Arie tiba-tiba menjentikkan jarinya. "NAH, KAN! Crystal aja orang jauh tahu lo, Na."
"... Dan gue satu-satunya yang nggak tahu?"
Crystal, Arie dan Dinda mengangguk bersamaan. "Kalau urusannya lo, Raphael memang suka mendadak bego, dia nggak pernah seberani itu menyatakan perasaannya."
Nana menggelengkan kepalanya. "He doesn't love me, jangan aneh-aneh, toh dia juga bertunangan dengan Intan selama sekian tahun."
"That's why I called him stupid." balas Arie kepadanya. "Kalau dia nggak bodoh, kayaknya lo sama dia usah bisa mulai dari SMP."
"Najis," umpat Nana dengan sejujur tubuhnya yang merinding.
Arie tertawa. "Nikmati ya, Na.. Kebodohan cowok yang lo sukai sekian tahun."
Liburan kali ini sepertinya benar-benar suram. Saking suramnya, Nana tidak tahu harus bersikap seperti apa jika ada Kafka nanti saat pria itu datang.
Jangan-jangan, Kafka bisa merasakan perasaannya kepada Raphael?
***
Kafka baru saja sampai beberapa menit yang lalu, Nana menunjukkan kamar pria itu untuk beristirahat. Well, perjalanan Singapore menuju Bali ya cukup lumayan juga, apa lagi Nana pikirnya Kafka ini kerja─otak dan raganya sudah dikuras, jadi dia memutuskan untuk mengantar makanan ke kamar pria itu.
Kafka memang datang cukup pagi, itu kenapa Nana punya inisiatif untuk breakfast bareng sama Kafka di kamar pria itu yang berada di lantai dua dengan view yang langsung menghadap ke arah pantai.
"Mas?" Nana mengetuk pintu kamar Kafka.
"Come in, Na.. Nggak aku kunci kok."
Nana mendorong pintu kamar itu dan melihat Kafka yang tengah setengah berbaring di atas ranjang.
"Hai, capek ya?" sapa Nana basa basi, padahal jantungnya sudah melorot ke usus karena melihat ketampanan Kafka.
"No I'm okay─that's our breakfast?" tunjuk Kafka kepada nampan makanan yang Nana bawa.
Nana mengangguk. "Nggak keberatan kalau kita sarapan bareng, kan? Setelah sarapan, Mas Kafka bisa tidur."
"Okay, Na.. I'm always ready for it,"
Nana mengulas senyuman lega. Lalu dia berinisiatif untuk duduk di sofa dan menunggu Kafka yang tengah menggulung lengan kemejanya.
Pria itu terlihat tampan dan matang, ya sesuai dengan umurnya yang seharusnya sudah memiliki istri dan─dilayani. Memikirkannya membuat pipi Nana merona, jika dia memposisikan dirinya saat ini dengan Raphael maka Nana akan.. Wait, why Raphael again, Na? Teriak Nana dalam batinnya.
"How are you?" tanya Nana kepada Kafka. "Kayaknya capek banget?"
"... Just usual things, you know? Singapore was crowded in this week, pas tahu kamu ngajak trip ke Bali I think this is not bad idea, I need me time too."
"Oh syukurlah.." kata Nana yang sudah memakan sandwich-nya. "Aku takutnya kerjaan Mas Kafka minggu ini full, dan lagi.. Mas Kafka belum selesai sama Sora. Gimana kabar Sora?"
Ya, jangan kira Nana adalah tempat pulang Kafka. Mereka belum seserius itu, hanya saja Nana dan Kafka berusaha mengambil jalan tengah─jalani dulu saja. Karena sejatinya, Kafka adalah pria yang sudah bertunangan.
Sad? Sangat. Entah kenapa Nana harua selalu berhadapan dengan pria yang sudah dimiliki oleh wanita lain.
"Sora masih tetap dengan keputusannya." balas Kafka. "Seperti yang aku bilang, Na. I need a space, and Sora same as me—she needs a space agar tahu keinginan yang akan dia tentukan."
"Sulit ya jadi orang dewasa." gumam Nana setengah mengeluh.
"Ya begitu, Na. Sulit karena harus banyak kompromi. Padahal, aku tipe lelaki yang banyak improvisasi daripada perencanaan."
"You did well, Mas Kafka.. Kalau kata Oma aku, yang dilihat dari lelaki itu ya usahanya."
"And I'm? Look so, effortless gitu?"
"Jangan salah sangka, aku suka sama usaha Mas Kafka dengan memberikan ruang untuk Sora. Nggak terkesan maksa dan nuntut, malah aku pikir Mas Kafka pantas menerima yang lebih baik dari Sora."
Kafka terkekeh pelan. "Bahkan aku nggak tahu apa aku pantas buat Sora ataupun orang lain."
"Hei.." tegur Nana tidak suka. "Kok jadi insecure gini, sih?"
"Kalau kamu?" tanya Kafka balik. "Gimana progresnya sama Raphael?"
"Am I?" tanya Nana dengan wajah shock. "Apa aku terlihat akan berprogres sama dia, Mas?"
"Obviously, Katarina. Orang buta pun bisa merasakan bagaimana kerasnya kalian saling mencintai."
Rasanya Nana ingin muntah. "Duh, kok aku mual dengarnya ya, Mas?"
Kafka tertawa puas meledek Nana. "Don't over-react Nana. Kalau dia jadi jodoh kamu seumur hidup, kelar hidup kamu terjebak sama dia."
"Ya habis, daripada memaksakan diri untuk berjodoh sama dia, mending aku nggak menikah deh."
"Katarina.. Memang kamu pikir aku nggak tahu?"
Nana mengerutkan keningnya. "Nggak tahu apa nih?"
"Kalau kamu suka sama Raphael?"
Nana langsung tersedak dengan makanan yang sedang berusaha ia telan. Jadi, ini sudah sejelas itu, ya? Astaga.. Ternyata dia selalu bersikap sembrono sampai-sampai Kafka pun tahu?
"Mas.. Tahu, dari mana?"
"I can see it, Na. The night when I coming home with you, met with your Mom and your Grandma. That's a first time I know─ah, this is Raphael... selama ini, kalau aku mendengarnya dari kamu aku pikir Raphael ini tipe-tipe cowok clueless ternyata nggak, Na. He's already have a lot breakup many girls, like I said before─" lalu Kafka tertawa. "Kamu saja termakan sama pesona dia sejak SMA."
Nana jadi menyesal pernah curhat sama Kafka kalau ujung-ujungnya di ledek seperti ini.
"Mas, jangan ledek aku dong!"
"Ya habis.. Cinta monyetnya kamu tuh masih bersisa sampai sekarang." ujar Kafka yang masih terus tertawa. "That's funny, Na. Cerita cinta kalian tuh lucu, unik dan ringan."
"Iya, aku tahu.." balas Nana sadar diri. "Kisah cinta Mas Kafka kan beda level dengan aku."
"Nggak gitu, Na.." Kafka menyeka bibirnya dengan tissue dan kini duduk dengan mantap menghadap Nana. "Kita punya cara masing-masing dalam menjalankan sebuah cinta. Kayak kamu," tunjuk Kafka kepada Nana.
"Memangnya, kenapa dengan aku?"
"Kamu, dan Raphael still comfortable with hide and seek love. Lucu, kayak ada beberapa hal memang kayaknya patut dikerjain, tapi aku sarankan kamu juga harus bisa mempertegas apa yang kamu inginkan."
"..."
"Termasuk, seseorang yang kamu inginkan kehadirannya untuk hidup kamu."
Nana mengangguk mengerti. "Labil banget ya aku?"
"Bukan kamu, tapi Raphael." balas Kafka dengan senyuman. "Raphael kurang bisa meyakinkan kamu aja. Padahal, kamu bisa lebih menerima dia kalau dia serius sama kamu."
"Aku nggak mau terlalu menanggapi karena ya aku takut," lirih Nana dengan jujur.
"Takut?"
"Ya, karena Raphael tuh.. Kayak sesuatu hal yang nggak akan pernah bisa aku gapai, he has a ace heart, dia baik sama semua orang─nggak memungkiri kalau aku merasa senang dan kagum sama kebaikan dia, tapi kebaikan dia tuh bisa bikin bingung semua cewek."
"I guess, kamu merasa jealous." tebak Kafka tepat sasaran.
Nana lalu mengangguk. "Iya, aneh nggak sih? Karena selama aku hidup, kehidupan aku selalu melibatkan dia. Dimana hari dia punya seseorang yang dia inginkan, dia melibatkan aku, padahal aku nggak pernah melibatkan dia untuk bersinggungan sama orang yang hampir pernah jadi milik aku."
"Yah.." Kafka menepuk kedua tangannya dan terkekeh pelan. "Kalau begitu kamu sama dia, sama aja."
"Sama aja?"
"Iya, sama aja. Sama-sama saling ingin balas dendam karena perasaan cemburu."
"..."
"Taruhan yuk?" ajak Kafka.
"Taruhan apa, Mas?"
"Raphael nggak akan mau kalah ketika dia tahu aku ada di sini lebih dulu dengan kamu, daripada dia."
Nana baru sadar, Raphael is a competitive person. Dan kalau memang radar pria itu kuat, sepertinya Nana pun nggak akan pernah bisa untuk rela-rela saja mengalah tunduk di bawah kebodohan Raphael. Memang, yang bisa menginjak-injak perasaannya hanya Raphael saja? Bahkan penolakan Raphael di malam itu masih Nana ingat hingga sekarang.
"You can play this game, Na. But, also you should take a consequences and risk." kata Kafka kepadanya lagi. "Tingga pilih, mau ambil jalan yang mana."
***
Nana sengaja menghabiskan siang hari yang terik di sisi pantai bersama Dinda dan Crystal. Ya apa lagi kalau bukan agendanya mengambil foto? Meskipun rasanya mustahil bagi Ina untuk ikut campur kebiasaan para bocah katanya, Ina lebih memilih menjemur diri di bawah sinar matahari terik dan berniat menggosongkan kulitnya.
"Na, masa ya.. Noah nggak nikah sama Intan? Gimana ceritanya status anak bayi mereka nanti?" tanya Dinda dengan random.
Kalau soal urusan itu, Nana juga mendadak bego. Ya gimana lagi? Dia nggak pernah lagi mendengar kabar Noah, terlebih setelah mereka putus setengah tahun yang lalu. Waktu memang berjalan cukup cepat, dan Nana sempat berpikir kalau nyatanya Noah memang hanya mencari pelarian saja kepadanya.
Dan ternyata benar.
"Nggak tahu dong, Din.. Gue kan nggak pernah lagi tahu kabar Noah."
"Ya maka dari itu, kenapa mereka nggak menikah aja? We're Indonesian, and we do all the things of marriage life with legality."
"Mungkin, mereka sengaja menunda?"
"Nggak mungkin, gue juga baru tahu dari Arie kalau ternyata Raphael masih suka ketemu sama Intan."
"What?" jelas Nana shock mendengarnya. "Kok bisa?"
"Ya bisa, si Jancok─a.k.a Raphael kan manusia paling care sedunia yang bisa berlaku baik sama mantannya."
Memang ya, Arie dan Dinda ini satu paket: TUKANG GOSIP.
"Lo nih, kalau soal gosip memang selalu nomor satu ya, Din."
"Oh, of course.." ujar Dinda dengan bangga. "Arie tuh selalu tahu soal Raphael, ya cuman cowok antar cowok tetap saling jaga perusahaan masing-masing."
Nana memutarkan bola matanya dengan malas. Dia melihat Crystal yang baru saja menghampiri mereka setelah puas main air.
"Raphael ada di Villa." katanya kepada Nana.
"Terus? Apa urusannya sama gue, Tal?" jawab Nana.
"Ya barangkali lo mau ketemu sama dia?" goda Crystal.
Nana menggeleng. "Nggak tertarik, gue ketemu atau nggak ujung-ujungnya paling berantem."
"Makanya!" timpal Dinda. "Disegerakan dong, Na. Jangan saling lempar kode melulu."
"Gue nggak ada niat buat official sama dia. Udah kagak tertarik gue!"
Crystal tertawa. "Kasihan banget Raphael,"
"Ya habis, dia nggak bisa dinilai serius sama gue, Tal. Hitungannya, mantan dia yang lagi hamil aja dia temuin."
"Maksud lo Intan?"
Nana mengangguk. "Iya,"
"Bukannya udah lepas dari Intan, ya?"
"Memang udah, tapi dia kayaknya memang masih belum sepenuhnya lupain Intan. Ya, nggak sih, Din?" tanya Nana pada Dinda.
Dinda hanya melamun melihat ke arah Villa dan membuat Nana memanggilnya dengan heran. "Din?"
"Na,"
"Kenapa?" tanya Nana bingung.
Dinda menunjuk ke arah balkon Villa. "Coba lo lihat, cewek siapa yang Raphael bawa? Apa lo kenal sama dia?"
Nana otomatis memutarkan tubuhnya dan melihat Raphael yang tengah berbincang dengan gadis asing di balkon paviliun yang menghadap langsung ke arah pantai.
"Dia sama cewek baru?! Diajak ke sini?!" sahut Crystal menyalakan kompor. "Sejak kapan dia punya cewek baru?"
Dinda langsung berdecak sembari menggelengkan kepalanya. "Memang, sekali buaya tetap buaya."
Nana hanya menyunggingkan senyumannya. Ia jadi teringat kata-kata Kafka tadi pagi, Raphael jelas tidak akan mau kalah darinya.
"He can play this game better than me." gumam Nana kepada Dinda dan Crystal.
Crystal hanya mengerutkan keningnya, sementara Nana membuang wajahnya seperti bak orang bodoh yang menyesal telah memerhatikan pemandangan yang tak seharusnya dia tonton.
"Let's see, sejauh mana Raphael akan menguji gue."
"Kenapa laki-laki selalu menjustifikasi perasaan cewek?" tanya Dinda tak mengerti. "Kalau gue jadi Raphael, jelas nggak akan capek-capek bikin lo ragu berkali-kali."
"Memang lo ragu sama dia?" tanya Crystal kepadanya.
Nana mengangguk mantap. "Nggak pernah sekali pun dalam hidup gue, gue yakin sama dia. Dia memang cuman ingin bermain-main dengan perasaan gue, Tal."
***
a/n:
Mas Kafka ganteng banget. Udah titik, nggak pake koma.
Mas Kafka
Agan Monyet
"Duh, capcipcup dulu deh.."
Bandung, 27 Januari 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro