CHAPTER #10
"When you low key
accidentally fall super
hard for someone."
─Nana
***
CHAPTER #10
***
÷ | Boys Day Out
SEBERAPA lama kamu bisa menjalin persahabatan? Atau berapa lama yang kamu butuhkan untuk memahami kebiasaan buruk, baik, tingkah laku, sifat, suara, aroma tubuh, dan body language dari setiap orang yang dekat denganmu?
Mungkin butuh waktu yang lama, bukan?
Frienships, rasanya sulit untuk menjabarkannya. Jadi, mari kita ceritakan kisah para pria penjaga Nana di sini.
Raphael, lahir lebih awal, di bulan Februari namun di tahun yang sama bersama Arie, Prav dan Nana. Lalu, kemudian ada Prav yang lahir pada urutan kedua setelah Raphael di bulan Maret. Nana, lahir di bulan Januari urutan terakhir dari keempat temannya itu. Dan yang ketiga, adalah Arie, bulan Oktober di tahun yang sama di tempat yang berbeda Arie lahir.
Lalu, bagaimana mereka bisa berteman?
Yap, keluarga Damarys adalah keluarga Tionghoa, atau sering yang disebut orang-orang Cina Daratan yang berpindah menyebar luas ke setiap negara. Semakin lama, maka semakin tumbuh, keluarga Damarys menguasai tanah Jakarta. Berbeda lagi dengan keluarga Arjanta, si penguasa Tanah Jawa sebelum Jawa membentuk sebuah kota. Alhasil, keluarga Arie adalah turunan Tiongkok-Macau yang berhasil menguasai Jakarta Selatan.
Mereka berasal dari ras yang berbeda, satu rumpun Asia─jika harus dijabarkan secara geografis. Sayangnya, keempat anak itu sejak sekolah sangat membenci pelajaran geografi.
Di usia dua tahun, karena sebelumnya Nana adalah satu-satunya warga pindahan, Nana pindah ke Jakarta dan bergabung menjadi anak kumpulan komplek elit yang berhasil memiliki tiga teman laki-laki saat kecil.
Nana selalu menjadi primadona. Dimana pun, dan kapan pun. Alasannya? Wajah Nana terlalu imut, dan sayang jika tidak diusel-usel manja oleh orang-orang.
Nana memiliki turunan Rusia secara langsung dari Ayahnya, itu kenapa nama yang dimiliki Nana agak aneh, sehingga pada saat sekolah dia selalu di ejek oleh beberapa teman lelaki. Termasuk, sahabatnya yang kurang ajar a.k.a─Raphael yang tidak pernah mau kelewatan mem-bully dirinya.
Pertemanan itu terjalin sejak kecil, hingga ketiga bocah lelaki itu bisa mengajarkan banyak hal kepada Nana. Dari mulai lomba pipis, lomba PS, ataupun lomba balap sepeda yang tak jarang, Nana terkena imbasnya dan jatuh mendapatkan luka.
Sejak kapan Nana mengerti bahwa dia berbeda dengan ketiga temannya itu? Ya tentu saja saat diajak lomba sejauh mana air kencing mu bisa menyentuh tembok, atau jalanan. Dulu Nana memang payah, namanya juga anak perempuan, air kencing Nana bukannya terlempar jauh yang ada turun membasahi paha dan betisnya.
Pada saat itu juga, Nana diberi edukasi dan pengertian bahwa dia, berbeda dengan ketiga teman jalunya.
Lalu, waktu berjalan dengan cepat, Nana, Prav, Arie dan Raphael tetap satu sekolah hingga SMA karena sekolah yang mereka ambil berbasis Internasional. Tidak ada yang berubah, kecuali.. Ketika masa pubertas datang.
Katanya, pubertas seorang anak perempuan itu lebih cepat dibandingkan anak laki-laki. Kenyataan itu benar lagi!
Nana terlalu banyak ditampar oleh kenyataan kalau dia berbeda dari ketiga temannya.
Saat menginjak kelas enam SD, Nana sudah mendapatkan haid pertamanya. Cepat? Memang. Ternyata, Ina kakaknya Nana pun mendapatkan haid dengan masa yang cepat. Hal itu berhasil membuat Nana merasa trantum selama satu minggu penuh.
Di awal-awal mendapatkan haid, Nana sama sekali tidak pernah mau bertemu dengan ketiga temannya. Bahkan, hal itu berhasil membuat ketiga bocah edan itu frustrasi karena Nana yang tidak pernah mau lagi, diajak untuk bermain.
Nana sibuk menyendiri di kamar, bersama Cello-nya dan bahkan tidak berhenti latihan sehingga membuat satu keluarga di rumah khawatir karena kondisi dia.
Dan kini, Arie, Prav, dan Raphael seolah mengingat kejadian yang sama ketika Nana baru saja mendapatkan masa menstruasinya saat SD.
"Huft..." desah Arie membuang napasnya setelah berhasil membalas chat Dinda.
Prav masih bermain dengan gitarnya, meskipun genjrengan itu terdengar enak namun nada yang dikeluarkan tidak terasa sesuai.
Raphael? Lelaki itu baru saja datang dari Singapura dan masih berpakaian lengkap dengan jas dan kemejanya.
"Raf," kata Ina kepada Raphael.
"Apa, Kak?"
"Mandi gih, terus makan dan tidur. Mata gue sakit banget lihat lo berantakan gitu."
Raphael menunduk melihat dirinya sendiri. "Kelihatan banget gue acak-acakannya?"
"Kelihatan,"
"Gue mau ketuk kamar Nana dulu─"
Lantas Arie menahan lengan Raphael. "Jangan, percuma. Dia nggak bakalan dengar apa-apa. Lo dengar? Gesekan Cello dan string-nya nggak berhenti sejak semalam."
"DIA SEMALAMAN MAIN CELLO?!" teriak Raphael dramatis as always.
Ina menarik napasnya, Prav kini mulai jengah. "Don't over react!" cibir Prav kesal. "Kayak yang nggak tahu aja kelakuan teman lo satu itu."
"KALIAN TAHU DIA NGGAK TIDUR SEMALAMAN TAPI DIAM AJA?!" bentak Raphael lagi. "Tahu begini gue dobrak aja!"
"HEH!" hardik Arie. "Udah dong, Raf.. Gue tadinya kagak mau nyuruh lo ke sini, tapi si Prav yang minta biar lo bisa BUJUK─bukan cari masalah baru elah..."
"Cari masalah dimana nya, sih?!" jawab Raphael tak terima. "Gue jelas mau mengeluarkan Nana dari sana!"
"Because reality hit her, Raf. Bukan berarti lo bisa memasuki ranah Nana gitu aja." balas Ina dengan tenang. "Gue aja, belum tahu apa yang terjadi diantara dia sama Noah."
"Noah?" tanya Raphael bingung.
Arie dan Prav mengangguk. "Mm, Noah."
"Si berengsek!" maki Raphael.
Arie mendengus lagi. "Lo sudah tanya Intan? Tolong deh, Intan katanya saudara tiri Noah, kan? Tanyain sama tunangan lo, dimana Noah sekarang."
Raphael mengangguk setuju. "Okay,"
Sudah beberapa waktu terlewati, Intan tidak kunjung menjawab pesan atau telepon Raphael. Kalau begini caranya, dia jadi ikut curiga juga. Tapi, apa pentingnya sekarang? Nana sedang dalam masa krisis, itu artinya Raphael harus melakukan sesuatu sebelum hal tidak mengenakan terjadi.
Payah memang, Prav dan Arie tidak akan bisa diandalkan jika seperti ini.
Dengan mengandalkan kunci serep, Raphael memberanikan diri melawan rasa takutnya kalau tiba-tiba nanti─Nana melemparnya dengan body Cello meskipun terdengar sangat tidak mungkin karena Cello adalah nyawa gadis itu sendiri.
Memutar kuncinya dengan hati-hati, Raphael berhasil membukanya secara perlahan. Suara yang dihasilkan Cello Nana memang tergolong kencang, Tchaikovsky Andante Cantible, Raphael ingat saat ulang tahun pernikahan orang tua Nana, gadis itu pernah memainkan instrumen yang sama.
Nana duduk membelakangi Raphael yang baru saja datang, punggung sempit dan ringkih itu bergetar menahan seluruh gesekan penuh menyayat hati, yang sampai kapan pun tidak akan pernah bisa dimengerti oleh Raphael, Ina, Prav dan Arie.
Terkadang, Raphael bertanya-tanya, apa yang membuat Nana sebegitu jatuh cintanya kepada Cello? Dan gadis itu tidak pernah mau repot-repot menjawab hal yang sama sekali tidak akan masuk ke dalam server otak Raphael dan yang lainnya.
Tapi kali ini, dimana Raphael berpijak pada lantai dingin kamar Nana, sesuatu yang mendobrak dadanya terasa keluar begitu keras tanpa ampun menyiksa Raphael.
Semua itu karena, melihat kesakitan seorang Nana.
Apa yang sudah Noah lakukan hingga membuat Nana seperti ini? Apa yang bajingan itu berikan kepada Nana hingga Nana meledak secara tidak efisien? Bagi Raphael, dia lebih baik melihat Nana menjerit sekaligus daripada diam bersama Cello-nya namun otaknya yang terus berjalan itu tidak bisa ditebak oleh siapa pun. Dinding itu begitu tebal, dingin, dan tinggi, Raphael tak sampai hati untuk menggapainya jika dia sama-sama tidak bisa memberikan penawarnya.
Raphael berjalan penuh hati-hati, mendekati Nana dan melihat betapa lecetnya jari Nana sekarang. Raphael sudah menutup pintu kamar Nana, di luar sepi karena Ina dan Prav keluar untuk membeli makan, sementara Arie tengah menjemput Dinda.
Dengan ragu, ketakutan terbesarnya adalah ia menerima teriakan dari Nana. Tangan kanannya, terulur menyentuh bahu Nana yang bergetar, dia menyentuhnya secara perlahan namun pasti.
"Na," bisik Raphael. "I'm here..."
Nana seketika menghentikan alunan vibrato yang digesek dengan busur Cello itu. Nana melepaskan busurnya begitu saja, menjatuhkannya di atas lantai dan langsung menghadap ke arah Raphael.
Cello itu tidak terjatuh, untungnya endepin menahan body Cello dengan kuat. Dengan sekali gerakan, Raphael menahan Cello tersebut dan menyandarkannya di sisi lemari.
"Raf, are you okay?" tanya Nana dengan suara panik bercampur khawatir.
Raphael mengerutkan keningnya tak mengerti, bukankah di sini yang perlu dikhawatirkan adalah Nana sendiri?
"Na.. I'm okay, you see? Gue baik-baik aja, lo kenapa?" tanya Raphael balik.
Nana menggeleng, dengan kencang dan keras menahan tangis. Noah membuat Nana menjadi seperti ini, dan rasanya Raphael ingin menghajar bajingan itu sekarang juga.
"Gue yang tanya lo," tuntut Nana, kedua tangan Nana menyentuh bahu Raphael, turun ke lengan dan kini menggenggam tangan Raphael. "Lo nggak apa-apa?"
"Na.." Raphael terlihat semakin kebingungan.
Nana menggeleng keras. "Ini salah gue, Raf.. Ini salah gue!"
"Na?!"
"Ini salah gue! Gue yang terlalu pengecut!" teriak Nana kali ini.
Raphael berlutut di hadapan Nana tak mengerti dengan semua racauan Nana kepadanya. "Tell me, what's wrong, Na?!"
"I─" Nana menarik napasnya, Raphael semakin dibuat frustrasi dengan sikap Nana yang berubah-rubah. "Raphael.." gumam Nana.
"Iya?" balas Raphael dengan sabar. "Gue akan menunggu lo sampai lo siap berbicara kepada gue."
Jari-jari Raphael merapikan anak-anak rambut Nana dan tersenyum penuh ketulusan berusaha meyakinkan Nana bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Raf, maafin gue.. Setelah ini, terserah lo akan bereaksi apa pun kepada gue." pinta Nana dengan wajah ketakutan.
Raphael mengangguk cepat, lantas dengan gerakan tanpa aba-aba, Nana mencium Raphael tepat pada bibirnya. Membuat Raphael yang berlutut di bawah Nana tersungkur begitu saja menerima ciuman mendadak dan penuh kejutan bagi Raphael yang tidak pernah Raphael bisa mengerti perasaan Nana selama ini.
Tapi, urusannya ini adalah Nana. Kenapa Nana mencium dirinya? Apa yang salah di sini?
***
Prav mengendarai mobilnya dengan tenang kala Ina mengajak ke supermarket dadakan karena ada bahan masakan yang harus dibeli olehnya. Prav pikir, dia mengambil cuti untuk senang-senang, liburan dan sembari menyicil tugas kuliah S2 yang kini dia tempuh di Columbia.
Tapi, melihat semua kekhawatiran Ina kepada Nana, jelas Prav pun ikut khawatir. Tidak seperti biasanya, karena yang Prav tahu Nana tidak akan sebegininya jika itu sudah menyangkut laki-laki. Masa iya Nana jadi lebai dan berlebihan karena patah hati?
Setahu Prav, saat di Berklee Nana lebih mendapatkan keberengsekan dari sikap cowok-cowoknya dan nampaknya Nana santai-santai saja tuh.
"Your sister so different. Or, I just feel that?" tanya Prav kepada Ina.
Ina menghela napasnya kasar, mengambil brokoli dari rak bagian sayur. "What scares me right now is not about her change, Prav. People can change, everytime also you." balas Ina. "Tapi, apa yang gue takutkan Nana tidak akan pernah bisa keluar dari apa yang dia pendam selama ini."
"Is that what you thinking off?" tanya Prav kepada Ina.
"Ya, that is."
"Ugh.. C'mon, itu sudah lama. Nana was grow up very well, Kak Ina. Do you see? She can be a star right now, people loved her. I do, seeing her like yesterday remain me that I was nervous at the stage. But, Nana? She can doing better than me."
"BUKAN ITU!" tekan Ina frustrasi. "Soal musik, dia nggak usah diragukan lagi, kehidupan dia seratus persen di isi oleh Cello dan musik!"
Prav tercengang. "Tunggu, maksud lo... Nana?"
"She never showed her feel, that I know before since in high school." Ina mengambil yoghurt dan memasukannya ke dalam keranjang. "You're always with her, Prav. More often than me, why you never realize?"
"Just wait!" Prav mengerang frustrasi berusaha mengingat dan mengerti apa yang Ina bicarakan kepadanya. Belum lagi, seseorang Paparazi terus mengikuti mereka dari belakang. "CAN YOU STOP?!" teriak Prav kepada Paparazi itu.
Ina terkejut, namun disaat bersamaan security pun datang menjauhkan Paparazi itu dari Prav dan Ina.
"Sori, Prav.. Harusnya gue nggak ajak lo ke sini." kata Ina dengan tidak enak.
"Don't be sorry, gue setelah ini akan meminta bodyguard gue agar datang."
Ina mengangguk, lalu Prav melanjutkan ia ingin berbicara namun takut salah.
"Ini semua.. Raphael maksud lo?" tebak Prav dengan hati-hati.
Ina mengangguk dengan wajah datarnya. "Ya, she's always fun to be around, except with Raphael after she realize that she's loved Raphael. A lot. Gue pikir gue akan pusing duluan setelah tahu isi hati Nana."
Prav menutup mulutnya speechless. Sejak SMA pun Prav tahu, bahkan sepertinya Prav menyangka dirinya lah, satu-satunya orang yang mengetahui kepada siapa cinta masa remaja Nana itu berlabuh.
Shit, Raphael sangat memalukan pikir Prav. Kenapa bisa Raphael se-clueless itu?
"Raphael benar-benar unbelievable." ujar Prav berusaha membicarakannya. Kali ini, sepertinya bukan lagi rahasia ketat jika satu persatu orang di dekat Nana menyadari perasaan gadis itu. "Raphael nggak pernah sadar."
"Until now." tambah Ina dengan sarkas.
Prav mengangguk setuju. "Ya, until now. And how ever Nana want him, Raphael never seeing her. Gosh.. Lucky bastard, dan kenapa juga Nana harus menyukai si bajingan Raphael yang sekarang sudah bertunangan?!"
"Halah!" maki Ina kesal. "Tunangan as fuck! Tiap ada masalah yang di cari adik gue, sinting betul. Gue jadi Nana, nggak bakalan bisa jadi moderator penengah hubungan orang yang dia suka, najis banget nggak sih?"
Prav mengangguk lagi. "Najis banget, gue nggak punya hati sebesar Nana, Kak."
"Itu gue bilang! Sekarang, kalau memang Nana betulan berhenti dan selesai dengan Noah, gue pikir Nana nggak tahu harus cari cowok mana lagi yang bisa dan cocok buat dia."
"Ah..." Prav mengerang frustrasi. "Kenapa segila ini, sih?! Nana seorang bintang, musisi dan dia akan mengeluarkan lagunya sebentar lagi. Masih ada cowok yang lebih bagus daripada si bajingan Raphael. Bisa-bisanya Nana setia menyukai Raphael?"
"Lo frustrasi?" tanya Ina meledek dengan senyumannya. Mereka berjalan menuju kasir. "Gue lebih frustrasi."
"Kenapa lagi?"
"Ya apa lagi!? Direktur dia, si Marcell Oetama terus menghubungi gue! Katanya Nana perlu rehearsal sekali lagi!"
"Bangke.." tawa Prav meledak begitu saja, sampai-sampai tak menyadari mereka berdua sudah menjadi bahan tontonan orang-orang di supermarket.
***
a/n:
Kita bahas darimana dulu nie?
Hehe..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro