part 4
Dari balik jendela lantai dua, Geo menghela napas dalam. Setelah kemarin sore Rega menemuinya untuk menyerahkan undangan, sekarang Marwah yang sudah seminggu ini tak diacuhkan justru nekad datang ke kantor tanpa pemberitahuan. Dan sudah sejak sepuluh menit lalu perempuan berkerudung putih itu berdiri di parkiran. Memandang gedung seperti orang hilang, menunggu Geo yang belum mau membuang ego untuk sekadar menampakkan diri, atau mengirim pesan guna menyuruhnya pulang.
"Enggak kasihan, Bro?" tanya teman Geo.
"Biarin." Geo merespon apatis. "Bentar lagi palingan pergi, Ben. Orang sibuk dia."
"Kalau dia tetep di situ?"
"Terserah."
Beno tersenyum miring. Menggelengkan kepala. "Brengsek juga ya, lo, jadi cowok."
Tak mengindahkan, Geo menurunkan tangan Beno dari pundak. Dia berbalik badan, kembali ke meja di saat para karyawan berbondong-bondong keluar membeli makan siang. Lalu menit-menit berikutnya Geo habiskan untuk berjibaku bersama tumpukan berkas. Sepenuhnya menenggelamkan diri hingga jam pulang kantor tiba.
"Duluan, Ge."
"Iya, gue nyusul."
Geo menyandang tas punggung hitamnya. Menyambar kunci motor di tempat pulpen sebelum pamit pergi. Dia berjalan ke parkiran sambil bersiul pelan. Lantas tertegun tak percaya saat menemukan Marwah masih berada di sana.
Marwah bangkit dari posisi duduk di bangku panjang di dekat pos satpam. Ujung tunik toska berbahan moscrape yang dikenakan terayun seiring langkahnya mendekat. Dia sengaja berhenti tepat di jarak satu jengkal. Terdiam. Membiarkan matanya berbicara banyak hal.
Sejenak, Geo dibuat tak berkutik. Sorot lelah dan riak wajah putus asa Marwah tak urung merubah marahnya menjadi perasaan bersalah. Geo mengembuskan napas berat. Menghampiri Marwah, menggandeng tangan perempuan itu erat sebelum membawanya menyusuri trotoar dalam diam dan masuk ke toko es krim dekat kantor yang tak terlalu ramai.
Kemudian setelah dua cup rasa coklat disajikan pelayan, Geo memulai pembicaraan, "kamu mau apa, Mar? Rega tahu kamu ke sini? Nanti dicariin."
"Ge." Suara Marwah bergetar. Kentara sekali jika dia sedang mati-matian menahan isak yang sudah di tenggorokan. Matanya bahkan sudah basah meski berkali-kali mengerjap guna menghambat genangan. "Aku minta maaf. Aku benar-benar enggak berdaya buat nolak."
Geo tak langsung menjawab. Kedua tangan refleks terkepal kuat di bawah meja. Pikirnya, mungkin jika dia bisa lebih berguna menjadi seorang laki-laki, ayah Marwah akan merestui hubungan mereka. Mungkin jika karirnya segemilang Rega, orang tua Marwah akan membiarkan sang putri ada di sisinya. "Enggak apa-apa, Mar. Enggak perlu minta maaf karena ini bukan salah kamu. Aku bakal berusaha ikhlas nerima kenyataan bahwa kamu enggak bisa lagi aku perjuangkan."
Mendengar itu, tangis Marwah pecah. Dia menundukkan kepala. Bahunya terguncang hebat. Dan untuk pertama kalinya, Geo merasa tidak memiliki hak untuk menenangkan. Tak peduli seberapa ingin tangannya menyeberang meja, atau seberapa terluka perasaanya membiarkan air mata Marwah berjatuhan. Jadi selama sesaat, Geo membiarkan Marwah menuntaskan tangis sampai lega. Sampai perempuan itu berani membuka suara.
"Aku enggak tahu ini perlu aku utarain apa enggak, Ge. Tapi kita memulai hubungan ini dengan cara baik-baik. Aku mau kita mengakhirinya juga dengan baik-baik. Jujur, Ge, ini enggak gampang. Waktu yang udah aku lewati sama kamu itu bener-bener waktu paling bahagia buatku. Kamu satu-satunya cowok yang bisa bikin aku ketawa di saat aku sendiri lupa caranya ketawa. Aku ...," Marwah menggigit bibir bawah. Menahan isak yang ingin kembali menyeruak. Dia menarik napas lewat hidung. Diembuskan perlahan. "Bersyukur pernah jadiin kamu bagian dari cerita hidup aku."
Geo tersenyum miris. Meski Marwah bukan satu-satunya perempuan yang pernah sekadar singgah, tetapi luka akibat perpisahannya terasa paling membekas. Bagaimana Marwah berdiri di depan Geo saat ospek mahasiswa, bergabung di satu grup, hingga akhirnya akrab, tak bisa Geo lupakan. Marwah yang ceria. Marwah yang supel. Dan Marwah yang selalu tepat waktu mengumpulkan tugas, berhasil membuat Geo jatuh cinta. Bahkan, jauh sebelum Marwah memiliki perasaan serupa. Itulah kenapa Geo rela mengupayakan banyak hal. Bahkan masih menjaga harapan dan kesetiaan di saat orang tua Marwah sudah mengirim sinyal penolakan. Hingga detik di mana Rega berhasil mengalahkannya, Geo sempurna tak berdaya.
"Aku harap kamu bisa tetap bahagia meski bukan aku yang bikin kamu bahagia, Mar." Geo menepuk pundak Marwah. "Aku pamit, ya. Nanti pulangnya pakai taxi aja, jangan ojek. Mau hujan."
•••
11 September satu tahun silam, pak Lukman meminta Rega bertemu di sebuah restoran dekat PT milik Rega. Beliau membahas perjodohan yang sudah sejak lama direncanakan oleh kedua keluarga.
Rega mendengarkan dengan seksama. Tak menyela. Tak juga menolak atau menerima begitu pak Lukman selesai berbicara. Dia hanya meminta waktu serta ruang agar bisa memutuskan tanpa terikat hubungan baik orangtuanya. Pak Lukman setuju, bahkan berpesan pada Rega agar tidak terburu-buru.
Lalu Rega bertanya, "Siapa laki-laki yang suka menjemput Marwah pulang, Pak?"
"Namanya Geo Andrea. Karyawan di salah satu perusahaan besar di jantung kota. Dia dulu teman semasa kuliah Marwah."
"Sekarang mereka pacaran?" Tebak Rega.
"Katanya si begitu," jawab pak Lukman, sangsi. "Tapi jujur, Bapak enggak setuju."
"Tidak setuju kenapa?" Rega terkesan menginterogasi. "Dari yang saya lihat, sepertinya Geo laki-laki baik."
"Ya, Bapak akui dia memang baik. Baik sebagai teman, baik sebagai rekan kerja dan baik sebagai seorang pemuda. Tapi kalau bicara soal jadi suami, Geo belum cukup dewasa hingga mampu mengiringi Marwah dalam bahtera rumah tangga."
"Bapak yakin saya bisa memenuhi ekspektasi Bapak? Sebelum ini saya tidak pernah mengenal Marwah, pun sebaliknya."
"Sebentar atau lamanya mengenal enggak menjamin kecocokan seseorang."
"Perasaan Marwah, bagaimana?" Di sini, Rega berusaha mencari cela sekaligus mengetes seberapa jauh pak Lukman mempertimbangkan dampak keputusannya. "Bapak tidak khawatir dia akan sedih?"
Pak Lukman terdiam sebentar. Nampak menimang. Rega duga jika beliau belum berpikir sampai ke sana. "Mungkin Marwah sedih. Tapi itu jauh lebih baik daripada dia jatuh ke laki-laki yang kurang tepat."
Mendengar itu, Rega tak bisa langsung merespon. Cuaca di luar sedang menggigil. Gerimis halus mulai menjadi hujan yang sanggup menciptakan genangan juga membentuk talang seperti tirai dari atap teras restoran. Suara jatuhnya meredam bising sekitar, termasuk mesin kendaraan di jalan seberang.
"Boleh saya minta satu hal lain, Pak?" Pinta Rega. Melanjutkan begitu Pak Lukman memberi anggukan. "Selagi saya belum memiliki jawaban, apa Bapak bisa merahasiakan ini dari Marwah dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa? Saya hanya khawatir jika masalah ini akan mempengaruhi profesionalitas saya dan Marwah dalam bekerja."
Pak Lukman tersenyum. "Tentu, Nak. Terima kasih, ya. Maaf kalau Bapak membicarakan ini di waktu yang enggak tepat."
Rega balas tersenyum. Tak ingin pak Lukman merasa tidak enak dengan "waktu yang tidak tepat itu." Lagipula, Rega baik-baik saja, sungguh. Menurutnya, tak ada yang perlu diratapi, atau didramatisir hingga Rega pantas berlarut-larut.
Kemudian sembari menunggu reda, Rega serta pak Lukman berbincang santai. Rega lebih banyak menanggapi alih-alih mengimbangi cerita pak Lukman. Tanpa sadar, setelah pertemuan itu, Rega suka sekali diam-diam memperhatikan Marwah dan Geo yang sering menjemputnya pulang. Seiring berjalannya waktu, Rega paham akan kekhawatiran pak Lukman.
Kini sudah H-5 menjelang hari penyatuan. Rega sedang bersiap untuk menemui Geo seperti yang sudah direncanakan.
Dia menggulung lengan kemeja navi sampai siku. Melengkapi penampilan dengan jam tangan hitam di pergelangan tangan kanan sebelum keluar kamar. Rega menuruni anak tangga sambil merogoh saku jeans hitamnya guna mengecek dompet dan kunci kendaraan.
Mbak Rahma, anak dari kakak perempuan papanya mencegat Rega di ujung tangga.
"Mau ke mana? Bukannya kamu sudah ambil cuti?"
"Ketemu temen sebentar."
"Sama Marwah?"
Rega menggeleng. "Sendirian."
Menyingkir, mbak Rahma menjajar langkah Rega ke ruang keluarga, di mana semua orang berada. "Marwah kapan mau main ke rumah?"
"Kalau sudah sah," jawabnya, santai.
"Ya, itu Mbak juga tahu. Maksudnya sebelum. Kayaknya Mbak cuma dua kali deh, lihat Marwah ke sini."
"Memang cuma dua kali dia ke sini, Mbak."
"Kamu enggak pernah ngajak dia mampir?"
"Enggak."
"Kenapa?"
"Enggak kenapa-napa."
Mengembuskan napas, mbak Rahma mengangguk. Apa yang bisa diharapkan dari Rega? Dia yang akhirnya mau melepas masa lajangnya saja sudah patut disyukuri. Selama 33 tahun hidup, Rega belum pernah dikabarkan memiliki hubungan dengan perempuan mana pun. Hal itu lantas menimbulkan rumor kurang baik di kalangan tetangga, seperti Rega yang katanya tidak menyukai lawan jenis.
Bisa dibilang, kehadiran Marwah adalah berkah. Tak heran jika semua keluarga sangat menyukainya. Terlebih mbak Rahma dan kedua orang tua Rega.
Lalu, mbak Rahma mendahului langkah Rega dan duduk di sofa bersama bu Ambar.
Rega duduk di seberang keduanya. "Ma, saya mau izin keluar dulu, ya?"
"Lho, ke mana?" Bu Ambar terkejut. "Ini sebentar lagi pihak wedding organizer datang, Ga."
"Ketemu temen katanya, Tan," jawab mbak Rahma. Mewakili.
"Enggak bisa ditunda?" Beliau nampak keberatan dengan niat Rega.
"Saya enggak sampai dua jam, kok, Ma, insyaAllah. Lagian, masalah dekor sudah saya serahin ke Marwah."
"Di hotel yang waktu itu, kan?" tanya mbak Rahma, menatap bu Ambar.
Bu Ambar menggeleng. "Enggak, Rah. Marwah maunya akad di mushala deket rumahnya, terus resepsi di halaman samping rumah."
"Lho, kok gitu?"
Rega yang ditatap mbak Rahma membasahi bibir. "Kita sepakat buat menggelar acara secara sederhana, Mbak. Tamu undangan hanya untuk teman dekat dan kerabat inti saja."
"Berarti kamu enggak jadi ngundang teman-teman dari SMA, Ga?"
"Enggak, Mbak."
Sebelum mbak Rahma kembali bertanya, Rega lekas bangkit. Dia mendekat ke arah mama-papanya, menyalami tangan mereka bergantian dan berpamitan. Mbak Rahma memang bukan tipe orang yang suka memaksakan kehendak, tetapi membahas perihal pilihan pesta pernikahan cukup membuat Rega kelimpungan. Sebab, Rega tak memiliki stok jawaban atas pertanyaan mbak Rahma. Bagaimanapun, Marwah memang terpaksa setuju menikah bersamanya. Jadi tak heran jika perempuan itu tak menginginkan konsep tertentu.
Rega menghampiri mobil merah di garasi setelah membuka gerbang depan. Satpam yang ada di sana sampai tersenyum tak enak karena Rega mengambil alih tugasnya.
Rega melaju dengan kecepatan sedang di sepanjang jalan. Sampai di tempat janjian beberapa menit lebih awal, kebiasaannya yang tak mau ditunggu seseorang.
Lalu, sekian menit kemudian, Geo datang. Masih menggendong tas, juga wajah lelah yang kentara. Kemeja putihnya sudah keluar dari pinggang celana kain hitam.
"Udah lama?" tanya Geo, menarik kursi di seberang Rega. Duduk bersandar punggung ke belakang.
"Belum."
"Oh." Mata Geo menilai Rega. Selain lebih matang, Rega memiliki otot lengan yang kekar dan kulit kecoklatan hingga menambah kesan maskulin. Wajah khas pribumi-nya cukup menjanjikan untuk memikat perempuan. Namun dengan penampilan begitu, Rega nampak terlalu dewasa bila disandingkan bersama Marwah yang berperawakan kecil.
Kemudian, seorang pelayan datang membawa dua gelas minuman yang Rega pesan.
"Makasih, Mbak," kata Rega, sopan. Beralih pada Geo begitu perempuan tadi menghilang. "Aku enggak tahu selera kamu. Jadi aku samain sama punyaku ...."
"Ada urusan apa lo ngajak gue ketemu?" Sela Geo. "To the poin aja."
Tbc ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro