part 13.
"Kita ke toko baju dulu, atau mau langsung beli laptop?"
"Menurut Bapak?" Marwah masih mengedarkan mata, berjalan di samping Rega sambil memegang tali tas selempangnya yang melintang di depan badan.
Suasana mall saat malam memang sangat ramai. Ratusan manusia dari berbagai usia sibuk berlalu lalang ke segala arah. Baik di lantai dasar, atau atas. Entah untuk berbelanja, menikmati makanan yang dijajalkan, atau sekadar iseng belaka.
"Terserah kamu. Saya ikut saja."
"Oke. Kalau gitu kita keliling dulu. Nyari diskonan ...."
Rega ikut berhenti saat Marwah tiba-tiba tertegun sendiri. Laki-laki itu menelengkan wajah, menatap Marwah dengan alis terangkat setengah.
Kenapa aku butuh diskon? Kan, semuanya dibayarin pak Rega. Harusnya malah nyari yang mahal-mahal, biar dia tau kalau ngebujuk perempuan pakai iming-iming belanja itu kesalahan besar.
"Mar?" tegur Rega.
"Enggak jadi keliling, deh." Putus Marwah. "Kita langsung ke atas aja. Ada butik langganan Uni di sana. Bajunya keren-keren."
Setelahnya Marwah kembali melangkah. Gerakannya yang ringan dan riang itu tak lepas dari perhatian Rega yang menyusul di belakang. Lalu, Marwah celingukan saat sadar sedang sendirian. Menoleh, dia melambaikan tangan. Meminta Rega agar cepat mendekat.
"Mar, saya ke mesin ATM dulu," kata Rega begitu sampai.
Marwah mengangguk setuju. "Aku nunggu di butik StarShine."
Keduanya berbelok ke arah berlawanan. Marwah membaur bersama keramaian, sementara Rega mengunjungi bagian lain yang lumayan sepi karena deretan toko di sana tak beroperasi.
Rega berdiri di belakang empat orang, menunggu giliran menarik uang. Lalu untuk mengisi waktunya yang terbuang, Rega mengeluarkan gawai. Membaca e-mail dari beberapa klien. Dibalas jika memang memerlukan balasan, dan dihapus jika hanya berisi undangan makan.
Notifikasi pesan lewat di atas layar. Kalimatnya sepintas bisa terbaca tanpa mengklik ruang obrolan. Namun Rega memutuskan untuk melakukan panggilan sembari menyingkir dari antrian guna mencari ruang.
Suara kemrusuk terdengar begitu panggilan terhubung dengan seseorang di seberang. Disusul pekikan riang perempuan.
"Wa'alaikum salam," ucap Rega, menyindir.
"Hehehe, maaf. Oke, aku ulang ya. Ekhem, assalamualaikum, Dami."
"Wa'alaikum salam ...."
"Dami Dami Dami, kamu tahu ...."
"Yasa." Rega menginterupsi. "Ada hal penting yang mau aku tanyain. Jadi simpen dulu apa pun cerita yang mau kamu ceritain. Oke?"
"Ck! Kamu mah." Yasa mengomel tak jelas---berdengung seperti ribuan lebah.
Tak acuh, Rega meneruskan niat awal melakukan panggilan. "Kamu beneran mau ambil tawaran kerjasama ini?"
"Iya, aku terima," sahut Yasa, mengalah.
"Enggak mau dipikirin lagi?" Rega duduk di bangku panjang. "Deri menggaet aku di proyek apartemennya itu, karena dia tahu kamu enggak bakal nolak kalau aku yang minta kamu untuk mendesain model bangunannya. Aku enggak keberatan kalau kamu enggak bisa. Serius. Kamu tahu kan, maksudku?"
"I know. Tapi sama kayak kamu, aku juga harus profesional di sini. Enggak usah khawatir. Aku udah ngomong ke Kenji. Dia bakal nemenin aku buat ketemu Deri. Jadi Deri enggak bakal berani bahas macem-macem. Apalagi ungkit masa lalu. Lagian, nanti dia malah kegeeran kalau aku nolak. Mikirnya aku belum bisa move on. Cih! Sorry nehi-nehi, ya. Dulu aku kecantol juga gegara gombalan dia yang kelewat jago, kok. Bukan karena aku beneran suka."
"Kenzie kapan pulang?"
"Minggu depan. Ah! Enggak sabar." Di seberang, Yasa kembali terdengar antusias. "Kita nanti kumpul, ya? Sekalian temenin aku nyari gedung pernikahan."
"Enggak bisa janji."
"Ayolah, Dam." Dia merengek. "Jangan sok sibuk, lah."
"Aku beneran sibuk ...."
"Wait, Dami. Jangan dulu ditutup," potong Yasa. Lalu berteriak menyahuti seseorang. Panggilan pun terjeda sementara.
Rega menghela napas. Menunggu. Tak lama, Yasa bersuara lagi.
"Sorry, ada iklan."
"Ehm."
"Btw, kamu lagi sama istri?"
"Enggak."
"Lho, kamu di mana emangnya?" Sayup-sayup terdengar obrolan, juga bunyi langkah Yasa dengan sandal rematiknya. "Di kantor? Ck, kebangetan! Ini udah jam 10. Pulang! Inget, kamu itu udah bukan lagi bujang ...."
"Aku tutup. Assalamualaikum."
Sambungan Rega putus tanpa menunggu Yasa tuntas berbicara. Setelahnya beberapa pesan masuk secara bersamaan.
Yasa
Dami! Enggak mau tahu. Pokoknya kamu harus kenalin aku ke Marwah.
Enggak nerima penolakan.
Apalagi alasan!!
Awas kalau sampai enggak!!!!!!
Rega tersenyum memandangi layar sebelum mengantonginya ke saku celana. Dia berdiri, melangkah kembali ke mesin ATM. Ingin cepat-cepat menyelesaikan urusan. Namun batas penarikan yang hanya sebesar 1 juta membuat Rega harus berulang kali memasukan kartu sampai nominal yang diinginkan terpenuhi.
Kemudian Rega bergegas menyusul Marwah. Tak sulit menemukan butik yang perempuan itu kunjungi sebab memang cukup terkenal dan ramai.
Di bagian dalam, Rega mendapati Marwah sedang memilah baju ditemani seorang pelayan.
"Enggak deh, Mbak," kata Marwah, meletakkan kemeja merah muda yang dipegang ke gantungan. Dia menoleh saat siluet Rega terlihat dari pantulan kaca di depan.
"Sudah dapat bajunya?" tanya Rega.
Marwah menggeleng. Kecewa jelas terpancar dari matanya. Lantas dia berjalan keluar tanpa berkata apa-apa. Membuat Rega bertanya-tanya. Lalu saat pelayan tadi hendak pergi dari sana, Rega cepat mencegatnya.
"Baju yang istri saya cari kosong atau gimana, Mbak?"
"Lebih tepatnya sudah tidak ada, Pak." Si pelayan memberitahu dengan santun. "Kebetulan butik kami tidak memproduksi baju dengan model yang sama. Kemeja semi formal yang istri Bapak cari sudah terjual habis tahun lalu."
"Oh, gitu." Rega mengangguk. "Makasih, Mbak."
"Sama-sama, Pak."
Rega lekas mengejar Marwah. Sengaja tak mengajaknya berbicara meski sudah bisa menyamakan langkah. Barulah ketika sampai ke toko tas khusus wanita, wajah Marwah berubah semringah. Dia bahkan menghampiri salah satu tas jinjing yang dipajang di dalam kotak kaca. Berwarna merah hati. Ukuran sedang dan sangat elegan.
"Kamu mau itu?" Tawar Rega.
"Em ...." Marwah menyipitkan mata, memastikan bandrol harga. Setelahnya membelalak tak percaya. 4 juta lebih untuk sebuah tas? Dia menggeleng. "Enggak deh."
"Kenapa?"
"Cari yang lain aja."
Rega menahan lengan Marwah. "Jangan sampai kejadian kemeja terulang lagi karena alasan sama---kamu menunda untuk membelinya."
"Aku bukan menunda. Cuma waktu itu keadaanku emang lagi enggak bisa."
"Sekarang kamu bisa."
"Tapi Pak ...."
Tanpa mengindahkan protes Marwah, Rega memanggil pelayan. Laki-laki muda berseragam formal datang, mengeluarkan tas incaran Marwah. Selanjutnya dibawa ke meja kasir, dan dibungkus sangat hati-hati ke dalam plastik pelindung sebelum dimasukan ke paper bag.
"Empat juta dua ratus, Pak."
Rega mengeluarkan dompet dari saku celana khaki. Menarik kartu berwarna hitam. Menyelesaikan pembayaran lalu menerima paper bag yang diulurkan.
"Mar, kita ke counter hp dulu. Takut tutup."
•••
"Empat juta, ditambah empat puluh enam ...." Marwah mendesah tak habis pikir. "Lima puluh juta, Pak!"
"Masalahnya di mana?" Rega benar-benar tak mengerti. "Dan kenapa kamu tiba-tiba pergi ninggalin saya?"
"Lima puluh juta itu enggak sedikit, Pak! Seenggaknya perlu satu tahun lebih buat aku ngumpulinnya. Tapi baru aja Bapak ngabisin uang segitu cuma buat tas sama MacBook ... Ya Allah, Pak!" Pekik Marwah. "Harga motor metik aja enggak semahal itu!"
"Ini MacBook keluaran terbaru, Mar." Jelas Rega. "Kualitasnya bagus."
"Aku kan enggak minta yang mahal! Cukup laptop biasa, yang 5 jutaan."
"Cepat rusak."
"Enggak kalau aku yang pake." Marwah kukuh.
"Oke. Oke." Rega mengalah. "Terus sekarang kamu maunya bagaimana? Beli yang 5 juta? Ayo."
"Bapak gila?!" Marwah berseru tak percaya.
Rega menghela napas dalam. Padahal dia hanya berusaha menuruti permintaan perempuan itu. Namun bukannya senang dan berterimakasih, Marwah justru kesal tidak jelas dan membuatnya serba salah. Bahkan menolak melanjutkan berbelanja. Lalu dengan entengnya dia menyebut Rega gila, seolah dia baru saja membayar sebuah batu kali menggunakan nyawa.
"Balikin dua-duanya. Aku enggak mau pakai," kata Marwah, lebih terkesan memerintah.
"Enggak bisa," sahut Rega, lelah. "Barang yang sudah dibeli enggak bisa dikembalikan."
"Jual lagi!"
"Jual di mana?"
"Terserah Bapak!"
Lagi, Rega menghela napas. Menumpukan siku ke pinggiran pintu sambil memijat pelipis.
"Pak!"
"Ehm."
"Bapak paham enggak, si?"
"Ehm."
Mendengkus, Marwah kembali meluruskan posisi duduk. "Udahlah! Bapak emang enggak bakal bisa paham."
Tak ingin memperkeruh, Rega memilih tetap diam. Lampu redup kekuningan di kap mobil bagian penumpang menjadi satu-satunya penerang di dalam. Suhu AC yang disetel rendah pun tak mampu mendinginkan keadaan kendati sukses menggelitik badan.
Tak ayal, keheningan pun terjadi cukup panjang. Menyisakan suara mesin mobil yang sejak tadi tenggelam oleh percekcokan.
Lalu Marwah berkata ketus, "kita pulang."
"Enggak sebelum masalah ini selesai." Tolak Rega.
"Enggak ada yang perlu diselesaiin."
"Kamu marah kenapa? Jelasin ke saya."
"Aku enggak marah!" Kesal Marwah.
"Yang barusan itu apa kalau enggak marah?"
"Pulang!"
"Saya harus gimana? Apa perlu saya tanya ke Geo untuk ...."
"Pak!" Marwah menukas tak suka. Menatap Rega jengkel. "Aku kira kejadian sore tadi udah bikin Bapak ngerti. Ternyata enggak."
"Saya sedang berusaha mengerti kamu, Mar." Rega membuka mata, balas menatap istrinya. "Kalau saya diam saja menunggu kamu berbicara sendiri, kamu akan makin kesal. Berpikir saya enggak peduli. Tapi langsung bertindak tanpa bertanya, misal membawamu ke rumah ayah-ibu atau mama-papa agar mereka bisa membuat kamu berbicara, kamu akan anggap saya seenaknya."
"Pulang! Aku minta pulang."
"Enggak. Di rumah kita enggak akan bisa bicara."
"Ya udah! Aku mau pulang sendiri."
Cepat, Rega menahan lengan Marwah. Lalu mengunci semua pintu mobil. Marwah berdecak jengkel.
"Lepasin!"
"Mar ...."
"Lepasin, ih!"
Rega menghela napas dalam untuk ke sekian. Berusaha tetap menjaga sabar. Kemudian berbicara pelan. Kentara sekali dia sudah lelah. "Saya harus bagaimana?"
"Pulang!"
"Marwah, dengerin saya." Kedua tangan Rega menahan pundak istrinya. Mengunci mata Marwah. "Kita itu dua orang asing yang disatukan dalam pernikahan. Benar-benar asing karena sebelumnya bahkan enggak saling kenal. Banyak hal yang enggak kita mengerti pada diri masing-masing. Kamu ingin berusaha menerima hubungan ini, bukan? Yang artinya kita akan hidup bersama seumur hidup. Saya enggak pandai menebak-nebak, Mar. Jadi, saya mohon," suara Rega memelas. Wajah Marwah yang sudah merah padam perlahan melunak, "kasih saya clue agar kedepannya saya bisa belajar memahami kamu. Saya enggak mau kita bertengkar hanya karena salah paham."
Marwah terperenyek. Raut frustrasi Rega ... Dia menunduk jengah. Apa dirinya sudah keterlaluan?
"Maaf," cicitnya. "Aku juga bingung kenapa jadi bertingkah enggak jelas gini. Mungkin karena tanpa sadar aku ngarepin figure Geo pada diri Bapak." Marwah menarik napas panjang dari hidung, disemburkan lewat mulut, "Aku enggak marah ke Bapak. Aku cuma ... Malu. Sempat berniat buat manfaatin rasa bersalah Bapak. Tapi ketersediaan Bapak nurutin semua kemauanku bikin aku ngerasa rendah banget. Aku enggak mau Bapak berpikir kalau maafku bisa dibeli pakai uang. Aku enggak mau nantinya Bapak ngeremehin aku karena bisa luluh saat diiming-imingi belanja."
"Saya enggak akan pernah menganggap kamu kayak gitu. Sama sekali," terang Rega, meyakinkan. "Saya tahu kesalahan saya, dan enggak berharap kamu mau maafin saya karena ini semua. Demi Allah. Sepeser uang yang saya belanjakan untuk kamu adalah bagian dari ibadah. Membuat kamu bahagia adalah janji saya kepada Ayahmu. Itulah kenapa saya mengajak kamu belanja, sekaligus ingin mengembalikan mood kamu yang sudah saya kacaukan. Terima enggak terima, keberatan atau enggak, uang saya itu uang kamu juga. Kamu tanggungjawab saya, Mar. Meski kamu punya penghasilan, kamu wajib meminta nafkah pada saya. Enggak ada istilah memanfaatkan antara suami-istri."
Kepala Marwah semakin menunduk. Dia menutup wajah menggunakan dua tangan. "Ah! Aku jadi tambah malu. Bapak ngomongnya udah kayak suami betulan aja," rengeknya.
Rega tersenyum lega. Badai Marwah sudah mereda. "Saya memang benar suami kamu."
"Ya ... Tapi kan ... Kita belum anu."
"Anu apa?"
"Jangan pura-pura polos." Protesnya, keki.
"Seriusan enggak tahu."
"Anu itu."
"Itu?"
"Aaa... Gelap ah." Marwah menggeleng-geleng. "Intinya aku belum siap."
"Siap ...." Mata Rega melebar. "Kenapa jadi ke sana?"
"Bapak yang bahas soal nafkah. Itu juga termasuk nafkah, kan?"
"Mar, bab pernikahan itu panjang. Enggak selalu soal urusan ranjang." Marwah mengangkat wajah. Mempertemukan pandang dengan mata legam suaminya. "Dan bagi saya, hal tersebut harus dilakukan atas dasar ketersedian kedua belah pihak. Jadi, kamu enggak perlu khawatir. Saya enggak akan minta kamu melakukan kewajiban yang itu. Justru, saya mau kita memulai bab pertama pernikahan ini dengan saling mengenal dulu. Oke?"
Tbc ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro