#10
Gentle Breeze on the Tennis Court
#cerpen oleh iluvplumtea
_______
Icha tidak tahu kegilaan apa yang membuatnya bergabung dengan klub tenis. Jujur saja ia tidak jago dalam bidang olah raga. Apa pun. Namun, di sinilah ia. Di bawah terik matahari sepulang sekolah. Dengan keringat mengucur di kening dan punggungnya—rambut panjangnya yang dikepang pun sudah basah. Di pinggir lapangan memunguti bola-bola berwarna kuning bergaris putih. Debu sudah menyerang hidungnya sedari tadi bersama angin yang bertiup sesekali.
Setidaknya matanya mendapat sajian indah. Sosok Kak Agi, memegang raket di tengah lapangan, mengembalikan bola-bola yang dipukul oleh kakak ketua klub tenis. Keringat di wajahnya tak membuat ketampanannya berkurang. Jika bisa, Icha ingin menjadi handuk saja.
“Heh, anak kelas I! Jangan ngelamun, cepet pungutin bolanya!”
Icha menahan delikan matanya, mendumel dalam hati. Senior menyebalkan itu mulai lagi. Minggu lalu ia dihukum lari keliling lapangan tenis sepuluh kali karena menentang perintah. Hari ini ia sedang tidak mood mencari gara-gara.
Tangan Icha kembali memunguti bola yang berceceran. Setelah kegiatan klub selesai, anak kelas I bertugas mengumpulkan bola dan mengembalikan peralatan ke gudang.
Anak kelas I jarang bisa menjadi tim reguler. Pemilihan anggota memang ditentukan oleh kemampuan.
Pertandingan seleksi. Namun, tentu saja para senior rata-rata memiliki skill yang sangat bagus. Setahu Icha hanya Kak Agi yang sudah menjadi tim reguler sejak kelas satu. Sesama teman seangkatan Icha pun tidak ada yang menonjol, kecuali Nanda. Dan tentu saja anggota sepertinya yang bergabung dengan niat tidak tulus, tidak mengalami kemajuan sama sekali. Tangannya masih kaku, lututnya masih kurang menekuk, dan ayunannya masih kurang tenaga.
Icha menghela napas. Ia memang hanya ingin melihat Kak Agi dari dekat saja. Tidak bersungguh-sungguh ingin bermain tenis.
“Jangan malas! Itung-itung latihan stamina,” ujar senior menyebalkan yang sekarang berada di dekatnya. “Masa baru gitu aja udah ngos-ngosan.”
Icha mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Memang seharusnya ia bergabung dengan paduan suara sekolah saja. Jika bukan karena dulu ia berjanji akan bertahan setidaknya sampai naik kelas dua kepada ibunya, pasti ia sudah berhenti sejak lama.
Setelah bergabung selama tiga bulan, ia tidak bisa dengan mudah mendekati Kak Agi. Lalu ada rumor bahwa siswa kelas II.A tersebut sudah punya pacar. Sia-sia saja usahanya, yang tersisa hanyalah latihan keras melelahkan jiwa dan raganya.
“Cha, mau ngebakso dulu sebelum pulang?” Pertanyaan Nanda menyadarkan Icha dari lamunannya.
Icha menggelengkan kepalanya. “Gue capek. Mau langsung pulang aja.”
“Oh, tapi ini Kak Agi lho yang ngajak. Mau traktir kita katanya.”
“Memangnya kenapa?” Icha setengah membanting keranjang bola ke lantai. Untung isinya tidak berhamburan keluar. Meski ada Kak Agi, senior menyebalkan juga pasti ada.
Nanda sedikit melompat untuk menghindar. “Bukannya lo suka ya sama Kak Agi.”
“Udah enggak,” jawab Icha sekenanya sambil berjalan ke luar gudang peralatan. Hampir saja ia menabrak subjek pembicaraannya dengan Nanda. Setelah meminta maaf, Icha permisi. Mengambil tas raketnya kemudian berjalan ke gerbang di mana ibunya sudah menjemputnya.
“Anak ibu, kok, cemberut?” tanya ibunya ketika Icha sudah memasang sabuk pengaman.
“Capek, laper. Mau burger.”
***
Icha benci hari Kamis; jadwal latihan klub tenis adalah Selasa, Kamis dan Sabtu. Sesungguhnya ia ingin bolos. Mungkin pergi ke mall atau menonton di bioskop. Sepertinya sedang ada film bagus yang tayang. Atau bisa juga sekedar wisata kuliner. Ia bisa mengajak Acie nanti.
“Cha, liat peer matematika,” ujar Ochi dengan napas terengah-engah. Sepertinya berlari menuju kelas.
Icha mengeluarkan buku PR-nya yang langsung disambar oleh Ochi sebelum pergi ke bangkunya sendiri.
“Cha, ada yang nyari,” panggil Acie.
“Laku banget gue hari ini,” gumam Icha sambil berjalan ke pintu kelas. Matanya membelalak melihat sosok yang datang mencarinya. “Selamat pagi, Kak.”
“Ada waktu? Bisa kita ngobrol lima menit?” tanya Agi.
Icha melirik jam tangannya. Masih ada waktu sampai bel masuk dan tentu saja, untuk Kak Agi ia bisa menyediakan waktu luang. Dengan satu anggukan darinya, Agi mengajaknya berjalan menjauh dari kelas I.A.
Mereka berhenti di ujung koridor. Tidak banyak siswa dia area itu. Icha berusaha mengatur napas. Tentu saja ia gugup jika kakak kelas yang ditaksirnya, mengajaknya bicara berdua. Dan lebih gugup lagi jika kakak kelas tersebut satu klub dengannya. Mungkin saja Kak Agi akan melarangnya datang ke klub. Bukan hal buruk walau ia akan merindukan sosok Kak Agi yang berkilauan di bawah matahari.
“Nih.” Agi menyodorkan sebuah tas kertas kecil.
Aku ditembak? Icha menerimanya dengan senang hati, mengintip ke dalamnya lalu terbengong. Tangannya mengeluarkan sepotong sandwich buah yang terbungkus plastik rapi. Semangatnya langsung padam.
“Kenapa? Ga suka?”
Icha menggelengkan kepalanya. “Terima kasih, Kak. Saya akan memakannya sampai habis.” Ia lebih suka burger atau sandwich telur. Kenapa harus buah-buahan? Dan stroberi pula. Untung saja ia tidak alergi.
“Ah, begitu? Syukurlah. Ini sebagai ganti kemarin karena kamu tidak ikut ditraktir.”
Icha memamerkan deretan giginya. “Padahal tidak usah repot.”
Agi tersenyum. “Dan satu lagi, kamu tidak akan berhenti dari klub kan?”
“Hah?”
“Aku dengar selentingan bahwa kamu gabung hanya karena kamu suka sama aku. Ga papa, banyak kok, siswa yang gabung karena suka dengan salah satu anggota klub tenis. Fans ketua misalnya.”
“Hah?”
“Ya aku harap walaupun kamu udah ga suka sama aku, tapi kamu bisa tetap ada di klub tenis.”
Sepertinya ini karena obrolanku dengan Nanda, pikir Icha. Ia masih suka Kak Agi, tetapi ia tidak suka jika perasaannya terus menerus diungkit. Memalukan dan menyakitkan.
Icha tertawa gugup. “Jangan khawatir, Kak. Saya tidak akan keluar klub. Setidaknya sampai naik kelas dua?”
“Eh?”
“Ah itu. Anu, waktu saya mau daftar klub tenis, Ibu sempat bilang, kalau setelah beli raket dan segala macam kemudian saya berhenti sebelum satu tahun maka saya tidak akan dibiayai ikut kursus apapun lagi. Jadi tenang saja, walau menghabiskan waktu untuk memunguti bola pun saya tidak akan berhenti. Saya masih ingin kursus dansa dan bahasa asing nanti.”
Agi tersenyum kaku. “Begitu rupanya. Baguslah. Sampai ketemu nanti di lapangan.”
***
Siang itu latihan berjalan seperti biasanya. Di mulai dengan rutinitas yang tidak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Ketika latihan berakhir, Icha sudah bersiap-siap memungut bola sebelum disuruh oleh senior menyebalkan. Namun kali ini, ada yang lain, Kak Agi ikut memunguti bola—dengan cekatan.
Belum sempat Icha mengagumi hal itu, ia sudah dipanggil oleh Kak Agi ke pinggir lapangan. Ada ketua juga di sana.
“Halo, Icha,” sapa Kak Rio.
“Halo, Kak.”
Senior-senior yang lain sudah pulang, bahkan senior menyebalkan pun sudah tak tampak batang hidungnya. Anak kelas I pun hanya tinggal Nanda dan Ina. Icha memandang Kak Agi dan Kak Rio bergantian. Bulir-bulir keringat mulai menetes dari keningnya.
Kak Rio berjalan ke kursi wasit.
“Ambil raketmu,” ujar Kak Agi. “Kita main satu set.”
Icha menelan ludah. Tunggu. Apa ia tidak salah dengar? Kak Agi sedang mengajaknya bertanding? Tetapi, kenapa? Tak urung ia menyeret kakinya mengambil raket. Kemudian mendekati kedua seniornya.
“Lempar koin?” tanya Kak Rio kepada Kak Agi. Untuk menentukan yang serve terlebih dahulu.
Yang ditanya mengangguk.
“Tunggu sebentar,” protes Icha. “Saya kan pemula, lalu saya juga cewek. Bagaimana mungkin saya bertanding melawan Kak Agi yang sudah jago?”
Kak Agi menatap lekat-lekat. “Baiklah, jika kamu bisa menghasilkan satu poin, aku akan mengabulkan satu permintaanmu.”
Icha ingin memukul kepalanya dengan raket ketika kata kencan muncul di otaknya.
Tangan Kak Agi menepuk-nepuk kepalanya. “Kerahkan semua kemampuanmu, aku tidak akan mengalah.”
Tidak pernah dalam impian Icha yang paling liar sekali pun bahwa ia akan bertanding melawan Kak Agi. Meski ini bukan pertandingan resmi. Dan meski Icha tidak mengerti mengapa Kak Agi menantangnya. Ia membuat suara tercekat ketika hasil melempar koin adalah Kak Agi yang serve pertama.
“Love all. Agi Serve.” Suara Kak Rio terdengar lantang walau tanpa megafon.
Semilir angin sore mengelus punggung Icha yang basah. Sosok yang dikaguminya dari pinggir lapangan sekarang ada di hadapannya sebagai lawan. Jika bukan karena gugup, matanya akan berpesta pora.
Icha tidak sadar dirinya menahan napas sampai ketika bola melewatinya begitu saja.
Cepat. Terlalu cepat.
“15-0.”
“Jangan melamun! Perhatikan bolanya. Kejar dan pukul.”
Icha ingin berteriak saking kesalnya. Bicara memang mudah, tetapi pelaksanaanya sulit. Kakinya tidak mau bergerak sama sekali.
“30-0.”
Icha menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan-pelan. Sementara dirinya panik, Kak Agi sudah mencetak dua angka. Dengan susah payah matanya fokus kepada bola yang dilemparkan kemudian dipukul dengan sekuat tenaga ke arahnya.
Memaksa kakinya untuk bergerak, Icha mengayunkan raketnya untuk mengembalikan bola. Sayangnya bola yang ia pukul bahkan tidak bisa melewati net.
“40-0.”
“Pukul dengan sekuat tenaga!” Kak Agi memberi instruksi.
Icha mengeratkan pegangannya pada gagang raket. Menarik napas, melemaskan bahunya. Matanya kembali terpaku pada bola. Kakinya bergerak lincah ke arah bola. Menekuk lututnya lebih rendah dan tangannya mengayun dengan sekuat tenaga.
Kali ini bolanya melambung melewati net. Dalam sekejap seolah Kak Agi tidak akan bisa mengembalikannya karena bola jatuh di depan, tetapi tentu saja bahkan sebelum Icha sempat berkedip seniornya itu sudah mengembalikan bola ke lapangannya. Kakinya kembali mengejar bola, tangannya terulur. Hanya ujung raketnya saja yang menyentuh bola kuning itu.
Icha terjatuh bersamaan dengan benda bundar itu.
“Game,” ujar Kak Rio.
Ketika masih mengatur napas, sebuah tangan sudah terulur untuk membantunya berdiri. Icha menyambut uluran tersebut dan membiarkan dirinya ditarik oleh Kak Agi.
“Tidak buruk” komentar Kak Agi.
“Tidak buruk, tapi tidak bagus. Aku kalah telak.”
“Jangan bersedih,” ujar Kak Rio sambil menepuk punggung Icha. “Sudah selesai kan?” Ia bertanya kepada Kak Agi.
“Ya. Thanks.”
Kak Rio menyeret Nanda dan Ina pergi dari lapangan tenis. Meninggalkan Icha berdua dengan Kak Agi.
Dengan langkah gontai Icha memasukan kembali raketnya ke dalam tas. Membereskan peralatan sebelum pulang berdua dengan Kak Agi.
“Kamu dijemput?”
“Iya.”
“Masih sedih karena kalah?”
“Mana mungkin.” Icha mendelik ke arah seniornya yang satu itu. “Saya sadar diri, Kak. Sejak awal mana mungkin saya menang lawan Kakak. Berharap keajaiban datang juga mustahil.”
Agi tertawa pelan. “Benar. Kamu baru memegang raket tenis tiga bulan lalu, mana bisa dibandingkan dengan seseorang yang sudah bermain dengan raket tenis sejak usia empat tahun. Tapi tadi kamu berjuang, mungkin dengan gemetaran. Tapi kamu tetap berjuang. Kamu tetap berusaha sekuat tenaga. Bermain tenis itu menyenangkan, bukan?”
“Sebenarnya Kakak ini sedang apa sih?”
“Mencoba membuatmu menyukai tenis.”
Kekehan lepas dari mulut mungil Icha. Siapa sangka kalimat seperti itu akan diucapkan oleh Kak Agi.
“Apakah penting aku menyukai tenis atau tidak? Toh, aku tidak akan keluar klub sebelum naik kelas dua.”
“Tapi akan lebih menyenangkan jika kamu menyukainya.”
Memang awalnya ia masuk klub tenis karena Kak Agi, kemudian tidak bisa keluar karena ancaman ibunya. Bergabung dengan klub tenis tidak buruk, meski ada senior menyebalkan, tetapi ia mendapatkan banyak teman. Belum lagi bisa melihat Kak Agi dari dekat sepuasnya.
Tidak terasa mereka sudah berjalan hingga ke gerbang utama. Icha sudah bisa melihat mobil ibunya terparkir dengan manis di depan sekolah.
“Jemputanku sudah datang,” ujar Icha penuh sesal. Ia masih ingin berlama-lama dengan Kak Agi.
“Oh, iya. Aku masih akan terus berusaha membuatmu menyukai tenis. Sampai ketemu besok.”
Icha melambaikan tangannya sebelum masuk ke kursi penumpang. Matanya menatap punggung Kak Agi yang menjauh walau sedang memakai sabuk pengaman.
“Siapa tuh?” tanya ibunya.
Icha berpikir sejenak. “Calon menantu masa depan Ibu.”
“Emang dia mau sama kamu?” goda ibunya sambil melajukan mobil
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro