CHAPTER #17
"I learning something
beautiful. If you love life,
life will love you back."
─Nana
***
CHAPTER #17
***
PARA jemaat Katedral sudah pulang, hanya Nana saja yang masih duduk di bangku menatap ke depan dengan tatapan kosong. Sangat mengkhawatirkan memang. Sampai-sampai, panggilan dari Loli tidak dijawab terus menerus.
Apa yang salah darinya? Egois? Tidak tahu malu? Bersikap impulsif kepada sahabat sendiri? Atau mungkin.. Dia menjadi wanita murahan yang tidak bisa mengendalikan perasaannya?
Geez, itu terdengar sangat menyedihkan.
Nana pernah ingat, di suatu malam ketika hanya ada dia dan Raphael bersama pria itu selalu mengatakan bahwa Nana harus mendapatkan pasangan yang bisa menerima dirinya. Jangan selalu menjadi pihak yang memberi, karena memberi akan ada saatnya dimana kamu tidak rela memberikan apa yang harusnya tidak kamu berikan.
Contohnya, waktu dan diri kamu.
Jika lelah, tenaga masih bisa pulih dengan istirahat. Jika uang? Yang sudah dikeluarkan maka uang, dan materi masih bisa dicari. Lalu jika kenangan dan kebahagiaan? Kedua itu bisa diciptakan.
Tapi waktu?
Apakah waktu bisa kembali?
Tidak.
Tanpa meminta, tanpa menolak, waktu akan terus berjalan. Waktu akan merangkak, berdiri, berjalan, berlari di sisi kamu tanpa pergi sama sekali. Itu benar, Nana sadar dengan apa yang terjadi kepadanya. Menyesali pun tidak ada gunanya karena semua sudah terlewati.
Kalau waktu adalah penyembuh, maka Nana percaya rasa sakitnya akan hilang termakan oleh usia. Namun, rasa sakit itu tidak akan benar-benar hilang jika Nana tidak mencoba untuk menyentuh lukanya.
Setiap luka, punya penawarnya. Dan tidak semua luka harus diobati oleh obat yang lain. Yang mungkin bisa menimbulkan komplikasi baru pada reaksi tubuhnya. Begitu juga dengan hati.
"Nona?"
Seseorang baru saja menepuk pundaknya. Nana tersadarkan meskipun entah sudah berapa lama dia melamun di dalam katedral.
"... Oh ya, maaf saya─"
"Nona, ini sudah jam satu siang, ada dua bodyguard di depan menunggu Anda." kata sang Biarawati kepada Nana.
Nana membalikkan tubuhnya dan melihat dua bodyguard berjas hitam, Nana yakin itu adalah suruhan Loli.
"Nona baik-baik saja?" tanya Biarawati itu kepada Nana.
Nana tersenyum. "Saya baik, terima kasih sudah menegur saya."
Biarawati itu tersenyum. "Sama-sama, saya antar ke depan ya, Nona?"
Nana mengangguk, sepanjang perjalanan menuju luar katedral, Nana selalu diberikan kata-kata penyemangat oleh sang Biarawati.
"Nggak apa-apa, nggak semua harus ada jawaban sekarang. Tuhan, selalu akan memberikan jawaban di waktu yang tepat kok." kata sang Biarawati kala menutup percakapan tadi.
Nana tersenyum lega, menarik napasnya dan bertanya kepada dua bodyguard yang ada di kursi depan mobil.
"Loli cari saya ya, Pak?"
"Iya, Non Katarina.. Saya di suruh sama Mbak Loli, katanya di lacak dari GPS Non ada di gereja. Saya sudah tunggu Non, jemaat yang lain udah pada keluar cuman Non aja yang belum keluar."
Nana terkekeh pelan merasa malu. "Biasa, keenakan curhat sama Tuhan jadi begini, Pak."
"Ya nggak apa," balas bodyguard yang di sisi pengemudi. "Terkadang, manusia cuman bisa mendengarkan dalam konteks─penasaran. Kalau kita, cerita sama Tuhan jatuhnya mengadu, pasrah dan percaya sama Tuhan."
"Bapak suka curhat sama Tuhan juga?"
"Suka, Non. Ya kadangkala, manusia memang butuh sandaran. Tuhan memang tidak terlihat, tapi dia selalu ada dalam setiap jiwa manusia."
Nana mengangguk membenarkan. "Benar, Pak."
"Apa yang Non Nana lakukan, dengan bercerita artinya kita memasrahkan diri. Nggak apa-apa, Non."
"Saya sakit hati, Pak." kata Nana mulai melantur. "Saya suka sama lelaki, sahabat saya, tapi dia nggak suka sama saya."
Dua bodyguard itu malah tertawa ketika mendengarnya. "Pasti sahabat Non matanya ada yang salah."
Kening Nana mengernyit heran. "Salah? Apanya yang salah?"
"Lho, ya modelan Non kayak gini masa ditolak? Dia pasti suka sama Non kok, mustahil Non dalam lingkungan persahabatan antara cowok dan cewek nggak saling suka tuh."
"Itu sih kata Bapak, ini sahabat saya sendiri lho memang nggak tertarik sama saya."
"Tenang, Non.. Hukum alam tuh berjalan, hari ini dia tolak Non, kalau kata Tuhan jodoh dia sama Non gimana?"
Nana bergidik ngeri. "Kayaknya saya yang udah nggak mau sama dia."
"Nah, kan?" jawab bodyguard itu dengan tawanya. "Tuhan tuh maha pembolak-balik hati, jadi ya.. Nggak ada yang bisa di tebak, hati bisa berubah kapan saja, Non."
"Jadi, maksud Bapak hati saya bakal berubah juga?"
Sang bodyguard mengangguk dan menatap Nana dari mirror rear-view. "Kayaknya sih, udah. Tadi kan sudah konseling dari hati ke hati sama Tuhan. Mungkin, Tuhan lagi siapin jodoh yang lain buat Non. Tunggu aja, Non."
Jodoh lain? Cailah.. Nana jadi penasaran, lelaki macam mana lagi yang akan dikenalkan dengan dirinya?
Memang ya, terkadang Tuhan membuat kita bertemu dengan orang baru belum tentu akan seattle bersama kita. Melainkan, Tuhan ingin kita mempunyai pengalaman dan menjadikannya pelajaran bahwa setiap manusia itu unik.
Ada yang bisa menyakiti, dan ada yang bisa menyembuhkan.
So, can Nana get a medicine?
***
"Na, kenapa sih masalah lo terus muter-muter di Raphael terus?!"
Reggy yang mendengarkan curhatannya saja terlihat muak ya apa lagi Nana dong? Nana hanya bisa menghela napasnya, dia menyadari luka di sudut bibirnya mulai mengering dan terasa perih ketika dia makan sesuatu.
"Gue udah nyerah, beneran. Gue nggak ada maksud apa-apa selain tanya, kenapa malam JCO dia kelihatan marah kepada gue!"
Reggy menggeleng tak percaya. "Semua udah nggak waras, lo juga sama. Semudah itu lo mengakui sama Intan? Gimana kalau Intan lebih gila daripada hanya menampar lo aja?"
"Gue terima konsekuensi." jawab Nana percaya diri.
Reggy mengangguk saja. "Terima konsekuensi yang berujung di tampar? Good, gimana reaksi Loli setelah lihat luka lo?"
"Marah,"
"Ya pasti.." jawab Reggy kesal. "Gue aja marah, gimana reaksi Kak Ina kalau tahu lo di tampar sama Intan, Na? Yang habis bukan lo doang, si Raphael bakal kena emosinya Kak ina juga!"
"Lo.." Nana menghela napasnya lelah. "Sampai kapan mau ngomel?"
"Sampai lo sadar kalau lo dan Raphael udah nggak bisa jadi teman lagi."
Untuk kenyataan satu itu, Nana juga sadar kok. Sadar sangat malah!
"... Gue juga tahu,"
"Ya udah lah, Na. Raphael nggak sedewasa yang lo kira." kata Reggy melanjutkan. "Kalau dia dewasa, dia nggak akan menanggapi lo dengan cara marah-marah nggak jelas."
Nana mengangguk setuju sembari menggigit stik es krimnya. "Untuk soal itu, gue juga setuju."
Reggy hanya bisa menggeleng, apartemennya memang sudah di sulap menjadi teater kecil sederhana yang di pasang in-focus pada bagian dinding putih yang polos. Mereka sejak tadi menonton acara ragam food Asian memang terdengar sangat random. Tapi ini juga yang membuat mood Nana akan membaik.
"Lo katanya lagi garap album sama Marcell?" tanya Reggy kepada Nana.
Nana mengangguk, untung saja Reggy mengingatkan Nana pada kenyataan. "Iya, mini album."
"Berapa lagu yang bakal lo garap?"
"Empat,"
"Lumayan juga tuh,"
"Ya.. Sisanya kan gue kerja di studio, Reggy. Belum lagi, gue evaluasi para trainee."
"Susah, Na? Ada berapa trainee di sana?"
"Uhm, we have a lot many girls. I think Marcell gonna make a big group, but I don't know about that."
Reggy terlihat semakin heboh saja, membayangkan pekerjaan Nana yang kali ini sepertinya banyak menguras tenaga, waktu dan emosi. Masalahnya, dibutuhkan kesabaran yang luas jika harus mengajari para trainee. Anehnya, Nana mau-mau saja.
"Lo nggak pernah minta kompensasi?" tanya Reggy dengan penasaran.
Nana mengerutkan keningnya. "Kompensasi apa nih?"
"Liburan!"
"Ya jadinya gue nggak tahu malu kalau begitu!" gerutu Nana kepada Reggy. "Gue masih junior bisa-bisanya minta libur? Debut gue bahkan baru beberapa bulan jalan!"
Reggy tertawa puas dan menepuk bahu Nana menyemangati. "Ya udah, kan kayaknya nih.. Pak Marcell demen sama lo, deh, Na."
Kedua bola mata Nana langsung membulat. "Ngaco lo!"
"Gue nggak ngaco!" balas Reggy. "Serius, orang-orang sampai ngiri ketika lihat lo di atas teater di peluk sama Pak Marcell. Lo sadar nggak sih, Na?"
Nana otomatis menggeleng pelan, dia jadi over-thinking sekarang.
"Ingat nggak, bahkan Pak Marcell menyebut nama lo saat pidato pembukaan?"
Nana menggelengkan kepalanya dengan keras. "Lo jangan aneh-aneh, Reggy!" bantahnya tidak suka.
"Gue nggak aneh-aneh! Emang kenyataannya kayak begitu, Pak Marcell macam mengagumi lo diam-diam, Na."
"Nggak!" tolak Nana dengan tegas. "Itu nggak masuk akal banget tahu nggak?"
Reggy tertawa puas, tanpa dosa. Benar-benar membuat Nana bingung, jangan-jangan jika benar Marcell...
Ah, tidak. Perasaan Reggy saja, karena setahu Nana Marcell sedang mendekati Ina, kakaknya. Ya meskipun tidak terang-terangan, tapi Nana tahu kok jika Marcell selalu menanyakan tentang Ina kepadanya.
"Spekulasi lo salah, Reggy." kata Nana berusaha memberitahu, jangan sampai kalau Reggy menggiring opini yang salah.
"Salah?"
"Iya, Marcell suka sama Kak Ina. Udah beberapa hari ini, nanyain Ina suka apa, Ina suka ini nggak, Ina tuh orangnya kayak gimana."
Reggy menutup mulutnya dramatis. "Serius?! Kok bisa?"
"... Kayaknya," Nana meringis menggaruk lehernya yang tak gatal. "Ya semenjak gue tantrum sama diri gue sendiri itu, Marcell kan udah takut banget gue berubah pikiran."
"Gile... Memang aura Kak Ina tuh tajam banget ya, Na. Modelan Pak Marcell kepincut sama Kak Ina apa nggak bakalan pusing?"
"Kok pusing sih?"
"Ya pusing dong, Na. Kak Ina kan business woman, barangkali waktu buat kencan aja nggak ada."
Nana terkekeh pelan. "Kak Ina sama Marcell sama aja. Sama-sama sibuk!"
"Kayaknya jodoh deh, Na."
Nana menggeleng tak yakin. "Ya kalau jodoh sih, nggak apa-apa, Reggy."
"Kalau gue jadi lo.. Manfaatin Pak Marcell lah, Na."
"Maksud lo?"
"Minta bonus holiday!"
"Lo ini!" geram Nana kesal.
Mana bisa dia liburan di tengah masalah seperti ini? Ia harus menggarap album mini dalam waktu dekat, dan begitu banyak hal yang harus Nana kerjakan di studio. Oh, dunianya sekarang studio, bukan kamar lagi!
***
* | flashback [3]
"Lo lagi PDKT sama Jason?"
Nana menyelesaikan dawai panjang dari gesekan Cello-nya dan menatap Raphael dengan horor.
Tidak ada hujan, tidak ada angin ini cowok tiba-tiba muncul di belakang Nana saja. Tidak seperti biasanya Raphael mau masuk ke ruangan klub musik klasik dimana yang kata Raphael para klub musik kuno dengan selera yang kuno juga.
Kayaknya, anti banget buat anak klub science menginjakkan kaki di ruangan klub musik.
"Apa sih?! Bikin kaget aja!" hardik Nana kepada Raphael.
Raphael langsung mengambil kursi dan duduk di hadapan Nana. "Serius, gue tanya sama lo. Lo lagi dekat sama Jason?"
Nana mengangkat alisnya menantang Raphael. "Memang kalau iya kenapa?"
"Ya lo," Raphael berdecak dan duduk tidak nyaman. "Bisa kali, milih cowok yang lebih dari Jason? Kayak nggak ada cowok lain aja. Kerjaan dia di kelas bahkan cuman tidur!"
"Bodo amat sih," balas Nana acuh tak acuh memasukan Cello-nya ke dalam case. "Toh, kita semua udah sibuk masing-masing, kan? Arie sibuk pacaran sama Dinda, lo sama Natasha dan Prav," Nana memutarkan bola matanya dengan jengah mengingat kelakuan temannya satu itu. "Dia sibuk sama musik, ya gue juga berhak punya kesibukan lain dong?"
"Dengan punya pacar?"
Nana mengangguk mantap. "Ya, dengan punya pacar."
"Aneh," cibir Raphael kepadanya.
"Apa?"
"Lo jadi aneh."
"Oh, ya namanya juga cewek yang lagi puber!" balas Nana dengan sarkas.
Jujur, selama ini hanya Nana doang yang tidak memiliki pengalaman kencan dengan cowok. Dan hal itu, kerap menjadi sebuah ejekan karena Nana dianggap tidak normal.
"Sebangga itu?" kata Raphael dengan nada bicara yang tidak santai.
Nana menghela napasnya dengan keras. Masa iya Raphael mau menginterogasinya? Dari sisi mana pun Nana tahu Raphael tidak suka kepada Jason. Padahal, ya apa urusannya kalau Nana dekat dengan Jason?
"Gue bangga, karena gue bisa sama seperti kalian." balas Nana kali ini. "Bisa sibuk kencan, main, kenal lingkungan baru, kenal orang baru. Bukannya lo yang bilang kalau gue kurang pergaulan?" balas Nana tak tanggung-tanggung.
Jujur, Nana sakit hati semenjak Raphael dan Natasha membicarakan dirinya di laboratorium bahasa. Nana sengaja mengambil tempat duduk di belakang, karena apa? Posisi tempat duduknya kini sudah diambil alih oleh Natasha.
Kalau biasanya Nana akan duduk bersebelahan dengan Raphael dan diapit oleh Arie dan Prav. Maka kini semuanya telah berbeda.
Raphael, duduk bersisian dengan Natasha. Lalu, Arie duduk bersisian dengan Dinda pacarnya. Dan Prav? Mulai sibuk bersama teman kelas yang lain? Nana? Tersisihkan!
Saat istirahat di laboratorium, Nana merasa kram saat haid-nya muncul, dia tidak bisa berjalan dan mau tidak mau menghabiskan waktu istirahatnya di laboratorium bahasa.
Dan tahu apa yang dia dengar saat itu?
Natasha seakan-akan ingin tahu segala urusannya, tentangnya bahkan terkesan orang yang ingin cari perhatian kalau dia bisa dekat dengan Nana sebagai pacar dari sahabatnya. Padahal, Nana tidak sudi sama sekali berteman dengannya.
"Na, apa sih lo─"
"Gue tahu," potong Nana dengan wajah muram. "Gue tahu semuanya, selama ini gue selalu membuntuti lo ketika lo kencan bersama pacar lo. Yang terakhir, gue balik dengan lo dan Natasha, mungkin Natasha ngerasa risih atau mungkin lo, kan? Gue ngerti!"
"Apa sih, Na?! Kok lo mikirnya kayak gitu?!" tanya Raphael tidak terima.
Nana berdecih meremehkan Raphael. "Udah lah, jalan masing-masing aja sekarang. Lo sama Natasha, Arie sama Dinda dan Prav sama klub band dia."
"Kok lo jadi salty begini?"
"Memangnya lo doang yang bisa salty?" balas Nana tak mau kalah.
"Rina?"
Nana menoleh secepat mungkin kala satu cowok yang hanya memanggilnya Rina menyebut namanya.
"Oh, hai.." sapa Nana mengendalikan emosinya yang belum sepenuhnya stabil. "Udah beres latihan voli-nya?"
Jason mengangguk, berjalan mendekati dirinya dan meraih case besar Cello Nana. "Udah, mau pulang sekarang? Jadi beli lemonade cake-nya?"
Nana mengangguk memberikan senyuman kepada Jason. "Jadi."
"Wait─" cegah Raphael kepada Nana. "Gue belum selesai bicara sama lo."
"Gue udah selesai." jawab Nana malas. "Udah ya, gue sibuk. Pasti pacar lo udah nungguin lo."
"Nana!"
Jason menahan bahu Raphael dan berkata. "Don't raise your voice, Bung!"
"Apa urusannya sama lo, hah?!" balas Raphael tak mau kalah.
Kalau begini ceritanya Nana bisa jadi faktor pertempuran Jason dan Raphael. "Okay stop, gue mau balik, Raf.."
"LO BALIK SAMA GUE!" bentak Raphael kepada Nana.
Nana menggeleng. "Nggak cukup ngerti juga ya, lo? Bukannya lo nggak suka gue intilin?"
"Nana!"
"Enough, okay?" Nana berusaha tenang. "Gue mau balik sama Jason, dan pulang sama lo bukan lagi kewajiban gue, atau pun lo tidak lagi berkewajiban untuk jadi penjaga gue, okay?!"
Nana menarik tangan Jason dan pergi dari hadapan Raphael. Ini tidak akan berhasil, Nana akan memastikan Raphael tidak membicarakannya lagi dengan seenaknya.
***
Bandung, 19 Januari 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro