#9
Aksara Senja
#cerpen oleh Narosasake
_______
Gadis itu berlari dengan hati yang berkecamuk. Di bawah langit jingga, sesekali la menghapus air matanya. Tidak terlihat memang, tetapi ia berusaha keras untuk menutupinya. la terus berlari tanpa memedulikan orang-orang yg sudah menyiapkan kamera. Ia berhenti tepat di tengah jembatan.
Jembatan ini memang bukan untuk jalanan umum, tetapi untuk acara-acara besar bagi kota yang ia tinggali. Suara bising terus menyapa telinga gadis yang hanya diam mematung, menatap orang berlalu lalang dan ia berpikir kembali, tidak ada yang peduli!
Senyuman yang merekah dalam wajah orang-orang membuatnya kembali merasakan apa yang ia alami. Rasa putus asa dan tak percaya diri mulai keluar dari hati yang terkunci. Ia tahu seharusnya tidak seperti ini, hanya saja ia terlanjur sakit hati.
Jembatan mulai sedikit padat saat langit dan matahari mulai menunjukkan eksistensinya. Setelah mematung cukup lama, ia berjalan pelan, karena orang-orang sudah sedikit berdesak-desakan untuk melihat pemandangan lebih jelas.
Tepat saat itu, seorang pria menabrak gadis yang tidak nafsu berjalan. Dirinya membiarkan terduduk lemas, dan mungkin itulah yang ia inginkan.
"Kamu tak apa-apa?" tanya pria itu dengan napas terengah-engah.
"Ayo aku bantu." Gadis itu terdiam sejenak, sebelum sebuah tangan datang membantunya, ia menatap jelas wajah pria itu. Matanya indah, garisan di wajahnya begitu tegas membuat wajahnya semakin tampan.
Di bawah langit jingga, bisingnya keadaan, suara jepretan kamera dan jembatan yang membentang, kedua insan itu saling memandang sesaat sebelum gadis itu berdiri. Tidak ada yang istimewa, baginya ia ingin sesuatu yang mengerti padanya.
"Kamu tak apa-apa?" Pria itu kini mengerutkan keningnya, sebab gadis itu mengeluarkan air matanya. "Kamu tak apa-apakan?" tanyanya lagi.
Gadis dengan rambut sebahu itu segera menghapus air matanya. Menyingkirkan tangan pria itu perlahan dari bahunya, dan menatap kembali.
"Maafkan aku, aku sedang buru-buru, tak melihat," jelasnya sendu sembari merapihkan tas selempangnya. Ia hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
"Eh, kamu dari SMA Shira?" Tatapannya tertuju pada seragam yang gadis itu pakai. Ia hanya diam dan mengangguk.
"Ah, kamu tau Gedung Teater Shira?" Mata gadis itu sedikit terperanjat. "Kamu tau, 'kan? Ekstrakurikuler teater akan tampil di penutupan Festival Senja ini. Oh iya namaku Rival," ucapnya lagi mengulurkan tangan.
Gadis itu tidak menggubris, ia tetap diam dan mengangguk perlahan. Pria itu menarik lengannya dan tersenyum simpul.
"Boleh antarkan aku ke sana?" Ia terdiam cukup lama, membiarkan suara bising terus masuk ke telinganya. "Ayolah, aku harus melatih mereka," lanjutnya yang membuat mata gadis itu kembali terperanjat.
"Kenapa? Hey, mengapa kamu tak mengeluarkan suara sedikit pun?" tanyanya bingung. Gadis itu mengangguk dan bersedia mengantarnya.
Pria itu menghela napas dan mengikutinya dari belakang, melewati kerumumanan orang yang sudah selesai melihat senja.
Dengan senja, pertemuan pertama berlangsung tak diduga.
•••
Festival Senja adalah festival enam bulan sekali yang selalu diadakan oleh Kota Josai. Bukan karena selalu ada senja, hanya saja festival ini selalu diadakan ketika senja selalu datang menyapa.
Mungkin, wilayah ini strategis dan sebuah keberuntungan untuk melihat senja di waktu tertentu. Biasanya Festival ini diadakan satu bulan penuh, sebab mereka tak tau senja akan muncul di hari apa saja.
Teater Lentera, ditunjuk sebagai pengisi acara di Festival yang ke sebelas ini. Di bawah naungan SMA Shira, mereka harus menampilkan sesuatu yang terbaik. Karena, SMA Shira adalah SMA dengan teater terbaik di kotanya.
"Oke, karena kita masih punya waktu sekitar dua minggu, kita akan latihan setiap hari. Silahkan istirahat terlebih dahulu, kita mulai latihan kembali pukul tujuh malam," intrupsi dari pelatih.
"Pak, bagaimana dengan gadis itu?" tanya seorang wanita dengan rambut diikat.
"Jika dia tidak bisa melakukan tugasnya dengan baik, saya harus ganti. Saya bingung, dia sudah bergabung dengan kita selama dua tahun. Tapi tak pernah berbaur," ujarnya memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Mungkin, punya gangguan antisosial Pak," ujarnya yang membuat setengah dari mereka tertawa.
"Ah sudahlah. Kalian fokus pada apa yang ada di hadapan kalian sekarang. Jangan memikirkan hal lain," tegasnya.
Suara pintu terbuka lebar membuat semua orang di sana tertuju pada pria yang memakai kemeja coklat dengan tas selempang hitam. Rival segera beranjak mendekati Pak Dio ke panggung, dan menatap kurang lebih dua puluh lima orang yang tengah duduk sila.
"Aish, dari mana saja Rival?" ketusnya sembari menepuk pundaknya. "Eh, bentar kalian semua jangan kemana-mana. Kenalkan dirimu Rival," lanjutnya.
"Baik Pak. Selamat sore menjelang malam teman-teman. Eh, sepertinya sudah malam. Selamat malam semuanya," sapanya tersenyum membuat mereka ikut tersenyum.
"Saya Rival, dari angkatan kemarin. Iyaps, saya baru lulus tahun kemarin. Kalian bisa panggil aku, apa saja, dan untuk kedatangan saya ke sini, saya akan menggantikan Pak Dio untuk melatih kalian. Tapi, saya tidak sehebat yang kalian kira, saya hanya ingin menyalurkan apa yang aku dapat ke kalian. Salam kenal," jelasnya diiringi dengan tepukan tangan dari mereka.
"Sebelum istirahat, ada yang ingin kalian tanyakan?" Pak Dio melihat sekeliling.
"Pak, bagaimana kalau gadis itu ganti dari sekarang? Bukankah, kalau dia seperti itu terus akan menghambat kita?" tanya wanita itu lagi dengan senyum sinis. Beberapa dari mereka mengangguk setuju.
"Memangnya, siapa peran utamanya?" tanya Rival balik.
"Si gadis antisosial!"
"Gadis antisosial?" Rival mengerutkan keningnya.
"Diam Bintang!" dengus Pak Dio.
"Ah sudahlah, mengapa Pak Dio memberikan peran penting padanya? Sudah jelas dia seperti itu dari dulu. Apa yang Bapak harapkan?" protes Bintang.
"Sudahlah Bintang, bukankah kamu seperti ini, ingin peran itu untukmu?" seru pria berambut ikal yang duduk di ujung kanan dengan menatap tajam. "Jika kamu yang jadi perannya, aku tak mau denganmu, lebih baik dengan gadis antisosial yang tak pernah mengatakan apa pun."
"Dasar belagu, tapi mohon maaf aktingmu masih di bawah standar untuk peran utama!" Bintang menyilangkan kedua lengannya.
"BUKANKAH KA—"
"CUKUP BINTANG! NIZAR! Jika masalah peran kalian masalahkan, bagaimana untuk kerjasama kita nanti? Bisakah bertindak profesional Bintang? Saya memilih peran bukan semata-mata hanya melihat dari wajahnya saja. Tapi dari kemampuan yang mereka miliki. Saya memilih gadis itu karena cocok dengan cerita yang kita pilih. Si Gadis Bisu, bukankah kepribadiannya sama dengan aslinya?" Pak Dio menatap tajam dan segera turun dari panggung.
Tanpa mereka sadari, seorang gadis yang mereka bicarakan tengah diam mematung di balik panggung. Mendengarkan semua yang terjadi. Ia menghela napas panjang dan segera pergi lewat pintu belakang. Gadis itu hanya kembali menahan air matanya agar tak jatuh lagi.
"Jadi, Pak Dio memilihku karena...," batinnya segera menghentikan omong kosongnya. Bukankah, ia sudah terbiasa dengan semua ini?
•••
Rival berjalan lesu di jalanan yang lumayan sepi. Ia butuh udara segar beserta peregangan dalam tubuhnya.
Terlalu lelah memang melatih anak-anak SMA itu, baginya. Di perjalanan pulang, netranya menangkap seorang gadis yang tengah duduk sedang menulis sesuatu dalam buku yang terlihat cukup indah.
Ah, Rival tahu gadis ini, gadis yang membantunya tadi. Sebetulnya, Rival tidak tahu bahwa Gedung Teater Shira sudah di pindahkan. Itu yang membuatnya tersesat.
"Hai, belum pulang?" sapa Rival membuat gadis itu segera menutup bukunya. Ia menghela napas dan memberikan ruang kepada Rival agar bisa duduk.
"Kalau boleh tau, namamu siapa?" Rival memang penasaran dengan gadis yang baru ia temui ini. Pasalnya, ia tidak pernah mengeluarkan sedikit patah kata pun.
Gadis itu terdiam cukup lama. Ia menimbang-nimbang, dan akhirnya membuka bukunya lagi dan menuliskan sesuatu.
NAMAKU SENJA, SI GADIS BISU.
"Si Gadis Bisu? Bukankah itu seperti judul kabaret yang kulatih?" Rival menatap gadis itu lamat-lamat. Pikirannya tertuju pada gadis antisosial.
Senja segera menarik bukunya kembali.
"Apa jangan-jangan ... kamu peran utama?" Rival terkejut dan menatapnya lebih dalam lagi.
Senja terdiam dan mengangguk perlahan.
"Boleh aku berkata jujur?" Senja mengangguk.
"Kenapa kamu tak mau membuka suara? Bukankah, kamu sudah dua tahun bersama mereka? Terkadang, jika tak nyaman orang akan pergi. Tapi berbeda denganmu, mengapa masih bertahan?" Rival membenarkan duduknya dan menengak ke atas.
"Eits, sudahlah, aku tak mau mendengarkan alasanmu. Mulai besok kamu harus latihan. Ingat itu! Oke?" Rival tersenyum dan menepuk punda Senja lembut.
Bukan itu yang Senja rasakan. Tetapi ia terenyuh oleh pria di hadapannya. Ia luluh, hanya karena sebuah tepukan lembut yang mampu menghangatkannya.
"Oh iya, apa kamu sedang latihan menjadi bisu?" Rival tertawa membuat Senja ikut merasakan hal itu.
•••
Sejak itu, Senja menjadi pribadi yang lebih berani. Ia tidak menggubris saat teman-temannya mengolok atau mengejeknya. Berkat pengaruh dari Rival, ia mampu menunjukkan bakat yang ia miliki. Tentu sebuah rasa akan tetap ada walaupun tergores dengan tinta ketidakpastian.
"Oke, kita cukupkan latihan hari ini. Kalian semua keren. Semoga, kita besok bisa menunjukkan hasil latihan kita. Saya juga ingin minta maaf pada Senja, karena telah meragukannya," jelas Pak Dio mengakhiri.
Ternyata, mempunyai sikap bodo amat membuatnya damai. Ia tak tahu, bahwa dengan sifat itu, ia bisa merasakan hal yang ia inginkan.
"Lihat si gadis bisu, apakah dia bisu beneran? Aku bingung, dia jarang sekali bicara."
"Bukan jarang, tapi memang tak pernah!"
Itu yang selalu Senja dengar dari mereka. Ia tidak tahu rahasia terselubung milik Senja. Tidak ingin membukanya dan berharap itu tidak akan pernah terjadi. Tetapi terkadang, perkataan mereka membuat Senja kembali ingin menghilang dari hadapan mereka. Namun, tentu saja, perkataan Rival selalu menyemangatinya.
"Jika ada yang merasa iri, bukankah kamu lebih baik dari dia?"
Sungguh, kalimat yang terlontar dari mulut Rival mampu membuat hati Senja baik-baik saja.
•••
Hari ini adalah hari yang mereka tunggu. Baginya, ini adalah ajang pembuktian sebagai tim teater terbaik. Kabaret, itu jenis yang akan mereka lakukan. Kabaret berbeda dengan teater, ia lebih mementingkan permainan yang membludak dan dubbing sebagai omongannya.
Sebelum mempersiapkan hal lain, Senja berdiri di pinggir jembatan. Menanti kehadiran senja yang ia harapkan. Senja tahu, bahwa perjuangan ia di sini selalu baik. Tetapi yang selalu ia cemaskan, adalah pertemanannya.
"Senja, sudah siap?" tanya Rival membawa sebuah botol minuman untuk Senja.
Senja segera mengambil buku dan menulis sebuah ungkapan yang sedikit panjang.
Aku sengaja membuat kabar bahwa aku mempunyai gangguan berbicara. Aku tidak ingin kalian menjauhiku karena itu. Jika bertanya mengapa bertahan, aku tidak tahu jawaban pasti. Hanya saja, aku terlanjur menyukai dunia ini.
Mengapa? Karena dalam kabaretnya, aku menyukai dubbing. Aku seperti berbicara layaknya manusia seperti kalian. Berbicara lewat dubbing, sungguh membuat hatiku bahagia
Rival terdiam, matanya terbelalak dan pikirannya mengingat saat ia bilang bahwa Senja sedang latihan bisu.
"Kamu gak apa-apa?"
Senja mengerutkan keningnya.
"Aku hanya ingin minta maaf!"
Senja menatap aneh. Untuk apa? Mungkin tatapannya seperti itu.
"Mungkin, aku juga sedikit lancang."
Senja segera menulis sesuatu kembali. Sesaat sebelum menulis tatapan mereka beradu dalam hati yang dalam.
"Aku tahu, tapi…."
Senja segera membereskan tulisannya.
Sudah, tidak usah dipikirkan, bukankah kamu yang bilang seperti itu? Jika benar, berarti kamu sama saja dengan komplotan tidak percaya diri
"Lalu ... aku ingin bertanya padamu. Apakah kamu ... memang bisu?" Rival menatap serius Senja yang menulis dengan cepat. Sejujurnya, Rival juga merasa aneh pada Senja, ia tidak ingin mengeluarkan suara atau memang..
Apakah harus kuulangi?
Namaku Senja, Si Gadis Bisu.
Senja tersenyum, namun tidak menyangkal bahwa ada rasa sakit di dalam hatinya. Sebelum ia tampil malam ini, ia ingin berbagi sebuah rahasia.
Bahwa dirinya, hanyalah sebuah aksara!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro