CHAPTER #13
"Sesuatu yang diciptakan
karena paksaan, memang sulit
menjadi mungkin dalam
sebuah nyata."
─Nana
***
CHAPTER #13
***
MOBIL, Range Rover Velar putih milik Arie sudah terparkir di depan lobi gedung Jakarta Symphony Hall yang membuat Nana merasa takut. Dia terus menyangka, bahwa apa yang Ina katakan kalau Raphael seperti orang yang dikejar hutang. Lah, yang harusnya merasa ketakutan itu harusnya dirinya! Bukan Raphael, memang Nana merasa menyesal mencintai lelaki bodoh seperti Raphael.
Hari ini, latihan menuju JCO memang dilakukan setiap hari. Nana baru saja selesai memasang hansaplast pada keempat jari tangan kirinya dan merasa di teror kala wajah Arie yang dingin dan tegas seperti pawang Sun Go Kong.
"ANTONOVA KATARINA SIE DAMARYS GUE MENGUTUK LO ATAS SIKAP MENGHILANG LO SELAMA TIGA MINGGU INI!"
Teriakan Arie memenuhi lobi JSH dan membuat Nana malu. Otomatis, Nana yang menggendong backpack Cello besar itu berlari tertatih-tatih menuju si pemilik Range Rover Velar putih matte keren itu.
"BERISIK KAMPRET!" emosi Nana mencubit kulit perut Arie.
Beberapa fansite, paparazi Nana menangkap foto mereka dan interaksi Nana dan Arie. Nana melambaikan tangannya dengan sopan kepada mereka. "Kenalkan, dia sahabat sejak kecil saya, Ariendra." kata Nana kepada para fansite.
"Sudah tahu Kak, kami hanya ingin foto Kak Nana saja." balas teriakan salah satu fansite.
Nana tersenyum ramah dan mengangguk. "Saya pamit ya, kalian pulangnya hati-hati!"
Itu kenapa alasan Nana dicintai banyak orang, kan? Karena dia ramah, tidak bersikap defensif kepada fans dan bahkan tergolong santai.
Setelah memasukkan Cello ke dalam mobil belakang Arie, Nana duduk di kursi penumpang depan dan memakai sabuk pengaman.
"DASAR SIAH!" omel Arie kepadanya.
Nana tertawa saja, mode Sundanese language Arie sudah keluar dan bagi Nana itu adalah sebuah hiburan.
"JADI, CUMAN AING AJA YANG BARU TAHU KALAU SIA SUKA SAMA RAPHAEL? GELEUH PISAN, KATARINA!"
Lihat? Baru saja keluar dari gerbang JSH Arie sudah mulai saja.
"Nana!" teriak Arie lagi.
"Apa sih, Rie?" tanya Nana dengan gemas. "Nggak bisa ya ngobrolnya nanti aja?"
"Needy, Na.. Gue penasaran!"
"Ya nanti aja, by the way ini mau kemana ya?" tanya Nana penasaran.
"Rumah Mami gue!" balas Arie nyolot.
Nana terkekeh pelan. "Oh.. Acara makan malam tiap bulan, gue hampir aja lupa. Eh, tapi—nggak ada Raphael, kan?"
"Mau gue suruh datang orangnya?" ancam Arie.
Nana menggeleng dan mencubit lengan Arie. "Jangan dong, Rie. Biar gue bisa cerita leluasa sama lo."
"Berengsek, Prav baru kasih tahu gue semalam. Gue sibuk, beneran baru free sekarang makanya langsung cabut nyamperin lo. Karena gue tahu jadwal lo dari Mbak Loli."
"Idih.. Segitunya banget lo kangen sama gue?" ledek Nana.
Arie terkekeh pelan. "Sialan, gue khawatir. Gue sama Dinda, literally shocked Na after know your confession to Raphael. Prav aja cerita sampai ketawa-ketawa."
"Ya memang anjing," sahut Nana sebal, Prav memang sering meledeknya karena ya kok bisa-bisanya jatuh cinta sama sahabat sendiri. "Dia memang senang ledek gue."
"Speaking of you, gimana? Kerjanya? Betah?"
"Betah, gue menemukan dunia gue di sini, Rie.. Bayangkan, setiap hari telinga gue, jari gue, otak gue, bahkan dalam keadaan tidur pun musik menjadi teman gue."
"Alternatif yang bagus menghilang dari Raphael, tapi gue yakin dia selalu tahu tentang lo."
"Of course! Serang gue penyanyi, musisi, komposer dan lagi? Talent of Label Marcell berikut talent JSH. Orang-orang sekarang selalu membincangkan musik gue, entah itu di media sosial, artikel, ataupun televisi. He's already get headache because hear my name all the time!"
"Anjir, baru di tolak sama Raphael aja nilai value lo langsung turun." timpal Arie dengan kurang ajarnya. "Si Raphael punya pelet apa sih?! Bisa-bisanya maneh suka sama sieta?"
Lagi-lagi Nana tertawa. "Nggak akan ada habisnya bicara soal Raphael,"
Arie memanuver mobilnya dengan tenang, beberapa ratus meter lagi, penthouse besar yang dimiliki oleh keluarga Harsaya sudah terlihat. Nana sudah siap menyambut kehebohan keluarga Arie di dalam rumah nanti.
"Makanya, jangan aneh-aneh, Na. Gimana ceritanya kalau Intan tahu lo cium tunangan dia?"
Nana mengangkat bahunya acuh. "Bodoh amat, dia juga kayak yang betul aja sayang sama Raphael."
"Oh..." kata Arie dengan nada geli. "Jadi, lo ingin membuktikan kepada gue kalau lo lebih baik daripada si Intan?"
Kedua mata Nana membulat dengan dramatis. "Nggak gitu anjir!"
"Terus gimana? Lo ingin menunjukkan bahwa ini lho, gue yang sudah suka sama Raphael bertahun-tahun?" ledek Arie lagi.
Sekujur tubuh Nana merinding, lantas dia mengusap bahu sampai tangannya. "Anjir kok jijik ya, Rie?"
Tawa Arie yang menggelegar luar biasa hebatnya itu langsung membungkam Nana. "Itu dia maksud gue! Kok bisa nggak jijik, sih?!"
"Pertanyaan lo sama kayak Prav!"
"Gue sama Prav satu server sih."
"Alah! Udah buruan, gue mau pipis ini! By the way, Nyokap lo katanya mau kasih gaun sama gue. Jadi, gue excited banget!"
Arie hanya memutarkan bola matanya dengan jengah. "Well, well, what ever."
...
...
Mami Arie, Tante Valen adalah orang tua kedua setelah Mamanya yang tengah berada di Jepang. Keluarga Arie memang keluarga Tiongkok modern yang kental akan budaya. Jadi, jangan salah, melihat meja makan panjang dan besar itu berisikan Chinese Food luar biasa yang membuat Nana tergiur melihatnya.
Arie punya satu kakak perempuan, bernama Agatha yang sudah menikah dikaruniai satu orang anak. Ya, Arie sudah memiliki satu keponakan, usia Agatha dan Ina memang sama, bedanya Ina terlalu fokus dengan dunianya sampai-sampai tidak peduli bahwa Ina harus mendapatkan suami.
"Arie bilang kamu punya pacar, benar?" tanya Tante Valen kepada Nana.
Nana terkekeh pelan dan menggeleng. "Sudah putus, Ate.."
"Putus?!"
"Iya, udah satu bulan lebih mungkin?"
Valen terlihat heran, namun sekaligus geli mendengarkan kisah anak muda. "Bukan tipe Nana banget kalau gampang putus."
"Ate.." rengek Nana malu. "Aku diputusin, bukan aku yang memutuskan kok."
"Miris...." ledek Arie dari seberang meja makan.
Nana manyun, Agatha hanya tertawa sembari menepuk bahu Nana. "Santai ya, Na, masih banyak ikan di laut."
"Oalah, iki arek wedok ngajarin ndak betul!" sahut Valen sembari tertawa. "Nana baru naik daun, pasti bakal sibuk karo kariernya. Belum lagi, jadwal padat, wes talah.. Nana pasti ndak mikirin pacar lagi."
"Ben ndak opo-opo sih, Mae.." balas Agatha. "Nana masih muda, yo ojo di bawa repot. Ya kan, Na? Jangan cari yang jauh-jauh, bisa aja jodoh tuh orang terdekat Nana selama ini."
Uhm, well.. Nana menelan air liurnya dengan gugup. Membayangkan ternyata jodohnya dekat dengannya, dan itu salah satu sahabatnya pasti membuat Nana merasa kesal. Ketika dia menginginkan Raphael, namun harapannya sudah dipatahkan Nana tak mau lagi menyimpan perasaan yang seharusnya dia buang.
"Iki," kata Valen membawa gaun Dior yang masih utuh dalam box besar itu. "Hadiah dari Ate lho, ya.. Barangkali, nanti kamu manggung pakai gaun ini ya, Na."
Gaun Dior itu sangat besar, warna biru muda bergradasi navy. Sangat cantik, dan yang pasti Nana akan memakainya.
"Ate.." kata Nana dengan terharu. "Nana suka lho sama gaunnya!"
"Syukurlah.." Valen mengelus dadanya tenang. "Makan yang banyak lho, Na. Ojo diet-diet toh, body kamu wes bagus."
"Mmm, bagus. Percuma bagus kalau jomblo." ledek Arie kepadanya.
Valen menjewer telinga anaknya sendiri. "Ngejek Nana terus kamu itu, Dinda sudah telepon Mama tadi dia bilang kalau kamu lagi marah sama dia."
Nana tersedak oleh cream soup yang berusaha dia telan. Arie marah kepada Dinda? Wah, itu namanya suatu keajaiban dunia. "ARIE MARAH SAMA DINDA? IMPOSSIBLE!"
"Heh!" hardik Arie.
Nana menjulurkan lidahnya. "Tumben banget, ada apa sih?"
"KOK KEPO?!"
"Seumur-umur lho ya, baru tahu lo bisa berantem sama Dinda." timpal Agatha ikut bergabung meledek Arie.
"Ya kesal aja." balas Arie dengan cuek. "Dinda tuh nggak bisa di kasih tahu sekali. Ngeyel, dan maunya kemauan dia yang terus dituruti."
Nana dan Agatha saling melempar pandang. "Bukannya nggak masalah buat lo selalu menuruti apa mau dia? Kan lo bucin goblok." kata Nana dengan wajah tanpa dosa.
Agatha dan Valen menyembunyikan tawanya, ia tak mau sampai membuat Arie marah. Tapi nyatanya, Arie hanya tertawa miris dan menggelengkan kepalanya. "Benar ya, Na, apa kata lo. Ngalah terus tuh nggak enak."
"Heh?"
"Ya gue capek aja." balas Arie sembari menghela napas. "Akhirnya gue bisa capek juga."
Nana, Agatha dan Valen jadi saling berpandangan satu sama lain. Jarang-jarang nih mereka menemukan Arie yang galau berat seperti ini.
"Things are okay, right?" tanya Nana dengan hati-hati.
Arie menggeleng. "I think, I'm and Dinda need a space and break for a moment.."
"Ya Tuhan.. Jangan baperan dong lo." timpal Agatha dengan gemas. "Biasanya lo nggak begini lo?"
"I said this before, I was tired." jawab Arie kepada semua orang.
Valen mengangguk mengerti apa kemauan putranya. Namun Nana merasa tak enak, dia jadi berpikir Arie-Dinda yang sudah dikenal sebagai pasangan goals saja bisa rusak kapan pun, bisa berhenti kapan pun, dan bisa melepas tanpa memikirkan masa-masa yang sudah dilewati oleh mereka bersama.
Lalu, apa bedanya dia dengan pasangan yang bermasalah? Salahnya, dia menjauh dan memilih pergi tanpa memperbaiki hubungan dengan Raphael. Jauh di dalam pikiran sana, keterlibatan emosi dan sejauh mana Nana sudah mengenal Raphael nyatanya lebih penting daripada apa pun. Daripada, Nana harus menerima rusaknya pertemanan dan kehilangan Raphael sebagai temannya.
Satu yang bisa Nana pelajari, pertemanan lebih berharga daripada apa pun. Jika sepasang kekasih saja bisa menjadi mantan, lalu sahabat? Apa ada yang namanya mantan sahabat?
***
* | flashback
[ tahun pertama di SMA ]
Nana tidak tahu, pada awalnya jika definisi remaja menyukai lawan jenis tuh seperti apa? Dia tidak tahu. Kenapa? Karena sebelumnya Nana tidak pernah peduli pada hal-hal yang berbau perasaan dan girly things. Rasanya geli, karena Nana punya contoh tersendiri yaitu kakaknya Ina yang setiap merasa salah tingkah akan berteriak histeris di kamarnya tanpa tahu malu.
Nana pikir, itu memalukan. Memiliki perasaan kepada lawan jenis, membuat Ina sering senyum-senyum sendiri, bernyanyi, bahkan sudah mulai repot memperhatikan penampilan. Kata Mama, itu namanya Ina sedang puber. Dan semua anak perempuan, akan merasakannya.
Tidak hanya perempuan, tetapi itu pun terjadi pada anak cowok. Nana tahu kok, ketiga sahabatnya Arie, Raphael dan Prav selalu menjadi bahan disukai oleh para gadis-gadis di sekolah sejak SD.
Seperti contohnya, Raphael mendapatkan surat cinta sejak kelas lima SD. Lalu, Arie? Mendapatkan surat cinta kelas lima SD dan berpacaran dengan Daisy. Kalau Prav? Jangan ditanya, karena Prav itu jahil pada semua orang gadis-gadis jadi segan dekat dengan Prav karena sudah malas duluan.
Jadi, pertanyaannya kapan Nana betul-betul mendapatkan perasaan kepada cowok? Jawabannya adalah, saat dia menyadari sahabatnya sendiri tampan dan selalu menjadi pusat perhatian banyak orang.
Saat itu, tahun pertama Nana, Arie, Raphael dan Prav masuk SMA. Sekolah mereka memang berbasis internasional. Sejak TK, SD, SMP, Nana memang tidak pernah terpisahkan dari ketiga teman lelakinya.
Ada kalanya, dia merasa kesal karena Arie yang selalu seenaknya tidak mau mengerjakan tugas. Atau mungkin, Raphael yang sibuk dengan gadis-gadis yang menjadi pacarnya, atau Prav yang selalu sibuk dengan urusan klub musiknya.
Karena Nana adalah satu-satunya orang yang menyukai aliran musik klasik, maka orang-orang yang dekat dengannya pun orang-orang pilihan yang berbeda dari lainnya. Tidak percaya? Klub musik klasik di sekolah selalu dipandang sebelah mata karena kuno, tidak keren dan tidak menarik. Hingga pada akhirnya, Nana mematahkan standar semua itu.
Masa pengenalan siswa saat SMA sangat berarti, bukan? Saling memperkenalkan diri satu sama lain, ataupun memberitahu tentang diri kalian sendiri kepada teman baru.
Memang begitu jalannya. Tapi seorang Raphael? Di hari pertama sekolah pun dia sudah mendapatkan pernyataan cinta, bunga dan cokelat. Kalau Arie? Jangan ditanya, dia sudah berpacaran sejak SMP bersama Dinda.
"Terima nggak tuh cokelat!" ledek Prav dan Nana yang berdiri tak jauh dari Raphael.
Raphael tampak malu-malu kucing sebelum menerima cokelat itu dan tersenyum sopan kepada kakak kelas cantik itu.
Namanya juga Raphael, meskipun kadang sikapnya menyebalkan jika urusan perempuan Raphael tidak pernah bersikap kurang ajar kok. Terkecuali, urusan ganti pacar seperti ganti kolor dan celana dalam—terlalu sering.
Raphael mendekat kepada Nana dan Prav lalu terkekeh pelan. "Gue tolak kok," jawabnya kepada Nana dan Prav.
"Ya, nggak ditolak juga nggak apa-apa, sih." sahut Nana sembari membetulkan tas. "Lagian, lo kan jomblo."
Wajah dramatis Raphael langsung terpasang begitu saja. "Iya, ya? Kan gue jomblo, apa salahnya kalau gue punya pacar baru, mana kakak kelas cantik."
Ya, sekali buaya memang buaya.
Lalu, semakin lama Raphael bersekolah, maka semakin banyak juga para gadis menyukai pesona Raphael. Raphael masuk klub basket, bersama Arie. Di suatu waktu, Nana menjadi risih karena semua gadis-gadis yang mendekatinya itu bukan semata-mata ingin berteman dengannya. Tapi, malah mempunyai kedok lain—yaitu ingin diperkenalkan dengan Raphael. Semacam Nana adalah biro jodoh saja.
Beberapa surat menumpuk di tangan Nana, anak-anak dari klub musik mengakui bahwa mereka semua kagum kepada Raphael, lalu salah satu dari mereka bertanya kepada Nana.
"Nana, lo kan dekat dengan Raphael dari kecil, memangnya nggak pernah ya suka sama dia? Raphael kan baik, ganteng, mana kalau nge-treat cewek tuh.. Ya Tuhan, gue aja meleleh, Na."
Lalu yang lain juga mengatakan hal yang serupa. "Iya, Na? Memang nggak pernah baper, ya? Lo kan suka diperlakuin manis sama Raphael juga."
Nana masih belum mengerti. Diperlakukan manis oleh Raphael itu seperti apa. Hingga suatu waktu, Nana bermain voli bersama tim putri dari kelasnya, memang harus mendapatkan sial, Nana terjatuh di lapang dan luka yang Nana dapatkan cukup parah.
Ketiga sahabatnya khawatir, bahkan buru-buru mendekati Nana. Arie, menjadi pihak yang heboh mengipasi lukanya, lalu Prav yang sibuk memberikan air mineral kepadanya. Sementara Raphael? Dia sibuk menggendong Nana ke UKS dan menjaga luka dan darah Nana agar berhenti.
Nana ingat, Ina pernah bilang kepadanya. "Nana," kata Ina sembari menyimpan telapak tangannya di atas dada Nana, tepatnya pada posisi jantung berada. "Ketika detak jantung lo berdetak dak tak—dak tak—dak tak, lebih keras dari biasanya dan perut lo merasa mulas namun mulas yang tidak bisa dideskripsikan secara sederhana, maka pada saat itu lo jatuh cinta, Na."
Dan Nana mengalaminya. Dia mulas, tapi tidak mau pup, jantungnya menggedor Nana dengan keras tapi tidak sakit. Ada perasaan senang ketika Raphael merawat lukanya dengan wajah yang khawatir. Nana merasakan, rasanya diinginkan, dihargai, dan dianggap penting oleh Raphael.
Oh jadi, ini yang namanya jatuh cinta?
Nana menarik napasnya berkali-kali dan meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa bukan Raphael yang dia sukai.
Tapi ternyata, rasa itu bertahan cukup lama dan terlalu sering. Nana sering berkeringat dingin ketika Raphael dekat dengannya, Nana merasa amazed saat Raphael tersenyum kepadanya di depan kelas saat presentasi, atau Nana sangat senang ketika Raphael memanggil namanya di hadapan semua orang.
Semuanya terasa spesial bagi Nana.
Nana memperhatikan semua sikap perhatian Raphael kepadanya. Entah kenapa dia baru menyadarinya, Raphael selalu memberikan jaket denimnya kepada Nana jika pulang sekolah, atau Raphael yang selalu datang mengunjungi ruang klub musik Nana hanya untuk memberikan minuman kesukaan Nana. Ataupun, membantu Nana dalam mengerjakan PR di rumah.
Nana jadi merubah cara pandangnya kepada Raphael.
Bahkan, dia mengingat bahwa Raphael pernah bilang kalau dia menyukai gadis berambut panjang.
"Na, rambut kamu sudah panjang. Kalau makan sama belajar pasti risih, Mama potong dikit ya?" tawar Jane kepada Nana.
Nana buru-buru menggeleng, selama ini Nana memang tidak pernah memotongnya di salon. Mamanya, selalu memotong rambut Nana dengan rapi.
"Ja-jangan, Ma.."
Kening Jane berkerut heran. "Kenapa? Ini lho, Na.. Poninya aja, terus belakangnya potong lima senti aja."
"Nggak mau, Ma.. Nana mau panjangin rambut Nana." jawabnya sembari menyembunyikan semburat merah pada pipinya.
Jane mengasumsikan bahwa Nana memiliki kesukaan baru terhadap penampilannya. Sementara itu, setiap hari Nana mengurai rambutnya, memberikan jepit kecil untuk menahan poninya dan selalu memainkan rambut dengan gerakan sederhana khususnya di hadapan Raphael.
Oh Tuhan!
Masuk penghujung tahun pelajaran, karena tahun depan Nana akan naik kelas begitu pun dengan ketiga temannya, Nana merasa impulsif.
Arie sibuk berpacaran dengan Dinda, Prav sibuk bersama klub musiknya dan hanya Raphael yang santai dengannya. Suatu ketika, keinginan menjadi pacar Raphael datang begitu saja dengan tiba-tiba.
Sehari-hari Nana di ruang klub musik, dia membuat lagu tentang Raphael dan mengaransemennya dengan alat musik Cello miliknya. Awalnya Nana tidak percaya diri, tapi setiap bait yang Nana tulis liriknya adalah menggambarkan perasaannya kepada Raphael.
Nana menulisnya dengan rapi, dan memasukkannya ke dalam amplop berwarna hitam agar tidak terlihat mencolok. Dari sekian amplop, Nana meringis kenapa harus warna hitam? Jawabannya karena Raphael menyukai warna hitam.
Nana mengunjungi loker Raphael, melihat situasi keadaan sekitar yang nyatanya cukup sepi, dengan telaten Nana memasukkan surat tersebut melalui celah loker dan tersenyum senang di hadapan loker milik Raphael.
"Please, read my love letter ya, Raf.." bisik Nana di hadapan loker itu.
Dan siapa sangka? Bertahun-tahun kemudian, penguntit bernama Pravinda mengatakan bahwa dia adalah saksi dari segala sikap yang Nana lakukan. Termasuk, saat Nana memasukan surat pernyataan cintanya kepada Raphael saat itu.
***
a/n:
Yak, mulai flashback ya.. Kira-kira, kalau kalian jadi Nana mau confess secara langsung, atau diam-diam lewat jalur surat cinta? Wkwkwk.
Have a nice weekend!
Bandung, 15 Januari 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro