Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER #22

"She likes him, and
he likes her. Everyone knows
except them."

Pravinda

[ 10 tahun yang lalu. ]

***

CHAPTER #22

***

2 | Raphael's POV

[ Zaman ABG ]

JADI, setelah berhenti salah kaprah memikirkan bagaimana gue bisa-bisanya tidak menyimpan rasa kepada Nana adalah hari dimana gue frustrasi. Evan benar, nggak seluruhnya rasa suka itu bisa direalisasikan terutama pada sahabat lo sendiri!

Bayangkan, SMP adalah tahun terberat bagi gue karena ya, harus menjaga Nana dengan ketat. Nana is the princess of school. Dia masuk Jakarta Symphony Hall dan banyak mengikuti lomba di luar kota, bahkan luar negeri yang membuat namanya menjadi kian di kenal di sekolah.

Kalau kata pemilik Yayasan, Nana sudah mengharumkan nama sekolah dan pada saat itu juga gue langsung paham kalau Nana bukan lagi sahabat gue yang introvert dan pendiam.

Dia jadi gadis ceria, selalu tebar pesona dan lagi kalangan cowok di sekolah mulai menyukai dia!

Setiap hari, Nana mendapatkan satu tangkai bunga dan ucapan selamat ataupun pujian. Demi Tuhan, gue bukan iri. Tapi melihat bagaimana setiap orang, setiap cowok memandang Nana seolah memuja itu membuat gue sedikit... Kesal?

Yap, kesal. I've never imagined being a sensitive boy since junior high school. Karena berasa memiliki penggemar yang banyak, ternyata Nana bisa besar kepala juga.

"... Lo tahu kan Katarina dari kelas 9A? Dia katanya masuk JSH."

"... JSH apa sih?"

Gue yang tengah berada di kantin bersama Arie mendengarkan adik kelas yang menggosipkan Nana. Ini seru sih, kenapa dari sekian bahan omongan Nana selalu mendapatkan gosip yang bagus?

"... Jakarta Symphony Hall. Katanya, kalau orang sudah masuk sana, artinya lo bakal jadi pemusik yang hebat. Orang-orang hebat, yang suka orkestra berkumpul di sana!"

"... Oh iya? Kok lo bisa tahu?"

"... Nenek gue kan hobi banget sama musik keroncong orkestra, jadi setiap bulan mereka adain konser orkestra gitu, bayangin Katarina katanya sudah masuk ke dalam klub Cello di sana."

"... Wah, udah cantik, pintar, berbakat. Gimana nggak pada suka cowok-cowok sama dia?"

"... Terakhir gue tahu, Kak Karen katanya lagi dekatin Kak Katarina. Tapi, nggak tahu juga sih. Kak Katarina tuh keseringan bareng-bareng sama tiga teman cowoknya jadi cowok yang suka sama Kak Katarina nggak ada yang berani dekati."

Gue dan Arie saling berpandangan satu sama lain. Apa tadi katanya? Cowok yang suka sama Nana nggak berani dekati Nana karena Nana punya pawang? Begitu maksudnya?

"Kayaknya kita memang kudu jaga jarak sama Nana, Raf." kata Arie kepada gue.

"Jaga jarak?" tanya gue dengan bingung. "Buat apa?!"

"Ya buat apa lagi? Tuh denger nggak tadi? Cowok-cowok yang mau dekati Nana jadi segan karena Nana selalu sama kita."

"Lah, itu sih urusannya kenapa jadi cowok pengecut nggak berani dekati Nana."

"Ya intinya kita harus kasih ruang buat Nana, Raf." kata Arie kepada gue. "Masa lo tega mau membiarkan Nana nggak dapat pacar terus, sih? Lo aja udah punya dua mantan."

Buset, Arie menghitung jumlah mantan gue? Yang benar saja. "Dan untuk apa lo menghitung mantan gue?"

"Untuk bukti lah," jawab Arie dengan nada menyebalkan. "Tante Cassie tuh selalu tanya sama gue, pacar Raphael ada berapa.. Sekarang pacarnya yang mana, atau nggak cewek yang Raphael dekati yang mana? Lo itu benar-benar definisi laki-laki penuh antrian."

"Dih?"

"Yang mau pacaran sama lo kan ada slot ngantrinya!"

Wah, bangke.. Citra diri gue kok tiba-tiba jadi buruk? Padahal, selama tiga tahun di SMP gue cuman pacaran dua kali, itu pun ya... Dengan cewek yang gue sukai dong.

"Jadi, kita harus jaga jarak biar cowok-cowok bisa dekati Nana, Raf."

Biar cowok-cowok bisa dekati Nana? Kok rasanya nggak masuk akal di otak gue? Daripada membiarkan Nana didekati oleh cowok lain ya mending gue pepet sekalian. Gue nggak mau lihat Nana sama cowok lain—wait, what? Apa yang baru saja gue pikirkan?

Setelah hari dimana gue mendengar kabar cowok-cowok yang menyukai Nana juga sama antrenya kayak cewek-cewek yang menyukai gue. Gue nggak pernah lagi meninggalkan Nana sendirian dan membuat cewek itu bisa berkeliaran kemana saja.

Bahaya coy, meskipun masih SMP tapi watak-watak bajingan cowok tuh pasti ada. Gue juga ada kok.

"Na!" siang itu kala minggu-minggu menuju try out ujian nasional.

Nana berhenti, seragam olahraganya belum di ganti dan rambut panjang hitam Nana di kepang. Gue selalu menyukai Nana yang apa adanya seperti ini.

"Apa?"

"Pulang mau antar gue nggak?"

"Kemana?"

"Ke mall, gue mau beli koper."

Nana terlihat berpikir, jelas dong.. Gue tahu dia ada janji sama Rifki anak Pramuka yang memang wujudnya kutu buku banget.

"Mm, gue ada janji sama Rifki.." kata Nana kepada gue.

"Rifki pramuka?" ya gue harus akting dong, kelihatan pura-pura nggak tahu.

Nana mengangguk. "Iya, katanya dia mau ajak gue ke timezone. Tapi nggak apa-apa, Raf, ya udah kita pergi bareng aja?"

Jadi maksud dia gue kudu ngintilin acara kencan dia? Ya ogah lah gue.

"Ngapain sih ke timezone?" tanya gue mulai berang. "Biasanya juga lo nggak suka kalau gue ajak ke timezone."

"... Iya kan ini beda," kata Nana berlagak malu-malu. Buset, gue belum pernah lihat wujud Nana yang aneh kayak begini.

Akhirnya, dengan sangat terpaksa gue mengikuti Nana. Oh jelas, gue sudah bilang kan? Gue nggak akan membiarkan cowok-cowok yang mendekati Nana bisa dapetin Nana gitu aja.

"Ya udah gue ikut!"

"Kemana nih, Bray?!" kata Prav yang baru saja merangkul bahu gue.

"Ke timezone, ada yang mau date." kata gue meledek Nana.

Nana memberenggut tidak suka. "Apa sih?! Siapa juga yang mau date?"

"Tanpa lo ngomong pun gue ngerti, Nana." jawab gue kepadanya.

Dan... Benar.

Sore itu, menjadi sore yang paling menyebalkan karena kenapa juga gue pakai alasan paling bodoh dengan bilang beli koper? Cih, semua kewarasan gue memang jadi menghilang kalau sudah berurusan dengan Nana.

Rifki ini sejenis cowok yang bakal memberikan apa pun yang ceweknya mau. Nggak heran sih, jurus dia dekati Nana itu memang cepat banget. Padahal, sebelumnya yang gue tahu ada sekitar lima cowok yang mau dekati Nana.

Karen, Rifki, Farel, Doni dan Javier. Nggak tahu dari ke lima ini yang mana yang bakal menang tapi sejauh ini si Rifki yang Nana pilih, padahal ya wajahnya memang biasa-biasa aja nggak cakep kayak gue.

"Raf, katanya mau beli koper?" tanya Nana kepada gue ketika gue masih mengikuti dia ke timezone.

"Huh? Oh─nggak jadi, Na. Kata Mama pakai yang ada di rumah aja."

"Oh, memang lo jadi ya mau ke Oregon?"

Padahal yang mau pergi ke Oregon itu Papa gue. "Kayaknya sih, jadi."

Dan nggak tahu kenapa seharian itu gue jadi orang paling bego. Nana ketawa-ketiwi bareng Rifki, dan gue jadi pengawal setia Nana. Memang, gue tuh sejak dulu hanya seorang hamba sahaya, apa lagi posisi Nana nih cewek di antara tiga cowok.

"Raf!" kata Nana kepada gue. "Sini, ikut main!"

Main? Dia kira gue buta? Wajah si Rifki saja sudah menunjukkan betapa muramnya dia. "Nggak usah, gue mau nunggu di sini."

Akhirnya Nana pun nggak memaksa gue. Setelah sekian lama, gue melihat Rifki yang sedang membeli boneka untuk Nana, gue langsung menghampirinya.

"Teddy bear putih itu aja deh, Mbak."

"Woy, lo mau beli boneka buat Nana?" tanya gue kepada Rifki.

Rifki mengangguk. "Iya,"

"Ya udah, gue yang bayar."

"Hah?"

"Gue yang bayar." jawab gue kepada Rifki.

"Wah.. Mana bisa begitu, Bung? Kan judulnya gue yang beliin buat cewek gue."

Dih, najis. "Kagak ada, udah simpan duit lo dan gue yang bayar."

Gue langsung mengeluarkan ATM gue, ATM yang Mama buat untuk gue sih. Dan atas keras kepala gue, gue berhasil membuat Rifki tidak mengeluarkan uang untuk boneka beruang putih itu. Ya, adil dong? Rifki modal tiket main, gue modal boneka buat Nana.

Boneka Teddy Bear putih yang gue belikan itu diberi kepada Nana lewat tangan Rifki. Bodo amat, gue nggak akan biarin Nana menerima hadiah apa pun dari cowok. Seenaknya aja, kalau Rifki pikir dia bisa membelikan apa saja untuk Nana, maka gue juga bisa.

"Rifki.. Makasih ya bonekanya." kata Nana sembari malu-malu centil.

Yang kayak gini nih, rasanya gue pengen tendang.

"Anu itu... Sebenarnya─"

"Ya udah lo sana balik!" usir gue kepada Rifki. "Udah sore juga!"

Memang sih, dengan sok-sokan gentle Rifki mengantarkan Nana, dan gue sampai pos Cluster. Sori ya, ini lingkungan ekslusif yang nggak bisa Rifki sembarangan masuk, kecuali atas izin pemilik rumah.

"Padahal, Rifki masih bisa main ke rumah." gumam Nana melihat kepergian Rifki petang itu.

Gue hanya menggelengkan kepala, dari pos satpam menuju blok cluster kita memang jalan yang cukup lumayan. Nggak jauh, tapi ya nggak bisa dibilang dekat juga.

"Senang banget lo di kasih boneka, hah? Norak!" ledek gue kepada Nana.

Nana merenggut kesal. "Suka dong! Apa lagi Rifki yang kasih, tahu nggak sih? Rifki tuh baik banget, Raf..."

"Alah.. Cowok memang bakal baik kalau ada maunya."

"Berarti, lo juga gitu?"

"Gue mah kagak, aman terkendali."

"Dih.. Tapi lo lagi dekat sama Mutiara, kan?"

Edan ini cewek, dia tahu segala informasi dari mana, sih?

"Lo mau jadi anggota CBI atau FBI nggak, Na?"

"Buat apa?" tanya Nana dengan polos.

"Ya abis skill lo dalam mencari informasi cukup hebat juga!"

Nana langsung tertawa. "Kok informasi, sih? Kabarnya udah terdengar satu sekolah. Lo greet Mutiara di BBM terus lo kirim lagu sambil main gitar buat dia. Cie.. Dasar playboy."

Ya ampun, beneran keluar? Jadi, si Mutiara ini tipikal cewek bermulut besar ternyata yah.

"Good luck ya, Raphael.. Mutiara cantik, lo juga ganteng jadi kalian berdua pasti bakalan cocok." kata Nana kepada gue sembari menepuk bahu gue.

Ya gue maunya cocok sama lo, kata gue dalam hati. Kenapa sih? Gue ini aneh setelah Evan mengatakan kalau gue menyia-nyiakan potensi yang ada? Iya juga, kan? Kenapa gue nggak pacari sahabat gue sendiri aja?

Pada saat itu, kemungkinan terbesar Nana tidak menyukai gue adalah hal yang paling tidak gue inginkan. Akhirnya, gue kembali pada prinsip awal, gue akan tetap mengekori Nana kemana pun.

"Lo kagak ada capeknya jadi buntut Nana, ya?" kata Arie kepada gue ketika kita berdua selesai ujian sekolah.

"Gue nggak buntuti Nana, tapi mengawasi Nana, Arie. Kata Mama gue, Nana itu sudah jadi cewek beneran."

Kening Arie berkerut begitu saja. Dia pasti nggak ngerti, ya gue juga sama. Cewek tuh memang aneh ya, punya dunia sendiri dan punya masanya sendiri.

"Apa sih? Gue kagak ngerti."

"Intinya gitu deh, Rie. Kata Mama, berhubungan sama pelajaran Biologi!"

"Oh? Ah...." kata Arie yang langsung menyengir.

Gue menatap dia heran. "Apa? Lo ngerti maksud Mama gue?"

"Ngerti dong, Raf.. Aelah.."

"Apa coba?" tantang gue.

"Nih ya, gue punya kakak cewek si Agatha." jelas Arie kepada gue.

Gue mengangguk. "Mm, terus?"

"Gue suka dengar Agatha tuh suka dapat wejangan agar bisa menjaga diri, Raf."

"Menjaga diri?"

Arie mengangguk. "Agatha, maupun Nana dan cewek-cewek lain yang sudah mendapatkan menstruasinya memang harus menjaga diri."

Otak gue langsung traveling aja nih. "Lo tahu kan? Kalau artinya menstruasi buat anak cewek, artinya anak cewek itu bisa dibuahi kata Pak Sharman."

Gue tahu soal itu, gue juga nggak bodoh-bodoh amat. "Mm, gue tahu."

"Dan lo tahu cewek bisa dibuahi oleh apa?"

"Sperma," jawab gue.

"Ya, dan sperma itu punya siapa?"

"Punya cowok." jawab gue lagi.

"Nah maka dari itu.. Cewek dan cowok yang sudah saling bisa dibuahi dan membuahi nggak boleh melebihi batas."

Meskipun secara teori gue tahu dan ngerti apa yang Arie jelaskan kepada gue. Tapi kenapa ini jadi membuat gue parno?!

Kalau Nana nggak bisa jaga diri dan sembarangan mau diajak-ajak cowok gimana?

Siang itu, hari yang panas setelah ujian praktek sekolah selesai. Gue mendekati Nana yang masih memakai pakaian adat jawa, kebaya. Cantik banget, jelas Nana menjadi Roro Jonggrang dan lo tahu? Liat Nana pakai kebaya it's the first time for me.

"Nana," kata gue memanggil dia.

Nana menoleh pada gue dan kemudian dia tertawa. Jelas tertawa, karena hari ini gue menjadi Malin Kundang!

"Hei! Malin!" teriak Nana kepada gue.

Gue terkekeh pelan. "Astaga Malin si anak durhaka," ledeknya lagi.

"Berisik Roro Jonggrang! Lo nggak boleh meledek gue seenaknya!"

Nana masih tertawa saja. "Ya habis, lo lucu banget kumisnya."

Gue langsung menyentuh kumis buatan gue. "Ya namanya juga kumis bohongan. Mau ke kantin, nggak?" tanya gue kepada Nana.

Nana mengangguk. "Yuk, ke kantin."

Berakhir lah, dengan dua teh botol dan kita berdua duduk bersama saling berhadapan di saksikan bibi kantin.

"Na, gue mau ngomong sama lo."

"Iya kenapa?"

Gue berdeham dan berusaha berani mengatakannya.

"... Lo,"

"Ya?"

"Mm─lo itu, harus..."

"..."

Nana menunggu gue untuk berbicara. "Lo itu harus bisa─"

"Apa sih?"

"JAGA DIRI, NA!" kata gue dengan gugup. "Jangan terlalu dekat sama cowok lain, bahaya buat cewek sebesar lo tuh!"

Kening Nana berkerut begitu saja. Pasti dia nggak paham. "Maksudnya?"

"Ya lo jangan dekat sama cowok lain!"

"Memang kenapa?" tanya Nana kepada gue, lalu dia melanjutkan. "Jangan bilang lo suka sama gue?"

Gue mengibaskan tangan asal. "Hah? Suka sama lo? Mana mungkin.."

Anjing, ini mulut kenapa ngomong begini?

"Oh... Ya udah dong, berarti gue bebas buat dekat sama cowok mana pun, Raf. Kan gue juga pengen punya pacar kayak lo."

Dan hari itu adalah, hari tersial karena entah kenapa gue bisa melihat wajah Nana yang kecewa. Memang nih mulut, nggak pernah bisa menjawab dengan baik!

***

a/n:

Yang ajak kencan siapa, yang beliin boneka siapa. Emang tukang sabotase nggak sih? Kafka udah pesan table aja dia yang sabotase.

Bandung, 24 Januari 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro