CHAPTER #20
"He'll never know that I'm
just had once loved him."
─Nana
[ still trying to move on ]
***
CHAPTER #20
***
JUJUR, Nana benci Raphael.
Setelah ledek-meledek versi lagu pernyataan cinta itu, Nana jadi salah tingkah dan malu. Bukan karena senang Raphael notice surat cintanya dulu, tapi jadi berpikir: 'gue ngapain ya kok bisa-bisanya suka sama Raphael?' dan hal itu berhasil masuk dalam kubangan penyesalan.
Apa banget woy gue pernah suka sama dia dan kasih surat cinta kek begitu?!
Nyatanya Nana malu. Benar, apa yang Prav dan Reggy katakan benar. Kok, bisa-bisanya suka sama Raphael? Memang apa yang membuat pria itu sebagus itu di matanya kalau bukan cuman karena rasa kagum.
Kayaknya, memang masa remaja Nana tuh zonk abis setelah memutuskan untuk suka sama Raphael. Miris banget. Memikirkannya saja membuat Nana emosi. Apa lagi, Raphael tuh kayaknya nggak ada kerjaan sampai-sampai nggak mau balik ke rumahnya sendiri yang ada di depan rumah Nana.
Mengotori rumah orang saja!
Natal memang beberapa hari lagi, dan rencananya.. Kanjeng Mami Jane yang sekarang lagi pergi ke IKEA sama Raphael untuk membeli pohon natal itu membuat Nana emosi. Kok bisa-bisanya yang jadi bintang utama hari ini dan kemarin si Raphael?
Nggak cukup Raphael bikin Nana mempermalukan diri di depan Kafka sampai buat pria itu terkejut dengan respon Nana yang tidak biasa? Untungnya, Kafka mengerti. Nana nggak lagi menutupi semuanya kepada Kafka, tidak seperti saat dirinya bersama Noah. Tidak ada keterbukaan dan tergolong segan untuk mengutarakan sesuatu hal yang padahal pentingnya tidak ada rahasia dalam suatu hubungan.
Memang ya, vibes-nya punya cowok yang usianya lebih matang tuh benar-benar bermanfaat banget buat Nana. Rasanya, Nana dan Kafka saling mengimbangi, ya meskipun Nana pun nggak tahu kejelasan hubungan dia dengan Kafka itu sebenarnya bagaimana.
Tapi ketika mendengar Kafka mengatakan sesuatu hal yang serius, bahwa sekarang Nana adalah prioritas pria itu, jadi.. Nana boleh kegeeran kan, sekarang? Kalau dia merasa bahwa dia dan Kafka saling menginginkan satu sama lain?
Untuk urusan Raphael─sejujurnya Nana penasaran. Apa yang membuat pria itu dengan mudahnya memutuskan hubungan pertunangannya dengan Intan.
Ya kayak, nggak expect aja. Karena Nana sudah melihat hasilnya, betapa kerasnya Raphael mempertahankan hubungan toxic-nya dengan Intan. Mau Intan selingkuh, atau Raphael sendiri yang main cewek, atau ketika mereka memiliki masalah Raphael tidak pernah semudah itu mengatakan putus.
Dan keyakinan Nana sudah yakin seratus persen ketika Raphael memutuskan untuk berhubungan serius dengan Intan, menjalin pertunangan kan bukan suatu hal yang bisa dikatakan main-main?
Karena Nana berpikir, ketika Raphael mengajak Intan bertunangan. Artinya, Raphael sangat siap untuk mengajak Intan untuk menjadi istrinya, kan? Tapi kok, sekarang malah...
"Ngelamunin apa lho?!"
Ina mencolek pipinya dengan tepung yang Ina bawa. Katanya, Ina ingin membuat masker wajah dari tepung beras yang entah di campur dengan bahan makanan apa lagi.
"Ngagetin aja! Marcell dimana?" tanya Nana kepada Ina.
Ina mengulum senyumnya. "Dia balik ke Label, katanya mau ada meeting sama Produser dari New York. Lo? Kenapa nggak ke Label?"
"Kerjaan gue udah selesai," jawab Nana mengambil buah mangga. "Lagian, trainee libur buat dua minggu ke depan."
"Oh ya jelas dong, ya.. Christmas eve with new year holiday tuh nggak boleh dibiarkan gitu aja. Marcell bilang, lo bakal sibuk bulan Februari tahun depan. Jadi, untuk sekarang nikmati aja dulu waktu santainya."
Nana mengulum senyumnya menggoda Ina. "Gile ya, enak banget Direktur Label gue pacaran sama lo, Kak. Kan gue selalu jadi anak istimewa terus di perusahaan."
Ina hanya mendengus mendengarnya. "Soal itu sih, gue nggak pernah minta. Cuman ya, gue bilang kalau lo nggak bisa kecapekan, Na. Lo kan punya anemia."
"I know, Kak."
"Terus, sekarang? Apa lagi yang lo pikirin? Kata Arie, kemarin lo bawa laki cakep?!"
"Hehe.."
"Nana?"
"Sori, Kak. Bukan maksud gue nggak mau cerita, lo kan kemarin sama Marcell. Dan memang kebetulan Kafka tuh, akhir tahun selalu sibuk."
Ina mengangguk paham. "Oh, jadi namanya Kafka."
"Ya, he's Kafka, finantial institution─seperti yang lo bayangkan seorang banker ganteng, berkharisma, citizen Singapore karena based kantornya dia di sana. And, ya.. He's a workaholic." kata Nana berusaha menjabarkan sesingkat mungkin.
"Kata Mama umurnya kejauhan." timpal Ina.
Nana mengangguk. "Iya sih, dia 32 tahun."
"Kayaknya yang dia cari bukan pacar lagi deh, Na.. Tapi calon istri."
Nana mengangkat bahunya acuh. "Ya gue nggak masalah, selagi dia nggak melarang gue dan nggak menyuruh gue keluar dari dunia musik ya, it's okay.."
"Are you loved him?"
Nana memicingkan matanya dan menggigit bibirnya kala berpikir. Apa dia mencintai Kafka? Mm, sepertinya belum sejauh itu.
"Kalau di bilang cinta sih, ya, belum." jawab Nana dengan malu-malu. "Karena selain itu, gue cuman kayak ngerasa─oh! Ini dia yang gue cari!"
"Memang apa poin plusnya Kafka dibandingkan Raphael?"
Nana langsung membulatkan matanya. "Wah gila lo, Kak. Untung Raphael lagi cabut sama Mama!" kata Nana dengan panik.
"Nggak usah panik gitu! Itu orang beneran jadi sad boy setelah lo jauhin."
"Ya memang kudu dijauhin, nggak tahu diri soalnya!"
"Na..." tegur Ina kepada Nana agar tak berlebihan bersikap.
Nana menghela napasnya. "Udah lah Kak, gue tuh ya.. Kayak lagi berusaha mengisi lembaran baru sama Kafka, jangan ditambah-tambahin Raphael lagi dong!"
"You loved him!" kata Ina dengan ngotot.
"Jangan berusaha merubah jati diri gue gitu." gerutu Nana. "Gue udah nggak sesuka itu sama dia, dia sendiri yang minta agar gue nggak menyimpan perasaan sama dia, Kak."
"He's just denial, okay?" kata Ina berusaha menetralisir keadaan. "Laki-laki tuh memang begitu, ketika dia jatuh cinta nggak tepat sasaran memang bakal buta, Na."
"Ya gue lebih buta karena harus nyasar suka sama dia!" balas Nana tak mau kalah.
Ina menghela napasnya dengan pasrah, gila.. Kalau adiknya sudah sekeras kepala ini memang kayaknya nggak ada kesempatan buat Raphael.
"Are you really dumped him? From your heart?" tanya Ina dengan serius.
Nana mengangkat bahunya acuh. Dia membuang Raphael? Tidak kok, tapi yang jelas perasaannya untuk Raphael jelas sudah Nana singkirkan sejak lama.
Pagi dimana dia mendapatkan tamparan, sudah jelas bagi Nana jawabannya bahwa Raphael tidak akan pernah memilihnya. Dia sudah di kenal sebagai orang yang egois, dan kini Nana mengecap dirinya sendiri sebagai perempuan perusak hubungan orang.
Mustahil kalau Raphael dan Intan bisa putus begitu saja, apa lagi kalau bukan karena dirinya?
"Coming home!"
Suara Mamanya, Jane dan Raphael terdengar begitu saja oleh Nana dan Ina. Nana memasuki rumah dan membantu barang-barang bawaan yang sudah Mamanya beli di IKEA bersama Raphael.
"Ini beli apa aja, sih?!" tanya Nana dengan kesal ketika pohon cemara yang Raphael bawa ternyata ukurannya sangat besar. "Dan kenapa harus sebesar ini?"
"Bukan Mama yang pilih, itu Raphael yang pilih katanya dia mau hias pohon natal sama kamu." jawab Jane.
Nana mengerutkan keningnya dan menatap Raphael dengan sangsi. "Siapa bilang gue mau?"
Raphael menyimpan semua barang-barang di atas lantai dan dengan percaya dirinya berkata. "Mau nggak mau, gue bakal paksa lo."
"Dih?"
"Lo lupa? Gue ENTP, dan lo!" Raphael menusuk pipi Nana dengan telunjuknya. "Nggak akan pernah bisa melawan gue."
Nana menyingkirkan tangan Raphael. "Lagian, gue mau keluar rumah sih, jadi ya.. Silakan lo dekor pohon natal sendirian, yang anteng!" tekan Nana meledek.
Belum Nana berbalik, Raphael sudah menarik tangannya dan membuat wajah Nana menyundul dada bidang pria itu.
"Duh..." ringis Nana dengan sebal.
Raphael hanya terkekeh pelan. "Mau pergi kemana?"
"Kepo?"
"Kemana?"
"Mau dinner sama Kafka, because tomorrow he gonna back to Singapore and I─"
"NGGAK ADA! MACAM-MACAM LO MAU KELUAR RUMAH HAH?!" potong Raphael ngegas.
Nana membulatkan matanya. "Ya apa urusannya sama lo? Memang siapa yang bilang gue mau dekor pohon natal?!"
"TIAP TAHUN KITA DEKOR POHON NATAL, KATARINA!"
"Ya sekarang nggak," jawab Nana malas. "Tahun depan juga mungkin nggak, terus tahun-tahun berikutnya juga nggak. Lagian, sepenting itu dekor pohon, hah?" tanya Nana dengan songong.
Raphael tercengang di tempatnya, tapi Raphael tidak melepaskan tangan Nana sama sekali. "Gue udah terima ya, lo udah nggak beliin parfum lagi buat gue, tapi kalau urusan pohon natal─"
"HADEHHHH! Ribut mulu lo berdua!" potong Ina menghentikan perdebatan itu. "Nggak capek, apa?!"
"Adik lo kurang ajar!" balas Raphael kepada Ina.
Nana tidak suka dengan apa yang dia dengar. "Kok jadi gue yang kurang ajar?!"
"Iya lah, lo bisa-bisa mau dinner sama Om-Om, sementara gue di sini udah siapin rencana."
"Rencana apa?!"
"Rencana buat natalan sama lo, lah! Tahun ini gue jomblo, lo jomblo. We fixed together, okay?!"
Ina hanya bisa berdecak menggelengkan kepalanya menyaksikan perdebatan dua manusia denial itu. "Lo kalau mau nembak adik gue tolong agak bermodal ya, Raphael!"
"Dia nembak gue?!" respon Nana histeris. "Mana ada, jangan sembarangan nembak gue begitu. Gue udah ada yang punya."
"Memang lo punya siapa?!" nyolot Raphael kepada Nana.
Nana menggoyangkan kepalanya meledek Raphael. "Gue punya Mas Kafka, dong!"
Dan setelah berbicara seperti itu, Nana pergi melengos ke kamarnya. Ina tertawa puas, Jane hanya bisa menggelengkan kepalanya sementara Raphael tengah menangani kebakaran hutan yang ada di dalam kepalanya.
Dinner? Jelas Raphael tidak akan membiarkannya.
***
Dress oke, make up? Apa lagi. Tapi apa yang membuat Nana kesal? Tentu saja manusia yang ada di hadapannya sekarang. Sialan, maki Nana dalam hati. Karena Kafka yang mendadak ada panggilan pekerjaan, pria itu sudah pergi setengah jam yang lalu ke Bandara mengambil flight dadakan dan Nana ditinggal bersama Agan Monyet berkaus hitam dengan tampilan necis yang membuat cewek-cewek di restoran melirik Raphael berkali-kali.
"Memang, ya.. Tuhan tuh selalu memberi jalan kepada manusia yang bersabar." kata Raphael membuka percakapan.
Nana hanya diam saja, memainkan kalungnya yang menggantung di dadanya.
"Lo cantik banget malam ini," puji Raphael kepadanya sembari menatapnya tanpa lepas.
Nana memutarkan bola matanya dengan malas. Tahu begini, Nana akan pulang saja. Tapi Kafka sudah mereservasi tempat untuknya dan... Raphael ternyata membuntutinya.
Sebenarnya, malam ini Nana memakai dress yang agak terbuka. Sebenarnya nggak disengaja sih, karena ini adalah dress milik Ina karena Ina mengalami kenaikan berat badan dan sudah tidak muat lagi di tubuh kakaknya itu.
Dress berwarna hijau lumut dengan kedua tali spaghetti tipis yang disimpulkan menjadi tali pita di atas bahu Nana adalah satu-satunya pelindung yang mungkin bisa menjaga dress Nana agar tidak lepas atau turun dari pundaknya yang ringkih.
Bagian punggungnya terbuka dengan bebas dan tentu saja hal itu membuat Nana agak tidak nyaman.
"Gue mau pulang," kata Nana bangkit berdiri.
Raphael mengangkat alisnya. "Kasian banget, si Mas-nya lo udah reservasi tapi di sia-siakan. Tapi, ya udah deh.. Mau makan di angkringan mana?"
Mendengarkan tawaran Raphael sontak membuat kedua mata Nana membulat. Tapi, secepat mungkin Nana merubah ekspresi wajahnya menjadi biasa saja. Namun, sirat wajah Raphael yang mengulum senyum seolah sudah mengerti kenapa Nana begitu fast respons mendengar kata angkringan.
"Gue mau pulang ke rumah aja. Makan di rumah." tolak Nana dengan gengsi.
Raphael mengerucutkan bibirnya dan mengangguk. "Sate Padang enak deh, Na.. Atau mau seafood?"
"MAU!" teriak Nana refleks, namun dalam seketika dia sadar bahwa mereka masih berada di dalam restoran.
Nana pergi lebih dulu dan meninggalkan Raphael, menekan tombol lift karena restoran fine dining itu berada di atas tower gedung.
Aroma parfum Raphael tercium begitu jelas dan Nana pada saat itu juga tahu kalau Raphael ada di belakang tubuhnya.
Raphael menunduk sedikit dan mensejajarkan wajahnya dengan telinga Nana. "Dingin nggak?" bisik Raphael di telinganya membuat Nana berjengit kaget.
Nana berbalik dan ternyata jarak wajahnya dengan wajah Raphael begitu dekat. "Ng-nggak," balas Nana gugup.
Senyum Raphael muncul begitu saja dengan kedua lesung pipi yang mencetak membuat Nana terkesima.
"Nana gagap that's a first." ledek Raphael kepadanya.
Ketika pintu lift terbuka, Nana masuk lebih dulu. Ternyata, tidak hanya dirinya dan Raphael yang menuruni lift tersebut. Ada sekitar delapan orang yang membuat ruangan lift terasa semakin sesak.
Nana terus mundur karena lebih mengalah memberikan tempatnya pada orang lain, mau tidak mau, Nana terus mundur dan ketika punggung polosnya menyentuh sesuatu yang asing Nana langsung menoleh.
Ya siapa lagi kalau bukan Raphael?
Tapi pria itu dengan santainya menarik pinggang Nana dan membuat tubuh belakang Nana membentur bagian depan tubuh Raphael.
Nana menelan air liurnya dengan gugup dan mengontrol detak jantungnya sendiri. Astaga, kapan terakhir Nana merasakan sensasi seperti ini?
Tangan Raphael masih ada di pinggangnya, bahkan kini sudah melingkar di sekitar perutnya membuat Nana menahan napas dengan susah payah.
"Jangan di tahan," bisik Raphael kepadanya.
Nana menoleh cepat dan mengangkat alisnya.
Raphael kembali menunduk dan bibir pria itu menyentuh daun telinga Nana dengan lembut dan membuat Nana menahan napasnya kian dalam.
"Napasnya jangan di tahan," bisik Raphael kepadanya.
Nana menahan degupan jantungnya yang keras dan berusaha bernapas normal. Tangan Raphael semakin erat melingkar di sekitar perutnya dan Nana memegang lengan Raphael yang besar meminta agar pria itu menurunkan tangannya dari sana.
Raphael tersenyum, dengan pandangan lurus ke depan Raphael tahu Nana sedang menahan kekesalannya sekarang.
Sedikit mencubit punggung tangan Raphael, Nana berdecak kesal karena lift begitu lambat untuk turun. Mana posisi mereka nih, sangat-sangat di sudut.
Raphael menyimpan dagunya di atas puncak kepala Nana dan membuat Nana semakin tidak karuan saja.
Ketika pintu lift terbuka, tepatnya di basement Nana langsung menendang tulang kering Raphael dengan kencang.
Raphael mengaduh kesakitan. "NA! Kok tendang gue, sih!?!" tanya Raphael tidak terima.
Nana melengos sebal. "Siapa suruh seenaknya pegang-pegang gue? Keenakan ya lo?!"
"Iya," jawab Raphael jujur. "Lo hug-able sih. Mau dipeluk lagi, nggak?" tawar Raphael yang sudah merentangkan kedua tangannya.
Nana menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Raphael.
"Mobil gue di sini," kata Raphael menarik Nana.
Nana melihat mobil manusia paling menyebalkan yang sudah lama tidak dia lihat.
"Lo kapan ganti mobil?" tanya Nana kepada Raphael ketika Raphael membuka pintu mobil untuknya.
"Bulan lalu,"
Nana hanya berdeham saja, wangi mobil itu sangat khas. Citrus, musk dan woody bercampur kayu manis yang membuat Nana nyaman. Itu parfum milik Raphael yang dia belikan, dan tidak pernah ganti.
Raphael sudah masuk ke dalam mobil dan mengambil sesuatu dari jok belakang.
"Buat lo," kata Raphael memberikan satu kotak itu.
Ya siapa pun bisa menebak, itu memang Pandora Box yang berisikan bracelet. "Itu hadiah debut lo, harusnya gue kasih itu sejak lo awal debut. Tapi ya you know after you kissed me and we're just─"
"Thank you." potong Nana dengan cepat, ia tak mau lagi membahas kenangan buruk itu.
Raphael mengulas senyumnya dengan sabar, ketika tangan Raphael menarik lengan kanannya, Nana tersentak karena kini wajahnya dengan wajah Raphael begitu dekat.
"Gue mau ulangi, Na."
Kedua mata Nana membulat. "Ulangi apa? Lo goblok ya?"
"Ulangi ciumannya."
"NGGAK!"
"Ciuman lo waktu itu nggak kerasa, buru-buru jadi gue nggak meresapinya." kata Raphael dengan percaya diri.
Rasanya memang Nana tidak akan pernah bisa menahan emosi jika sudah bersangkutan dengan Agan Monyet.
"Raf, dengar ya.. Itu adalah sikap gue yang impulsif, bodoh, dan sembrono. Seperti apa kata lo, gue terlalu sembrono dalam menyatakan perasaan dan gue nggak sepantasnya menyukai lo. Jadi, anggap aja nggak pernah terjadi." cerocos Nana.
Ekspresi Raphael yang tenang-tenang saja membuat Nana yakin kalau sahabatnya ini sudah tidak waras.
"Oh, gitu ya? Kalau gue revisi sebenarnya gue juga senang dengan pengakuan lo pada gue gimana?"
Nana menggeleng dengan yakin. "Nggak bisa jadi justifikasi untuk gue percaya kepada lo sih."
"Oh, c'mon.. Kenapa lo jadi bersikap keras kepala seperti ini?"
Nana menatap Raphael dengan tidak percaya. "Gue udah memantapkan diri melupakan lo, Raf. Jadi, sori.. Banget, mungkin memang salah gue karena udah kurang ajar, egois dan bahkan merusak hubungan lo dengan Intan─"
Raphael membungkam mulutnya dengan ciuman pria itu.
Kedua tangan Raphael meraih wajahnya dan membuat Nana tidak bisa berkutik ketika dengan kurang ajarnya bibir pria itu bergerak membuat kewarasan Nana berkurang.
Raphael melepaskan seatbelt dan memposisikan dirinya di atas Nana. Oh, terkutuk lah ruang mobil Raphael yang besar dan membuat pria itu leluasa berpindah posisi dan kini tangan Raphael tengah menurunkan sandaran mobil ke belakang dengan sekaligus membuat Nana tersentak.
"RAF!" teriak Nana kepada Raphael.
Raphael tidak mendengarkannya, kedua paha Nana sudah dihimpit oleh kedua kaki Raphael yang terbuka lebar mengangkangi dirinya dari atas. Gila, ini gila!
Nana membulatkan matanya ketika lagi-lagi, Raphael menciumnya dan menahan kedua tangan Nana di sisi kepalanya.
Ciuman itu begitu dalam, menyulut sesuatu hal yang membuat Nana merasa terdesak jika tidak membalas. Pada akhirnya, Nana membalas ciuman itu dengan berusaha mengimbangi Raphael.
Raphael melepaskan ciuman itu dan menatap Nana dengan napas terengah-engah. Kedua mata mereka saling menatap tanpa melepaskan diri.
"Raf.." lirih Nana pada pria itu.
Sahabatnya, Nana berusaha menyadarkan diri bahwa yang ada di atasnya ini sahabatnya. Wajah Raphael turun dan pria itu mencium pipinya dan turun menuju rahangnya.
Nana merasakan sesuatu yang basah di sana, dan lidah pria itu membelai rahangnya membuat Nana tersentak ingin melakukan perlawanan yang ternyata sia-sia karena Raphael menahan kedua tangannya.
Ciuman itu turun menuju lehernya, napas panas dan getaran dari geraman Raphael begitu terasa membuat Nana memejamkan matanya erat.
"Raf..." bisik Nana kepada Raphael.
Raphael mengangkat wajahnya dan mendaratkan ciuman di keningnya cukup lama. "I want you, more than you know." ujar Raphael kepadanya.
Nana hanya bisa diam, ketika Raphael lagi-lagi menurunkan wajahnya dan menurunkan tali dress yang ada pada bahunya. Raphael menghirup semua aroma tubuh Nana dan menciumnya dengan lembut di sana membuat Nana kewalahan dan tidak bisa bereaksi.
"Jangan tolak gue lagi, please."
"Lo yang tolak gue." balas Nana tak mau kalah.
Raphael menggeleng. "Lo menolak gue lebih dulu, Katarina."
Nana mengerutkan keningnya, melawan dan membuat kedua tangannya terbebas sekarang bisa menyentuh wajah Raphael.
"Apa kata lo?!" tanya Nana tak paham.
Kedua mata tajam itu menatap Nana dengan sama dalamnya. "Lo yang tolak gue lebih dulu."
Nana dibuat bingung. Dia menolak Raphael? Kapan?
***
a/n:
Nggak sopan banget yak. Belum jadi apa-apa sudah berlaku penuh emosi saja.
"Lebih nggak sopan mana sama
yang masukin surat cinta ke
loker gue diam-diam?" ─ Raphael
***
"Elo yang bego itu mah, kenapa
nggak dibaca satu persatu
surat cinta alay dari fans lo."
─ Arie
***
"Telat, keburu melempem hati gue."
─Nana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro