Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER #16

"We're not who we used
to be."

Nana

***

CHAPTER #16

***

PADA intinya, Nana hanya ingin mendapatkan kejelasan. Kejelasan atas sikap Raphael dua malam yang lalu di Jakarta Symphony Hall. Karena Nana pikir, everything was right-setelah dia mengakui dan meminta maaf kepada Raphael.

Okay, Nana mengakui. Dia salah, karena sudah mencium Raphael. Apa pun itu, tindakannya mencium Raphael adalah salah. Meskipun bagi Nana ciuman itu sangat berarti karena Nana sudah berhasil menggambarkan dan menjelaskan perasaan yang dia rasakan kepada Raphael.

Nana jadi takut, apa yang sudah dia lakukan kepada Raphael malah membuat sahabatnya itu berubah. Tapi, percaya lah.. Bukan ini mau Nana.

Jadi, Nana memutuskan untuk pergi menyambangi Raphael sendirian, tanpa Arie ataupun Prav. Karena dia tidak mau, Raphael menganggap bahwa dirinya selalu membutuhkan tameng. Apartemen Raphael memang tidak jauh dari kantornya, mungkin akan terlihat mencolok bagi Nana untuk datang sendirian ke sana.

Tahu Nana berangkat pukul berapa? Nana pergi tanpa mengabari Loli, pukul lima pagi menyetir sendirian dan berhasil lepas dari kontrol Loli. Dia akan meminta maaf setelah ini, yakin kok sepertinya kalau urusannya Raphael siang hari juga sudah selesai.

Nana naik ke lantai paling atas, apartemen suite residence itu memang memiliki keamanan paling tinggi, dan setahu Nana dia sudah punya akses pribadi yang Raphael berikan kepadanya.

Jadi, Nana dengan mudahnya bisa naik ke atas dan kini berdiri di depan pintu unit apartemen Raphael.

It's something kinda crazy, Nana membatin. Yap, masih subuh hari, dan ini hari minggu. Padahal, Nana harusnya pergi gereja saja daripada cari ribut dengan Raphael.

Dengan perasaan tergesa-gesa, Nana menekan bel apartemen Raphael.

Perlu membutuhkan waktu lama. Ya, Nana tidak mau menelepon Raphael sengaja ingin membuat sahabatnya itu terkejut. Tapi ya, memikirkan betapa kebo-nya Raphael kayaknya Nana nggak bisa menunggu sesabar itu di depan unit apartemen Raphael.

Jadinya? Dia membombardir bel dengan cara yang tidak biasa.

Layar interkom sudah menyala, Nana pikir Raphael sudah bangun dan membuat Nana menghela napas lega. Dan ketika pintu itu terbuka, Nana mendorongnya secara cepat dan membuat Raphael terkejut.

"Who─WHAT THE HELL ARE YOU DOING?!"

Nana tahu, Raphael shock tapi nggak gini juga kali ya, pikir Nana. Dia disuguhkan oleh badan topless Raphael yang bukan main-main, masalahnya itu bukan six packs lagi tapi eight packs yang bikin Nana penasaran apa dia juga bisa mendapatkan hal yang sama dengan olahraga rutin?

"Wow," decak Nana kagum memandangi perut Raphael.

Raphael mendengus kesal, dengan muka bantal dan kedua mata yang menyipit Raphael menodong Nana dengan pertanyaan kembali.

"Lo ngapain di sini, Na? Ini jam berapa?" tanya Raphael dengan jengah.

"Mau bicara," jawab Nana dengan ketus.

"Siang juga bisa, kenapa lo harus datang sepagi ini, Nana?"

"Ya gue maunya sekarang!" balas Nana nyolot.

Nana masuk ke dalam apartemen besar Raphael dan melepaskan Burberry Coat-nya. Percaya lah, coat ini dibeli sama dengan Raphael. Jadi, nggak heran kalau Raphael juga punya yang persis sama dengannya.

"Na, it's really crazy.." decak Raphael. "Gue cuci muka dulu, mau minum apa?"

"Kalau lo ngantuk, lanjut tidur aja." balas Nana dengan santai rebahan di atas sofa empuk dan mahal itu. "Nanti gue bangunin, ketika lo sudah siap."

"Udah ilang ngantuknya!"

Nana terkekeh pelan. "Mm, ya udah."

Selepas Raphael mencuci wajahnya, pria itu kembali mendekat kepada Nana sembari membawa dua cangkir teh panas yang mengepul.

"Ada apa, nih?! Lo nggak lagi bikin skandal dan kabur ke sini, kan?" tuduh Raphael.

Nana berdecak dan memicingkan matanya. "Otak lo nih, otak-otak yang kagak beres. Buat apa juga gue bikin skandal?!"

"Biasa, artis kan mainannya pengalihan isu."

"Sori, gue bukan artis!"

"Tapi banyak fans-nya?" tanya Raphael dengan salty.

Nana menarik napasnya dan meminum teh buatan Raphael. "Anj-panas!" teriak Nana heboh dan menjauhkan cangkir teh itu dari bibirnya. "Lo?!" Nana menatap Raphael dengan tajam. "Bikin teh pakai air ngegolak semua?! Nggak dicampur air dingin apa?!"

"Lupa," jawab Raphael dengan santai. "Biar cepat."

"Memang nih," Nana kini mulai membahas. "Dari yang gue lihat, kayaknya lo marah, benci sama gue. Apa gue bikin salah lagi, Raf?"

"..."

Tidak ada jawaban, maka Nana asumsikan iya.

"Raf? Gue salah ya? Makanya lo marah sama gue? Salah gue apa lagi?"

"..."

Nana betul-betul capek mental kalau harus menghadapi Raphael yang seperti ini. "Bukannya lo yang minta kalau gue nggak boleh suka sama lo, dan gue nggak boleh punya perasaan kepada lo. Ya, gue sudah lakukan itu, Raf.. I'm swearings! Gue udah nggak suka lagi sama lo, kok."

"..."

Nana mempertahankan posisinya duduk bersampingan dengan Raphael. "Jangan marah sama gue please.. Keadaannya jadi nggak enak tahu, nggak?"

"Lo yang bikin nggak enak." balas Raphael dengan cepat.

Nana merasa tersakiti dengan ucapan Raphael. "Lo yang bikin semuanya jadi rumit," kata Raphael lagi.

"Tapi kan gue─"

"Apa?!" todong Raphael menatapnya dengan cara yang tidak bersahabat. "Karena lo sudah minta maaf kepada gue, begitu? Sadar nggak sih, Na? Lo itu egois!"

Nana tercengang. Ini pertama kalinya bagi Nana mendengar seseorang mengatakan bahwa dirinya egois. Rasanya sakit, Nana merasa tercekik dan tidak bisa membalas apa pun kata-kata Raphael.

"Gue egois?" lirih Nana perlahan.

Raphael diam saja lalu menjawab. "Ya, lo egois. Lo pikir, mana ada sahabat yang mencium sahabatnya sendiri ketika tahu sahabat lo sudah punya tunangan?"

"Raf-"

"Lo egois, Katarina. Apa lo pernah memikirkan dampaknya kepada gue? Why you did to me like this? After you had broke up moments with Noah, you think I don't know what wrong between you and Noah?"

"Apa dia bercerita kepada lo?"

"Of course," jawab Raphael jumawa. "He tell everything."

"Gue nggak maksud buat lo jadi bahan pelarian, atau apa pun, Raphael. But, he tell me that he know what I feel toward you."

"Dan dengan mencium gue sembarangan?"

Nana menghela napasnya lelah. "I know, that's my fault." kata Nana menyadari kesalahan dirinya.

"Nah," Raphael berdecak dan memandang Nana tak suka. "Sudah begini, lo merasa bahwa diri lo salah dan membuat lo seakan-akan korban di sini? Lo benar-benar egois Nana."

Nana tidak mengerti kenapa tanggapan Raphael kepada dirinya begitu kasar. "Raphael, demi Tuhan gue nggak ada niat untuk menghancurkan hubungan lo dengan Intan sekali pun. It's just-"

"It's just what? Nggak niat menghancurkan hubungan gue dengan Intan, but you did detroy me, destroy our friendship, Na. Can you realize it?"

Oh, ini tidak akan berhasil. Raphael terus menerus menyalahkannya dan Nana rasanya tidak tahan mendengarkan kata-kata Raphael yang terasa menyakitkan. Dia memang orang yang buruk, tidak tahu diri dan tidak tahu malu. Atas segala yang dia lakukan kepada Raphael, dengan beraninya dia masih menampakkan wajah di hadapan Raphael?

"Gue.." Nana menarik napasnya. "Gue akan meminta maaf kepada Intan."

Wajah Raphael terlihat menegang pada saat itu juga. "Na, lo-"

"Lo benar," Nana berusaha tegar mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Gue egois, banget. Nggak mikirin lo yang sudah bersama Intan, sementara sikap defensif gue kepada lo malah membuat lo jadi-"

"LO NGERTI MAKSUD YANG GUE BICARAKAN, NGGAK?! KENAPA LO JADI MENYALAHKAN DIRI LO SENDIRI?!" bentak Raphael emosi.

Nana menggeleng, menarik napasnya lebih dalam lagi. "Ini salah gue, maaf.. Gue minta maaf, dari hati yang terdalam atas kelancangan gue kepada lo."

Nana bangkit berdiri dan enggan menatap Raphael, hanya lantai marmer yang dingin menjadi refleksi diri Nana saat ini. Bahwa dia, adalah gadis yang tidak tahu malu telah mencium sahabatnya sendiri.

"I'm sorry," lirih Nana.

Nana melangkah menjauhi Raphael.

"Nana berhenti!"

Tidak akan dia dengarkan, Nana benar-benar sudah merasa malu. Apa yang dia harapkan? Bahwa hubungannya akan baik-baik saja dengan Raphael?

"Nana─"

"El, Sayang! Kamu udah bangun? Sori banget, tas makeup aku ketinggalan-Nana?"

Shit!

Nana mengumpat dalam hati ketika melihat Intan yang baru saja datang tiba-tiba ke apartemen Raphael sepertinya tanpa direncanakan.

"Nana why are you here?"

"Intan?" panggil Raphael dengan heran. "Kenapa kamu ke sini-ah, sori aku lupa."

"Aku mau ambil tas makeup aku, pagi ini aku ada pemotretan. Dan, Nana? Kok bisa ada di sini?" tanya Intan lagi.

Nana mengepalkan kedua tangannya, ya bagaimana lagi? Terlanjur basah, kan? Lebih baik Nana menenggelamkan dirinya saja sekarang.

"Intan, I kissed your fiance, was a long time a go. Dan sekarang, gue sedang melakukan pengakuan dosa. Mumpung hari ini hari Minggu, dan gue lebih baik mengakui dosa sebelum berangkat ke gereja. Jadi, gue ingin minta maaf-"

"Wait, apa lo bilang tadi?"

"Gue sudah mencium Raphael, sekitar tiga bulan yang lalu, I guess? Jadi, gue ingin minta maaf kepada lo karena gue sudah-"

Intan menamparnya.

Sangat keras dan membuat Nana terhuyung jatuh andai saja Raphael tidak menangkap tubuhnya.

"Intan!" teriak Raphael.

Nana berusaha bangkit sendiri dan menolak sentuhan Raphael. Tamparan Intan memang menyakitkan, dan terasa perih sekarang. Nana pikir, sudut bibirnya sudah berdarah sekarang. Tapi, tidak apa-apa, selagi dia sudah di cap sebagai orang egois.

"Lo benar-benar menjijikan, Nana!" maki Intan kepadanya.

Nana menarik napasnya dan merapikan rambutnya. "Ya, I am. Tenang aja, Raphael nggak menerima ciuman gue kok, dia mendorong gue dan tahu apa yang gue lakukan salah."

"..."

"Gue nggak ada maksud jelek, it was my defensive act and I did wrong to him." Nana menatap Raphael sekilas. "I'm... Really sorry." lirih Nana perlahan.

Nana menarik napas dalamnya dan menekan tangisannya. Dia tidak boleh menangis sekarang.

"Nana─"

Mengabaikan panggilan Raphael, Nana pergi berlari menjauhi unit itu. Menyadari bahwa kebodohannya dilakukan hanya karena sikap defensifnya, Nana benar-benar membenci dirinya sendiri.

Egois!

Ya, pada akhirnya dia adalah pihak yang egois dan tidak tahu malu.

***

* | flashback [3]

Dengan begitu Nana sudah tahu kalau Raphael tidak memedulikan surat-surat pernyataan cinta yang mampir untuknya. Mungkin, bagi Raphael sekedar membaca saja sudah cukup dan tidak perlu ada kewajiban untuk membalas perasaan gadis-gadis yang menyukai Raphael.

Akhirnya, Nana pun berusaha mengalihkan dirinya dan berkeras diri melupakan Raphael. Sakit sih, awalnya. Melihat cowok yang pertama kali kamu sukai, berpacaran dengan pilihannya. Padahal, sebelum ini Raphael pernah berpacaran beberapa kali tapi rasanya tidak seperti ini.

Natasha itu gadis cantik, manis, mempunyai tubuh yang bagus, mungil, tipe-tipe shawty girl yang imut dan punya banyak penggemar. Bahkan, suaranya khas manja tanpa dibuat-buat. Nana mengerti kok, Raphael lebih suka cewek girly dibandingkan cewek yang tampil apa adanya.

Tapi kok ya, rasanya melihat Raphael berpacaran menurut Nana itu sangat norak. Entah Raphael yang mengikuti gaya Natasha atau Natasha yang berhasil membuat Raphael berubah.

"Teman lo satu itu, kalau udah pacaran noraknya kebangetan." kata Prav, siang itu di lapangan sekolah.

Mm, melihat siapa yang Prav maksud, Nana langsung melihat ke arah dimana Raphael sedang membetulkan tali sepatu Natasha yang lepas.

Nana hanya tersenyum tipis. "Kan, pacarannya sama Princess, Prav. Jadi, Raphael juga memperlakukannya kayak Princess."

"Ah, basi!"

"Lo sih, makanya pacaran biar tahu rasanya sayang sama anak orang!" balas Nana.

"Nggak penting, gue nggak suka cewek-cewek manja modelan Natasha. Bikin repot!"

"Memang lo suka sama cewek kayak gimana?" tanya Nana merapikan rambutnya yang berterbangan.

"Gue.." tatapan Prav menerawang menatap lapangan sekolah. "Gue suka sama cewek yang lowkey, nggak aneh-aneh, sederhana dan low profile."

Nana mengerucutkan bibirnya. "Itu sangat terdengar banyak mau, Prav."

"Wajar dong, gue kan picky. Nggak kayak yang sana!" sindir Prav menunjuk Raphael.

Nana menggelengkan kepalanya, melihat Raphael yang tengah memberikan sesuatu kepada Natasha dan membuat teman-teman Natasha saling bersahutan meledek keduanya. Ya, seperti yang dibayangkan pasangan goals yang mendapatkan restu dari semua guru. Bahkan, Raphael dan Natasha akan menjadi ikon sampul majalah sekolah semester ini.

"Aw!"

Nana berteriak kencang kala kepalanya baru saja terlempar oleh suatu benda yang keras. Tahu itu apa? Bola kasti hijau yang keras dan datang entah darimana dengan kekuatan yang tidak bisa diperkirakan.

"Kenapa, Na?!" teriak Prav heboh.

Bahkan semua orang yang ada di lapangan ikut antusias penasaran atas suara jeritan kesakitan Nana.

Sialan, batin Nana ini betul-betul akan benjol kalau begini caranya. Dahi Nana terasa panas dan bola kasti itu sudah menggelinding tidak tahu kemana arahnya.

Arie datang, bahkan berlari bersama Dinda pacarnya.

"Ya ampun! Dahi Nana merah banget!" pekik nyaring Dinda.

Prav berlari mengambil ice pack di ruang kesehatan. Sementara Arie berusaha mengalihkan Nana dari rasa sakit.

"Kenapa?!" tanya berondong Raphael yang kini berlutut di hadapannya.

Memang selalu seperti ini, lalu Nana akan tergoda oleh kebaikan Raphael kepadanya. Maka dari itu, Nana berusaha mengacuhkan Raphael, apa lagi ketika Natasha sendiri ada bersama Raphael merangkul lengan cowok itu dengan posesif.

"Ah... I'm sorry, Katarina.." Jason, ternyata sang pelaku utama.

Jason itu teman satu kelas Nana, memang selama ini Nana terlalu acuh dan asik dengan dunianya sendiri tanpa sadar bahwa dia pun hidup di lingkungan luas dan banyak cowok yang lebih tampan daripada Raphael.

Ya ampun.. Kemana aja gue selama ini?

"Katarina, sori gue nggak sengaja─"

"Jadi ini semua kerjaan lo?!" todong Raphael ngegas.

Nana menggeleng cepat. "Nggak apa-apa, Jason.. Gue ngerti kok, lo nggak sengaja."

"Nggak sengaja apaan?!" timpal Raphael melotot kepadanya. "Dahi lo benjol! Dan sudah memar, gue yakin besok bisa berubah sebesar telur ayam!"

"Look, gue bakal obatin lo─"

"Ah anjing, basi lo!" lawan Raphael yang hendak menonjok Jason.

Nana langsung berdiri menghalangi Jason dengan tubuhnya. "Lo gila?! Nggak dengar apa kata Jason, tadi?!" tanya Nana dengan emosi.

"Awas!"

"Lo yang awas!" teriak Nana kepada Raphael.

Jason memegang bahunya dan mengusap bahunya. "Katarina, sabar.. Jangan marah-marah, mending kita ke UKS, ya?"

Nana menghela napasnya, Arie pun mengangguk setuju. "Ke UKS aja, Son. Nggak usah dipikirin, Raphael memang pendek sumbu."

Meninggalkan Raphael di lapangan yang masih menatapnya penuh amarah, baru kali ini Nana merasa lega─bisa menjauhi Raphael dengan secara sengaja.

Jason yang ada di sebelahnya selalu bertanya. Apa sakit? Seberapa sakit? Bahkan, Jason siap membawa Nana ke rumah sakit jika perlu.

Sisa karena kelas olahraga itu dihabiskan Nana di ruang UKS, mengobrol bersama Jason tentunya. Ternyata, Jason anak yang asik, wajah garang tapi ternyata dia sopan. Bahkan, Jason selalu menjaga tirai UKS agar selalu terbuka karena di ruang UKS hanya ada dirinya dengan Jason. Lalu, Jason selalu memakaikan selimut kepada kakinya dan bahkan menatap mata Nana ketika mengobrol.

Semua perlakuan Jason kepadanya Nana nilai hari itu. Nana lebih memedulikan attitude dibandingkan wajah. Itu kenapa dia menyukai Raphael karena cowok itu memiliki sikap yang bagus kepada cewek.

"Katarina, nama lo kepanjangan. Tapi, teman-teman lo selalu memanggil lo Nana."

"Panggil apa pun senyaman lo saja, Jason."

"Ya udah," jawab Jason dengan senyuman yang lega. "Gue panggil lo Rina, boleh?"

Nana mengangguk sembari tersenyum. "Boleh."

"That's good, Rina. Ternyata lo orangnya asik juga."

Nana terheran-heran, dia asik? Padahal, selama ini Nana selalu mendengar komentar bahwa dirinya itu sangat membosankan.

"Gue membosankan, Jason. Masa iya─"

"Siapa yang bilang begitu?" tanya Jason penasaran.

"Sahabat-sahabat gue." jawab Nana sembari tertawa.

Jason menggelengkan kepalanya tak percaya. "Itu artinya, mereka cowok-cowok yang nggak punya sense. Pulang bareng sama gue mau?"

Nana mengerjap lambat dan menahan napasnya menatap kedua mata hitam Jason yang terlihat ramah. "Bo-boleh.."

"Yes!" Jason mengangkat tangannya dengan senang. "Sekalian mampir klinik, kita cari salep buat dahi lo."

Nana terkikik geli. "Nggak sesakit itu sih, Jason. Cuman agak linu aja."

"Ya tetap aja," lalu Jason bangkit dari kursi dan menyentuh dahi Nana dan anak rambut Nana yang menghiasi dahi Nana. "Dahi ini nggak boleh luka, nanti lo kelihatan nggak cantik lagi."

Nana mengangkat alisnya dan tersenyum tipis. "Apa sih, Jason?"

Jason tertawa dan mengacak-acak puncak kepalanya. "Bercanda, Rina."

Dan pada saat itu juga Nana mengubah cara pandangnya, Jason ternyata bukan cowok seburuk Raphael yang tidak memedulikan surat-surat cinta dari gadis-gadis yang menyukainya. Dalam seketika Nana berpikir, dia merasa menyesal telah berbaik hati menjaga perasaannya karena menyukai Raphael. Ternyata, dia menemukan pancingan ikan yang lebih daripada cowok sok kecakepan itu.

***

a/n:

Nana tuh sebenarnya good looking, waktu sekolah aja banyak yang keceng. Tapi ya gara-gara penjaganya maung kayak Raphael yang selalu manggil Nana buat ikut dia sana sini kelihatannya makin kayak buntut.

Kebagian pacarnya sekarang nggak pernah mau dibuntutin, julid lagi kan:)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro