Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pu Er

Menjalin hubungan emosional yang kuat dengan pasien adalah hal yang paling tidak aku sukai dari pekerjaanku. Hari ini aku harus menemani Tuan Endo, pasien dari Jepang berusia 60 tahun, untuk menghabiskan waktu dengan obrolan-obrolan panjang yang membosankan.

"Belakangan ini aku susah bernapas. Tentu saja aku sudah meminum obat - obat itu, tetapi tubuhku sepertinya tidak menerimanya dengan baik," ujarnya.

Tuan Endo telah menjalani tiga kali operasi Tuberkolosis selama dua setengah tahun terakhir. Ketiga operasi yang tidak dapat dikatakan benar-benar berhasil. Ia telah kehilangan salah satu paru-parunya. Meskipun saat ini kondisinya sudah jauh lebih baik, namun tersisa satu masalah yang sayangnya adalah hal yang paling kubenci.

"Aku sarapan dengan puding tahu pagi ini. Tak lama kemudian perutku terasa mual. Sakit sekali. Aku tidak menambahkan apapun kecuali kecap, garam, dan daging. Kau tidak bisa mencari alasan bahwa aku telah menambahkan bahan makanan yang salah bukan?"

Selanjutnya ia terus mengoceh tentang apa saja yang ia makan selama beberapa hari terakhir ini. Tuan Endo bukan orang bodoh. Tidak ada yang salah dengan apa yang ia makan. Pikirannyalah yang terganggu. Dia mengeluhkan pusing setiap kali makan ini dan itu. Lalu esoknya, ia mengeluhkan hal yang sama dengan makanan yang sama sekali berbeda.

"Minumlah!" kataku sambil menyodorkan teh pu er yang baru saja diantarkan oleh pelayan.

Tempatku bekerja saat ini adalah salah satu rumah sakit bertaraf internasional di Dalian, tepatnya di Nanshan road, yang bahkan memiliki cafe sendiri. Di sepanjang jalan ini terdapat banyak restoran yang terkenal. Sebut saja Wanbao Seafood Fang yang mahsyur dengan olahan tiram dan drunken shrimp-nya, bebek panggang kelas wahid di Quanjude, Wei Zhi Zang dengan menu masakan Jepangnya, hingga pusat kebudayaan dan sejarah teh di Tongyuan Tea House.

"Apakah ini ..."

"Tentu saja sudah dicampur dengan bunga seruni, " jawabku memprediksi dengan pasti apa yang akan dikatakannya.

Teh pu er yang dicampur dengan bunga seruni adalah tentang keseimbangan. Yin dan Yang. Tuhan melalui alam semesta mengajarkan keseimbangan. Tuan Endo berulang kali menceramahiku dengannya. Dia adalah pribadi yang sangat religius. Seorang Katolik yang taat. Berbeda sekali denganku yang abangan. Dan juga aku kurang peduli dengan detail seni minum teh sepertinya. Bagi lidahku semua memiliki rasa yang sama.

Seperti biasa, ia menggerutu setelah menyeruput tehnya. Dia tidak mau minum teh pu er instan yang sudah matang. Da mau yang masij mentah. Yang sudah tersimpan 30-50 tahun lamanya lalu matang lewat proses oksidasi mikrobiologi yang alami. Aku tersenyum. Tentu saja untuk medapatkan itu seharusnya ia mengajakku ke Tongyuan.

"Ini mengecewakan, tetapi aku harus tetap bersyukur," ujarnya pelan.

Tuan Endo menuangkan kembali tehnya sambil melihat ke luar ruangan. Dua orang polisi wanita sedang patroli dengan mengendarai kuda. Pemandangan yang tetap tidak biasa bagi turis mancanegara yang telah tinggal cukup lama di Dalian sekalipun. Polisi berkuda di kota romantis. Siapapun akan berdecak deris.

Walaupun tuan Endo membosankan namun ada hal yang menarik darinya, yaitu latar belakang hidupnya yang beririsan dengan sejarah kota Dalian. Ia dilahirkan di Tokyo namun tumbuh di sini. Setelah orang tuanya bercerai, ia ikut ibunya kembali ke Jepang. Di sana ia menempuh jalan hidup sebagai Katolik meskipun dengan begitu ia menjadi kaum minoritas. Dia tinggal cukup lama sebelum akhirnya pergi ke Lyon untuk menempuh sastra Prancis. Dan sekarang ia kembali lagi untuk membangun ulang hidupnya. Berkebalikan dengan kota ini yang justru dibangun oleh tangan-tangan insinyur Prancis. Keadaanya lebih seperti Dalian sedang melunasi hutangnya.

"Nona Bunin, apa kau tahu hubungan antara teh dengan orang saleh?"

Tuan Endo hampir selalu menanyakan hal ini di setiap pertemuan kami. Aku sudah mengingatnya dengan baik. Orang saleh pertama yaitu Lu Yu. Anak yatim yang diasuh oleh biarawan Budha. Kelak ia akan menulis sebuah buku ilmu pengetahuan tentang teh. Yang kedua adalah Yeisei. Seorang biksu yang membawa teh ke Jepang karena dianggap mampu meningkatkan konsentrasi saat bermeditasi. Orang saleh terakhir yang dimaksud tidak lain adalah Jasper de Cruz. Seorang pastor yang pertama kali membawa teh ke Eropa. Setiap tuan Endo menceritakan kisah orang-orang saleh ini, tak lupa ia selipkan bagaimana perjuangannya menjadi kaum minoritas di negara asalnya.

"Kami, orang-orang minoritas, seperti pu er," katanya sembari menikmati teh. "Jumlah kami sedikit namun sudah tertempa oleh waktu. Kami sangat kuat."

Baiklah, aku mengerti. Kukira mengangguk sudah cukup sopan untuk menjawabnya.

"Di sini, di Tiongkok, kalian sungguh beruntung dengan segala keadilan yang ada," pungkasnya sambil melirik kepadaku.

Akhirnya ada hal menarik darinya. Aku tergelitik untuk berbagi rahasia. Bagiku ini cukup adil mengingat ia telah menceritakan banyak hal tentang kehidupan pribadinya. Lagipula terkadang aku merasa berat untuk menanggung rahasia yang harus kusimpan sepanjang empat ribu kilometer.

"Tuan Endo, aku tahu bagaimana rasanya hidup menjadi minoritas."

"Eh, ..." Tuan Endo tertegun namun masih berusaha bersikap sopan.

"Aku seorang muslim ..." tuturku sambil menunggu responnya,"... Uighur."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro