CHAPTER #14
"What if I never forget you?
What if, all my life when I meet
someone new, I can never fall
for them because they aren't
you?"
─Nana
***
CHAPTER #14
***
MENGALAH. Seseorang yang bijaksana mengatakan kepada Nana bahwa mengalah bukan kekalahan yang sebenarnya. Karena secara pribadi, keinginan besar Nana adalah mengupayakan Raphael agar terus ada dalam hidupnya, benar? Tapi ternyata.. Cara itu salah.
Cinta tidak bisa dipaksakan meskipun ingin. Yang Nana lakukan hanya bisa menerima sebuah respon yang dia terima dari pengakuannya, lalu kenapa dia berekspektasi tinggi hingga menjauh dan membuat hubungannya dengan Raphael jadi rumit?
Lalu, katanya.. Tidak ada yang patut disalahkan jika seseorang memperjuangkan keinginannya. Dunia nyata tidak bermurah hati seperti itu. Raphael sudah menjadi tunangan Intan, bahkan sepertinya kabar mereka baik-baik saja. Terhitung dua bulan Nana menjauh dari Raphael, dia tidak mendengarkan keluhan apa pun dari pasangan itu.
Memikirkan kemungkinan, kemungkinan, dan kemungkinan. Satu hal yang Nana pikirkan saat ini hanyalah ingin segera meminta maaf kepada Raphael atas tindakan yang sudah dia lakukan kepada sahabatnya itu. Loli bilang, Nana kurang ajar karena sudah pergi tanpa kejelasan setelah menerima penolakan dari Raphael.
Well, that's a bad habits. Nana akan menghadapinya sekarang.
Tentu saja, dengan bantuan Arie dan Prav, kedua sahabatnya itu berjanji akan mempertemukan Nana dengan Raphael di waktu yang luang.
Rekaman, latihan, menyelaraskan nada, latihan dengan para klub Cello dan Biola, lalu perkenalan dengan para trainee under dua puluh tahun, lalu mulai membuka kelas vokal. Semuanya tampak sibuk dan crowded. Di sela-sela kegiatan Label, Nana tetap harus pemotretan untuk iklan, majalah dan beberapa interview dari dunia musik yang mulai mengenal namanya sebagai Nana Damarys a Cellist from Indonesia.
Nana gila, hampir saja gila. Tapi kesibukan membantu pikirannya agar tetap fokus. Kerja, sibuk, ternyata tidak seburuk itu asalkan Nana tetap menjalaninya dengan senang.
It was my happy face, batin Nana ketika dia berhasil melakukan pemotretan untuk majalah Asia. Loli bahkan selalu memujinya dan menyemangati Nana.
"It's okay.. Lo bisa balik, istirahat buat acara besok." kata Loli kepadanya.
Besok memang Nana memiliki jadwal pagi, dia di undang dalam suatu acara Asian Parents. Dimana para orang tua dari wilayah Asia, saling memberikan dan mengeluarkan cara edukasi kepada anak, tidak hanya seni, kehidupan, kesederhanaan, olahraga, ataupun kerohanian, melainkan musik pun ada di sana.
Untuk itu, Nana sedikit lega dia memiliki waktu sore ini untuk menemui Arie dan Prav yang sudah reservasi cafe outdoor. Karena Nana mengeluh, dia membutuhkan udara yang jernih daripada udara yang Nana hirup sebagian besar dari AC.
And here we go, setelah diantar oleh sopir perusahaan, Nana menggendong backpack berisikan Cello-nya. Karena Nana pikir, dia akan menumpang mobil Prav untuk pulang, maka dari itu dia meminta sopir perusahaan agar pulang.
Suasana cafe sepi, bahkan hanya ada dua pengunjung selain tiga lelaki yang Nana sudah kenali. Berusaha mengatur detak jantungnya dan merasa keringat dingin mengalir, Nana tahu suasana ini harus dia hadapi.
Yaitu.. Bertemu dengan Raphael.
"Nana!" teriak Prav melambaikan tangannya kepada Nana.
Nana tersenyum, namun dia tetap terus berjalan meskipun rasanya Nana tidak merasakan kakinya menapak di permukaan tanah karena baru saja mendapatkan kedua mata Raphael menatapnya dari kejauhan.
Oh tolong, Na.. Batin Nana bermonolog sendiri. Isi kepala lo sudah menjadi milik Raphael dari zaman kapan, dan tatapan mata Raphael kepada lo nggak akan sama lagi seperti tempo lalu. And that's a called of resiko! Gerutu Nana pada dirinya sendiri.
Memang, tatapan mata Raphael berubah, benar-benar berubah. Mungkin, sudah menyirat kebencian? Atau ketidaksukaan karena Nana dengan egoisnya mencium Raphael seenaknya? Atau mungkin.. Raphael sangat tidak ingin mendengarkan pengakuan perasaannya pada saat itu?
Okay, breathe Na, breathe.. Jangan kelihatan kayak orang bodoh!
"Hai!" sapa Nana dengan riang.
Arie memasang wajah awkward, Prav menahan tawa mati-matian sementara Raphael hanya menatapnya dengan diam.
"Gue lama, ya? Sori.. Tadi baru beres meeting sama staf, kenapa nggak pesan? Pesan aja dulu." kata Nana sembari menyimpan backpack Cello di atas permukaan tanah.
"Na?"
Akhirnya, Nana senang karena ARIE membuka percakapan.
"Iya?" respon Nana cepat menahan malu.
"Duduk." titah Arie dengan senyuman jahilnya.
Nana mengangguk kaku, duh.. Mana duduknya ini berhadapan secara langsung dengan Raphael lagi!
Nana meringis, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan menatap Prav yang ada di sisinya. "Prav, how your day?"
Prav tersedak, menahan batuk dan berusaha menyembunyikan tawanya. "Tumben banget lo nanya begitu, Na?"
Memang tidak bisa di ajak kompromi..
"Ya memang nggak boleh? Gue juga biasa nanya kan, kegiatan apa aja yang kalian lakuin, sama Arie sama..." tatapan Nana beralih pada Raphael. "Sama Raphael juga."
"Ah─ya," timpal Arie dengan anggukan yang semangat. "Gue sih masih gitu-gitu aja, nggak tahu nih kalau Raphael gimana. Kayaknya sibuk banget, baru sekarang bisa kumpul lagi. Iya, kan?"
Tepukan bahu Arie pada Raphael membuat Raphael menoleh dengan dingin. "Lo semua kumpul tanpa gue, gue tahu itu."
Eh, buset, kok terdengar marah? Nana jadi antisipasi kan jadinya.
"Kapan pernah?" timpal Nana dengan tawa yang sangat tidak ingin dikeluarkan itu. "Gue kan udah sibuk."
"Ya sibuk," balas Raphael sembari memutarkan bola matanya dengan jengah. "Saking sibuknya, lo lari dari tanggung jawab dan membiarkan orang lain pusing?"
"I never─"
"Oh, c'mon.. Nggak usah basa-basi, gue yakin dua curut ini udah tahu masalah yang lo buat, kan?" tuntut Raphael kepada Nana dengan wajah sengak tak sukanya.
Prav mengetuk meja berusaha mencairkan suasana. "Raf, I know it's really stupid for you. Nana datang ke sini bukan buat lo judesin gitu aja, she's wanna say sorry to you."
"Say sorry," potong Raphael cepat. "Kenapa baru sekarang?" tanya Raphael.
Tatapan mata Raphael masih menatap Nana dengan tajam. Jujur, Nana merasa sakit hati, kenapa Raphael sebegitu marah kepadanya hanya karena pengakuan perasaan cinta Nana yang selama ini terpendam?
"Raf, lo tahu Nana sibuk. Dia baru bisa ketemu dan mau jelasin─"
"Lo bukan Nana dan lo bukan juru bicara dia!" potong Raphael tegas terhadap Prav.
Nana menelan ludahnya gugup, kedua tangannya di bawah meja sudah terkepal dengan kencang.
"You can speaking, right? Tell me, not helping with your other guardian, Na."
Salty, kelewat salty. Nana menekan rahangnya kuat-kuat dan berusaha tidak meledak meskipun ingin.
"Guys," kata Nana kepada Prav dengan Arie. "Boleh kasih gue waktu sama Raphael? Gue butuh bicara berdua sama dia."
Arie dan Prav mengangguk cepat, wajah mereka menegaskan semua hal kepada Nana bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Setelah Arie dan Prav pergi, Nana kembali memandang Raphael.
"Are you angry to me?" tanya Nana tanpa basa basi kali ini.
Raphael mengangguk, wajahnya dihiasi oleh kemarahan dan ketidaksukaan kepada Nana. "Of course, gue marah kepada lo."
"Soal pengakuan dan ciuman itu? I said sorry, Raf. Gue minta maaf, I lost my mind at that time. Semuanya sudah gue tahan, selama bertahun-tahun!" ujar Nana berusaha membela dirinya sendiri. "You think it's happy for me? Of course no!"
"..."
"Gue harusnya─"
"Untuk bertemu dengan gue pun lo memerlukan dua perantara. Lo anggap gue apa, Katarina?" potong Raphael dengan nada tegas.
Nana tercengang, dia tidak menyangka akan mendapatkan respon berlebihan seperti ini. Apa yang sebenarnya Raphael kesal kan?
"Lo terlalu menganggap enteng semua hal yang udah lo lakukan kepada gue, Na." tekan Raphael kepadanya.
Nana menggeleng, tentu saja dengan raut wajah yang cemas. "I'm not take easy what I doing to you, Raf. Exactly, I was a coward karena menjauh dari lo. But I'm sure, I was regret─"
"Lo menyesal?" potong Raphael tak sabaran.
Nana mengangguk pelan. "... Gue menyesal."
"KATARINA!" bentak Raphael kepadanya.
Nana memejamkan matanya, gila.. Dia lebih baik menghadapi mulut Raphael yang sampah dan cerewet daripada kemarahan yang tidak Nana mengerti sama sekali.
"Are you yell at me?!" lawan Nana tak mau kalah. "GUE MINTA MAAF!"
"I don't wanna hear your sorry to me, for fuck sake's, Na!"
"Terus apa yang lo mau?!" balas Nana tak kalah ngotot. "Gue sadar, gue salah. Gue mencium lo, gue menyimpan rasa kepada lo, dan gue salah karena sudah jatuh cinta kepada lo, puas?!"
Raphael menundukkan kepalanya dan menjambak rambutnya sendiri. Nana ingin menangis sekarang. "Gue minta maaf, Raphael.. Gue janji, gue sudah melupakan semuanya."
"..."
"Gue sudah memutuskan untuk membuang perasaan gue. Menurut lo, kenapa gue ingin bertemu dengan lo sekarang, Raf?"
Raphael menggeleng. "... Itu karena gue ingin minta maaf, gue menyadari satu hal lo sangat penting bagi hidup gue, Raf. Lo lebih berharga daripada perasaan gue. Jika dengan menjadi sahabat lo selalu ada buat gue kenapa gue harus menuntut hal lain?"
"..."
Nana merasakan wajah Raphael kini berubah, tidak semuram tadi. "I wanna be your friend, soal perasaan gue. Ya, gue menyukai lo lebih dari sahabat karena─ya itu gue.. Raf. Gue yang menyukai lo, gue yang cinta sama lo. Tapi gue lebih lega karena lo sahabat gue, kan?"
Nana tersenyum miris, dia mengingat hal paling tidak pernah dia mau ingat ketika Raphael dengan bahagianya mengumumkan jika dia akan bertunangan dengan Intan.
"I happy if you happy, Raf. Gue hanya tidak mau berada dalam kubangan perasaan yang nggak ada habisnya. So, I stop everything the feel about you after I broke up with Noah." jelas Nana dengan tenang. "Semuanya nggak ada hubungannya dengan lo kok, gue hanya ingin menuntaskan apa yang harusnya gue lakukan sejak dulu."
Nana menunduk, air matanya turun begitu saja. Andaikan dia tidak bodoh pada saat itu dan semuanya tidak meledak seperti saat ini, mungkin dia dengan Raphael masih akan tetap baik-baik saja.
"Silly, why you crying, Na?"
Tangan kanan Raphael terulur begitu saja, mengusap wajah Nana yang basah karena air mata gadis itu.
"I─I'm sorry, Raf.. Maaf kalau pernyataan gue malah membebani lo. Nggak apa-apa kok, kalau lo nggak suka, gue terima semuanya."
Nana sepasrah ini, lagi-lagi dia pasrah.
Raphael menarik napasnya dan menatap Nana. "Na, look at me." pinta Raphael.
Nana memberanikan diri mengangkat wajahnya. "I'm really fucking happy that I was know if you love me, I said thank you for loving me, Na."
Nana menangis lagi. Sialan, dia sudah menjadi sad girl memalukan karena menyatakan perasaannya pada sahabatnya sendiri. Dia merasa malu sekarang.
"Gu-gue udah nggak cinta lagi sama lo, kok." kata Nana berusaha tegar.
Kening Raphael berkerut dan menatap Nana dengan heran. "Kok bisa?"
"Bisa dong.." jawab Nana sembari tersenyum paksa. "Gue memutuskan semuanya, di hari gue menyatakan perasaan itu artinya kebebasan buat gue."
"Na─"
"Lo janji sama gue, Raf.. Gue kan minta lo agar tidak terbebani.." kata Nana dengan memelas. "Gue lihat lo bahagia sama Intan, and that was enough for me. Lo harus bahagia semoga sukses sama Intan."
"Katarina, listen me─"
"Nggak," tolak Nana dengan keras kepala. "Lo yang harus dengarkan gue."
Nana mengambil kedua tangan Raphael dan menggenggam tangannya dengan erat. "I'm okay, really okay. Makasih, karena lo sudah menjadi bagian kisah cinta gue sejak remaja. Gue sangat berterima kasih atas perhatian dan sikap lo yang baik kepada gue. Now, I'm agree why you accept many loves from girls since in the school." Nana terkekeh pelan membayangkan masa-masa SMA. "You did well, Raf. Tetap jadi Raphael yang baik, ya?"
"Katarina.." Raphael menghela napasnya dengan frustrasi.
"You should believe me!" pinta Nana dengan tak kalah frustrasinya. "Gue sudah menyelesaikan perasaan gue kepada lo, kok."
Terdengar sangat bangga, Nana berdiri dan menjulurkan tangannya kepada Raphael.
"Apa?" tanya Raphael bingung.
"Jabat tangan,"
Raphael menerimanya, Nana menjabat tangan Raphael dengan erat sembari tersenyum. "Now, we're friend!"
That's good, Na.. Nana memuji dirinya sendiri. Dia merasa lega sekarang, dan dia akan menghapus semua rasa cintanya kepada Raphael. Tidak ada kata tidak bisa.
Pasti bisa!
***
* | flashback [2]
Nana penasaran. Setiap hari, dia selalu memperhatikan Raphael. Apa Raphael sudah membaca suratnya? Atau mungkin belum? Karena hal itu, Nana jadi dibuat over-thinking. Fans Raphael memang banyak, nggak heran kalau surat cinta atau pengakuan rasa kagum dari cewek-cewek kepada Raphael itu banyak sampai-sampai, loker Raphael pernah penuh hanya karena puluhan surat.
Tapi yang Nana tahu juga, Raphael tidak pernah membuangnya. Cowok itu akan membawanya ke rumah, menyimpannya di dalam kotak khusus yang Tante Cassie siapkan untuk Raphael.
Nana tahu? Jelas dong. Dia kan selalu memantau Raphael dimana pun dan kapan pun. Termasuk, saat di rumah.
Tante Cassie, Mama Raphael pernah bertanya kepada Nana di suatu siang hari Minggu.
"Na, Raphael lagi punya pacar nggak?" tanya Tante Cassie penasaran.
Nana menggeleng, sembari membantu Tante Cassie memotong buah-buahan. Karena para anak cowok, tengah bermain bilyar di backyard rumah Raphael. "Setahu Nana nggak sih, Tan."
"Oh, ya? Tapi anaknya banyak main handphone. Tante pikir, dia punya pacar. Habis itu, sering senyum-senyum sendiri."
Lah, Nana jadi ikut penasaran. Jangan-jangan apa yang Tante Cassie katakan kepadanya benar. Alhasil, Nana dengan segala rasa nekadnya bertanya kepada Raphael yang baru saja selesai bermain bilyar.
"Lo punya cewek, Raf?" tanya Nana.
Raphael menerima jus buah peach yang Nana berikan kepadanya. "Kenapa?"
"Na-nanya aja sih, kata Mama lo katanya lo sering main handphone terus suka senyum sendirian."
"Lah, memang kalau gue main handphone dan senyum sendirian itu artinya punya pacar?" tanya balik Raphael. "Aneh deh.. Lo jangan ikutan aneh kayak Mama gue."
Dalam hati, Nana bersabar. Bukan aneh, jatuhnya penasaran. "Ya nggak apa-apa sih, barangkali lo memang lagi punya cewek yang lo suka."
"Ada kok," jawab Raphael dengan senyumannya.
Lesung pipi khas itu selalu membuat Nana gemas. Dan sekarang, Raphael tengah mengatakan kalau dia punya gadis yang ia sukai.
"Siapa?" serobot Nana tak sabaran.
Raphael hanya menjawab dengan gelengan kepala. "Nanti juga lo tahu."
Libur kenaikan kelas telah usai, Nana, Arie, Prav dan Raphael kembali bersekolah. Pada saat ini, Nana didaftarkan agar masuk ke grup orkestra atas saran Opanya. Nana daftar masuk di Jakarta Symphony Hall dan mulai memperdalam bakatnya di sana.
Di sekolah, dia masih bergaul seperti biasa. Memperhatikan Raphael diam-diam, memberikan permen karet kesukaan Raphael setiap hari, dan tetap menghabiskan weekend bersama dengan lari pagi.
Tidak hanya berdua, jelas dua kacrut a.k.a─Arie dan Prav ada dengannya juga.
Pada saat itu, karena dirinya sudah menjadi senior dan Raphael pun sudah menjadi senior di klub basketnya, pertandingan antar sekolah menjadi momok besar. Apa lagi, ketika sekolah mereka menjadi Tuan Rumah.
Hari itu, pertandingan besar akan dilakukan. Nana bahkan berharap Raphael bisa memenangkan dan mengharumkan nama sekolah.
Stadion basket sekolah Nana memang cukup besar. Nana tersenyum dan berteriak menyemangati Raphael yang sudah ada di tengah lapang dan berjalan diiringi bersama beberapa anak cheerleader.
"Taruhan mau nggak?" tanya Arie kepadanya.
"Taruhan apa?"
"Tim Raphael bakal menang."
"Yuk,"
"Kalau kalah, lo harus confess ke cowok yang lo suka." kata Arie menantang Nana.
Nana langsung manyun dan menyikut tubuh Arie. "Gue nggak suka sama siapa-siapa dih!"
"Dih?" ledek Arie. "Bohong, ya? Kata Prav, lo lagi suka sama cowok, Na!"
Nana langsung menatap Prav dengan tatapan lasernya. Cowok itu dengan santainya bersiul di sisi Nana. Ya, Nana duduk di antara para cowok aneh itu.
"Gue nggak suka sama siapa-siapa kok." jawab Nana sembari menunduk.
Prav terkekeh pelan menggoda Nana. "Nggak mau jujur?"
"Ya memang gue udah jujur." jawab Nana percaya diri.
Suara peluit sudah dibunyikan, pertandingan basket di mulai dan Nana berdiri menyemangati Raphael.
Arie dan Prav saling melempar pandang, namun mereka tetap acuh tak acuh dengan kelakuan Nana.
Nana tidak pernah melepaskan senyumannya selama Raphael berada di lapang. Bagaimana Raphael berlari, atau Raphael menggiring bola terasa menarik di mata Nana. Duh, di saat seperti ini mendadak Nana harus ingat bahwa di sisinya sedang ada Arie dan Prav yang tidak boleh mengetahui perasaannya.
Pertandingan basket itu berakhir, tentu saja dimenangkan oleh tim Raphael. Dalam hati, Nana lega karena jika tim Raphael kalah maka dia harus melakukan tantangan yang Arie katakan tadi.
Melihat bagaimana Raphael berlari ke arah sayap barat stadion dimana posisi Nana berada. Nana tersenyum, menggenggam sebotol minuman isotonik yang akan dia berikan kepada Raphael nantinya. Namun, yang Raphael lakukan hanya mengambil minum dari panitia lalu kembali pergi.
Dalam sedetik kemudian, Raphael membalikkan tubuhnya dan tersenyum. Nana membalasnya, dengan rasa senangnya, Nana rasa dia sudah tersenyum lebar kepada Raphael. Dia melambaikan tangannya, namun Raphael tidak membalas lambaian tangannya.
Pada satu titik, Nana berusaha membenarkan bahwa senyuman yang Raphael berikan itu untuknya, bukan untuk orang lain.
Raphael berjalan kembali menuju tengah lapang, senyum Nana seketika surut ketika melihat cewek di depannya berdiri dan melambaikan tangan sembari berteriak nama Raphael.
Raphael tersenyum, menyadari sosok gadis lain yang tengah memanggil namanya. Itu adalah Natasha, gadis tercantik dari klub science. Artinya, Natasha dan Raphael satu klub karena Nana tahu Raphael mengambil klub membosankan itu.
Nana menghentikan senyuman bodohnya, kini dia tahu apa yang Raphael maksud minggu lalu bahwa dia akan tahu cewek yang Raphael maksud.
Raphael menyukai Natasha, setelahnya di hari yang sama Raphael menyatakan perasaannya secara terang-terangan kepada Natasha dan mengajak Natasha berpacaran.
Nana menjadi sahabat yang membantu Raphael menyiapkan surprise untuk Natasha.
Sakit? Jelas. Nana hanya bisa menyembunyikan lukanya, meski dia ingin menangis, meski dia ingin marah kepada Raphael. Pada saat itu juga, Nana paham arti dari rasa kecewa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro