CHAPTER #18
"Jatuh hati itu bisa dimana saja,
kapan saja, dan pada siapa
saja. Mangsanya? Bisa
dimana saja."
─Nana
***
CHAPTER #18
***
PERTEMUAN keluarga besar memang menjadi momok yang menakutkan untuk Nana. Sebenarnya, dia tidak ingin ikut tapi Mamanya, Jane dan Omanya Naka baru saja datang dari Jepang dan berniat merayakan natal di Indonesia.
Siapa tahu? Datang-datang, Nana disambut oleh wajah basah, rambut basah, serta wajah sok ganteng Raphael yang kini tengah merayu Omanya di sisi kolam renang rumah.
Arie dan Dinda sedang sibuk menyiapkan pembakaran. Prav? Tidak ada, sahabatnya yang satu itu sedang sibuk mendatangi acara award karena sudah mulai memasuki akhir tahun. Sebenarnya, Nana pun harus menghadiri acara penghargaan, namun Marcell bilang kalau Nana tidak siap dan tidak ingin juga tidak apa-apa, karena hal itu bisa diwakilkan oleh artis yang lain.
Tahu berita akhir tahun ini apa? Yap, Marcell sudah resmi menjadi pacar Ina. What the freaking freak? Nana serius menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat kepada Marcell dan Maestro itu kelihatan sangat senang.
Memang ya, ada udang di balik batu. Pantas saja Nana selalu dijadikan anak emas di Label karena Marcell berada di bawah pengawasan Ina, kemungkinan pria itu di ancam agar tidak membuat Nana kelelahan menjadi talent paling di sayang oleh Marcell di Label. Jijik benar!
"Cucu Oma baru pulang? Ya Tuhan..." Naka yang berada di kursi roda itu merentangkan kedua tangannya agar Nana mendekati dirinya.
Nana memeluk Omanya dengan erat, meskipun kedua matanya tak mau melihat Raphael yang kini tengah duduk di sisi kolam.
"Apa kabar, Oma?"
"Baik Sayang, baik.. Kamu? Sukses album kamu, Na?"
"Umm, ya gitu.." jawab Nana malu. Nana menggenggam erat tangan keriput itu dan menciumnya. "Maaf ya, Oma.. Nana baru bisa pulang sekarang."
Naka mengangguk dan mengecup pelipis cucunya. "Oma paham, Nana sudah menjadi orang besar sekarang."
"Saking besarnya, dia jadi sombong, Oma." timpal seseorang ya siapa lagi kalau bukan Raphael.
Nana memicingkan matanya dan berusaha mengabaikan Raphael. Sudah beberapa bulan ini dia berhasil menjauhi Raphael, dan itu berhasil! Dia tidak lagi menyapa, tidak lagi bertukar pesan, dan tidak lagi pernah mengunjungi kantor Raphael hanya untuk makan siang bersama.
Semua kebiasaan itu sudah hilang di telan waktu. Nana sudah terbiasa dengan lingkungannya yang baru di Label, dia memiliki jaringan pertemanan yang luas. Tidak lagi hanya Reggy saja, melainkan Nana tengah dekat bersama salah satu penasihat akuntan Label. Pertemuan yang tidak disengaja dan ternyata dia pria yang menarik.
"Nana sombong?" tanya Naka menggoda Nana. "Mana ada cucu Oma sombong."
Nana tersenyum malu-malu dan mengangguk. "Biasa lah, Oma.. Semakin dewasa kan, jalan yang diambil juga semakin berbeda. Semua sudah punya jalan hidupnya masing-masing." jawab Nana kepada Naka.
Naka mengangguk setuju. "Benar apa kata Nana, pada akhirnya kalian sibuk masing-masing, kan? Ya sudah, nggak apa-apa yang penting tetap jaga komunikasi."
"Oma pasti bakal kaget kalau Arie kasih tahu."
Si kabel nyambung datang entah darimana membuat Nana jantungan saja.
"Kenapa, Rie?" tanya Naka penasaran.
"Oma, sebenarnya.. Raphael sama Nana ini lagi saling marahan."
Dinda yang mendengarnya hanya tertawa saja meledek Nana dan Raphael. Naka mengerutkan keningnya tak percaya. "Nana marahan sama Raphael? Kenapa?"
"Hng-nggak kok, Oma. Arie ngaco!" balas Nana dengan gugup.
Si pelaku yang disebut namanya tampak biasa saja tanpa dosa malah menceburkan dirinya lagi ke dalam kolam.
"Orang yang punya dosa biasanya nggak mau nyapa, dari tadi Nana nggak sapa aku, Oma!" teriak Raphael dari tengah kolam.
Nana mengepalkan kedua tangannya, benar-benar Raphael si mulut besar.
"Nana kamu punya masalah sama Raphael?" tanya Jane, Mamanya yang ikut penasaran.
Nana buru-buru menggeleng. "Nggak kok, Ma. Itu perasaan aja─"
"Nana marah karena perasaan dia di tolak sama aku, Tan!" teriak Raphael lagi.
Ah, sialan. Kenapa sangat terdengar playing victim?
"Nana?" tanya Jane tak percaya.
Nana buru-buru menggelengkan kepalanya dan berusaha meyakinkan Oma dan Mamanya. "Ma, aku bersumpah aku nggak-"
"Na, gue mutusin Intan buat lo, lho! Jangan denial gitu!"
Hah? Apa katanya?
Nana langsung mendekati kolam dan memasang wajah siap menerjang Raphael. Kedua tangannya sudah gatal ingin menjambak rambut itu. "SEMBARANGAN BANGET MULUT LO!"
"Na, udah deh.." kata Raphael tersenyum seperti orang gila. "Gue mau nerima lo kok, sekarang."
"NAJIS!" teriak Nana.
"Nana mulutnya!" Naka menegur cucunya.
Nana meringis malu dan menatap Naka dan Jane. "Please guys.. Kalian harus percaya sama aku. Mana mungkin aku suka sama Raphael, kan?"
"Ya memang kenapa kalau memang kamu suka sama Raphael, Nak?" tanya Jane tak mengerti dengan sikap putrinya yang terlihat salah tingkah. "Kamu kan cewek, Raphael cowok."
"Ma, aku udah nggak suka lagi sama dia!"
"Dia siapa heh?!" goda Raphael.
Huh, Nana betul-betul siap menampar Raphael dengan tangannya andai saja cowok itu ada di daratan. Dinda malah tertawa kencang, sementara Arie tampak tersipu menggoda Nana.
"Kurang kencang, Raf!" teriak Arie memanas-manasi. "Bikin marah aja sekalian si Nana sama lo!"
"Nana, Raphael sudah tidak bertunangan lagi dengan Intan. Dan dia bilang, Raphael mau serius sama kamu." ujar Naka dari belakang tubuhnya.
Napas Nana sudah tercekat, dari sekian jarum yang ada di tumpukan jerami kenapa harus Raphael? Toh, dia sudah membuang perasaannya jauh-jauh, membuka lembaran baru bersama Gema. Dan jika memang Raphael sudah memutuskan pertunangannya dengan Intan, lalu urusannya apa?
Apa Nana di sini akan di salahkan menjadi pihak yang sudah membuat hubungan Raphael dan Intan akhirnya kandas?
"Ini salah gue, kan?" tanya Nana kepada Raphael.
Raphael menyisir rambutnya yang basah dan mengangkat bahunya dengan acuh. "Salah? Lo nggak salah, gue yang salah." katanya kepada Nana.
Nana berdecih, tapi dia mendekati ubin sisi kolam dan melipat kedua tangannya bersikap bossy bahwa dia tidak akan terpengaruh oleh permainan Raphael.
"Gara-gara gue, tunangan lo sama Intan jadi putus." Nana mengangguk dan menundukkan kepalanya menahan pemikiran tajam yang sedang menyakiti perasaannya. "Ya, pasti ini gara-gara gue. Gue bakal minta maaf─"
"Nana apa sih?!" potong Raphael.
Berdebat disaksikan oleh keluarga sendiri memang ide yang buruk, kini wajah Omanya malah terlihat kalut dan khawatir.
"Sudah-sudah, jangan jadi bertengkar dong.. Bentar lagi malam natal, nggak baik kalau kalian saling marahan." ujar Naka menasehati cucunya.
Nana menggeleng. "Aku nggak marah, Oma. Aku cuman kecewa sama diri aku sendiri, gara-gara aku Raphael dan Intan jadi-"
"Can't you stop blaming yourself?" teriak Raphael dari kolam. "Sudah gue bilang, ini salah gue bukan salah lo!"
"Mana ada! Lo kan jadi begini gara-gara KEEGOISAN gue!" tekan Nana.
"Na.." Raphael mengusap wajahnya yang basah dengan frustrasi. "Gue minta maaf, okay?"
"Gue yang minta maaf," balas Nana dengan wajah kesal. "Gue yang salah, bukan lo."
"Gue yang salah." timpal Raphael tak setuju.
Nana menggelengkan kepalanya. "Gue, Raf.."
"Gue.."
"... Gue yang salah!" tekan Nana.
"LO BERDUA SAMA-SAMA SALAH ELAH!" teriak Arie dari garden.
Nana mendengus dia menahan amarahnya sekarang dan berusaha bersikap biasa-biasa saja. Terutama, di depan Mama dan Omanya.
"Can you help me?" tanya Raphael kepadanya.
"Apa lagi?"
"Handuk gue dong, Na."
Nana melihat handuk yang sudah disiapkan di atas meja dekat Omanya, Nana mengambilnya, menunggu Raphael naik ke atas. Tubuh pria itu tentu saja basah, air banyak yang mengalir hingga membasahi sisi kolam dan membuat genangan baru.
"Nih," bahkan Nana memberikannya dari jarak kejauhan.
"Ayolah, Na.."
Raphael sudah merengek meminta Nana agar mendekati dirinya. Awalnya Nana tidak mau, tapi Omanya lagi-lagi membuat Nana bertindak tidak sesuai kemauannya.
"Ayo, Na.. Kalau kamu nggak marah sama Raphael, kenapa harus jaga jarak seperti itu?" kata Naka kepadanya.
Dengan berbesar hati, meskipun tidak rela, Nana berjalan mendekati Raphael, dia memberikan handuk itu dengan penuh emosi, sayangnya Raphael menarik tubuh Nana dan membuat kedua tubuh mereka saling menempel satu sama lain.
"RAF BASAH!" protes Nana berusaha melepaskan tubuhnya dari kungkungan Raphael.
Raphael memeluk Nana kian erat, bagian baju depan Nana kini sudah sepenuhnya basah. Sialnya, Oma dan Arie malah menertawakan dia.
"Lepas, Raf! Baju gue jadi basah!" teriak Nana kali ini lebih emosi.
"Kok marah?" tanya Raphael dengan bodohnya.
"LEPAS!!" teriak Nana mendorong bahu Raphael.
Raphael malah tertawa makin kencang, Raphael membentangkan handuk di sekitar punggung Nana, kedua tangan pria itu bukan lagi berada di pinggangnya, tapi di bawah bokong Nana dan membuat Nana menjerit kala telapak tangan besar itu mampir di sana dan meremasnya perlahan.
MEMANG KURANG AJAR!
"RAPHAEL BERENGSEK!" maki Nana kepadanya.
"Apa sih?! Ya Tuhan.. Marah-marah aja."
Tahu kesalnya apa? Hari ini Nana memakai dress terusan selutut. Bagaimana Nana tidak kesal ketika tangan kurang ajar Raphael menyapa bokongnya dengan kurang ajarnya meremas di sana?!
"LEPASIN GUE!"
Akhirnya, Raphael melepaskan pelukannya dan berjalan meninggalkan Nana menuju sisi kolam. Jane, sudah memberikan handuk lain untuk putrinya, sementara Nana sibuk mengeringkan bagian tubuhnya yang basah.
Sialan, Raphael berjalan dengan tenang berwajah tanpa dosa seolah baru saja tidak terjadi apa-apa. Sementara Nana masih bisa merasakan tangan besar Raphael pada bokongnya tadi.
Nana hanya bisa memberikan tatapan tajam dan menusuk pada punggung lebar yang kian berjalan menjauhi Nana.
"Pelototin aja terus!" kata Arie yang sedang memanggang daging. "Barangkali, mata lo bisa nusuk punggung dia!"
Nana berdecih sebal, kalau sudah begini Nana tidak akan tidur di rumah. Dia akan pulang ke apartemen sebagai tempat paling aman yang tidak akan di jamah oleh Raphael.
***
One sides love.
Kenapa Nana harus terjebak one sides love bertahun-tahun kalau dia ternyata bisa jadi playgirl? Ck, Nana jadi menyesal telah menyia-nyiakan masa mudanya yang terbengkalai. Berganti pasangan, mencari lelaki yang tepat, dan beragam sifat sepertinya memang menyenangkan.
Selama ini, dia terlalu fokus dengan dunia musik. Jadi, malam ini atas permintaan sang Oma, Nana menuruti permintaan agar tetap menginap di rumah. Ina belum pulang, kemungkinan besok dia baru sampai Jakarta.
Jadi, Nana dengan serius mengundang Kafka, pria yang baru saja Nana kenali satu bulan yang lalu.
"Ma, kenalkan ini Kafka, temanku." kata Nana kepada Jane memperkenalkan Kafka.
Penampilan Kafka malam ini necis banget, jelas, sebagai penasihat akuntan dari Bank Internasional terkenal Kafka memiliki vitur wajah yang bisa dijual. Porsi badannya oke, wajahnya maskulin dan memiliki sisi garis yang dewasa. Lalu, jangan tanya alasan Nana suka Kafka karena apa. Ya jelas, karena kebaikan dan kesopanan Kafka kepadanya saat di Label.
"Halo, Tante.. Saya Kafka," ujar Kafka memperkenalkan dirinya.
Jane tersenyum lembut, begitu pun dengan Naka. Arie dan Dinda saling menyembunyikan senyum dan sementara Raphael.. Out of the box, Nana nggak peduli lagi soal pria itu.
"Kafka, sudah lama kenal Nana?"
"Oh─saya baru kenal dengan Katarina satu bulan yang lalu, tapi ya.. Siapa yang nggak tahu Katarina? A cellist from Jakarta Symphony Hall."
Jane malah terkekeh pelan. "Tante nggak cukup nyangka Nana malah terkenal jadi Cellist."
Naka menepuk lengan Kafka dan membuat pria itu terkejut. "Berapa umur kamu, Nak?"
Kafka tersenyum berlutut di depan Naka dan mencium punggung tangan Naka dengan sopan. "Saya tiga puluh dua tahun, Oma."
"Oalah.. Sudah matang ya," balas Naka kepada Kafka. "Enjoy the night ya, Kafka.. Semoga betah kenalan sama keluarga Nana."
"Terima kasih Oma,"
Nana menggandeng lengan Kafka dan membawanya duduk di hadapan ketiga orang itu. "Mas Kafka, kenalkan ini sahabat saya Arie dan pacarnya Dinda, dan Raphael."
Mendengar sebutan Nana kepada Kafka jelas membuat Raphael mendengus sebal.
"Kafka," kata Kafka memperkenalkan diri kepada Raphael lebih dulu.
Raphael mengangkat alisnya memberikan wajah yang sangat tidak enak. "Raphael,"
"Nice to see you, Raphael. Katarina always talk a lot about you."
"Talking about me?" timpal Raphael sembari memandang wajah Nana.
Nana hanya diam saja. Lalu Kafka mengangguk. "Ya, kalian memiliki kesalahpahaman, right? Katarina told me, that's her fault towards you."
"Are you blaming yourself again, Na?!" serobot Raphael menyerang Nana dengan sebuah pertanyaan.
"I'm not blaming myself, it's just my fault being a selfish person." balas Nana dengan malas.
Arie berdeham lalu menjabat tangan Kafka agar mengalihkan pembicaraan. "Arie,"
"Kafka,"
Lalu Kafka pun berkenalan dengan Dinda. Sejujurnya Nana ingin membawa Kafka pergi jauh dari pandangan Raphael, tapi tampaknya Kafka malah bersikap nyaman-nyaman saja.
"Wah, bisa dong gue kalau butuh penasihat keuangan perusahaan manggil lo, Mas?" kata Arie dengan nada bercanda.
Kafka hanya tersenyum lalu mengangguk. "Boleh, boleh silakan."
"Mas, jangan mau deh.. Kerja sama temanku pasti ribet banget." kata Nana menimpali.
"Lho, karena ini teman-teman kamu, Mas dengan senang hati mau bantu lho."
"Ah, mending bantu aku aja sih, Mas." balas Nana dengan jahil.
Kafka menoleh dan tersenyum kepada Nana. "Apa yang harus aku bantu untuk kamu?"
"Cielah, Nana..." goda Arie dengan kurang ajarnya. "Mas, Kafka," katanya kepada Kafka. "Nana ini orangnya agak sensitif, kalau marah dia bisa seharian ngurung diri di kamar main Cello."
"I know that!" sahut Kafka sembari tertawa. "Satu bulan yang lalu saya temui dia di studio karena niat saya mau cari toilet, eh.. Ketemu sama gadis absurd tapi cantik, ya ini."
Senyum Nana merekah malu, jika tidak ada teman-temannya di sini Nana ingin sekali memukul Kafka. Ya, memang love language Nana kalau sudah berani pasti ingin melakukan skinship apa pun itu yang berhubungan dengan rasa gemas.
"Absurd banget memang." timpal Arie. "Begini-begini, Nana bisa lah, Mas.. Jadi cewek yang ideal."
"Buset!" Nana membulatkan matanya kepada Arie. "Berisik nggak lo?"
"It's okay... I want hear about you, Na. Especially, from your bestfriend."
"Ya terserah sih.." kata Nana sembari bersedekap. "Kalau dengar review dari mereka pasti buruk."
"Heh!" tegur Arie tidak terima. "Lo tuh memang negatif thinking mulu ya! Dasar INTJ!"
"Lo ESFP, diam aja!" balas Nana tak mau kalah.
"That's MBTI test right?" tanya Kafka.
Arie dan Nana mengangguk. "Iya, Mas tapi teman debat Nana tuh ya ENTP, Raphael."
Kini Raphael tengah menatapnya dengan wajah menantang. Nana hanya bisa melipat kedua tangannya di depan dada dan melengos.
"INTJ dan ENTP, wah.. Unik juga."
"Gue memang sering berdebat dengan Nana." cetus Raphael yang kini tersenyum miring. "Lo mau debat dengan gue sampai pagi pun, bakal gue jabanin. Bersilat lidah? Jagonya lo, kan, Na?"
Sialan, batin Nana mengumpat. Masa iya Raphael mau membahas soal ciuman sepihak yang dia lakukan kepada pria itu? Bisa-bisa Kafka jadi berpikiran negatif kepadanya.
"Apa sih, Raf?!"
"Halah, basi." ujar Raphael meremehkan dan kini mengangkat gitar yang ada di atas permadani mewah milik Mamanya.
Pria itu mulai memetik jari-jarinya di sana. Nada akustik yang asing bagi Nana, Nana hanya bisa tersenyum canggung kepada Kafka. Pilihan yang salah karena dia membawa Kafka hari ini, terutama.. Ketika Raphael ada di rumahnya.
"When I first saw you, I knew you were special."
Suara berat yang khas milik Raphael menyapa gendang telinga Nana dengan lembut. Raphael memang memiliki nada suara yang unik, bariton khas itu bisa menjadi suara berat pada waktu-waktu tertentu dan kadang membuat Nana lupa diri karena terlena dengan intonasi suara Raphael.
"You stole my eyes with your pretty looks."
Kampret..
Nana membulatkan matanya seketika kala mendengar lirik lagu yang Raphael nyanyikan.
That's a love letter I give to him?
Dan tahu apa lagi yang sialannya? Raphael mengubah kalimatnya menjadi suatu balasan.
"But I never thought that you would steal my heart as well."
Kedua kaki Nana rasanya melemas, jantungnya berdebar dan dia tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak menatap Raphael.
Raphael menyanyi, memainkan gitar. Namun kedua mata lelaki itu tidak lepas menatapnya sejak tadi.
Balon gas udara bisa terbang ketika ada tekanan dari sebuah api. Maka yang Nana rasakan saat ini adalah tekanan besar mempengaruhi jantung dan sebagian hatinya yang membuat darah Nana berdesir dengan cepat.
Apa yang dia lakukan kepada Raphael hingga membuat Raphael berubah seperti ini?
"My heart was made of steel when we meet, and slowly you melted it one piece at the time."
Nana mengeratkan kedua tangannya sendiri dan tidak bisa lagi menahan atas semua yang dia dengar dari mulut Raphael.
"First with your kindness and respect, then your hugs your laughter and your smile."
"STOP!" teriak Nana kepada Raphael.
Dalam sekejap, ruangan menjadi hening tidak ada lagi suara petikan gitar dan kini Nana membuat Kafka memberikan tatapan penuh rasa penasaran kepadanya.
"Why, Katarina?!" ujar Raphael yang kini sedang menyimpan gitar dan berdiri mengikuti dirinya. "That's a song, I mean a poem what I accepted nine years a go maybe?"
"Berhenti, Raf.." lirih Nana dengan kesal.
"Are you mad?" tantang Raphael.
"Berhenti gue bilang! Gue benci sama lo!"
"Katarina?" Kafka menegur dirinya dan membuat Nana tersadar.
"Maaf," Nana menundukkan kepalanya dan menarik napas dalamnya.
Raphael terkekeh pelan dan terdengar kesan yang mengejek. "I like your love letter, Na. And I still read your love letter that you give it to me and I read every single night."
Benar-benar mengejek. Raphael memang selalu menyepelekan perasaannya bukan?
"From, K.. Who born at Saint Catarina."
Tuhan...
***
a/n:
Langsung bales dendam nyanyiin surat
cinta yang baru aja dia buka seminggu
lalu, tiap malem dibaca sampai hapal
di luar kepala. Memang luar biasa!
Ekspresi Arie ketika Raphael bilang
kalau dia baru baca surat cinta
dari Nana yang udah ditimbun
bertahun-tahun lamanya di
box kumpulan surat cinta
dari para fans-nya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro