part 15.
"Kamu sebel sama saya gara-gara masalah kuliah?"
Mata Rega awas memperhatikan jalan. Kepadatan yang menghadang membuat mobilnya sesekali berhenti, lalu melaju dengan kecepatan tak pasti. Kadang lambat, kadang cepat hingga membutuhkan konsentrasi tinggi. Namun untuk ke sekian kali, dirinya harus terjebak suasana tak nyaman dengan Marwah saat di perjalanan. Dan Rega paling tidak tahan jika harus menduga-duga.
"Kenapa harus sebel?" balas Marwah, bertanya balik.
"Karena kamu ngerasa saya iba ke kamu?" tebak Rega.
"Kalau Bapak bisa berpikir gitu, berarti Ayah udah cerita semuanya sama Bapak."
"Mar, membiayai pendidikan istri itu termasuk nafkah." Rega berusaha meluruskan, tak ingin Marwah salah paham. "Jangan berpikir yang enggak-enggak."
Marwah menoleh. "Emang Bapak tahu apa yang aku pikirin?" tanyanya.
"Buktinya sedari tadi kamu diam," sahut Rega, berprasangka.
"Aku diam karena udah ada Yasa yang heboh. Kalau aku sama-sama heboh, Bapak yang bakal jadi alien di antara kita. Lagian kalian sahabatan dari lama, kan? Wajar kalau pas ketemu langsung asyik berdua dan ngelupain aku. Terus masalah kuliah, aku udah enggak pengen. Pertama, umurku udah terlalu tua buat memulai. Pas koas aku bakal jadi yang paling senior, kali. Belum lagi program internship-nya. Kedua, otakku enggak seencer itu buat masuk kedokteran."
"Usia bukan patokan untuk berhenti belajar, Mar."
"Aku tahu." Marwah menghadap depan, melipat tangan di perut. "Tapi belajar enggak melulu soal sekolah atau kuliah. Enggak juga harus spesifik ilmu tertentu. Dan usia itu penting. Fase-fase dalam hidup harus dijalani pada saat terjadi. Toh, sekarang aku udah punya pekerjaan. Buat apa kuliah lagi? Ujung-ujungnya juga kerja."
"Fase-fase gimana?" Satu tangan Rega menarik tuas di samping kursi. Denyutan terasa begitu mobil berhenti. Tak lama, bis pariwisata di depan bergerak lagi hingga memaksanya mengikuti.
"Usia anak-anak sampai remaja itu fase sekolah. Usia dewasa muda sampai dewasa, fasenya kuliah. Setelahnya bekerja sebentar, terus menikah. Jadi ibu rumah tangga. Ngurus rumah, suami dan anak. Selesai. Kalau aku kuliah di usia sekarang, orang-orang bakal bilang aku ini istri yang buruk. Kalau aku dikirim ke daerah lain buat program internship di saat aku harusnya punya anak, aku bakal dicap egois."
"Mar, hidup kamu bukan milik orang lain. Kamu punya hak 100% untuk menentukan dan memutuskan pilihan. Apa pun itu."
"Nyatanya susah buat enggak terpengaruh omongan orang, Pak." Sanggah Marwah.
"Susah karena kamu ragu sama diri kamu sendiri. Orang lain mau kita memilih apa yang mereka pilih. Tapi kalau setelahnya kita sekarat, atau bahkan hancur karena pilihan tersebut, mereka enggak mau tahu." Rega tak ada niat sama sekali menggurui. Dia hanya tidak mau Marwah terjebak stigma masyarakat dan berujung menyesal di kemudian hari. Bagaimanapun, pak Lukman sudah menyerahkan tanggung jawab untuk membahagiakan sang putri pada Rega. Salah satunya pasti dengan cara mengembalikan mimpinya, bukan?
"Lagipula, menikah bukan akhir dari fase hidup perempuan. Seolah Allah menciptakan kaum Hawa hanya untuk mengurus keluarga. Sebelum menjadi istri dan ibu, kalian adalah seorang anak yang penuh dengan mimpi. Enggak perlu ada pilihan antara jadi ibu rumah tangga atau perempuan karir. Kamu paham kan, maksud saya, Mar?" Sambung Rega.
Marwah enggan mengiyakan. Menurutnya, Rega terlalu naif. Sementara, Rega yang harus bergantian memperhatikan spion samping untuk memastikan keadaan di belakang, juga mencari celah di depan agar mobil bisa lekas maju dan keluar dari kemacetan, pun tak terlalu sadar dengan adanya jeda lama yang Marwah ciptakan.
"Aku bakal pertimbangkan." Putus Marwah, tak bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Jadi, kita clear, ya?"
"Emang sebelumnya kita enggak clear?"
Rega menoleh ke arah Marwah. Ada perasaan was was mendengar nada bicara perempuan itu. "Mar, kamu enggak sedang cemburu sama Yasa, kan?"
Alis Marwah menukik. Menatap suaminya heran. "Cemburu? Dih, pede amat Bapak-nya."
"Bukan gitu. Soalnya ...."
"Enggak. Enggak. Enggak. Enggak." Sela Marwah, menyangkal keras.
Bibir Rega merapat. Mengangguk paham.
"Tapi Pak," kata Marwah sesaat setelahnya.
"Ya?"
"Aku tiba-tiba penasaran sama ucapan Bapak di kantor tempo hari. Apa ada motif yang melatarbelakangi?"
"Kamu yakin mau membahasnya?" Rega ragu.
"Why not?"
"Tapi kita harus singgah dulu. Jalanan sedang enggak memungkinkan saya untuk membagi fokus."
"Oke."
Di perempatan, Rega berbelok ke kanan. Masuk ke halaman sebuah minimarket yang lumayan ramai. Memarkirkan mobil ke space yang tersedia atas bantuan tukang parkir. Lalu membuka jendela untuk mengulurkan uang lima ribu yang diambil dari saku celana. Di sana, kendaraan Rega terhimpit mobil di kiri-kanan dan belakang. Satu-satunya jalan keluar hanya maju ke depan.
Rega melepas sabuk pengaman. Menaikkan gulungan lengan kemeja hitam yang dikenakan hingga siku.
"Saya mau beli minum. Mau ikut?"
Marwah mengangguk. Keluar setelah Rega keluar. Mengekor laki-laki itu masuk ke dalam. Suhu rendah AC langsung menyambut badan. Sensasi berdiri di depan freezer adalah hal yang Marwah rasakan. Tak heran cuaca terik di luar menjadi alasan orang-orang betah berkeliling menyusuri lorong-lorong makanan meski tak kunjung mengambil yang diinginkan.
Rega menuju bagian belakang, membuka salah satu kulkas yang berjajar. Mengambil kopi kalengan. Namun, detik berikutnya langsung dikembalikan dan diganti dengan air mineral. Di sisi lain, Marwah sibuk menumpuk camilan di keranjang. Mendatangi kasir bersama Rega yang hanya menggenggam satu botol di tangan.
Lalu saat Marwah mengeluarkan uang, Rega buru-buru menghentikan.
"Biar saya saja."
"Aku bawa uang." Marwah menolak sehalus mungkin guna menjaga harga diri Rega.
"Mar." Rega tak mau dibantah.
Penjaga kasir memperhatikan Marwah dan Rega bergantian. Sadar akan itu, Marwah mengembuskan napas dan mengalah.
Rega menarik dompet, menyerahkan dua lembar ratusan ribu untuk menyelesaikan pembayaran. Dia mengambil kresek putih berisi belanjaan, dibawa sampai keluar.
"Kamu tunggu di sini. Biar saya masukin ini ke mobil dulu."
Marwah duduk di salah satu meja yang ada di teras minimarket. Menghadap langsung ke jalan raya. Tak lama, Rega duduk di sebelahnya. Menenggak minuman hingga tandas setengah sebelum mulai berbicara.
"Mungkin kamu enggak akan suka dengan jawaban saya." Tangannya sibuk menutup botol.
"Suka enggak suka, aku mau tahu."
Rega meletakan botol ke meja. Embun di permukaan plastiknya mengalir ke bawah, menciptakan genangan kecil di sekitarnya. "Kamu ingat pak Kuncoro?"
"Ingat."
"Dia tertarik sama kamu."
Alis Marwah bertaut samar.
"Dari cara dia menatap kamu, saya tahu. Saat kamu ke meja lain, dia sempet tanya-tanya soal kamu. Saya punya pengalaman kurang baik sama dia. Saya enggak bisa biarin pak Kuncoro dekati kamu."
"Apa Bapak enggak terlalu cepat menyimpulkan?" Marwah sangsi. "Dari tatapan, Bapak yakin dia tertarik sama aku. Lalu dari pengalaman, Bapak menjudge pak Kuncoro seolah dia bakal berbuat enggak baik ke aku. Lagian, tahu dari mana aku bakal tertarik andai didekati?"
Rega tak langsung menjawab. Matanya masih betah memerhatikan keadaan jalan raya yang sangat padat—sebagian besar diisi oleh pengendara roda dua—alih-alih membalas tatapan tak mengerti sang istri.
"Yasa ditinggal pak Kuncoro tanpa kejelasan setelah resmi bertunangan." Jelas Rega, menghela napas berat. "Yasa awalnya seperti kamu, tegas menjawab enggak akan tertarik balik. Tapi lama kelamaan malah luluh sama pesonanya."
"Eng ...." Marwah kehilangan kata untuk sejenak. Lalu berujar tidak enak. "Maaf, aku enggak tahu. Cuma, bukan berarti Bapak bisa menyamakan nasibku sama kaya nasib Yasa, kan?"
"Saya enggak menyamakan. Hanya antisipasi. Soal Sekretarisnya pak Hilman, saya belum kenal dia. Enggak tahu bagaimana pergaulan, sikap dan tindak tanduknya. Jadi saya juga enggak mau dia dekati kamu."
"Tunggu. Deketin gimana?"
"Jelas banget dia lagi berusaha pedekate sama kamu. Menangnya kamu enggak sadar kalau kamu cantik, Mar?"
"Pak, serius."
"Saya serius." Menoleh pada Marwah, Rega melanjutkan, "orang normal pasti akan sependapat kalau kamu itu cantik. Jujur saja, salah satu alasan saya mau menerima perjodohan ya karena kamu cantik. Enggak sulit untuk tertarik sama kamu. Termasuk bagi dua cowok yang saya sebutkan tadi. Jadi seandainya hubungan kita ingin tetap disembunyikan, saat di luaran, saya lebih setuju kalau Geo ...."
"Oke, stop," potong Marwah cepat. Dia bahkan sampai mengangkat satu tangan. Mendengar nama Geo selalu membuatnya kesulitan mengontrol perasaan. Terhitung, sudah hampir satu bulan Marwah memblokir nomor Geo. Mengunci galeri menggunakan sandi rumit agar tak gampang dibuka, sebab untuk menghapus semua foto-fotonya, Marwah tak bisa. "Intinya, seandainya aku beneran deket sama laki-laki lain, asal dia baik, Bapak ikhlas? Dalam artian, Bapak ngedukung aku selingkuh?"
"Bukan selingkuh, Mar. Sebatas orang yang bisa jagain kamu biar enggak ada laki-laki yang berani macam-macam ke kamu."
"Pak, jangan naif." Cerca Marwah. "Cewek sama cowok kalau udah saling menjaga, ujungnya pasti suka. Apalagi yang jelas-jelas pernah punya hubungan."
Sesaat Rega terdiam. Sebagian dirinya menyetujui ucapan Marwah. Jujur saja, dia juga frustrasi dengan dirinya sendiri. Di satu sisi, amanah pak Lukman untuk menjaga Marwah harus dijalankan. Di sisi lain, perasaanya tak bisa dipaksakan agar tak menaruh segan---khawatir Marwah tidak nyaman bila Rega bersikap seolah mengklaim kepemilikan terhadap perempuan itu. Serba salah. Rega menyemburkan napas gusar. "Harusnya enggak ikhlas. Dan memang haram untuk ikhlas selagi saya masih hidup dan masih sah jadi suami kamu."
"Terus, kenapa Bapak bisa kepikiran kayak gitu?"
"Karena saya belum bisa merasa berhak atas kamu, Mar."
Menatap lekat mata Rega, Marwah bisa melihat ketidakberdayaan laki-laki itu yang akhirnya sadar kalau situasi mereka memang tak semudah angan. Marwah tersenyum miring. Dalam hati sibuk mencibir Rega. "Ya, aku paham. Seandainya Bapak mau deket sama cewek lain, aku juga enggak bisa ngerasa keberatan. Tapi alih-alih endingnya saling selingkuh, bukannya lebih simple kalau Bapak ceraikan aku?"
"Kamu mau kita cerai?"
"Jangan balik nanya. Di sini aku yang lagi butuh jawaban Bapak. Dari awal aku sudah bilang, kalau kita bakal saling menyakiti kalau bersama. Sekarang terbukti, kan? Jadi perceraian adalah jalan terbaik. Aku yakin Bapak tahu jika alasan islam memperbolehkan perceraian adalah saat pernikahan yang dijalani kedua belah pihak lebih banyak mendatangkan dosa daripada pahala."
Lagi, Rega terdiam. Agaknya tak memiliki jawaban.
Jadi Marwah pun mencecarnya, "Pak Rega?"
"Untuk saat ini, kita enggak bisa bercerai," ungkap laki-laki itu, akhirnya.
"Kenapa enggak bisa?"
"Kamu butuh saya untuk memenuhi nazar dan saya butuh pernikahan ini."
"Bapak ...." Marwah mendesah kasar. Ayah jelas sudah memberitahu Rega. "Oke, anggap aja emang gitu. Tapi apa harus Bapak mempercepat pernikahan kita?"
"Sebentar." Rega tersadar. Tahu ke mana obrolan ini akan bermuara. Dia memandang Marwah tak habis pikir. "Kamu mau mempermasalahkan lagi soal ini? Buat apa?"
"Bapak yang mulai duluan."
"Maksud kamu?"
"Bapak ngebahas Geo dan itu bikin aku nyesek. Bapak tahu, gara-gara Bapak mempercepat pernikahan, aku jadi kehilangan kesempatan buat batalin perjodohan!"
•••
Marwah menatap jendela. Memperhatikan apa-apa saja di sana. Rega di balik kemudi pun tak bersuara. Pandangannya lurus ke depan, tangan lihai mengendalikan setir. Membuat keadaan beku berlangsung selama perjalanan.
Lalu begitu tiba, mereka langsung masuk ke kamar masing-masing. Tak ada yang keluar hingga matahari sepenuhnya tergelincir. Tak ayal, keadaan rumah menjadi lebih hening. Juga dingin. Sedingin malam yang kali ini diguyur hujan disertai angin.
Tbc ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro