Rewind
Kamu hanya bisa menurut saat Nay memintamu untuk mendengarkannya.
"Keputusanku sudah bulat," katamu dengan mantap.
"Baiklah. Aku menghargai itu."
"Lalu, kenapa kau ke sini?"
Kamu menunjukkan gelagat tidak nyaman dengan kehadirannya. Kepercayaan dirimu runtuh. Sikapmu tak lagi angkuh.
"Mau bagaimanapun, kau adalah satu-satunya kenangan yang tersisa dari Om Beni."
Nama ayahmu disebut. Kamu semakin tidak nyaman. Dudukmu gelisah. Tidak tenang. Kamu selalu menghindar jika Nay menatapmu. Sepotong kalimat darinya lebih membuatmu takut daripada suara sirene mobil polisi yang telah meraung-raung selama dua jam lebih.
"Aku tidak mengenalnya. Mereka meninggalkanku sendiri di dunia ini," tukasmu.
Kali ini Nay berusaha menyentuh, namun kamu menjauh. Kamu menyayangi Nay. Kamu memang pernah menyayanginya. Mungkin hingga saat ini. Kamu terus-terusan mengingkari perasaan itu.
"Aku akan bercerita tentang kedua orang tuamu."
Nay berusaha memainkan perasaanmu.
"Ceritamu basi. Aku pasti sudah mendengar semuanya," katamu tidak mau kalah.
"Memangnya kau sudah mendengar bagaimana akhir hidup mereka?" tanya Nay.
"Ayahku meninggal dalam kecelakaan, ibuku menyusul beberapa saat setelah aku terlahir. Cerita bagian mana yang aku belum tahu?"
"Tentu saja kau tahu. Semua orang juga tahu hal itu."
"Nah, itu kau tahu. Pergilah, aku tidak ingin kau berada di sini."
Kamu tidak akan pernah bisa menahan Nay saat dia sudah bulat keinginannya.
"Aku hanya ingin kau mendengar kisah ini. Aku tidak tahu apakah besok aku masih bisa bertemu denganmu lagi. Aku tidak ingin menyimpannya sendiri. Kau darah daging mereka. Kau berhak tahu."
Kamu tahu Nay tidak suka bercanda. Saat dia berkata akan loncat ke dalam sumur, kamu tahu pasti dia benar-benar akan loncat ke dalam sumur. Ada sedikit kengerian yang terpancar di matamu.
"Hidupku tidak akan lama lagi."
Kamu membayangkan seorang perempuan tangguh yang sedang berjuang melawan penyakit ganas. Orang itu pasti akan bersikap seperti Nay saat ini.
"Aku ingin memberitahumu namun momen itu tidak pernah benar-benar terjadi."
Sudah hampir setahun lebih kamu selalu menghindar dari Nay. Kamu tidak ingin mengakuinya sebagai satu-satunya saudaramu yang tersisa. Dia hanyalah anak yang dipungut mendiang kedua orangtuamu. Tidak ada ikatan darah diantara kalian. Meskipun jauh di dalam lubuk hati, kamu tahu tidak ada orang yang menyayangimu setulus Nay.
"Aku tahu kau tidak peduli. Tidak apa-apa. Aku hanya ingin kau tahu kisah ini."
"Terserah kau saja."
Egomu terlalu tinggi untuk mengakui bahwa sebenarnya kau pun khawatir.
"Apa yang akan aku ceritakan kepadamu adalah 24 jam terakhir hidup mereka."
Kamu mencoba untuk tidak terlihat antusias. Nay tidak melihat itu. Ia tersenyum memandangimu seolah-olah itu adalah kesempatan terakhirnya.
"Kau seharusnya lahir tanggal 4 April, namun hingga empat hari setelahnya kau tidak juga keluar. Tante Kirana gelisah. Om Beni dan aku selalu menghiburnya. Waktu itu usiaku enam tahun. Yang bisa kulakukan untuk menghibur ibumu adalah dengan tidak berbuat hal konyol yang akan membuatnya kerepotan. Aku hanya akan duduk di depan televisi sepanjang hari. Menunggu ayahmu datang. Biasanya dia akan bercerita tentang betapa sibuknya dia hari itu, bagaimana jumlah penjualan di kiosnya, bagaimana dia bertemu dengan pelanggan yang menyebalkan. Ayahmu tidak pernah pulang tanpa cerita. Ibumu dan aku setia menunggu momen itu."
Bayangan kedua orang tuamu berseliweran. Kamu menahan diri agar tidak terlalu terbawa suasana.
"Hari itu tanggal 8 April, ketika kami bertiga mendatangi rumah sakit untuk memeriksa kandungan ibumu. Dokter berkata air ketuban ibumu sudah tidak bagus kondisinya. Harus segera dilakukan tindakan atau kau akan berada dalam bahaya. Ayahmu menurut. Ibumu takut. Aku pun sebenarnya takut. Akhirnya ayahmu menang. Dengan dibantu dokter, mereka berhasil menyakinkan ibumu."
Benarkah aku sudah merepotkan ibuku bahkan sebelum aku lahir? Pertanyaan itu menggaung di relung-relung hatimu.
"Dokter memberikan ibumu tindakan induksi buatan dengan obat pemacu. Dua kali. Yang pertama, tidak membuat pengaruh yang banyak walaupun menghabiskan waktu setengah hari lebih. Hanya sampai bukaan dua. Yang kedua, lebih tidak berhasil lagi. Ibumu hanya bertahan hingga bukaan tiga pada akhirnya. Dokter pun memutuskan operasi Sectio Caesaria. Mendengar itu ibumu hampir pingsan. Ayahmu tetap berusaha tenang. Dokter mengajak ayahmu berdiskusi di ruangan berbeda. Ibumu tahu itu pasti tentang biaya. Kami hanya menyiapkan dana untuk persalinan normal."
Kamu mulai membayangkan berapa besar biaya yang harus disiapkan pada saat itu. Dahimu berkerut. Pandanganmu kosong. Menerawang jauh ke masa lalu.
"Uang ayahmu tidak sampai separuh dari jumlah yang dibutuhkan. Ibumu semakin sedih. Kamu ikutan malas bergerak. Aku mengetahuinya karena aku menempelkan kepalaku di perut ibumu. Biasanya kau akan menendang-nendang, hari itu tidak. Ayahmu meminta ibumu untuk mempersiapkan diri. Dengan sebuah kecupan di pipi, ia berpamitan. Ayahmu hendak menjual motor satu-satunya yang dimiliki. Aku mengantarnya hingga ke pintu keluar. Aku ingin ikut. Dia melarangku. Aku diberinya tugas menjaga kamu dan ibumu. Ternyata itu adalah kali terakhir aku melihatnya tersenyum."
Nay mulai berkaca-kaca. Kamu dapat melihatnya dengan jelas.
"Setelah mendapat persetujuan dari ayahmu, dokter melakukan operasi. Aku tidak boleh masuk. Hanya berjaga-jaga di luar. Satu jam kemudian, salah satu perawat memanggil nama ayahmu. Aku mendekat. Ia mendorong kotak kaca beroda dengan kamu di dalamnya. Aku ingin menyentuhmu namun perawat itu melarang. Dia terus bertanya tentang ayahmu. Aku menjawab sebisaku. Tak lama kemudian, dokter menyusul. Mereka berdua berbisik-bisik tentang kondisi ibumu yang tidak baik. Aku mendorong kotak kaca beroda itu dan mendekat kepada ibumu. Mereka terlalu sibuk untuk menyadari apa yang aku lakukan. Aku mengikuti instingku."
Pada titik ini kamu tahu bahwa membendung rasa haru itu adalah hal yang tidak perlu.
"Ibumu tertidur. Aku memegangi tangannya lalu menyandarkan kepalaku ke perutnya seperti biasa. Tak berhenti memanggil namanya. Seolah mengerti kondisi ibumu, kau pun meraung-raung. Semua orang-orang berbaju hijau itu akhirnya menatap kita penuh rasa iba. Aku tanya ke salah satu di antara mereka tentang kondisi ibumu. Dia menggeleng. Aku tahu itu bukan hal yang baik. Kamu menangis semakin keras. Aku hanya bisa mengusap-usap rambutmu sambil berjinjit."
Tak terasa air mata itu menetes. Kamu sudah mendengar kisah ini puluhan kali. Kebanyakan dari kakak-kakak pengasuh di panti asuhan. Namun membayangkannya dari seorang anak kecil berusia enam tahun adalah hal yang lain. Gadis kecil itu satu-satunya saksi mata di akhir hidup kedua orang tuamu.
"Tak lama kemudian, dokter itu menutup wajah ibumu dengan kain. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya. Yang aku tahu, tubuh ibumu dingin dan kaku. Aku pun bertanya padanya. Dia bilang ibumu telah tiada. Aku tidak ingin mempercayainya apa yang baru saja kudengar. Seseorang membawamu keluar. Aku mengejarnya dengan marah. Aku berteriak seperti orang gila. Satu-satunya yang aku pikirkan saat itu adalah tidak boleh ada seorang pun yang boleh menyentuh adikku."
Jika saja kamu mau melawan egomu, memeluk Nay tentu akan menenangkanmu.
"Kita berdua tertahan di ruangan itu cukup lama. Aku menangis dalam sunyi. Aku memeluk kotak kaca berodamu dengan badan menggigil. Aku tidak ingin membuatmu terbangun karena saat itu kau sudah tertidur pulas. Aku menolak semua tawaran orang-orang itu. Minuman, makanan, permen, tidak satu pun yang kubutuhkan. Aku hanya menunggu ayahmu datang. Dan dia tidak pernah kembali."
Menangis sambil membuang muka tidak lantas membuatmu terlihat kuat. Nay dapat melihat punggungmu yang terisak-isak.
"Kita berdua masih tinggal di rumah sakit saat itu. Aku sebatang kara sejak lahir. Aku juga tidak mengenal kerabat dari kedua orang tuamu. Tidak ada tempat selain rumah kontrakan kita. Pun mereka tidak mengizinkan aku kembali ke sana seorang diri. Dua hari kemudian kabar kematian ayahmu tiba. Aku langsung lari menemuimu. Menangis di depan kotak kacamu. Kamu balas menatapku sayu. Tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Tanganmu berusaha meraihku dari dalam. Mungkin berusaha menghiburku. Aku bahkan sudah tidak bisa menangis. Air mataku telah habis. Aku kehilangan orang tuaku untuk kedua kalinya."
Kamu bingung. Haruskah kamu meraih tangan Nay atau memeluknya. Kedua pilihan itu memaksamu menjauh dari tepian gedung. Kamu pun urung melakukannya.
"Maafkan aku yang telah membawa kutukan kepada keluargamu. Jika saja Om Beni tidak mengambilku saat itu, mungkin sekarang kalian bertiga hidup bahagia."
Menurutmu Nay mulai bercerita hal-hal yang tidak masuk akal.
"Untuk apa kau menceritakan semua ini?" tanyamu.
Kamu tak lagi malu-malu menampakkan wajahmu yang penuh dengan air mata.
"Malaikat maut sudah menyiapkan jadwal untukku. Aku harus meminta maaf kepadamu. Satu-satunya yang tersisa dari Om Beni dan Tante Kirana. Aku tidak akan mati dengan tenang jika kau belum melakukannya."
"Kau seharusnya tidak melakukan ini semua! Kau tentunya mengerti kenapa aku berdiri di tempat ini kan?" balasmu sengit.
"Aku tahu. Loncatlah! Kalau kau mati, aku dapat memastikan kau tidak akan bertemu dengan kedua orang tuamu."
"Memangnya kau siapa berhak menentukan itu semua?"
"Aku adalah gadis kecil yang dipungut oleh seseorang yang ingin kupanggil ayah hingga akhir hayatku."
Kamu tahu kamu tidak akan dapat menang melawannya. Kamu mencoba menakutinya sama seperti kamu menakuti orang-orang di bawah sana. Itu tidak berhasil.
"Aku tidak peduli. Ayahku sudah mati dan aku tidak pernah mengenalnya. Panggil dia sesukamu!"
Nay menatapmu dengan sangat tajam.
"Satu hal lagi. Izinkan aku memakai nama ayahmu untuk ditulis di batu nisanku."
Setelah mendengar kisahnya hari ini, ada sesuatu dalam dirimu yang tidak menginginkannya mati. Kamu butuh banyak cerita tentang kedua orang tuamu.
"Kau benar-benar serius dengan penyakitmu?"
"Tentu saja. Kalau bisa aku tidak ingin mati. Aku ingin terus hidup untuk mengenang kedua orang tuamu. Hidup dalam kenangannya. Tidak sepertimu, aku bangga menjadi anak mereka. Aku akan terus mengulanginya jika aku dihidupkan lagi dan lagi."
"Apakah kau kecewa denganku?"
"Tidak, sama sekali tidak. Aku bangga padamu. Kau adikku sendiri. Bahkan saat kau mengusirku dari kehidupanmu, aku sama sekali tidak marah. Aku tetap mengawasimu dari kejauhan. Menyumbangkan sebagian besar penghasilanku untuk panti asuhan. Aku akan melakukan apa yang ayahmu akan lakukan."
Kalimat maaf akan sulit keluar dari mulutmu yang sudah dikuasai oleh ego. Padahal kamu tahu pasti, Nay pantas mendapatkan itu.
"Aku akan loncat!"
"Loncatlah!"
"Aku akan mati lebih dulu."
"Kau tidak akan mati hanya karena meloncat dari gedung tiga lantai."
"Kau bukan Tuhan!"
"Memang, aku hanya tahu dengan pasti bahwa badan adikku itu sangat kuat."
"Mari bertaruh!"
Kamu heran melihat Nay tertawa. Ia terlihat sangat yakin bahwa kamu akan gagal mati dalam usahamu nanti.
"Selamat tinggal adikku! Hiduplah dengan baik. Aku sangat mencintaimu. Maaf aku bukan kakak yang bisa diandalkan."
Nay tidak mendengar saat kamu teriakkan namanya. Ia sudah menghilang dari hadapanmu. Kamu pun meloncat dari atap gedung itu. Berharap apa yang dikatakannya tadi salah. Kamu akan benar-benar mati. Esoknya kamu terbangun di sebuah rumah sakit dan tidak menemukan Nay di sampingmu. Kamu hanya bisa memanggil namanya lirih. Tiba-tiba kamu merindukannya.
Didedikasikan untuk HOGWARTSAcademy
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro