#3
Tamu di Balik Sudut
Galatumn
Waktu itu aku berumur sekitar sepuluh atau sebelas tahun. Aku dan keluargaku pindah ke daerah ibukota dari Padang setelah menetap di sana selama empat tahun.
Aku ingat, di kala itu waktu sudah menunjukkan hampir jam enam sore, kira-kira sekitar 20 menit sebelum adzan magrib berkumandang. Karena kami masih berada di kondisi baru pindahan, tentu saja masih banyak kardus yang bertumpuk di kamar belakang kami.
Aku dan adik-adikku memutuskan untuk tidur bersama orang tua kami waktu itu—maklum, walau kami pernah tinggal di rumah ini sebelum kami pindahan ke Padang, suasana sekarang tetap berbeda dan kami merasa sangat asing.
Jadi, kamar belakang yang seharusnya menjadi kamar kami, selama 2 minggu difungsikan sebagai tempat penyimpanan barang-barang yang belum dikeluarkan dari kardus.
Di hari kejadian itu, keluargaku yang lain sedang berada di ruang tamu selagi menunggu adzan. Aku ingat sekali mereka sedang menonton film kartun di TV, aku tadinya juga ikut menonton.
Tapi, entah karena aku diminta tolong ibuku atau ada sesuatu yang tiba-tiba ingin kucari—aku agak lupa alasannya, akhirnya aku yang masih murid baru kelas 6 itu beranjak dan masuk ke kamar belakang tersebut.
Awalnya semua baik-baik saja. Aku yang sedang mencari, suasana kamar belakang yang adem sore, dan lampu yang menyala dengan terang menemaniku dalam pencarianku.
Hal itu berlangsung sampai ketika aku yang sedang membelakangi pintu kamar itu mendengar langkah masuk seseorang. Dari ekor mataku, aku dapat menangkap sosok ibuku dengan baju biru dan celana training-nya yang memang selalu digunakan di rumah.
Ibuku itu berjalan melewatiku dan menunduk di seberangku—kalau tidak salah ke kardus yang berisi berbagai perlengkapan mandi.
“Udah selesai nyarinya, Ni?” tanya ibuku tiba-tiba dengan panggilan rumahku.
Fyi, Ni itu maksudnya adalah ‘Uni‘—bahasa Padang yang artinya kakak perempuan. Aku dipanggil begitu di rumah karena sebagai pembeda untuk adikku yang paling bungsu ketika memanggilku dan memanggil adik perempuanku.
Jadi ketika ia memanggil dengan sebutan ‘Uni‘ berarti ia memanggilku. Sedangkan jika ia memanggil ‘Kakak ‘ berarti ia memanggil adik perempuanku.
“Belum ketemu bu,” jawabku waktu itu sambil merengek capek.
Aku memberikan gestur kelelahan tanpa melihat ibuku yang tampaknya sudah selesai mencari. “Ibu sudah selesai?”
Aku mendengar ibuku berdecap lega. “Udah, Ni. Ya udah, ibu mau buka pintu dulu ke halaman belakang,” katanya.
Seperti tadi, aku yang masih sibuk mencari hanya membiarkan ibuku berlalu.
Ada sesuatu yang aneh?
Tentu saja ada yang aneh (bahkan sampai sekarang aku masih ngeri mengingatnya)! Aku yang sedari kecil dibiasakan dengan kebiasaan rumahku tahu banget bahwa ibuku selalu melarang untuk membuka pintu saat masa adzan maghrib sampai adzan isya berkumandang. Karena di masa itu Rasulullah menganjurkan sunah yang kedua untuk menutup pintu-pintu rumah saat waktu magrib tiba karena setan tak bisa membuka pintu yang tertutup. (Secara singkat ketika maghrib aktivitas dunia lain sedang tinggi-tingginya).
Makanya butuh beberapa detik aku yang masih kecil itu menangkap keanehan ibuku itu. Aku juga membutuhkan beberapa detik lagi untuk sadar bahwa aku tidak mendengar ibuku keluar ruangan, melainkan ke arah sebaliknya ...
ke arah dinding.
Aku yang masih kecil itu merinding bukan main. Serta parahnya adalah, aku tiba-tiba tersadar bahwa ibuku jarang memanggilku dengan sebutan Uni jika kami sedang berdua atau ketika adik bungsuku tidak ada waktu itu!
Akhirnya aku yang memang merasakan semua kondisi itu salah segera berlari keluar ruangan. Aku berlari ke ruang tamu dan mendapatkan ibuku sedang duduk di samping ayahku dan menikmati camilan buatannya.
Sangat tidak mungkin ia dengan cepat seperti itu ke ruang tamu. Akhirnya aku menangis keras dan segera berlari dan duduk di antara ibu dan ayahku. Mereka semua sangat kebingungan dengan tingkahku. Tapi aku tidak mengatakan apa pun dan terus saja menangis.
-=-=-
PS : Ternyata memang di rumah itu sudah lama tidak dihuni. Aku baru berani mengatakan kejadian itu seminggu setelah rumah sudah rapi tanpa kardus.
PS 2 : Ini pengalaman horor pertama yang kurasakan. Betapa anehnya ketika menatap dinding itu sampai sekarang. Apa kalian yang membaca buletin ini pernah merasa begitu? Ketika melihat sosok yang mirip tapi tidak sama itu?
Regards,
Galatumn.
PS : Ngeri Euy. Lenyap dalam dinding enggak tuh.
Zinc Moes S.Ked
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro