#5
Pagi Itu
Galatumn
Saat ini yang bisa ia lakukan hanya mematung sambil terus menatap seseorang—ah, bukan … seharusnya Ia memanggilnya dengan sosok itu, masih memiliki mata besar bewarna kuning kucing dengan loreng orange yang menghiasi wajahnya di seberang teras belakang rumahnya.
Mereka memang dipisahkan dengan jurang dangkal dan tembok batu pembatas rumah perempuan itu, namun tetap saja kejadian seperti ini terlihat jelas di hadapannya.
Apalagi dengan adanya penerangan remang dari lampu jalan di sebrang sana. Masih menyala karena hari belum sepenuhnya terang, tepatnya di atas lekukan tanah yang selalu ia dan abangnya anggap seperti portal tersembunyi di balik lebatnya dedaunan panjang ... membuat sosok itu begitu jelas terlihat keberadaannya di sana.
Sambil saling menatap diam seperti itu, ia mencoba mengingat-ngingat apa yang dilakukannya beberapa menit sebelum berada di posisi sekarang.
Ya, pagi itu entah mengapa ia yang biasanya bangun siang di hari liburnya tiba-tiba malah terbangun di waktu yang kelewatan pagi. Ia mengetahui itu karena ketika dengan malasnya harus terduduk dari posisi tidur dan menyibak selimut tebal untuk mengintip keluar dari jendela kamar, hari masih gelap dengan biru yang terlihat masih jauh dan suhu masih saja terasa dingin.
Dingin secara kenyataan, ya. Saking dinginnya tempat ia dan keluarganya tinggal, mereka hanya perlu menyibak selimut seseorang untuk membangunkannya dan hanya dalam hitungan beberapa menit orang tersebut akan terbangun karena menggigil.
Metode tersebut ia ketahui karena sang mama selalu melakukannya di pagi hari bila tiba waktu sekolah.
Tetapi, sekali lagi ... hari ini adalah hari libur dan seharusnya ia tertidur seperti sapi. Selimut miliknya pun juga masih membungkus ketika ia terbangun, tanda tidak ada yang menjahilinya.
“
Aneh,” gumamnya malas. Selain perasaan kantuknya yang menghilang, ia juga merasakan perasaan tidak nyaman untuk berdiam saja—seperti rasa gerah akan sesuatu.
Karena tidak kunjung membaik perasaannya, ia akhirnya keluar dari gulungan selimut. Berjalan dengan lunglai ke kamar mandi untuk membasuh wajah, sebelum keluar dari dalam kamar.
Ia mendekati arah dapur karena mendengar seseorang sedang memotong di nampan, sepertinya sang mama sudah terbangun sejak tadi.
“Lho tumben, Dek. Kamu sudah bangun,” sapa mama ketika melirik si buah hati sudah terduduk di meja makan. “Biasanya, kamu akan bangun setelah waktu subuh dan kembali tertidur sampai siang, 'kan?”
Tuh, mamanya saja sudah tahu dengan kebiasaan tersebut.
“Tidak bisa tidur lagi, Ma. Tadi ke bangun.” Ia menjawab. “Terus rasanya gerah gitu dan pengen menghirup udara segar, Ma.”
“ Ya, udara hari ini memang lagi segar. Hirup aja, Dek, sambil nemenin Mama masak.”
Mendengar mamanya berkata begitu ia menggeleng. Tentu saja, yang dimaksud olehnya adalah menghirup udara segar di luar, karena entah mengapa, hari itu ia sangat ingin bersandar di luar.
Mamanya yang tahu gerakan dan ekspresi si anak langsung mengerutkan dahi.
“Di luar masih gelap, Dek, emang kamu berani?”
“Gelap gimana, Ma? Langit udah mulai membiru gitu. Adek juga yakin pasti ada beberapa orang yang udah keluar
dan berjalan.”
Bisa ia lihat mamanya masih keberatan dengan yang ingin ia lakukan.
“Halaman belakang saja, Ma.” Ia berkata, setelah menimbang-nimbang. “Sekalian Adek nyapu lantai teras, enggak bakal lama-lama, Adek bakal masuk lagi setelah itu.”
Halaman belakang—atau teras belakang rumahnya merupakan teras dengan gaya bentuk bangunan hurup L yang memiliki lantai bewarna putih. Di depan terasnya itu terdapat sekotak tanah yang mamanya isi dengan berbagai tanaman untuk menghiasi.
Teras belakang rumahnya juga menghadap ke jalanan yang terpisah dengan jurang dangkal yang pasti tentu saja tetap menyakitkan bila ada yang jatuh ke sana, serta ada tembok pembatas yang kakeknya dulu buat untuk melindungi rumah mereka.
Jika dilihat lebih ke bawah lagi dari jalanan itu, akan ada sebuah lekukan tanah yang cukup besar terhalang oleh berbagai pohon maupun dedaunan panjang yang lebat. Tempat itulah yang suka dianggap ia dan abangnya seperti portal menuju dunia lain.
Harusnya pagi itu, ia menggerakan sapu dan membersihkan teras belakang sambil menikmati alam yang menenangkan itu, apalagi mendengar sesekali suara motor yang lewat atau binatang kecil yang berbunyi.
Nyatanya, saat itu ia sedang terpatung menatap sosok yang bahkan belum sepenuhnya manusia.
Ia pernah mendengar cerita, bahwa di tempatnya saat ini berada ada semacam legenda yang menyinggung cerita tentang manusia harimau dari Sumatera. Manusia tersebut memiliki ilmu yang diwariskan secara turun temurun maupun dipelajari oleh manusia tersebut.
Tujuannya adalah melindungi hubungan antar manusia dan para harimau, sehingga kedua belah pihak sepakat untuk tidak mengusik satu sama lain.
Tidak ada perbedaan yang signifikan dari wujud mereka dengan manusia biasa, kecuali mereka memang memiliki kemampuan di atas rata-rata dan tidak suka menampakan dirinya.
Sehingga ia begitu takjub sekaligus ngeri karena dapat mengalami kejadian tersebut. Ardenalinnya begitu terpacu untuk kabur dan melihat sosok itu secara bersamaan.
Terlihat jelas bahwa sosok itu adalah sosok pria dewasa atau pemuda di akhir masa remajanya. Setelah saling menatap untuk beberapa menit akhirnya kakinya menyerah untuk bertahan dan membuat tubuhnya merosot ke bawah.
Permukaan lantai yang menyambutnya terasa begitu dingin. Lalu darimana datangnya—mungkin dari suara jatuh sapu yang terlepas dari pegangan, mamanya datang dengan tergesa-gesah sambil mencoba mengangkat tubuh sang anak.
Suara mamanya yang agak panik membangunkan orang rumah lainnya untuk membantu.
Jelas, pagi itu terasa sangat absurb untuk dirinya sendiri. Mama ataupun keluarganya yang lain bilang ia tiba-tiba pingsan tanpa sebab.
Kemudian tiga hari setelah itu, ia mengalami demam. Ia tidak tahu apa yang dilihatnya itu mimpi atau bagaimana, pastinya untuk beberapa hari setelah itu ia tidak berani untuk pergi ke teras belakang rumahnya lagi di hari sepagi itu.
-=-=-=-
Note si Author:
Hi, Kembali lagi dengan saya!
Cerita ini adalah cerita dari gabungan beberapa curhatan temanku dulu. Ia tidak menjelaskan secara detail namun langsung to the point saking enggannya ia bercerita.
Latar tempatnya ini saya sesuaikan dengan konsep dan tempat tinggalku dulu, sehingga terasa nyaman ketika mengetik cerita ini dari prespektif saya sendiri.
Saya tidak menyangka akhirnya mau menceritakan ini, kisahnya begitu unik dan ingin kuceritakan di Daily Galaxy.
Ini … sungguh mendebarkan sekaligus ajaib, bukan? Tapi memang tetap saja mengerikan secara bersamaan.
Kalau ada yang ingin ditanyakan atau sharing cerita boleh banget!
Pengalaman yang terasa tidak nyata begini pasti ada kesan tersendiri di dalamnya! Kamu bisa menemukan saya di tempat biasanya, di sudut café yang tidak jauh dari sini…
Regards,
Galatumn
PS: Aku tidak mengerti, kenapa masih ada yang nekat mengetuk pintu kamarku malam-malam.
Sepertinya, ketua asrama harus segera diganti.
Airlangga
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro